• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan

Hubungan hukum antara kreditor dan debitor lahir dari suatu perbuatan hukum tertentu yang menyebabkan adanya hak kreditor atas piutang dan kewajiban debitor atas utang. Lazimnya perbuatan hukum tersebut hadir dalam bentuk perjanjian. Untuk menjamin terlunasinya utang debitor kepada kreditor, dalam perjanjian biasanya disebutkan secara khusus jaminan apa yang diberikan oleh debitor kepada kreditor sebagai pegangan bagi kreditor apabila sewaktu-waktu debitor wanprestasi.

Jaminan merupakan sebuah garansi yang diberikan debitor kepada kreditor dalam upaya menghadirkan kepercayaan kreditor bahwa utang debitor sebagai perikatan pokok akan terlunasi. Jaminan ini dapat berbentuk jaminan perorangan atau jaminan kebendaan. Jaminan perorangan dapat berupa penanggungan (borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung, serta jaminan kebendaan dapat berupa gadai, hipotik, fidusia, dan hak tanggungan.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, sampai saat ini belum ditemukan adanya pemberian fasilitas kredit oleh lembaga pembiayaan, baik bank maupun bukan bank, dengan objek jaminan berupa polis asuransi jiwa. Hal ini utamanya disebabkan adanya anggapan bahwa pada umumnya manfaat dari polis asuransi jiwa hanya dapat diterima apabila risiko terjadi, sehingga dirasa sulit untuk melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi.

Pada awal pembahasan telah dikemukakan bahwa polis asuransi jiwa yang memiliki nilai tunai, oleh beberapa perusahaan asuransi diterima sebagai objek jaminan atas pemberian fasilitas/pelayanan tambahan berupa pinjaman uang dari perusahaan asuransi jiwa kepada nasabahnya. Dengan syarat, bahwa polis asuransi jiwa yang dijaminkan tersebut merupakan polis yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi jiwa itu sendiri. Hal tersebut dipersyaratkan oleh perusahaan asuransi jiwa karena pihak perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan dapat dengan mudah melakukan pemotongan, pemblokiran dan lain sebagainya terhadap nilai tunai nasabah apabila nasabah (debitor) tersebut wanprestasi.

Dengan dilakukannya praktik penjaminan polis tersebut oleh perusahaan asuransi jiwa, hal ini menjadi bukti bahwa perusahaan asuransi jiwa sebagai pihak yang patut dianggap paling mengerti perihal produk yang dipasarkannya kepada masyarakat, mengakui bahwa nilai

tunai dari polis asuransi jiwa merupakan sesuatu hal yang dapat ditagih (piutang). Artinya, nasabah dianggap memiliki sejumlah uang yang dapat ditagih atau memiliki hak tagih kapada perusahaan asuransi jiwa.

Sehubungan dengan itu pula, berdasarkan salah satu klausula dalam polis asuransi jiwa yang dalam praktiknya diterima sebagai objek jaminan oleh perusahaan asuransi jiwa, terdapat frasa yang menyatakan bahwa “polis ini akan berhenti pada saat terjadinya salah satu peristiwa berikut, dengan ketentuan yang mana yang terjadi terlebih dahulu : 18.1 saat polis ini ditebus kepada pihak penanggung.”

Gambar 4

Menurut keterangan dari Sylvia Woenarso, maksud dari frasa tersebut adalah bahwa “dengan dilakukannya penebusan polis kepada tertanggung, maka pertanggungan asuransi jiwa akan berhenti dan nasabah memperoleh nilai tunai dari polisnya yang telah terakumulasi.”101

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa nilai tunai dari polis asrunsi jiwa merupakan milik nasabah yang selama pertanggungan berjalan berada dalam penguasaan perusahaan asuransi jiwa.

Disebabkan nilai tunai tersebut merupakan milik nasabah, maka menurut penulis dapat dikategorikan sebagai sesuatu hal yang dapat ditagih (piutang).

Sebagai sesuatu hal yang dapat ditagih (piutang), nilai tunai dari polis asuransi jiwa tergolong sebagai benda bergerak tak berwujud sebagai mana diatur dalam Pasal 511 angka 3 KUH Perdata juncto Pasal 503 KUH Perdata juncto Pasal 504 KUH Perdata.

Pasal 511 angka 3 KUH Perdata

Sebagai kebendaan bergerak karena ketentuan undang-undang harus dianggap :

3. perikatan-perikatan dan tuntutan-tuntutan mengenai jumlah-jumlah uang yang dapat ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak.

Pasal 503 KUH Perdata

Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tak bertubuh.

Pasal 504 KUH Perdata

Tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tak bergerak, satu sama lain menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut.

101Ibid.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa apabila perusahaan asuransi jiwa mengakui bahwa nilai tunai dari polis merupakan piutang nasabah, pihak bank dan lembaga pembiayaan lainnya seharusnya dapat mengakomodir hal tersebut. Diakuinya kedudukan nilai tunai tersebut oleh perusahaan asuransi jiwa, mengisyaratkan bahwa nilai tunai dari polis tersebut memiliki nilai ekonomi. Kesulitan-kesulitan pihak bank dalam hal eksekusi terhadap objek jaminan apabila debitor wanprestasi, dapat diatasi dengan melakukan koordinasi dengan perusahaan asuransi jiwa, sehingga hal tersebut dapat membantu upaya pemerintah dalam hal memudahkan pemberian bantuan modal usaha kepada masyarakat guna tercapainya kesejahteraan sosial.

Dari sisi jaminan kebendaan, sesungguhnya tidak ada pembatasan mengenai jenis barang atau benda untuk dijadikan sebagai objek jaminan dalam suatu perjanjian utang-piutang. Semua bergantung pada kesepakatan para pihak yang terlibat. Asalkan menurut penilaian pihak kreditor bahwa objek yang dijaminkan oleh debitor adalah cukup untuk menutupi kerugian kreditor apabila debitor wanprestasi, maka objek tersebut adalah layak untuk dijadikan jaminan.

Selanjutnya menurut Johannes Ibrahim, sebagai langkah antisipatif dalam menarik kembali dana yang telah disalurkan oleh kreditor kepada debitor, atas jaminan hendaknya dipertimbangkan dua faktor, yaitu :102 a. Secured

Artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan.

Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.

b. Marketable

Artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.

Polis asuransi jiwa sebagai sebuah benda bergerak dapat diikat dengan secara yuridis formal dengan akta cessie baik secara notaril ataupun di bawah tangan103, dengan jaminan fidusia104, atau dengan

102 Johannes Ibrahim, 2004, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum Dan Ekonomi), Mandar Maju, Bandung, hlm. 71.

103 Berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata Ayat (1) “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.; (2) Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.; (3) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.”

104Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Fidusia, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”

jaminan gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 1150-1161 KUH Perdata, khususnya Pasal 1152 dan Pasal 1152 bis KUH Perdata, yaitu :

Pasal 1152 KUH Perdata

Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Pasal 1152 bis KUH Perdata

Untuk meletakkan hak gadai atas surat-surat tunjuk diperlukan, selainnya endosemennya, penyerahan suratnya.

Sehubungan dengan itu, apabila telah ditentukan sebelumnya secara nyata dalam perjanjian bahwa pihak yang menerima seluruh manfaat, baik nilai pertanggungan maupun nilai tunai dari perjanjian asuransi adalah pihak ketiga (bukan diri pemegang polis), maka mengacu pada ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata, pihak yang berjanji tidak boleh menarik kembali hak yang telah diberikannya kepada pihak ketiga apabila pihak ketiga telah menyatakan akan menggunakan hak tersebut. Dalam keadaan seperti ini, pihak yang berjanji hanya dapat melakukan pengalihan hak atas polis asuransi jiwa tersebut, apabila pihak ketiga telah menyatakan melepaskan haknya.

Sebagai sebuah benda yang dijadikan objek jaminan atas utang, terdapat ketentuan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, yaitu :

Pasal 1332 KUH Perdata

Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Pasal 1333 KUH Perdata

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang dapat paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Perihal dapatnya suatu barang untuk diperdagangkan atau tidak, tentunya harus merujuk pada kenyataan yang terjadi. Dapat diperdangkan berarti dapat dijual atau diuangkan. Dalam praktiknya, polis asuransi jiwa yang telah memiliki nilai tunai dapat diuangkan dengan jalan mengembalikan polis tersebut kepada perusahaan asuransi jiwa yang menerbitkannya, sekaligus menutup fasilitas asuransi jiwa yang diberikan berdasarkan polis tersebut. Sedangkan perihal suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang ditentukan jenisnya, dalam hal ini jenisnya adalah sebuah piutang yang sudah tentu dapat terhitung jumlahnya.

Selain itu, menurut keterangan dari salah satu perusahaan asuransi jiwa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, disebutkan bahwa

“polis asuransi jiwa yang dapat diterima sebagai jaminan adalah hanya polis asuransi jiwa dari produk asuransi jiwa tradisional atau asuransi jiwa murni. Pada produk asuransi jiwa ini, nilai tunai yang ada tidak dapat dimanfaatkan oleh nasabah kecuali dengan cara menutup fasilitas asuransi, atau melalui pinjaman polis.” Dari keterangan tersebut, jelas

terlihat bahwa nilai tunai dari polis asuransi jiwa dapat diuangkan sewaktu-waktu, walaupun dengan konsekuensi berakhirnya perjanjian asuransi.

Nilai tunai dari polis asuransi jiwa yang akan diterima oleh pemegang polis/tertanggung merupakan sesuatu yang belum pasti ada.

Dikatakan demikian karena apabila tertanggung meninggal dunia, maka manfaat yang diberikan oleh pihka penanggung kepada pihak tertanggung (ahli waris tertanggung) adalah uang pertanggungan, bukan nilai tunai.

Nilai tunai dari polis asuransi jiwa hanya dapat ternilai secara ekonomis apabila polis masih aktif dan tertanggung masih hidup (risiko tidak terjadi).

Hal tersebut dikuatkan dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1334 KUH Perdata, yaitu :

Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa polis asuransi yang masih berlaku dan telah memiliki nilai tunai berdasakan ketentuan mengenai jaminan kebendaan, adalah layak dan dapat untuk dijadikan jaminan atas utang debitor kepada kreditor.

2. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Dalam Praktik Penjaminan

Dokumen terkait