KEDUDUKAN HUKUM POLIS ASURANSI JIWA SEBAGAI OBJEK JAMINAN
WENDRA CATUR PUTRA
P3600215014
MAGISTER KENOTARIATAN
PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL
KEDUDUKAN HUKUM POLIS ASURANSI JIWA SEBAGAI OBJEK JAMINAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister Program Studi
Magister Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh : WENDRA CATUR PUTRA
P3600215014
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
ABSTRAK
WENDRA CATUR PUTRA. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan (dibimbing oleh Winner Sitorus, dan Hasbir Paserangi).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perihal kepastian kedudukan hukum dari polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan dari sudut pandang hukum jaminan kebendaan, serta kedudukan hukumnya dalam praktik penjaminan polis yang terjadi pada perusahaan asuransi jiwa.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yaitu KUH Perdata, UU Perasuransian dan bukti fisik berupa polis asuransi jiwa. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku tentang jaminan dan tentang perasuransian serta hasil-hasil penulisan lain yang relevan dengan penulisan ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) polis asuransi jiwa yang memiliki nilai tunai dari sudut pandang hukum jaminan kebendaan, adalah dapat untuk dijadikan sebagai objek jaminan atas utang debitor kepada kreditor.
Disebabkan nilai tunai dari polis asuransi jiwa sesungguhnya merupakan hak nasabah asuransi jiwa yang karena perjanjian, tetap berada pada penguasaan perusahaan asuransi jiwa sampai masa pertanggungan berakhir. 2) praktik penjaminan polis yang dilakukan oleh nasabah asuransi jiwa dengan perusahaan asuransi jiwa adalah bertentangan dengan kewenangan perusahaan asuransi jiwa yang diatur dalam UU Perasuransian.
Sehingga polis asuransi jiwa yang dijadikan sebagai objek jaminan pada praktik tersebut menjadi batal demi hukum. Hal tersebut mengakibatkan segala sesuatu yang telah dibayarkan oleh debitor kepada kreditor dapat dituntut pengembaliannya oleh debitor, serta kreditor dibebankan kewajiban untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya tersebut secara tidak berhak, kepada pihak yang telah memberikannya.
Kata kunci : objek jaminan, penjaminan polis, polis asuransi jiwa.
ABSTRACT
WENDRA CATUR PUTRA. Legal Standing of Life Insurance Policy as a Guarantee Object (supervised by Winner Sitorus and Hasbir Paserangi).
This research aimed to find out and analyze the certainty of the legal status of life insurance policy as an object of guarantee from the point of view of the law of property security, as well as the legal status of life insurance policy in the practice of guaranteeing policies that occur in life insurance companies.
This research was a normative juridical research by using statute and conceptual approaches. Legal sources employed in this research were a primary legal source that is Civil Code, Law of Insurance, and physical evidence of Life Insurance Policy and secondary legal source that are references on guarantee, insurance, and other references relevant with this research.
The results of this study indicate that; 1) life insurance policy from the point of view of the material security law is can be used as an object of collateral for the debtor’s debt to the creditor. Due to the cash value of the life insurance policy is actually the right of life insurance customers because of the agreement, remain in control of the life insurance company until the coverage period ends. 2) the practice of guaranteeing the policy made by the life insurance customer with the life insurance company is against the authority of a life insurance company stipulated in an Insurance Law. So the life insurance policy that is used as the object of guarantee in the practice becomes null and void. That cause everything that had been paid by debtor to creditors can be sued for return by debtors, meanwhile creditors have obligation to return whatever they had illegally received previously to the party which those came from.
Keywords : guarantee object, life insurance policy, policy guarantee.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ’alamin. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan sesembahan alam semesta, atas segala kebaikan dan kasih sayang-Nya yang tak pernah henti tercurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam sejahtera senantiasa dilimpahkan atas junjungan dan tauladan terbaik Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang baik dan suci serta memiliki pekerti terluhur.
Judul dari tesis ini adalah “Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan”. Dengan tanpa menafikan makna tujuan dari
sebuah karya ilmiah, tujuan utama dari penulisan tesis ini adalah sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa secara kualitas tulisan ini masih sangat jauh untuk dikatakan baik. Oleh karena itu, melalui pengantar ini penulis menyatakan permohonan maaf kepada semua pihak, baik yang terlibat dalam penyusunan tesis ini, maupun para pembaca nantinya. Besar harapan penulis, bahwa dengan segala kekurangan yang ada, semoga tetap tidak mengurangi substansi dari isi tulisan ini.
Secara khusus penulis ucapkan rasa terima kasih yang teristimewa dengan penuh cinta dan hormat kepada Ibunda Sutini Muchtar binti Sajari dan Ayahanda Muchtar Amin bin Amin, serta saudara-saudara ku terkasih
Wanti Ekawati, Windi Dwiastuti, Wawan Triadi, Wiwin Panca Putra, Istiana Mustikaningrum dan Estiana Mustikaningrum, atas dukungan, dorongan, doa, serta kasih sayang yang tak terbatas demi keberhasilan penulis semasa menempuh pendidikan hingga akhir studi pada Magister Kenotariatan di Universitas Hasanuddin.
Penulis mengucapkan juga mengucapkan rasa terima yang mendalam kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas dukungan, semangat, dan bantuan-bantuan lainnya berupa materi ataupun bukan materi. Tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak tersebut, penulis meyakini penulisan tesis ini tidak akan selesai.
Tak lupa penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, S,Sos, MA. selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Rektor dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E., M.M. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
3. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Dekan dan jajarannya.
4. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan selaku tim penguji.
5. Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H, LL.M. selaku Pembimbing I dan Dr. Hasbir, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, yang dengan sabar selalu memberi bimbingan, arahan, saran, petunjuk, serta bantuan, dari awal penulisan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Semoga dengan apa yang telah diberikan menjadikan tesis ini lebih bermanfaat bagi Kepustakaan Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin.
6. Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H., Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku tim penguji yang telah memberikan masukan, kritikan serta perbaikan atas penulisan tesis ini sehingga menjadi lebih baik.
7. Para dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan pengetahuan, pemahaman dan pendidikan moral kepada penulis sebagai bekal penulis di kemudian hari.
8. Para staf akademik Program Studi Magister Kenotariatan, khususnya Ibu Eppy dan Bapak Aksa yang telah memberikan bantuannya selama penulis menimba ilmu di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
9. Para informan dalam penulisan tesis ini, terkhusus kakanda Arfan, S.H., yang telah dengan baik menerima dan memberikan bantuannya kepada penulis.
10. Kepada seluruh teman-teman angkatan 2015 Magister Kenotariatan Unhas, yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala pengalaman, berbagi ilmu, keseruan, kekompakan, dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kita semua senantiasa diberkahi kebahagiaan dan kesuksesan serta berada dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan menjadi rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
Makassar, 10 November 2017
WENDRA CATUR PUTRA
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ... iv
ASTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Kegunaan Penelitian ... 8
E. Orisinalitas Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Ketentuan Umum Asuransi Jiwa ... 11
1. Pengertian Asuransi Jiwa ... 11
2. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa ... 21
3. Pengaturan Tentang Asuransi Jiwa ... 24
4. Polis Asuransi Jiwa ... 36
4.1. Pengertian Polis Asuransi Jiwa ... 36
4.2. Berakhirnya Polis Asuransi Jiwa ... 40
B. Ketentuan Umum Mengenai Jaminan ... 42
1. Pengertian Jaminan ... 44
2. Syarat-Syarat Jaminan ... 44
3. Jenis-Jenis Jaminan ... 46
4. Ruang Lingkup Jaminan dan Pengaturannya ... 55
C. Benda dan Hak Kebendaan ... 61
1. Pengertian Benda dan Hak Kebendaan ... 61
2. Macam-Macam Benda ... 62
3. Lahir dan Hapusnya Hak Kebendaan ... 64
D. Landasan Teori ... 67
Teori Kepastian Hukum ...67
E. Kerangka Pikir ... 69
Bagan Kerangka Pikir ... 72
F. Definisi Operasional ... 73
BAB III METODE PENELITIAN ... 75
A. Jenis Penelitian ... 75
B. Pendekatan Penelitian ... 75
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ... 76
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 77
E. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 78
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 79
1. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Sebagai Objek Jaminan Atas Utang Debitor Kepada Kreditor ... 86
2. Kedudukan Hukum Polis Asuransi Jiwa Dalam Praktik Penjaminan Polis Pada Perusahaan Asuransi Jiwa ... 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110
1. Kesimpulan ... 110
2. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA ... ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Tumbuh kembang perekonomian suatu negara sangat bergantung pada peningkatan kualitas kemampuan perekonomian masyarakatnya.
Semakin tinggi tingkat kualitas ekonomi masyarakat, semakin kuat pula daya saing ekonomi suatu negara. Peningkatkan kualitas kemampuan ekonomi masyarakat sangat bergantung pada 2 (dua) hal yang saling bersinergi.
Pertama yaitu, peran serta pemerintah melalui regulasi dan kebijakan yang diterapkan terhadap para pelaku usaha. Regulasi dan kebijakan tersebut haruslah memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya dengan tetap memperhatikan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku serta perkembangan perekonomian global.
Kedua, peran aktif masyarakat itu sendiri sebagai pelaku usaha. Pentingnya posisi pelaku usaha dalam upaya peningkatan perekonomian suatu negara disebabkan mereka merupakan ujung tombak dari perputaran roda perekonomian, di sisi lain juga sekaligus dapat menghadirkan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
Kehidupan usaha yang kian kompleks hingga saat ini menciptakan bentuk jenis-jenis usaha dan pola kerjasama antar pelaku usaha menjadi semakin beragam. Beragamnya jenis usaha dan pola kerjasama tersebut tentunya akan melahirkan berbagai macam bentuk risiko. Kemungkinan
timbulnya risiko dan usaha menghindari risiko dengan cara mengalihkan kepada pihak lain, telah memunculkan suatu ide menghadirkan sebuah usaha yang bergerak di bidang pertanggungan dan/atau pengalihan risiko. Jenis usaha ini dikenal dengan nama jasa asuransi dan pelaku usahanya disebut perusahaan asuransi. Kehadirannya adalah untuk mengambil alih risiko yang dapat menimpa seseorang atau suatu badan.
Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan ekonomi lainnya.1 Di Indonesia, kehadiran perusahaan asuransi pada awalnya adalah bentukan dari pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian pasca kemerdekaan perusahaan asuransi tersebut dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia. Perusahaan yang dimaksud yaitu, NV. Assurantie Vander EE menjadi PT. asuransi Bendasraya, dan perusahaan asuransi De Nederlanden van 1845 menjadi PT. Asuransi Jiwasraya.2 Dinasionalisasikannya kedua perusahaan asuransi peninggalan Kolonial Belanda tersebut, menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menilai penting keberadaan usaha perasuransian bagi tercapainya tujuan negara dalam hal mewujudkan kemakmuran bangsa.
Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting perannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin
1A. Junaidi Gani, 2013, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakrta, hlm. 9.
2Diakses dari : https://www.asura.co.id pada tanggal 4 Februari 2017.
meningkatkan lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan.3 Asuransi sendiri adalah suatu bentuk usaha di bidang keuangan yang berkecimpung di dunia pertanggungan risiko. Asuransi memiliki peran sentral yang sudah dirasakan manfaatnya sampai sekarang.
Manfaat itu dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan kalangan pengusaha pada khususnya. Fungsi utama dari asuransi adalah memberikan perlindungan terhadap terjadinya suatu peristiwa tidak terduga yang dapat merugikan nasabah.4
Asuransi sebagai salah satu bentuk dari usaha perasuransian5 merupakan penggerak perekonomian bangsa pada zaman sekarang sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin berkembangnya jumlah perusahaan asuransi jiwa. Menurut informasi yang diperoleh, jumlah perusahaan asuransi jiwa di Indonesia yang terdaftar dalam Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) per tanggal 4 Oktober 2017 adalah sebanyak 63 (enampuluh tiga) perusahaan.6
Pada umumnya praktik pemberian fasilitas kredit dilakukan oleh lembaga pembiayaan baik bank maupun bukan bank, tetapi dari penelitian awal penulis, terdapat perusahaan asuransi jiwa yang juga melakukan praktik
3 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, angka I. UMUM.
4 Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, 2016, Pokok-Pokok Hukum Asuransi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hlm. 4.
5Pasal 1 angka 14 UU Perasuransian.
6Diakses dari http://www.aaji.or.id/Perusahaan pada tanggal 4 Oktober 2017.
pemberian fasilitas kredit kepada nasabahnya dengan menerima jaminan berupa polis asuransi jiwa yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi itu sendiri.
Pada praktik pemberian fasilitas kredit tersebut, perusahaan asuransi jiwa bertindak selaku kreditor dan nasabahnya selaku debitor. Selanjutnya, pada polis asuransi jiwa yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi jiwa tersebut terdapat suatu klausula yang dianggap menjadi dasar dari praktik pemberian kredit dengan jaminan polis. Klausula tersebut yaitu, “Polis yang masih berlaku dan telah mempunyai Nilai Tunai dapat dijadikan Jaminan Pinjaman Polis berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Badan”
(selanjutnya disebut “klausula penjaminan polis”). Selanjutnya “Badan”
yang dimaksud dalam polis tersebut adalah perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
Berdasarkan definisi usaha asuransi jiwa7 dan ruang lingkup kegiatan usaha asuransi jiwa8 yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (selanjutnya disebut “UU Perasuransian”), ditetapkan kewenangan dari perusahaan asuransi jiwa yaitu, perusahaan
7BerdasarkanPasal 1 angka 6 UU Perasuransian, “Usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
8 Berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) UU Perasuransian, “Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha kesehatan, dan lini usaha kecelakaan diri.”
asuransi jiwa dibatasi hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha kesehatan, dan lini usaha kecelakaan diri. Bila ditarik benang merah antara ketentuan yang diatur di dalam UU Perasuransian dengan praktik yang terjadi, maka secara kasat mata praktik penjaminan polis asuransi jiwa kelihatannya menyimpang dari rumusan yang ditetapkan di dalam undang-undang tersebut, sehingga dapat berakibat batalnya demi hukum kesepakatan-kesepakatan yang mengikutinya. Namun hal ini memerlukan analisis lebih mendalam dan menjadi salah satu fokus penelitian penulis.
Selain hal tersebut di atas, hal lain yang menjadi fokus kajian penulis adalah mengenai kedudukan hukum polis asuransi jiwa dalam kaitannya sebagai objek jaminan atas utang debitor kepada kreditor. Maksudnya adalah, apakah menurut ketentuan tentang jaminan kebendaan polis asuransi jiwa dapat dijadikan sebagai objek jaminan atau tidak?
Pada umumnya yang menjadi objek jaminan dalam pemberian fasilitas kredit berupa benda, baik bergerak, misalnya kendaraan dan mesin-mesin, maupun benda tidak bergerak, misalnya aset tanah dan/atau bangunan. Di samping itu dikenal pula jaminan perseorangan, di mana seseorang menjaminkan dirinya termasuk seluruh kekayaannya, sebagai jaminan pelunasan utang seseorang. Sesungguhnya syarat penyerahan jaminan ini oleh Bank masih dirasakan kurang menjamin pengembalian piutangnya, sehingga di dalam praktiknya kreditor mewajibkan debitor untuk
mengasuransikan jaminannya. Tujuan objek jaminan diasuransikan supaya bank sebagai kreditor tetap mendapat penggantian atas kerugian yang timbul terhadap objek jaminan sebagai akibat terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan terhadap objek jaminan, misalnya kebakaran dan huru-hara yang menyebabkan objek jaminan musnah. Walaupun demikian, asuransi jaminan ini bukanlah jaminan pokok, melainkan jaminan sekunder dalam suatu perjanjian utang-piutang (kredit).
Hampir serupa dengan asuransi terhadap objek jaminan, di dalam praktiknya khususnya pemberian fasilitas kredit oleh bank, kemungkinan ketidaksanggupan bayar oleh pihak debitor dapat timbul karena adanya peristiwa yang tidak dapat dihindarkan oleh diri debitor. Ketidaksanggupan membayar dari pihak debitor tersebut dapat berupa :
1. Ketidaksanggupan eksternal, baik yang disebabkan karena perubahan regulasi dari pemerintah yang mempengaruhi iklim usaha secara makro, maupun karena kondisi usaha debitor yang memang mengalami kemunduran;
2. Ketidaksanggupan internal, baik disebabkan oleh sakit berupa sakit secara fisik (kecelakaan, cacat, dan lain sebagainya) dan sakit secara mental (sakit ingatan, di bawah pengampuan, dan lain sebagainya), maupun karena kematian.
Khusus untuk mengantisipasi ketidaksanggupan debitor dalam mengembalikan pinjamannya karena kematian, maka kreditor mewajibkan
debitor untuk menjadi peserta asuransi jiwa, di mana pihak debitor sebagai pemegang polis dan pihak kreditor sebagai penerima manfaat. Artinya apabila terjadi risiko kematian terhadap debitor, maka pihak yang pertama kali berhak atas pencairan dana santunan kematian tersebut adalah kreditor sebesar sisa utang debitor. Kedudukan polis asuransi jiwa di sini dapat dikatakan sebagai back-up terhadap ketidaksanggupan debitor membayar utangnya karena kematian. Jadi tidak termasuk konsep jaminan kebendaan.
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa penggunaan polis asuransi jiwa yang disertakan sebagai syarat oleh lembaga pembiayaan dalam praktik pemberian fasilitas kredit, bukanlah merupakan sebuah jaminan atas utang debitor kepada kreditor, tetapi hanya sebagai pengaman atas hal yang tidak terduga terhadap diri debitor, yaitu kematian.
Dari uraian-uraian di atas, penulis mengangkat isu hukum yaitu, pertama, mengenai ketidakjelasan kedudukan hukum polis asuransi jiwa untuk dijadikan sebagai objek jaminan atas utang debitor kepada kreditor, serta kedua, mengenai adanya indikasi pelanggaran hukum oleh perusahaan asuransi yang melakukan praktik pemberian kredit kepada pemegang polis (nasabahnya) dengan objek jaminan berupa polis asuransi jiwa yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi jiwa itu sendiri. Hal-hal inilah yang dianggap oleh penulis menjadi permasalahan hukum yang akan diteliti.
B. Rumusan Masalah :
Permasalah yang akan dibahas pada karya ilmiah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah kedudukan hukum polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan atas utang debitor kepada kreditor?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum polis asuransi jiwa dalam praktik penjaminan polis pada perusahaan asuransi jiwa?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan memahami serta menjelaskan kedudukan hukum polis asuransi jiwa dalam sistem hukum jaminan kebendaan di Indonesia
2. Mengetahui dan memahami serta menjelaskan kedudukan hukum polis asuransi jiwa dalam praktik pemberian kredit oleh perusahaan asuransi kepada nasabahnya, dengan objek jaminan berupa polis asuransi jiwa.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan mengenai polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan atas utang, baik dari sudut pandang hukum jaminan, maupun dalam praktiknya berupa pemberian
fasilitas kredit oleh perusahaan asuransi jiwa kepada nasabahnya, pada khususnya.
2. Dalam tataran praktis, penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang sifatnya ilmiah dan objektif serta baru mengenai kedudukan hukum polis asuransi jiwa sebagai objek jaminan kredit.
E. Orisinalitas Penelitian
Sebagai pembanding dari penelitian yang peneliti lakukan, dapat diajukan 2 (dua) judul yang berkaitan, yang diperoleh dengan cara pencarian di perpustakaan dan melalui internet. Adapun judul-judul termaksud adalah sebagai berikut :
1. Tesis “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Tambahan Kredit Modal Kerja Di Bank.”. Penelitian ini dilakukan oleh Yesi Pangestu, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, tahun 2017. Dengan rumusan masalah pertama, apakah polis asuransi jiwa dapat dijadikan sebagai jaminan tambahan kredit modal kerja di bank. Kedua, bagaimanakah perlindungan hukum bagi bank terkait polis asuransi jiwa sebagai jaminan tambahan kredit modal kerja di bank.
Dalam penelitian tersebut terdapat kemiripan rumusan masalah, yaitu pada rumusan masalah pertama. Namun setelah peneliti membaca dengan seksama abstrak dari penelitian tersebut, ternyata terdapat perbedaan. Perbedaan yang dimaksud yaitu, pada hasil penelitian tersebut disebutkan bahwa “dalam polis asuransi jiwa kredit (Bringin
Life) terdapat piutang debitor kepada Bringin Life yaitu berupa uang pertanggungan sehingga dapat dinyatakan bahwa dalam polis Bringin Swakadana ini terdapat nilai ekonomis tetapi baru dapat dicairkan atau diuangkan ketika terjadi peristiwa tidak pasti yaitu kematian debitor.”
Sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi piutang adalah nilai tunai dari polis asuransi jiwa dan polis asuransi jiwa yang menjadi jaminan adalah bukan asuransi jiwa kredit.
2. Tesis “Polis Asuransi Jiwa Sebagai Jaminan Kredit Bank (Studi Terhadap PT. Asuransi Jiwa Central Asia Raya dan PT. Prudential Life Assurance) Di Medan”. Penelitian ini dilakukan oleh Rifky R. Purnomo, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 2006. Dengan rumusan masalah pertama, bagaimana syarat-syarat polis asuransi jiwa yang dapat diterima sebagai jaminan kredit di bank.
Kedua, bagaimana bentuk perlindungan dari pihak penanggung kepada pihak kreditor bila pembayaran pinjaman kredit belum lunas oleh pihak debitor. Ketiga, bagaimana cara penyelesaian sengketa bila klaim asuransi tidak dibayar pihak penanggung.
Berdasarkan kedua judul beserta rumusan masalahnya yang diajukan tersebut, ternyata terdapat perbedaan pembahasan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini terdapat kebaharuan yang dapat melengkapi penelitian yang telah dilakukan terdahulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Ketentuan Umum Asuransi Jiwa
Secara umum istilah asuransi atau pertanggungan dapat mempunyai berbagai arti dan batasan, sesuai dengan siapa yang memberikannya dan dipergunakan untuk sasaran apa. Dalam hal ini sesuai dengan sudut pandang dan manfaat yang akan diperoleh atau dituju, berkaitan dan sesuai dengan kepentingan masing-masing yang memberi batasan. Asuransi atau pertanggungan dapat ditelaah dan diberi batasan dari bidang-bidang ekonomi, hukum, bisnis, matematika, atau sosial.9
Asuransi pada dasarnya merupakan sebuah perjanjian. Asuransi adalah perjanjian di mana pihak tertanggung mengalihkan risiko kepada pihak penanggung dengan membayar sejumlah premi kepada penanggung dan penanggung akan mengganti kerugian terhadap tertanggung jika risiko yang diperjanjikan tersebut benar-benar terjadi.10
1. Pengertian Asuransi Jiwa
Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian- kerugian besar yang belum pasti. Dari perumusan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa, orang bersedia membayar kerugian yang sedikit untuk
9Sri Rejeki Hartono, 2008, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 78.
10Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 54.
masa sekarang, agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi pada waktu mendatang.11
Asuransi adalah sarana untuk mengalihkan risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari.12 Pengertian risiko menurut Ahmadi Miru, adalah kerugian yang timbul di luar kesalahan salah satu pihak.13 Sejalan dengan itu, menurut Junaidi Gani, timbulnya suatu risiko menjadi kenyataan merupakan sesuatu yang belum pasti, sementara kemungkinan bagi seseorang akan mengalami kerugian atau kehilangan yang dihadapi oleh setiap manusia merupakan suatu hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kemungkinan timbulnya suatu risiko menjadi kenyataan, adalah suatu hal yang diusahakan untuk tidak terjadi. seseorang yang tidak menginginkan suatu risiko menjadi kenyataan seharusnya mengusahakan supaya kehilangan atau kerugian itu tidak terjadi.14
Menurut Purwahid Patrik, pengertian risiko selalu berhubungan erat dengan adanya overmacht. Overmacht dapat lengkap artinya mengenai seluruh prestasi atau dapat sebagian, yaitu hanya sebagian saja dari prestasi yang tidak dapat dipenuhi oleh debitor. Misalnya : hibah, pinjam pakai, penitipan barang dengan cuma-cuma, maka risiko ada pada kreditor.
11A. Abbas Salim, 2012, Asuransi dan Manajemen Risiko, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1.
12Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit , hlm. 6.
13Ahmadi Miru, 2014, Hukum Kontrak Dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 130.
14A. Junaidi Gani, Op.Cit, hlm. 1.
Overmacht dapat tetap artinya dari debitor tidak dapat dipenuhi sama sekali.
Misalnya : tukar-menukar, jual beli dan sebagainya, maka perjanjian gugur demi hukum juga kewajiban dari pihak lawan.15
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut “KUHD”) yang berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1848 memberi definisi asuransi dalam Pasal 246 sebagai berikut :16
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Apabila dilihat dari pengertian asuransi di atas, rumusan umum mengenai asuransi yang terdapat dalam Pasal 246 tersebut lebih menitikberatkan kepada asuransi kerugian. Penitikberatan terhadap asuransi kerugian terlihat dari kata kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, lebih menonjol kepada sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Seharusnya, definisi atau pengertian yang diberikan KUHD berlaku umum untuk semua golongan jenis asuransi. Hal itu mengingat sifat dan fungsi definisi itu sendiri. Dengan demikian, Pasal 246 mengenai pengertian asuransi tidak dapat memberi gambaran umum mengenai semua jenis
15Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Semarang, disarikan dari hlm. 22-23.
16Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 6.
asuransi dalam pengertiannya sehingga kurang dapat memenuhi perkembangan zaman.17
Senada dengan hal di atas, menurut Abdulkadir Muhammad, setelah menguraikan definisi pertanggungan dalam Pasal 246 KUHD, maka ada satu unsur yang penting, yang menjadi pusat perhatian yaitu unsur “ganti kerugian”. Dengan pertanggungan dalam definisi ini menekankan pada pertanggungan kerugian saja, yang terletak dalam lapangan harta kekayaan, bagaimana dengan pertanggungan jiwa, apakah termasuk juga dalam pengertian pasal ini, mengingat jiwa manusia itu bukanlah termasuk harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Ternyata ketentuan Pasal 246 KUHD belum memuaskan.18
Selanjutnya masih menurut Abdulkadir Muhammad, ada definisi lain yang lebih luas lagi, yaitu ketentuan Pasal 41 New York Insurance Law.
Menurut ketentuan pasal tersebut :19
“The insurance contract is any agreement of other transaction whereby one party, herein called the insurer, is obligated to confer benefit of pecuniary value upon another party, herein called the insured or beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or is expected to have at the time of such happening, a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A fortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be, to a substantial extend beyond the control of either party”.
17Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 6-7.
18Abdulkadir Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Alumni, Bandung, hlm.
29. 19Ibid.
Dalam definisi di atas dijumpai rumusan “to confer benefit of pecuniary value”, tidak menggunakan rumusan “to confer indemnity of pecuniary value”.
Pengertian “benefit” tidak hanya meliputi “ganti kerugian”, melainkan juga meliputi pengertian “yang ada manfaatnya” bagi tertanggung. Jadi termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada pertanggungan jiwa.20
Dari apa yang telah diuraikan di atas, baik dari sudut pandang para ahli hukum maupun normatif semakin menguatkan pemikiran bahwa asuransi ditinjau dari sudut pandang hukum sebagai suatu perjanjian. Hanya saja perlu dikemukakan di sini, asuransi sebagai seuatu perjanjian, namun perjanjian yang dimaksud di sini mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya. Sebagaimana dikemukakan oleh A. Junaedy Ganie sebagai berikut :
“Perjanjian asuransi bersifat khas, yakni :21
1) Asuransi adalah perjanjian pribadi (personal contract). Hanya pihak yang mengikatkan diri yang berhak atas ganti kerugian. Polis asuransi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa seizin penanggung terutama jika akan meningkatkan risiko bagi penanggung.
2) Perjanjian Sepihak (unilateral contract). Pada perjanjian asuransi, seolah- olah hanya penanggung yang membuat perikatan untuk melakukan suatu prestasi walaupun polis bersifat kondisional, yaitu perjanjian asuransi
20Ibid, hlm. 30.
21Sentosa Sembiring, 2014, Hukum Asuransi, Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 19-20.
menjadi batal apabila tertanggung melanggar kondisi-kondisi tertentu dari polis.
3) Perjanjian bersyarat (conditional contract). Penanggung hanya akan memenuhi kewajiban apabila peristiwa yang diasuransikan benar-benar terjadi dan tertanggung memenuhi kewajiban pembayaran premi kepada penanggung.
4) Perjanjian dipersiapkan sepihak (contract of adhesion). Pada umumnya, penanggung telah mempersiapkan perjanjian asuransi untuk diterima atau ditolak oleh tertanggung sehingga isi perjanjian jarang melalui proses negosiasi. Tertanggung seringkali berada dalam posisi tidak menerima berarti tidak membeli atau menerima apa adanya.
5) Perjanjian pertukaran yang tidak seimbang (aleatory contract). Prestasi dipengaruhi oleh kemungkinan yang dapat timbul sehingga beban keuangan yang diperikatkan oleh para pihak tidak seimbang. Tertanggung membayar premi, tetapi jika tidak terjadi apa-apa, penanggung tidak membayar apapun. Sebaliknya, bila timbul sesuatu yang dipertanggungkan, premi yang dibayar tertanggung umumnya tidak sebanding dengan beban klaim yang harus dibayar oleh penanggung.
Sebagai suatu sistem hukum, dalam hukum atau perjanjian asuransi juga dikenal beberapa prinsip atau asas hukum yang menjadi latar belakang
dari peraturan yang bersangkutan. Prinsip-prinsip hukum asuransi adalah sebagai berikut :22
a) Asas indemnitas
Asas indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri (khusus untuk asuransi kerugian). Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung. Pengertian kerugian itu tidak boleh menyebabkan posisi keuangan pihak tertanggung menjadi lebih diuntungkan dari posisi sebelum menderita kerugian. Jadi terbatas sampai pada posisi awal, artinya, hanya mengembalikannya pada posisi semula.
Asas indemnitas sebagai landasan dasar sebagai mana dimaksud di atas pada hakikatnya mengandung dua aspek, yaitu :
1) Aspek pertama ialah berhubungan dengan tujuan dari perjanjian, harus ditujukkan kepada ganti kerugian, yang tidak boleh diarahkan bahwa pihak tertanggung karena pembayaran ganti rugi jelas akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Jadi bila terdapat klausul yang bertentangan dengan tujuan ini menyebabkan batalnya perjanjian.
22Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, disarikan dari hlm. 18-24.
2) Aspek kedua ialah berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian asuransi sebagai keseluruhan yang sah. Untuk keseluruhan atau sebagian tidak boleh bertentangan dengan aspek pertama.
b) Asas kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable interest)
Kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan asas utama kedua dalam perjanjian asuransi/pertanggungan. Setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi, harus mempunyai kepentingan yang diasuransikan, yang dimaksudkan memiliki kepentingan dalam hal ini adalah pihak yang tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.
c) Asas iktikad baik atau kejujuran (Utmost Good Faith)
Pada hakikatnya asas kejujuran adalah asas bagi setiap perjanjian asuransi yang ada dalam ketentuan KUH Perdata. Pasal 251 KUH Dagang mengatur pula mengenai iktikad baik atau kejujuran, hal ini disebabkan karena perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat khusus, dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian lain dalam KUH Perdata.
Tertanggung harus menyadari bahwa pihaknya mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya, dan selengkap-lengkapnya mengenai keadaan objek yang diasuransikan.
Pasal 251 menekankan bahwa asas iktikad baik atau kejujuran ini kepada tertanggung saja.
Secara umum, iktikad baik yang sempurna dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati, menurut hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang selengkap-lengkapnya, yang akan dapat memengaruhi keputusan pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik keterangan yang demikian itu diminta atau tidak.
d) Asas subrogasi
Fungsi dari asuransi pada dasaranya adalah untuk mengalihkan risiko dari tertanggung ke penanggung yang mana tertanggung membayar sejumlah premi dengan nilai tertentu yang ditentukan oleh penanggung.
Risiko dalam hal ini tentu saja risiko yang merugikan bagi penanggung sehingga tidak relevan apabila tertanggung akan mendapatkan keuntungan tertentu apabila kejadian yang dipertanggungkan tersebut terjadi, dalam hal ini tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas kergian yang dideritanya, akan tetapi tertanggung mendapatkan lagi ganti rugi dari pihak ketiga.
Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi yang terjadi karena ketentuan undang-undang yang mengatur sehingga asas subrogasi hanya akan dapat dilaksanakan jika memenuhi kedua unsur berikut ini:
1) Apabila tertanggung di samping mempunyai hak terhadap penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga.
2) Hak tersebut timbul, karena terjadinya suatu kerugian.
Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial tak terduga yang disebabkan karena meninggalnya terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama.23 Dalam Pasal 1 angka 1 UU Perasuransian, definisi asuransi adalah :
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :
a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.“
Dari ketentuan Pasal 1 angka 1 huruf b di atas, dalam kaitannya dengan asuransi jiwa, maka apabila difokuskan pada pengertian asuransi jiwa, rumusannya menjadi, asuransi jiwa adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
23A. Abbas Salim, Op.Cit, hlm. 25.
Dalam asuransi jiwa selain bersifat pengalihan risiko juga bersifat menabung. Hal ini karena apabila kematian lebih lama dari yang ditentukan dalam penutupan asuransi berarti penanggung akan memberikan sejumlah uang sebagaimana yang sudah ditetapkan sebelumnya.24
2. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa
Secara umum jenis asuransi jiwa dapat dibagi atas 4 (empat), yaitu :25 1. Asuransi Jiwa Berjangka (Term Life Insurance)
Asuransi jiwa berjangka atau term life insurance ini fungsinya untuk memberi proteksi kepada tertanggung dalam jangka waktu tertentu saja.
Asuransi jiwa ini biasanya menawarkan kontrak untuk 5, 10, atau 20 tahun, dengan premi tetap dan terhitung murah.
Beberapa keuntungan dari jenis asuransi ini adalah : 1) pemegang polis mendapatkan kebebasan dalam menentukan besarnya premi sesuai dengan kemampuan, serta 2) uang pertanggungan yang bisa diperoleh sebagai pemegang polis cukup besar jika dibandingkan total nilai pembayaran premi.
Sementara itu kekurangan dari asuransi jiwa jenis ini adalah tertanggung bisa kehilangan uang premi yang sudah dibayarkan atau premi hangus
24 Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, 2004, Hukum Asuransi; Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 65.
25 Diakses dari https://www.cermati.com/artikel/jenis-jenis-asuransi-jiwa-yang-mesti-anda- ketahui pada tanggal 18 Oktober 2017.
begitu kontrak selesai apabila tidak mengalami masalah kesehatan maupun meninggal dunia hingga masa kontrak tersebut selesai.
2. Asuransi Jiwa Seumur Hidup (Whole Life Insurance)
Asuransi jiwa jenis seumur hidup atau whole life insurance ini memberikan perlindungan seumur hidup, meski biasanya perusahaan asuransi membatasi manfaat perlindungan hingga hanya 100 tahun.
Keuntungan dari asuransi jiwa jenis ini adalah : 1) pemegang polis dimungkinkan untuk mendapatkan nilai tunai dari premi yang sudah dibayarkan, 2) apabila tertanggung tidak dapat membayar angsuran premi secara berkala, tertanggung dapat menggunakan nilai tunai dari premi yang sudah dibayar untuk membayar premi selanjutnya, 3) premi asuransi yang sudah dibayarkan tidak akan hangus jika tidak ada klaim, serta 4) saat kontrak berakhir, uang pertanggungan akan diberikan seluruhnya.
Sementara itu kekurangannya adalah : 1) preminya lebih besar ketimbang premi asuransi jiwa berjangka, bahkan bisa mencapai lebih dari dua kali lipatnya. Alasan dari premi yang tinggi ini adalah karena angka harapan hidup masyarakat Indonesia hanya 65 tahun untuk laki-laki dan 70 tahun untuk perempuan, sehingga kemungkinan klaim asuransi sebelum masa proteksi berakhir lebih tinggi, serta 2) nilai tunai dari total premi yang sudah dibayarkan tidak terlalu besar karena bunga untuk asuransi ini biasanya hanya sebesar 4% per tahun, dan angka ini belum dipotong pajak.
3. Asuransi Jiwa Dwiguna (Endowment Insurance)
Jenis asuransi jiwa dwiguna atau endowment insurance ini sesuai dengan namanya adalah asuransi yang memiliki dua manfaat, yaitu sebagai asuransi jiwa berjangka sekaligus tabungan. Artinya, pemegang polis dapat memperoleh nilai tunai dari premi asuransi yang sudah dibayarkan berupa uang pertanggungan jika tertanggung meninggal dunia dalam periode tertentu sesuai dengan kebijakan polis asuransi bersangkutan dan juga dapat menarik polis asuransi dalam waktu tertentu sebelum masa kontrak berakhir.
Keuntungan dari asuransi jiwa jenis ini adalah : 1) seperti yang sudah dijelaskan di atas, polis asuransi jiwa dapat diklaim ini sebelum masa kontrak berakhir. Namun penarikan dana ini hanya bisa dilakukan sekali dalam jangka waktu beberapa tahun sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat, serta 2) jika tertanggung masih hidup saat jangka waktu berakhir, tertanggung akan mendapatkan seluruh uang pertanggungan.
Sementara itu kekurangannya adalah karena jenis asuransi jiwa ini memiliki dua manfaat, yang seperti menggabungkan manfaat asuransi jiwa berjangka dengan asuransi jiwa seumur hidup, jadi preminya cukup besar, bisa mencapai jutaan rupiah per bulannya.
4. Asuransi Jiwa Unit Link
Asuransi jiwa jenis unit link ini menggabungkan manfaat asuransi dengan investasi, dan paling sering ditawarkan oleh agen asuransi.
Keuntungan dari asuransi jiwa jenis ini adalah pemegang polis tidak hanya mendapatkan jaminan perlindungan saja melainkan juga imbal hasil investasi dengan bunga yang cukup tinggi setiap tahunnya.
Sementara kerugiannya adalah : 1) imbal balik dari investasinya kurang signifikan jika dibandingkan dengan investasi murni seperti saham, pasar uang, atau reksadana, serta 2) uang pertanggungan yang akan diperoleh tergolong rendah, terutama jika investasinya gagal atau hanya menghasilkan keuntungan yang kecil.
3. Pengaturan Tentang Asuransi Jiwa
Asuransi dalam terminologi hukum merupakan perjanjian, oleh karena itu, perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi.26 Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUH Perdata”) berlaku juga bagi perjanjian asuransi.
Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam KUHD.27
Berbicara mengenai ketentuan hukum asuransi jiwa maka akan mengacu pada UU Perasuransian, KUH Perdata dan KUH Dagang.
26Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm. 82.
27Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
49.
1. Pengaturan Asuransi dalam K.U.H. Perdata
Hukum asuransi pada dasarnya berisikan ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari perjanjian pengalihan dan penerimaan risiko oleh para pihak. Hukum asuransi pada pokoknya merupakan objek hukum perdata. Dalam hal ini maka selain yang diatur secara khusus dalam KUHD, sebagai sebuah perjanjian, maka ketentuan umum asuransi diatur di dalam KUHPerdata.28
a. Pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sebaiknya diperhatikan, karena mengatur tentang perikatan-perikatan bersyarat.
b. Pasal 1313 KUH Perdata :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
c. Pasal 1318 KUH Perdata, ketentuan mengenai hak ahli waris dan orang-orang lain yang memperoleh hak dari seorang tertanggung/pemegang polis.
d. Pasal 1320 KUH Perdata :
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan ada empat buah syarat sah perjanjian, yakni :29
28Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 14.
29Ibid, hlm. 14-15.
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
Kesepakatan dalam mengikatkan diri dimulai saat terjadinya proses penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) antara penanggung dan tertanggung dalam perjanjian asuransi. Definisi offer dan acceptance pada perjanjian asuransi bersifat mutlak.
Offer atau penawaran berasal dari tertanggung, sedangkan acceptance berasal dari penanggung.
2) Kecakapan untuk membuat perikatan;
Dalam hal ini pihak yang melakukan perikatan adalah pihak yang cakap secara hukum, yaitu mereka yang sudah dewasa, tidak gila dan tidak dalam pengampuan.
3) Suatu hal tertentu;
Hal tertentu dalam perjanjian asuransi adalah saat penanggung menawarkan jaminan atas risiko yang dialami oleh tertanggung dengan mensyaratkan sejumlah premi tertentu yang sudah diperhitungkan nilainya dan dianggap seimbang.
4) Untuk sebab yang halal.
Perjanjian asuransi atas suatu sebab yang dilarang Undang- Undang, melanggar kesusilaan atau bertentangan dengan kepentingan umum seperti tertulis dalam Pasal 1337 KUHPerdata, maka perjanjiannya batal demi hukum.
Perihal kecakapan, perlu juga kiranya dikemukakan pendapat Peter Mahmud Marzuki dan Ahmadi Miru. Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam Pasal 330 KUH Perdata ditetapkan bahwa mereka yang belum 21 (duapuluh satu) tahun penuh dan belum kawin dianggap minderjarig atau belum cukup umur.
Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Staatblad 1931 Nomor 54. Oleh karena itulah semua golongan penduduk yang ada di Indonesia sebelum 21 (duapuluh satu) tahun penuh dan belum kawin dianggap minderjarig atau belum cukup umur.30
Kemudian menurut Ahmadi Miru, kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 (duapuluh satu) tahun. Khusus untuk orang yang sudah menikah sebelum usia 21 (duapuluh satu) tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 (duapuluh satu) tahun. Jadi janda dan duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 (duapuluh satu) tahun.31
30Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prana Media Group, Jakarta, hlm.
68. 31Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2014, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 68.
Sedangkan menurut Irma Devita, pada tanggal 13 Oktober 1976 Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Yurisprudensi Nomor 477 yang menyatakan Usia Dewasa adalah 18 Tahun atau sudah pernah menikah. Hal ini didukung pula oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinyatakan dalam pasal 50 Ayat (1). Pendapat tentang batas usia dewasa ini juga diikuti dan diterjemahkan dalam pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa “Seorang anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pihak Notaris sendiri, yang berwenang untuk membuat akta-akta notaril yang bersifat otentik, sejak tanggal 6 Oktober 2004 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014), terdapat pergeseran dalam menentukan usia dewasa. Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa ”Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a) Paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b) Cakap melakukan perbuatan hukum.”32
Dalam kaitannya dengan kedewasaan, dapat pula dikemukakan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
32Diakses dari http://irmadevita.com/2008/batas-usia-dewasa/ pada tanggal 23 Januari 2018.
1) Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, usia 18 tahun;
2) Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, usia 17 tahun atau telah menikah;
3) Pasal 1 angka 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, usia 17 tahun atau telah menikah;
4) Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 18 tahun;
5) Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, usia 18 tahun untuk penghadap dan usia 18 tahun untuk saksi.
e. Pasal 1338 KUH Perdata :
Ayat (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ayat (2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Ayat (3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
f. Pasal 1339 KUH Perdata, pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaaan, dan undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah isi perjanjian, kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.33
g. Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUH Perdata, mengenai penafsiran perjanjian yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam perjanjian asuransi.
h. Pasal 1774 KUH Perdata
Perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774 KUHPerdata yang menentukan;
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: perjanjian pertanggungan; bunga cagak hidup; perjudian dan pertaruhan.
Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.”
Terkait dengan ketentuan pasal di atas, asuransi digolongkan sebagai perjanjian untung-untungan seperti perjudian. Karakteristik perjanjian untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif dengan tujuan utama hanya kepentingan keuangan padahal perjanjian asuransi pada dasarnya mempunyai
33Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op.Cit, hlm. 79.
tujuan yang lebih pasti, yaitu memperalihkan risiko yang sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada dalam posisi yang sama.34
2. Pengaturan Asuransi dalam K.U.H. Dagang
Dalam KUHD, ada dua cara pengaturan hukum pertanggungan, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan pengaturan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX dan pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X, Buku II Bab IX dan Bab X. Adapun perincian isi dari bab-bab tersebut adalah sebagai berikut :
Buku I, Bab IX : tentang pertanggungan pada umumnya
Bab X : tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakaran (bagian ke 1)
tentang pertanggungan terhadap bahaya yang mengancamhasil pertanian yang belum dipanen (bagian ke 2)
tentang pertanggungan jiwa (bagian ke 3)
Buku II, Bab IX: tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut Bab X : tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam
pengangkutan di darat, di sugai dan perairan pedalaman.35
34Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.cit, hlm. 15-16.
Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis asuransi, dalam KUHD terdapat beberapa peraturan lainnya yaitu : a) Pasal 254 KUHD yang melarang pihak dalam perjanjian, baik pada
waktu diadakan perjanjian maupun selama berlangsungnya perjanjian asuransi menyatakan melepaskan hak-hak yang oleh ketentuan undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian asuransi batal.
Ketentuan ini diberlakukan terutama untuk mencegah supaya perjanjian asuransi tidak menjadi perjudian dan pertaruhan.36
b) Pasal 257 KUHD merupakan penerobosan dari ketentuan Pasal 255 KUHD. Pasal 255 KUHD menentukan bahwa asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Memperhatikan Pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah polis merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian asuransi. Hal ini ternyata berbeda apabila diperhatikan Pasal 257 KUHD yang mengatur bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung, mulai berlaku sejak saat itu bahkan sebelum polisnya ditandatangani.
Dengan demikian perjanjian asuransi merupakan perjanjian
35Abdulkadir Muhammad, 1983, Op.Cit, hlm. 20.
36Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit, hlm. 17.
konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat oleh kedua belah pihak. Dalam hal polis hanya merupakan alat bukti saja. Dalam hubungan dengan hal ini apabila kedua belah pihak telah menutup perjanjian asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. adapun yang harus dilakukan oleh tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian asuransi dimaksud sudah terbentuk.37
c) Pasal 258 KUHD mengenai pembuktian adanya perjanjian asuransi.
Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian alat pembuktian yang lain juga boleh dipergunakan apabila sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan. Istilah tulisan dalam bagian permulaan pasal tersebut dapat diartikan sebagai polis. Tetapi istilah tulisan dalam bagian terakhir harus diartikan surat bukan polis.
Biasanya dalam praktik perjanjian asuransi disamping polis juga ada surat lain seperti surat menyurat (korespodensi) antara tertanggung dan penanggung, nota penutupan dan sebagainya.38
d) Pasal 260 KUHD dan 261 KUHD mengatur tentang asuransi yang ditutup dengan perantaraan makelar. Dari Pasal 260 KUHD diketahui
37Ibid, hlm. 18.
38Ibid, hlm. 19.
bahwa dalam perjanjian asuransi yang ditutup dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan di dalam waktu 8 hari kerja setelah ditutupnya perjanjian.
Apabila waktu yang ditentukan di atas dilampaui, tertanggung perlu memperhatikan Pasal 261 KUHD yang menyatakan bahwa jika ada kelalaian, dalam hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 259 dan 260 KUHD tersebut, maka wajiblah penanggung atau makelar yang bersangkutan memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam hal timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian tersebut.39
e) Pasal 269 KUHD mengatur bahwa dalam perjanjian asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara subjektif. Maksudnya bahwa apabila asuransi ketika ditutup, peristiwanya sudah terjadi adalah batal jika tertanggung atau orang yang tanpa pemberian kuasa telah mengadakan perjanjian asuransi, telah mengetahui bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah terjadi. Dengan demikian apabila tertanggung belum mengetahui bahwa kerugian/peristiwa telah terjadi, maka perjanjian tersebut tidak menjadi batal.40
39Ibid, hlm. 20-21.
40Ibid, hlm. 24.
f) Pasal 271 KUHD mengatur mengenai hak penanggung untuk menutup kembali (reasuransi) penanggungannya kepada perusahaan asuransi yang lain.41
Pengaturan tentang Asuransi (pertanggungan) Jiwa dalam KUHD cukup singkat, hanya 7 (tujuh) pasal, yakni dari Pasal 302 sampai 308.
Apabila diperhatikan ke tujuh pasal tersebut tidak ada rumusan tentang apa yang dimaksud dengan asuransi jiwa. Dalam Pasal 302 KUHD hanya dikemukakan :
“Jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”42
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa : Pertama, yang berkepentingan dalam asuransi jiwa adalah orang yang bersangkutan.
Untuk itu orang tersebut dapat mengasuransikan jiwanya sendiri. Jadi yang bertindak sebagai tertanggung adalah yang bersangkutan. Kedua, yang berkepentingan dalam hal ini bukan yang bersangkutan, akan tetapi orang lain. Sekalipun demikian orang yang akan mengasuransikan jiwa seseorang tersebut harus ada hubungan hukum, misalnya orang tua mengasuransikan anak, pemberi kerja atau perusahaan mengasuransikan karyawannya. Dalam hal ini orang tua dan atau pun perusahaan dapat mengasuransikan jiwa orang tersebut karena mempunyai kepentingan,
41Ibid, hlm. 25.
42Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm. 80.
bahkan sekalipun orang yang jiwanya diasuransikan tidak mengetahui.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 303 KUHD, sebagai berikut :
“Yang berkepentingan dapat mengadakan pertanggungan bahkan di luar pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan itu.”43
4. Polis Asuransi Jiwa
4.1. Pengertian Polis Asuransi Jiwa
Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.44
Masalah pembuatan kontrak asuransi bukan hanya membuat konsep instrumen hukum. Penyusunan dokumen didahului oleh analisi yang intensif terhadap perekonomian dan pertimbangan-pertimbangan teknis untuk menentukan bukan saja apa jenis asuransi yang hendak dicantumkan, tetapi juga tarif serta pembatasan-pembatasannya. Secara teknis, hal tersebut disebut dengan “keputusan underwriting” dan harus
43Ibid.
44Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm. 122.
dibuat oleh spesialis-spesialis seperti insinyur, ahli statistik, dokter, ahli cuaca, dan ahli ekonomi.45
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung. Undang-undang menerangkan bahwa polis dibuat dan ditandatangani oleh penanggung sebagaimana diatur dalam Pasal 256 Ayat (3) KUHD, yaitu polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.46
Pasal 257 KUHD merupakan penerobosan dari ketentuan Pasal 255 KUHD. Pasal 255 KUHD menentukan bahwa asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Memperhatikan Pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah polis merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian asuransi. Hal ini ternyata berbeda apapbila diperhatikan Pasal 257 KUHD yang mengatur bahwa perjanjian asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung, mulai berlaku sejak saat itu bahkan
45Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan, Op.Cit, hlm. 35.
46Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, hlm. 123-124.
sebelum polisnya ditandatangani. Dengan demikian perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat oleh kedua belah pihak. Dalam hal polis hanya merupakan alat bukti saja. Dalam hubungan dengan hal ini apabila kedua belah pihak telah menutup perjanjian asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. adapun yang harus dilakukan oleh tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian asuransi dimaksud sudah terbentuk.47
Sifat bentuk persetujuan “consensueel” ialah, bahwa persetujuan dianggap terjadi dan sah dengan mulai berlakunya perhubungan hukum, apabila kedua belah pihak ternyata masing-masing menyetujui akan mengadakan perjanjian-perjanjian yang bersangkutan misalnya kontrak- kontrak mengenai jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya (consensus = perizinan atau permufakatan).48
Mengingat kedudukan polis sangat penting dalam perjanjian asuransi, Menteri Keuangan sebagai regulator dalam bidang perasuransian menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha
47Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, Op.Cit, hlm. 18.
48R. Wirjono Prodjodikoro, 1979, Azas-Azas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung, hlm.
34.
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (KMK No.422/2003).
Dalam Pasal 8 dikemukakan sebagai berikut :
“Polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai :
a. Saat berlakunya pertanggungan;
b. Uraian manfaat yang diperjanjikan;
c. Cara pembayaran premi;
d. Tenggang waktu (grace period) pembayaran premi;
e. Kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah;
f. Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi;
dan
g. Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati.49 Isi polis asuransi jiwa tidak ditentukan sebagai tambahan dari asuransi pada umumnya, akan tetapi ditentukan sendiri dalam Pasal 304 KUHD yang menentukan syarat polis asuransi jiwa adalah :
a. Hari diadakan asuransi jiwa.
b. Nama dari pihak yang dijamin.
49Sentosa Sembiring, Op.Cit, hlm. 48.