• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SISTEM PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN HAK

B. Sanksi Perpajakan

Sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkanSelf AssessmentSystem dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya.

Agar pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam Undang-undang Perpajakan yang berlaku. Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.

Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.

Ada 2 macam Sanksi perpajakan yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.120 Sanksi Administrasi terdiri dari sanksi administrasi berupa denda dan sanksi administrasi berupa bunga serta sanksi administrasi berupa kenaikan.

Besarnya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.

Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.

Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.

Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang pajak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.

Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Wajib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi.

Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian

Sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling berat bagi wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar. Apabila dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.

Sanksi Pidana dalam perpajakan pada dasarnya merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Akan tetapi pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 Undang-Undang KUP tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.

Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Meskipun dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui. Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.

Penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan Negara dalam memperoleh pembiayaan dari sektor pajak mengingat hukum pajak tidak melindungi kepentingan wajib pajak tetapi bahkan melindungi sumber pendapatan Negara yang terfokus pada pemenuhan kewajiban wajib pajak untuk membayar lunas pajak yang terutang.

Penegakan hukum pajak sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor-faktor itu dapat berupa sebagai sarana pendorong atau sarana penghambat terhadap bekerjanya system hukum sebagai suatu proses yang : 1) substansi hukum; 2) struktur hukum;dan 3) budaya hukum.

Soerdjono Soekanto mengemukakan terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kelima faktor tersebut yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri (dibatasi pada undang-undang saja);

b. Penegak hukum; yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.121

Kelima faktor tersebut dirasa belum mendukung sepenuhnya dalam pemungutan pajak di Indonesia yang kemudian menjadi kendala dalam pemungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah.

2. Sanksi bagi Fiskus.

Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran oleh Wajib Pajak atas pajak atau retribusi, maka Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran kepada fiskus melalui mekanisme yang diatur dalam undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Atas kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.122

Kepala Daerah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.123

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian

121Muhammad Djafar Saidi,Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa

Pajak,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007), hal. 114-115

122 Pasal 165 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

123Pasal 165 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

pembayaran retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.124

Apabila wajib pajak atau wajib retribusi mempunyai utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu pajak atau retribusi tersebut.125

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.126

Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak atau retribusi.127

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Kepala Daerah.

Pemerintah Kota Pekanbaru tidak mengatur mengenai pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana diamanatkan oleh Undang- 124Pasal 165 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

125 Pasal 165 ayat 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

126 Pasal 165 ayat 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah.

127 Pasal 165 ayat 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan

Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Apabila Wajib Pajak ingin memperoleh pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan keberatan dan apabila terbukti barulah kelebihan tersebut akan dikembalikan kepada Wajib Pajak ditambah dengan imbalan bunga.

C. Sanksi Perpajakan Terhadap NPOP Hasil Verifikasi Yang Tidak Sesuai