• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Ketentuan Umum Asuransi Jiwa

3. Pengaturan Tentang Asuransi Jiwa

Keuntungan dari asuransi jiwa jenis ini adalah pemegang polis tidak hanya mendapatkan jaminan perlindungan saja melainkan juga imbal hasil investasi dengan bunga yang cukup tinggi setiap tahunnya.

Sementara kerugiannya adalah : 1) imbal balik dari investasinya kurang signifikan jika dibandingkan dengan investasi murni seperti saham, pasar uang, atau reksadana, serta 2) uang pertanggungan yang akan diperoleh tergolong rendah, terutama jika investasinya gagal atau hanya menghasilkan keuntungan yang kecil.

1. Pengaturan Asuransi dalam K.U.H. Perdata

Hukum asuransi pada dasarnya berisikan ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari perjanjian pengalihan dan penerimaan risiko oleh para pihak. Hukum asuransi pada pokoknya merupakan objek hukum perdata. Dalam hal ini maka selain yang diatur secara khusus dalam KUHD, sebagai sebuah perjanjian, maka ketentuan umum asuransi diatur di dalam KUHPerdata.28

a. Pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sebaiknya diperhatikan, karena mengatur tentang perikatan-perikatan bersyarat.

b. Pasal 1313 KUH Perdata :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

c. Pasal 1318 KUH Perdata, ketentuan mengenai hak ahli waris dan orang-orang lain yang memperoleh hak dari seorang tertanggung/pemegang polis.

d. Pasal 1320 KUH Perdata :

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan ada empat buah syarat sah perjanjian, yakni :29

28Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 14.

29Ibid, hlm. 14-15.

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Kesepakatan dalam mengikatkan diri dimulai saat terjadinya proses penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) antara penanggung dan tertanggung dalam perjanjian asuransi. Definisi offer dan acceptance pada perjanjian asuransi bersifat mutlak.

Offer atau penawaran berasal dari tertanggung, sedangkan acceptance berasal dari penanggung.

2) Kecakapan untuk membuat perikatan;

Dalam hal ini pihak yang melakukan perikatan adalah pihak yang cakap secara hukum, yaitu mereka yang sudah dewasa, tidak gila dan tidak dalam pengampuan.

3) Suatu hal tertentu;

Hal tertentu dalam perjanjian asuransi adalah saat penanggung menawarkan jaminan atas risiko yang dialami oleh tertanggung dengan mensyaratkan sejumlah premi tertentu yang sudah diperhitungkan nilainya dan dianggap seimbang.

4) Untuk sebab yang halal.

Perjanjian asuransi atas suatu sebab yang dilarang Undang-Undang, melanggar kesusilaan atau bertentangan dengan kepentingan umum seperti tertulis dalam Pasal 1337 KUHPerdata, maka perjanjiannya batal demi hukum.

Perihal kecakapan, perlu juga kiranya dikemukakan pendapat Peter Mahmud Marzuki dan Ahmadi Miru. Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam Pasal 330 KUH Perdata ditetapkan bahwa mereka yang belum 21 (duapuluh satu) tahun penuh dan belum kawin dianggap minderjarig atau belum cukup umur.

Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Staatblad 1931 Nomor 54. Oleh karena itulah semua golongan penduduk yang ada di Indonesia sebelum 21 (duapuluh satu) tahun penuh dan belum kawin dianggap minderjarig atau belum cukup umur.30

Kemudian menurut Ahmadi Miru, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 (duapuluh satu) tahun. Khusus untuk orang yang sudah menikah sebelum usia 21 (duapuluh satu) tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 (duapuluh satu) tahun. Jadi janda dan duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 (duapuluh satu) tahun.31

30Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prana Media Group, Jakarta, hlm.

68. 31Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2014, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 68.

Sedangkan menurut Irma Devita, pada tanggal 13 Oktober 1976 Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Yurisprudensi Nomor 477 yang menyatakan Usia Dewasa adalah 18 Tahun atau sudah pernah menikah. Hal ini didukung pula oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinyatakan dalam pasal 50 Ayat (1). Pendapat tentang batas usia dewasa ini juga diikuti dan diterjemahkan dalam pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa “Seorang anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pihak Notaris sendiri, yang berwenang untuk membuat akta-akta notaril yang bersifat otentik, sejak tanggal 6 Oktober 2004 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014), terdapat pergeseran dalam menentukan usia dewasa. Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa ”Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a) Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b) Cakap melakukan perbuatan hukum.”32

Dalam kaitannya dengan kedewasaan, dapat pula dikemukakan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

32Diakses dari http://irmadevita.com/2008/batas-usia-dewasa/ pada tanggal 23 Januari 2018.

1) Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia 18 tahun;

2) Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, usia 17 tahun atau telah menikah;

3) Pasal 1 angka 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, usia 17 tahun atau telah menikah;

4) Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 18 tahun;

5) Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, usia 18 tahun untuk penghadap dan usia 18 tahun untuk saksi.

e. Pasal 1338 KUH Perdata :

Ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ayat (2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Ayat (3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

f. Pasal 1339 KUH Perdata, pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaaan, dan undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah isi perjanjian, kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.33

g. Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUH Perdata, mengenai penafsiran perjanjian yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam perjanjian asuransi.

h. Pasal 1774 KUH Perdata

Perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata yang menentukan;

“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan.

Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.”

Terkait dengan ketentuan pasal di atas, asuransi digolongkan sebagai perjanjian untung-untungan seperti perjudian. Karakteristik perjanjian untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif dengan tujuan utama hanya kepentingan keuangan padahal perjanjian asuransi pada dasarnya mempunyai

33Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, hlm. 79.

tujuan yang lebih pasti, yaitu memperalihkan risiko yang sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada dalam posisi yang sama.34

2. Pengaturan Asuransi dalam K.U.H. Dagang

Dalam KUHD, ada dua cara pengaturan hukum pertanggungan, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX dan pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X, Buku II Bab IX dan Bab X. Adapun perincian isi dari bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :

Buku I, Bab IX : tentang pertanggungan pada umumnya

Bab X : tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakaran (bagian ke 1)

tentang pertanggungan terhadap bahaya yang mengancamhasil pertanian yang belum dipanen (bagian ke 2)

tentang pertanggungan jiwa (bagian ke 3)

Buku II, Bab IX: tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut Bab X : tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam

pengangkutan di darat, di sugai dan perairan pedalaman.35

34Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.cit, hlm. 15-16.

Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis asuransi, dalam KUHD terdapat beberapa peraturan lainnya yaitu : a) Pasal 254 KUHD yang melarang pihak dalam perjanjian, baik pada

waktu diadakan perjanjian maupun selama berlangsungnya perjanjian asuransi menyatakan melepaskan hak-hak yang oleh ketentuan undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian asuransi batal.

Ketentuan ini diberlakukan terutama untuk mencegah supaya perjanjian asuransi tidak menjadi perjudian dan pertaruhan.36

b) Pasal 257 KUHD merupakan penerobosan dari ketentuan Pasal 255 KUHD. Pasal 255 KUHD menentukan bahwa asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Memperhatikan Pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah polis merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian asuransi. Hal ini ternyata berbeda apabila diperhatikan Pasal 257 KUHD yang mengatur bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung, mulai berlaku sejak saat itu bahkan sebelum polisnya ditandatangani.

Dengan demikian perjanjian asuransi merupakan perjanjian

35Abdulkadir Muhammad, 1983, Op.Cit, hlm. 20.

36Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit, hlm. 17.

konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat oleh kedua belah pihak. Dalam hal polis hanya merupakan alat bukti saja. Dalam hubungan dengan hal ini apabila kedua belah pihak telah menutup perjanjian asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. adapun yang harus dilakukan oleh tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian asuransi dimaksud sudah terbentuk.37

c) Pasal 258 KUHD mengenai pembuktian adanya perjanjian asuransi.

Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian alat pembuktian yang lain juga boleh dipergunakan apabila sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan. Istilah tulisan dalam bagian permulaan pasal tersebut dapat diartikan sebagai polis. Tetapi istilah tulisan dalam bagian terakhir harus diartikan surat bukan polis.

Biasanya dalam praktik perjanjian asuransi disamping polis juga ada surat lain seperti surat menyurat (korespodensi) antara tertanggung dan penanggung, nota penutupan dan sebagainya.38

d) Pasal 260 KUHD dan 261 KUHD mengatur tentang asuransi yang ditutup dengan perantaraan makelar. Dari Pasal 260 KUHD diketahui

37Ibid, hlm. 18.

38Ibid, hlm. 19.

bahwa dalam perjanjian asuransi yang ditutup dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan di dalam waktu 8 hari kerja setelah ditutupnya perjanjian.

Apabila waktu yang ditentukan di atas dilampaui, tertanggung perlu memperhatikan Pasal 261 KUHD yang menyatakan bahwa jika ada kelalaian, dalam hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 259 dan 260 KUHD tersebut, maka wajiblah penanggung atau makelar yang bersangkutan memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam hal timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian tersebut.39

e) Pasal 269 KUHD mengatur bahwa dalam perjanjian asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara subjektif. Maksudnya bahwa apabila asuransi ketika ditutup, peristiwanya sudah terjadi adalah batal jika tertanggung atau orang yang tanpa pemberian kuasa telah mengadakan perjanjian asuransi, telah mengetahui bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah terjadi. Dengan demikian apabila tertanggung belum mengetahui bahwa kerugian/peristiwa telah terjadi, maka perjanjian tersebut tidak menjadi batal.40

39Ibid, hlm. 20-21.

40Ibid, hlm. 24.

f) Pasal 271 KUHD mengatur mengenai hak penanggung untuk menutup kembali (reasuransi) penanggungannya kepada perusahaan asuransi yang lain.41

Pengaturan tentang Asuransi (pertanggungan) Jiwa dalam KUHD cukup singkat, hanya 7 (tujuh) pasal, yakni dari Pasal 302 sampai 308.

Apabila diperhatikan ke tujuh pasal tersebut tidak ada rumusan tentang apa yang dimaksud dengan asuransi jiwa. Dalam Pasal 302 KUHD hanya dikemukakan :

“Jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”42

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa : Pertama, yang berkepentingan dalam asuransi jiwa adalah orang yang bersangkutan.

Untuk itu orang tersebut dapat mengasuransikan jiwanya sendiri. Jadi yang bertindak sebagai tertanggung adalah yang bersangkutan. Kedua, yang berkepentingan dalam hal ini bukan yang bersangkutan, akan tetapi orang lain. Sekalipun demikian orang yang akan mengasuransikan jiwa seseorang tersebut harus ada hubungan hukum, misalnya orang tua mengasuransikan anak, pemberi kerja atau perusahaan mengasuransikan karyawannya. Dalam hal ini orang tua dan atau pun perusahaan dapat mengasuransikan jiwa orang tersebut karena mempunyai kepentingan,

41Ibid, hlm. 25.

42Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm. 80.

bahkan sekalipun orang yang jiwanya diasuransikan tidak mengetahui.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 303 KUHD, sebagai berikut :

“Yang berkepentingan dapat mengadakan pertanggungan bahkan di luar pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan itu.”43

Dokumen terkait