TESIS
Oleh
ERIKA JENRI HALASAN PANJAITAN
127011118/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ERIKA JENRI HALASAN PANJAITAN
127011118/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : ERIKA JENRI HALASAN PANJAITAN
Nomor Pokok : 127011118
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. Bastari, MM)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
2. Dr. Bastari, MM
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Nama : ERIKA JENRI HALASAN PANJAITAN
Nim : 127011118
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN
VERIFIKASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS PERALIHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA
PEKANBARU
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Pekanbaru. Permasalahan tersebut disebabkan karena Walikota Pekanbaru menetapkan Peraturan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan melakukan verifikasi sebelum penandatanganan akta peralihan hak atas tanah dan bangunan dihadapan PPAT/Notaris. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ataupun Peraturan Pemerintah 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, telah mengatur bahwa pemungutan pajak BPHTB dilakukan dengan sistem menghitung sendiri pajak terutang(Self Assessment System) dan tidak mengatur verifikasi.
Permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Pekanbaru, permasalahan kedua adalah apa sanksi perpajakan terhadap NPOP hasil verifikasi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di Kota Pekanbaru dan permasalahan ketiga adalah apa hambatan yuridis dari kegiatan verifikasi dalam menentukan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang di Kota Pekanbaru.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan pendekatan yang digunakan adalah deskriptif analitis dan teori yang digunakan teori hierarki oleh Hans Kelsen dan teori kewenangan sebagai teori pendukung.
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak. Apabila Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru melakukan verifikasi maka hasil verifikasi tersebut harus dituangkan dalam produk hukum berupa Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) sesuai dengan ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah, SKPDKB sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Undang-undang PDRD atau SKPDLB sesuai dengan ketentuan Pasal 165 UU PDRD. Selanjutnya Pemerintah Kota Pekanbaru diharapkan agar melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB serta Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak.
the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru. The problem occured because the City Mayor of Pekanbaru established the Local Regulation No.10/2011 on the System and Procedure of Collecting the Duty Obtained from the Right to Land and Building by doing the verification before signing the deed on the transfer of right to land and building before the Land Certificate Issuing Officer/Notary. Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies or the Government Regulation No.91/2010 on Kinds of Local Taxes Collected Based on the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself has regulated that the collection of tax of the duty obtained from the Right to Land and Building should be done through Self Assesment System and does not regulation verification.
The first problem arose in this study was how the system of collecting the duty obtained from the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru was implemented. The second problem was what tax were given to the NPOP (selling value of the tax object) as the result verification which is not in accordance with the true condition in the city of Pekanbaru. The third problem was what the juridical constraints of the activity of verification in determining the payable duty obtained from the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru were.
Self Assesment in accordance with the provisions of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies collected based on the the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself. If the Local Revenue Service of Pekanbaru did the verification, the result of the verification must be stated in the product of law in the form of Local Tax Collection Notice in accordance with the provisions of Article 100 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies, SKPDKB in accordance with the provisions of Article 97 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies, or SKPDLB in accordance with the provisions of Article 165 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies. Then the City Government of Pekanbaru is expected to revise the Local Regulation No.04/2010 on BPHTB (Duty Obtained from the Right to Land and Building) and the Regulation of the City Mayor of Pekanbaru No.10/2011 on the System and Procedure of Collecting the Duty Obtained from the Right to Land in order to make them in accordance with Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies and the Government Regulation No.91/2010 on Kinds of Local Taxes Collected Based on the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself.
dan rahmat serta karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan
judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN VERIFIKASI BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS
PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA
PEKANBARU.” Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapkan terima
kasih yang mendalam Penulis sampaikan secara khusus kepada yang
terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak
Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Bastari, MM selaku
Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas serta sabar memberikan
bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Dengan selesainya penulisan tesis ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan Fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas
kesempatan dan Fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan
pendidikan ini serta selaku penguji yang telah memberikan masukan maupun
kritikan serta saran demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembimbing yang
telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis
ini.
5. BapakDr. Bastari, MM, selaku Pembimbing yang telah memberikan waktu dan
bimbingan serta pengetahuan yang Penulis butuhkan untuk menyelesaikan
penulisan tesis ini.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan
selaku penguji yang telah memberikan masukan maupun kritikan serta saran
demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan
motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini khususnya
Budi SugiarsodanConny Rimawati Silaen.
10. Teristimewa Penulis ucapkan hormat kepada kedua orangtua Penulis atas
doa-doa serta restu beliaulah Penulis dapat menyelesaikan studi pada Magister
Kenotariatan.
11. Secara khusus penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada suami
Penulis yaitu Kristianus Barus dan anak-anakku tercinta Gabriel Rendy
Valentino Barusserta Ivan Marcelino Barus yang telah menjadi motivasi dan
pemberi semangat kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi tepat pada
waktunya.
Medan, Agustus 2014 Penulis,
Nama : Erika Jenri Halasan Panjaitan
Tempat/ Tanggal Lahir : Parlanggean/01 Januari 1974
Status : Menikah
Alamat : Jl. Karya I / Miduk II Blok O No.20 Pekanbaru
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Poltak Panjaitan
Nama Ibu : Ennawati Silalahi
III. PENDIDIKAN
1. SD Negeri 1 Panombean Tamat Tahun 1986
2. SMP Negeri 1 Panei Tongah Tamat Tahun 1989
3. SMA Negeri 1 Pematang Siantar Tamat Tahun 1992
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Tamat Tahun 2010
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 12
1. Kerangka Teori ... 12
2. Konsepsi... 19
G. Metode Penelitian... 23
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 24
2. Sumber Data... 25
3. Tehnik Pengumpulan Data... 26
4. Alat Pengumpulan Data ... 27
5. Analisis Data ... 27
BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI PEKANBARU ... 29
A. Defenisi Dan Klasifikasi Pajak ... 29
YANG SEBENARNYA DI KOTA PEKANBARU ... 64
A. Tinjauan Tentang Sanksi Hukum... 64
B. Sanksi Perpajakan ... 75
C. Sanksi Perpajakan Terhadap NPOP Hasil Verifikasi Yang Tidak Sesuai Dengan Keadaan Yang Sebenarnya di Kota Pekanbaru... 81
BAB IV HAMBATAN YURIDIS DARI KEGIATAN VERIFIKASI DALAM MENENTUKAN BPHTB TERUTANG DI KOTA PEKANBARU ... 99
A. Kepastian Hukum... 99
B. Kepastian Hukum saat beralihnya Hak atas Tanah dan Bangunan ... 104
C. Pengaruh Verifikasi Terhadap Kepastian Saat Beralihnya Hak Atas Tanah Dan Bangunan ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 119
Pekanbaru. Permasalahan tersebut disebabkan karena Walikota Pekanbaru menetapkan Peraturan Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan melakukan verifikasi sebelum penandatanganan akta peralihan hak atas tanah dan bangunan dihadapan PPAT/Notaris. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ataupun Peraturan Pemerintah 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, telah mengatur bahwa pemungutan pajak BPHTB dilakukan dengan sistem menghitung sendiri pajak terutang(Self Assessment System) dan tidak mengatur verifikasi.
Permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Pekanbaru, permasalahan kedua adalah apa sanksi perpajakan terhadap NPOP hasil verifikasi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di Kota Pekanbaru dan permasalahan ketiga adalah apa hambatan yuridis dari kegiatan verifikasi dalam menentukan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang di Kota Pekanbaru.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan pendekatan yang digunakan adalah deskriptif analitis dan teori yang digunakan teori hierarki oleh Hans Kelsen dan teori kewenangan sebagai teori pendukung.
Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak. Apabila Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru melakukan verifikasi maka hasil verifikasi tersebut harus dituangkan dalam produk hukum berupa Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) sesuai dengan ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah, SKPDKB sesuai dengan ketentuan Pasal 97 Undang-undang PDRD atau SKPDLB sesuai dengan ketentuan Pasal 165 UU PDRD. Selanjutnya Pemerintah Kota Pekanbaru diharapkan agar melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2010 tentang BPHTB serta Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan agar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak.
the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru. The problem occured because the City Mayor of Pekanbaru established the Local Regulation No.10/2011 on the System and Procedure of Collecting the Duty Obtained from the Right to Land and Building by doing the verification before signing the deed on the transfer of right to land and building before the Land Certificate Issuing Officer/Notary. Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies or the Government Regulation No.91/2010 on Kinds of Local Taxes Collected Based on the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself has regulated that the collection of tax of the duty obtained from the Right to Land and Building should be done through Self Assesment System and does not regulation verification.
The first problem arose in this study was how the system of collecting the duty obtained from the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru was implemented. The second problem was what tax were given to the NPOP (selling value of the tax object) as the result verification which is not in accordance with the true condition in the city of Pekanbaru. The third problem was what the juridical constraints of the activity of verification in determining the payable duty obtained from the Right to Land and Building in the city of Pekanbaru were.
Self Assesment in accordance with the provisions of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies collected based on the the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself. If the Local Revenue Service of Pekanbaru did the verification, the result of the verification must be stated in the product of law in the form of Local Tax Collection Notice in accordance with the provisions of Article 100 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies, SKPDKB in accordance with the provisions of Article 97 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies, or SKPDLB in accordance with the provisions of Article 165 of Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies. Then the City Government of Pekanbaru is expected to revise the Local Regulation No.04/2010 on BPHTB (Duty Obtained from the Right to Land and Building) and the Regulation of the City Mayor of Pekanbaru No.10/2011 on the System and Procedure of Collecting the Duty Obtained from the Right to Land in order to make them in accordance with Law No.28/2009 on Local Taxes and Levies and the Government Regulation No.91/2010 on Kinds of Local Taxes Collected Based on the Determination of Head of Region or Paid by the Taxpayer Himself.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur merupakan tujuan nasional
negara Indonesia sebagaimana dimuat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan pembangunan yang
melibatkan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat secara terpadu dan
berkesinambungan.
Kelancaran pembangunan harus didukung oleh sumber daya alam dan sumber
pendanaan atau keuangan yang memadai. Sumber keuangan negara berasal dari
berbagai sektor pendapatan, namun salah satu sektor terbesar adalah pajak.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.1
Dasar Yuridis pemungutan pajak diatur dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang memuat bahwa Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang.2
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dua kali terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438), maka
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan
yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menegaskan bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
dan pengendalian dan evaluasi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dengan Peraturan Daerah.
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah adalah untuk menyesuaikan kebijakan otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak yang terutang dan
harus dibayar oleh pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan sebelum
akta, risalah lelang atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.3
Tanah dan bangunan adalah bagian dari sumber daya alam yang memberikan
manfaat ekonomi bagi pemiliknya, oleh karena itu sudah sewajarnyalah
orang/pihak yang memperoleh hak atas tanah tersebut menyerahkan
sebagian dari nilai pembayaran ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak, dalam hal ini BPHTB.
Pemungutan BPHTB adalah salah satu bagian yang sangat penting
dalam proses peralihan hak ( balik nama ) atas tanah dan bangunan di Indonesia,
karena Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ) dilarang
untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi
BPHTB sebagaimana mestinya.4
3Marihot Pahala Siahaan,Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan Praktek,
Edisi I ,Cet. I,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal.160
4Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan disebabkan oleh :
1. Pemindahan hak karena: jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah.
2. Pemberian hak baru yang dikarenakan kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.5
Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah
Yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh
Wajib Pajak adalah peraturan pelaksanaan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.6 Dalam peraturan ini ditetapkan
bahwa pemungutan BPHTB dilakukan berdasarkan prinsip menghitung dan
membayar sendiri pajak terutang(Self Assessment System).
Self Assessment System adalah suatu sistem perpajakan dalam mana inisiatif
untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di Wajib Pajak.7
Sistem pemungutan pajak dengan Self Assessment System memberikan
kewenangan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri
pajak terutang sedangkan fiskus hanya mengawasi saja.8
Kota Pekanbaru merupakan salah satu daerah yang melaksanakan
kewenangan pemerintahan pada kabupaten/kota sesuai dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk memenuhi ketentuan
Yogyakarta, 2010, hal. 7. 5
Darwin,Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010), hal.141.
6
Pasal 98 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
7
Safri Nurmanu,Pengantar Perpajakan,(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 110
8
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
tersebut, Pemerintah Kota Pekanbaru menetapkan Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun
2010 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat 2 Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun
2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) memuat bahwa
Sistem dan Prosedur pemungutan BPHTB diatur dengan Peraturan Walikota. Untuk
melaksanakan dan memenuhi ketentuan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 04
Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut,
Walikota Pekanbaru Peraturan Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai landasan
hukum operasional dan teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan BPHTB.
Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB mencakup seluruh rangkaian proses
yang harus dilakukan dalam menerima, menatausahakan, dan melaporkan penerimaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dimuat dan diatur dalam ketentuan
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Walikota tersebut.
Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan
Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan di dalam
lebih lanjut di dalam ayat 2 mengatur bahwa : “Prosedur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. prosedur pengurusan Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan;
b. prosedur pembayaran BPHTB;
d. prosedur pendaftaran Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/ atau Bangunan;
e. prosedur pelaporan BPHTB; f. prosedur penagihan;
g. prosedur pengurangan.”9
Ketentuan Pasal 2 huruf c mengenai prosedur penelitian Surat Setoran Pajak
Daerah BPHTB dimuat sebagai lampiran III Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor
10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan tersebut, merupakan proses verifikasi kelengkapan
dokumen dan kebenaran data terkait objek pajak yang tercantum dalam Surat Setoran
Pajak Daerah BPHTB. Prosedur ini dilakukan setelah Wajib Pajak melakukan
pembayaran BPHTB terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah
BPHTB melalui Bank yang Ditunjuk/ Bendahara Penerimaaan.10
Prosedur verifikasi yang dilakukan oleh Fungsi Pelayanan di Dinas
Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru adalah untuk meneliti kebenaran data dan
kelengkapan Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (SSPD BPHTB) dan dokumen pendukungnya dan dapat disertai dengan
pemeriksaan lapangan.11
Penelitian kebenaran data peralihan hak atas tanah dan bangunan yang
tercantum dan tertera dalam Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (SSPD BPHTB) merupakan syarat yang harus dilakukan
9Pasal 2 ayat 2 Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan
Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
10Lampiran III Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan
Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
11Pasal 2 ayat 5 Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem Dan
sebelum Fungsi Pelayanan menandatangani SSPD BPHTB. Apabila SSPD BPHTB
belum ditanda-tangani oleh Fungsi Pelayanan Dispenda, maka penandatangan akta
peralihan hak dihadapan PPAT/Notaris juga belum dapat dilakukan PPAT/Notaris
hanya dapat menandatangani akta peralihan hak tersebut setelah wajib pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak kepada PPAT/Notaris yang bersangkutan.
Dari hasil verifikasi akan diperoleh beberapa kemungkinan diantaranya
adalah timbulnya pajak Kurang Bayar (KB) dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak
lebih rendah dibandingkan hasil verifikasi. Sedangkan timbulnya pajak Lebih Bayar
(LB) adalah karena NPOP lebih tinggi dibandingkan hasil verifikasi.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang sistem pemungutan BPHTB.
Akan tetapi peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun
2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala
Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, telah mengatur bahwa pemungutan
pajak BPHTB dilakukan dengan sistem menghitung sendiri pajak terutang (Self
Assessment System).
Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2011 sebagai peraturan
pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah 04 Tahun 2010 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, mengatur Sistem dan prosedur
pemungutan BPHTB dengan melakukan verifikasi sedangkan Peraturan Pemerintah
Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut berdasarkan
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah telah mengatur bahwa Sistem pemungutan BPHTB adalah Self
Assesment System.12
Hal-hal tersebut di atas melatarbelakangi pentingnya untuk dilakukan
penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas
Tanah dan Bangunan di Kota Pekanbaru.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) di Kota Pekanbaru?
2. Apa sanksi perpajakan terhadap NPOP hasil verifikasi yang tidak sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya di kota Pekanbaru?
3. Apa hambatan yuridis dari kegiatan verifikasi untuk menentukan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang di Kota Pekanbaru?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
12Candra Fajri Ananda, dkk, Tim Asistensi Kementrian Keuangan Bidang Desentralisasi
1. Untuk mengetahui Sistem Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) di Pekanbaru.
2. Untuk mengetahui sanksi perpajakan terhadap NPOP hasil verifikasi yang
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di kota Pekanbaru.
3. Untuk mengetahui hambatan yuridis dari kegiatan verifikasi untuk
menentukan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terutang di Kota
Pekanbaru.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum pajak khususnya mengenai Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2. Secara praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para perangkat
daerah dalam membuat petunjuk pelaksanaan peraturan daerah agar tidak
memberikan pengaturan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di
kepustakaan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul Tinjauan
Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan di Kota
Pekanbaru, belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya terutama dalam topik dan
permasalahan yang sama, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli dan
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Judul tesis lain yang berkaitan dengan masalah Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan yang pernah ditulis sebelumnya, adalah :
1. Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam transaksi jual beli
tanah dan bangunan di kota Tanjung Balai, oleh Chairumi, Mahasiswa
Magister Kenotariatan, Nomor Induk 117011056. Rumusan permasalahan
yang dibahas adalah :
a. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB dalam transaksi jual beli tanah
dan/atau bangunan di kota Tanjung Balai?
b. Bagaimana kepastian hukum terhadap transaksi jual beli tanah dan/atau
bangunan di Tanjung Balai dengan adanya verifikasi oleh Dinas
Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah (DPPKA) Kota
Tanjung Balai?
c. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan BPHTB terutang
di Kota Tanjung Balai?
2. Penelitian dengan judul “Kajian Yuridis terhadap Pelaksanaan Pasal 91 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Magister Kenotariatan, Nomor Induk 107011049. Rumusan permasalahan
yang dibahas adalah :
a. Bagaimana fungsi pengawasan yang dilaksanakan oleh PPAT/Notaris
terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB atas pengalihan hak
atas Tanah dan Bangunan di Kota Medan?
b. Bagaimana sistem pemungutan BPHTB di Kota Medan?
c. Bagaimana kepastian hukum atas pembayaran BPHTB Terutang yang
akta pengalihan hak atas tanah dan bangunannya telah dibuat oleh
PPAT/Notaris di Kota Medan?
3. Penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum bagi PPAT/Notaris Yang
dikenakan sanksi denda atas Penandatanganan Akta Peralihan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan sebelum Wajib Pajak Membayar BPHTB studi di Kota
Medan” oleh Ferymensen Bangun, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor
Induk 107011054. Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :
a. Apakah penerapan sanksi denda yang dikeakan terhadap PPAT/Notaris
atas penandatanganan akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sebelum Wajib Pajak membayar BPHTB merupakan sanksi pajak?
b. Apakah dasar pertimbangan serta kewenangan terhadap penerapan sanksi
denda bagi PPAT/Notaris atas penandatanganan akta peralihan hak atas
c. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum bagi PPAT/Notaris yang
dikenakan sanksi denda atas penandatanganan akta peralihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebelum Wajib Pajak membayar BPHTB?
4. Penelitian dengan judul “Analisis Hukum atas perbuatan oknum Notaris yang
menerima penitipan pembayarn BPHTB (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Medan No.2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)”, oleh Agustina Lusiana Elisabet
Lumbanbatu, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk 097011061.
Rumusan permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana tanggungjawab Notaris yang menerima penitipan pembayaran
BPHTB dan Notaris tersebut tidak menyetorkan pajak BPHTB yang
dititipkan kepadanya?
b. Bagaimana akibat hukum apabila seorang Notaris tidak membayarkan
BPHTB yang dititipkan kepadanya?
c. Bagaimana kewenangan hukum Majelis Pengawas Daerah Notaris dalam
pengawasan Notaris?
Dari judul dan permasalahan pada penelitian di atas jika dikaitkan dengan
penelitian ini bahwa judul dan permasalahannya tidak ada yang mirip atau
menyerupai sehingga penelitian ini dinyatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara ilmiah berdasarkan metode yang digunakan.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan(problem), yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.13
Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih
konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.
Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan
pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya
umum.14
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.15
Teori-teori tersebut berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenara.
Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut
diatas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap
Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas
Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan di Kota Pekanbaru, maka dipergunakan
teori hierarki dan teori kewenangan.
13M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 14Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal.134
15Made Wiratha,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis,(Yogyakarta: Andi,
Teori Hierarki atau norma hukum berjenjang (stufentheorie) merupakan teori
yang mengenai sistem hukum yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang
menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah
berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma
lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub ordinasi dalam konteks
spasial.16 Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior,
sedangkan norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang
lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk
kesatuan.
Norma hukum yang dimuat dalam suatu peraturan tidak boleh bertentangan
dengan norma hukum yang diatur pada peraturan yang secara hierarki berada
diatasnya. Secara garis besar ajaran norma hukum berjenjang berkisar pada
pemahaman bahwa suatu norma hukum yang berada di bawah tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang berada di atas. Sebuah norma absah (valid )
karena (dan bila) diciptakan dengan cara tertentu yaitu cara yang ditentukan oleh
norma lain di atasnya.17
Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah
16 Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safaat, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cetakan I,
(Jakarta : Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 110.
17 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Sinar
seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu
Hans Nawiasky.
Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung.
Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara(Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara(staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal(formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome
satzung).18
Sedangkan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
terdiri atas:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.19
Teori hierarki digunakan dalam penelitian untuk menjawab tentang letak atau
posisi dari Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagai peraturan
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 04 Tahun 2010 tentang Bea
18
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal.25
19Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di dalam Peraturan Perundang-undangan
dan apakah Peraturan Walikota bertentangan atau tidak dengan dengan peraturan
perundang-undangan diatasnya.
Selain teori hierarki juga digunakan teori kewenangan sebagai teori
pendukung. Suatu tindakan pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan
perundang-undangan baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub
delegasi) serta atas dasar penugasan (mandate). Pendapat ini juga dikemukakan oleh
H.D.Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan
kewenangan atas 3 (tiga) cara antara lain: :
a. Atributie:Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuurorgaan,atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie : Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan aan een ander atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya
c. Mandate : een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen door een ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.20
Kewenangan yang berdasar pada peraturan perundang-undangan dapat juga
disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang secara sederhana didefinisikan
sebagai, sejumlah ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan
mengatur struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara termasuk dalam ihwal
kewenangan.21
20Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada ,2006), hal. 105. 21
Syarat keputusan agar sah, apabila keputusan tersebut memenuhi syarat
materiil dan formil. Adapun syarat Materiil meliputi:
1. Aparat pembuat keputusan harus memiliki kewenangan. Sumber kewenangan bisa karena atribusi, delegasi dan mandat. Ketidakwenangan dalam membuat keputusan dikarenakan:ratio ne materi; ratio ne loci dan ratione temporis; 2. Dalam kehendak tidak boleh mengalami kondisi kekurangan yuridis yang
disebabkan karenadwang; dwaling;danbedrog;
3. Isi dan tujuan dari pembuatan keputusan harus sama dengan isi dan tujuan dari peraturan dasarnya.
Sedangkan syarat formil terkait dengan formalitas atau prosedur yang harus ditempuh untuk pembuatan keputusan tersebut yang meliputi:
1. Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya; 2. Prosedur dan syarat sebelum keputusan dibuat;
3. Apa yang harus dilaksanakan ketika keputusan di buat.
Apabila kedua syarat terus dipenuhi, maka keputusan tersebut akan menjadi keputusan yang sah, walau ada gugatan tidak akan menimbulkan masalah.22
Menurut Philipus M. Hadjon keabsahan tindakan pemerintah pada hakekatnya
ditentukan oleh 3 (tiga) unsur utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi,
dengan menggunakan parameter peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.23
Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana
yang dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut:
1. Wewenang;
Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif maupun delegatif.
2. Prosedur;
Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Substansi;
Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundang-undangan, konsepsi Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di masyarakat.
Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah di satu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di sisi lain harus memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.24
Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu
tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan pemerintah
tidak memenuhi atau bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, maka keabsahan tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.
Terkait dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),
menurut Philipus M. Hadjon bahwa : Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AAUPB) haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis, yang
senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, yang meskipun arti yang tepat dari
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) bagi tiap keadaan tersendiri tidak
selalu dapat dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) adalah asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana
untuk keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.25
24Philipus Mandiri Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang bersih, Orasi Ilmiah Pegukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, tanggal 10 Oktober 1994, hal.7
25Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara (edisi revisi), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Sudikno Mertokusumo26 berpendapat bahwa keabsahan itu sendiri setara jika
berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat bahwa hukum ada
karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan hukum.
Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya
bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.
Teori kewenangan digunakan dalam penelitian untuk menjawab tentang
keabsahan kegiatan verifikasi oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru
berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Sistem dan Prosedur
Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagai peraturan
pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 04 Tahun 2010 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2. Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional.27 Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam
melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi
orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang
dikemukakan.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
26 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar , (Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010), hal. 25
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi - defenisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.
Agar terdapat persamaan persepsi dalam memahami penulisan di dalam
penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan beberapa konseptual
sebagaimana terdapat di bawah ini:
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah Pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.28
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau selanjutnya disebut
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam
undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria,
Undang-undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah susun, dan ketentuan perUndang-undang-
perundang-undangan lainnya.29
Obyek pajak BPHTB adalah perolehan atas tanah dan bangunan. Perolehan
hak atas tanah dan bangunan meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Obyek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah obyek pajak yang
diperoleh: perwakilan diplomatik, negara untuk penyelenggaranaan pemerintahan dan
atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum, badan atau
28Liberty Pandiangan,Pemahaman Praktis Undang-undang Perpajakan Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2002), hal.345
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi
dan tugas; orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; orang pribadi atau badan karena
wakaf; orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Verifikasi adalah pemeriksaan terhadap kebenaran laporan, pernyataan,
perhitungan uang, dan sebagainya.30
Validasi adalah proses untuk memastikan bahwa pajak atas peralihan hak atas
tanah tersebut benar telah dibayar, artinya validasi merupakan pekerjaan
dokumentasi.
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah harga transaksi atau nilai pasar
atas tanah dan bangunan yang dialihkan atau diperoleh yang dimuat dalam akta
peralihan hak, risalah lelang atau pemberian hak baru.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu
jumlah dari Nilai Perolehan Objek Pajak yang tidak dikenakan pajak.
Harga Transaksi adalah harga perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
berdasarkan jual beli.
Nilai Pasar adalah nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena
peralihan hak kecuali jual beli.
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
30
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Surat Setoran Pajak Daerah, yang disingkat SSPD, adalah surat yang
dipergunakan oleh wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
pajak yang terutang ke kas daerah atau ke tempat lain yang ditetapkan oleh
Walikota;
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang disingkat SKPDKB,
adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang harus dibayar;
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang disingkat
SKPDKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan;
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang disingkat SKPDLB,
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak
seharusnya terutang; Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang disingkat SKPDN,
adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
Surat Tagihan Pajak daerah, yang disingkat STPD, adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
Self Assesment System adalah yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak.
With Holding System yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan).
Pemeriksaan Pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau alat bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.31
G. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu ”method” yang berarti cara atau
jalan. Dan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode adalah menyangkut
masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan.
31 Thomas Sumarsan, Perpajakan Indonesia Pedoman Perpajakan Lengkap berdasarkan
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, di mana penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi
normatifnya.32 Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka
yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum sekunder dan bahan acuan dalam
bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum seperti peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin.
Untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, penelitian yang
dilakukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang hanya menggambarkan fakta-fakta
tentang objek penelitian baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi
berdasarkan aspek yuridis, dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi
objek penelitian.33
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan Undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.34
32Johny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayu Media
Publishing, 2005), hal. 46.
33Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 116-117.
2. Sumber Data
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena
dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya
dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan atau library
research.35
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data
yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri
dari:
1. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 Tentang Jenis Pajak Daerah
Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri
Oleh Wajib Pajak, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, Peraturan
Daerah Kota Pekanbaru Nomor 04 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak
35 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta : Raja
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun
2011 Tentang Sistem dan Prosedur Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan.
2. Bahan hukum sekunder adalah hasil penelitian para ahli yang termuat dalam
literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik mengenai perjanjian
yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus hukum, jurnal ilmiah yang berhubungan dengan materi penelitian.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang
dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan cara menelaah
dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar belakang
pemikiran tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Untuk mendukung data dalam penelitian ini digunakan pula dengan
wawancara dengan informan dari pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini
yaitu para wajib pajak dan PPAT/Notaris wilayah kerja Kota P e k a n b a r u
4. Alat Pengumpulan Data
Bahan atau materi yang dipakai dalam tesis ini diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (studi dokumen). Dari hasil penelitian kepustakaan diperoleh data
sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Melalui data sekunder akan tergambar penerapan peraturan
perundang-undangan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan di Kota
Pekanbaru.
5. Analisis Data
Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.36
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. “Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.37 Penelitian
yang dilakukan dalam tesis ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif.
Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa
terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :38
36Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal.
101.
37Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 6. 38Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja
a. mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti;
b. memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian;
c. mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin;
d. menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, Pasal atau doktrin
yang ada;
e. menarik kesimpulan dengan menggunakan pendekatan deduktif.
Dengan demikian kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang dilakukan dengan
memakai analisa dedukatif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum
untuk selanjutnya mengambil hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari
BAB II
SISTEM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI PEKANBARU
A. Defenisi Dan Klasifikasi Pajak.
1. Defenisi dan Fungsi Pajak
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara dipandang sangatlah perlu
untuk terus ditingkatkan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan
kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian.39
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.40
Pajak memiliki berbagai definisi yang pada hakikatnya mempunyai pengertian
yang sama. Beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli adalah sebagai berikut.
1. P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-39Tjip Ismail,Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, (Jakarta : Yellow Printing, 2007),
hal.1
40Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto,Penagihan Pajak Pajak Pusat dan Pajak Daerah
pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.41
2. Rochmat Soemitro.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran-pengeluaran umum.42
3. Soeparman Soemahamidjaja.
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.43
4. Edi Gernadi dan Kustadi Arinta.
“Pajak adalah pembayaran berupa uang pada perbendaharaan umum negara
dan daerah yang dikenakan atas wajib pajak berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”.44
Pajak menurut Pasal 1ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan
41 Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas, Panduan Komprehensif dan Praktis Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)(Jakarta: Salemba Empat, 2010), hal.2
42Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas,Ibid,hal.2
43R. Santoso Brotodihardjo, Penghantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama,
2008), hal.5
44 Edi Garnadi dan Kustadi Arinta, Intisari dan Sarana ketentuan Perpajakan Nasional,
defenisi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.45
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara
ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah)
atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat
ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara
lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang.
Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).46
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi,
yaitu:
1. Fungsi anggaran atau penerimaan (budgetair): pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri pada APBN.
2. Fungsi mengatur (regulerend) : pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras.
3. Fungsi stabilitas : pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif.
4. Fungsi redistribusi pendapatan : penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.47
2. Penggolongan Pajak.
Apabila ditinjau dari sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
1. Pajak Subjektif adalah pajak yag berpangkal atau berdsarkan pada subjeknya, dengan artian memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : pajak Penghasilan.
2. Pajak Objektif adalah pajak yang hanya memperhatikan objek tanpa memperhatikan wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan nilai dan Pajak penjualan berang mewah.48
47Ibid, hal.3
48Marihot Pahala Siahaan,Seri Hukum Pajak Indonesia, Hukum Pajak Elementer Konsep
Berdasarkan lembaga pemungutnya, pajak di Indonesia dibagi menjadi dua
yaitu pajak pusat dan pajak daerah (yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak
kabupaten/kota). Pajak pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
melalui undang-undang, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat
dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan
pembangunan. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraan
pemungutannya dilaksanakan oleh Kementrian Keuangan.49
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang
pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan
daerah dengan Peraturan Daerah.50
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berdasarkan pemungutnya di Indonesia dikenal 2 jenis pajak yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :
1. Pajak Penghasilan
Diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009.
3. Bea Materai
Diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
4. Bea Masuk
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 jo. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
5. Cukai
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Sedangkan Pajak Daerah terdiri dari :
1. Pajak Provinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.51
B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
1. Pengertian BPHTB
BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak yang terutang dan
harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan bangunan agar
akta risalah lelang, atau surat keputusan pemberian hak dapat dibuat dan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.52
51Waluyo,Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 2(Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal.237 52 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori Dan