C. Konsep Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korups
1. Pengaturan Hukum Dalam Lingkup Hukum nasional
Melalui proses penyitaan yang dilakukan, hasil dari tindak pidana korupsi dijadikan barang bukti dan jika telah dijatuhkan putusan pemidanaan maka akan dieksekusi dan dikembalikan kepada negara.
Penyitaan dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia diantaranya:
Penyitaan dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia diantaranya:
a. KUHAP
Pasal 1 butir 16 KUHAP:
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda-benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Andi Hamzah, dalam bukunya “Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik Dan Sarana Hukum” menarik kesimpulan unsur-unsur penyitaan dari defenisi KUHAP tersebut, menjadi:207
1) Penyitaan termasuk dalam tahap penyidikan karena dikatakan “....serangkaian tindakan penyidik untuk..”;
206 M. Yahya Harahap, (1), op.cit, hal. 265.
207 Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik Dan Sarana
2) Penyitaan bersifat pengambilalihan atau penyimpanan dibawah penguasaan penyidik suatu benda milik orang lain;
3) Benda yang disita itu berupa benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud;
4) Penyitaan itu untuk tujuan kepentingan pembuktian. Disini terdapat kekurangan ketentuan KUHAP ini, karena sesungguhnya penyitaan seharusnya dapat dilakukan bukan saja untuk kepentingan pembuktian, tetapi juga untuk benda-benda yang dapat dirampas.
Berkaitan dengan hal tersebut, Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, dalam buku “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek” mengemukakan tata cara penyitaan agar tidak melanggar hak asasi manusia, diantaranya:208
1) Berdasarkan surat ijin ketua pengadilan negeri kecuali tertangkap tangan hanya atas benda bergerak. Pasal 38 KUHAP menentukan:
“(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin ketua pengadilan negeri setempat;
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda-benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”
Dengan keadaan yang sangat perlu dan mendesak ini dapat dianalogikan dengan penjelasan pasal 34 ayat (1) KUHAP, sehingga penyitaan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak ialah bilamana ditempat yang akan disita diduga keras terdapat benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau
208 Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
dipindahkan, sedangkan surat ijin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara layak dan dalam waktu yang singkat. Dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP, Pasal 89 UU Peradilan Militer). Dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan (Pasal 41 KUHAP dan Pasal 90 UU Peradilan Militer);
2) Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal. Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita (Pasal 128 KUHAP);
3) Penyitaan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi. Dalam Pasal 129 ayat (1) KUHAP diterangkan, penyidik memperlihatkan benda yang akan disita atau kepada keluarganya dan dapat diminta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepada desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi;
4) Penyidik membuat berita acara yang dibacakan, ditandatangani serta saliannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita, keluarganya
dan kepala desa. Dalam Pasal 129 ayat (2), (3), (4) KUHAP dikatakan, penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau kepala lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam hal orang darimana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang darimana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa;
5) Benda sitaan dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan dicap jabatan. Menurut Pasal 130 KUHAP benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khasnya, tempat, hari, tanggal penyitaan, identitas orang darimana benda itu disita, dan lain-lain yang kemudian diberi lak dan dicap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.
Mengenai benda yang dapat disita, diantaranya dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP:
“a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkannya;
c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.”
KUHAP juga mengatur ketentuan bahwa benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit209
Andi Hamzah, menyatakan bahwa jika penyitaan dihubungkan dengan perampasan sebagai pidana tambahan
dapat disita juga untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, jika dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 (Pasal 39 ayat (2) KUHAP).
210
melalui putusan hakim, maka harus diperhatikan Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa yang dapat dirampas adalah:211
1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan;
2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan.
Menurut Andi Hamzah, pembatasan Pasal 39 ayat (1) KUHP tersebut bahwa dengan sengaja telah dipakai untuk melakukan kejahatan, diperluas oleh
209 Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, pengertian pailit merujuk pada Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu untuk ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, defenisi kepailitan merujuk pada Pasal 1 ayat (1), sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
210
KUHAP, op.cit, dalam Pasal 10 menyebutkan jenis pidana tambahan yaitu: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim. Sedang dalam RUU KUHP pada Pasal Pasal 67 ayat (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
ayat (2) yang memungkinkan delik yang dilakukan tidak dengan sengaja atau pelanggaran, pidana perampasan dapat dijatuhkan asal ditentukan oleh undang- undang. Yang dimaksud dengan undang-undang tersebut adalah perundang- undangan khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Narkotika dan sebagainya.212
1) Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim:
Penyitaan berakhir menurut hukum acara pidana disebabkan dalam : “Pasal 46 KUHAP:
a) Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; b) Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau tidak merupakan delik;
c) Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik. 2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut keputusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara lain.”
Selain itu, penyitaan juga diatur dalam perundang-undangan lain. Hal ini dibenarkan oleh Pasal 284 KUHP.
b. Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Pasal 18 ayat (1):
“Pegawai-pegawai pengusut setiap waktu berwenang mensita atau menuntut penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapat keterangan atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan menurut ketentuan undang-undang.”
212 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (3), (Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 148.
Ketentuan yang menyimpang sama sekali dari hukum acara pidana adalah dapatnya disita barang-barang yang tidak tetap yang tidak berwujud, yang disebutkan oleh Pasal 18 ayat (3) a:
“Sekedar mengenai barang-barang tidak tetap yang tidak berwujud yang tidak didaftarkan dalam suatu daftar, dengan penyerahan dan pengiriman dengan suatu tercatat, sepucuk surat itu dalam daftar tersebut kepada yang berhak dan penyalinan dan pencatatan salinan keterangan dalam daftar itu.”
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam perkara korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 32, 33, 34 dan 38 mengenai gugatan perdata serta ketentuan Pasal 38 ayat (5), 38 ayat (6), 38B ayat (2) dengan jalur pidana melalui proses penyitaan dan perampasan, diantaranya:
“Pasal 32
1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan;
2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”
“Pasal 33
Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
“Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
“Pasal 38 ayat (5)
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”
“Pasal 38 ayat (6)
Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.”
“Pasal 38B Ayat (2)
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.”
Lilik Mulyadi, dalam bukunya “Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, bahwa ketentuan diatas memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan disidang pengadilan.213
Pada hakikatnya, menurut Lilik Mulyadi aspek pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui prosedur pidana dapat berupa penjatuhan pidana kepada pelakunya seperti pidana denda maupun terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti. Selain anasir itu, terhadap pengembalian aset tindak pidana korupsi
213 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 234.
dapat juga melalui gugatan secara perdata di Pengadilan Negeri. Apabila jalan ini yang akan ditempuh hakikatnya keberhasilan pengembalian aset diharapkan relatif lebih tinggi karena pembuktian dari hukum perdata semata-mata mencari kebenaran formal (formele waarheid). Dengan adanya jalinan dan tindakan dalam tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa sehingga pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi bersifat integral, yang diharapkan nantinya penanggulangan korupsi relatif mendapatkan hasil seoptimal mungkin.214
Apabila dirinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini menurut Lilik Mulyadi, dilakukan melalui proses persidangan bahwa hakim di samping menjatuhkan pidana pokok, juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkolerasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:215
1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga barang yang menggantikan barang-barang tersebut (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001);
2) Pembayaran uang pengganti yang sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti, paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan yang telah
214 Ibid, hal. 236. 215 Ibid, hal 237-239.
memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
3) Pidana denda dalam aspek Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat
determinate sentence dan indifinite sentence;
4) Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding216
216 Dalam KUHAP Pasal 67, menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang mengangkut masalah kurang tepatnya peneraoan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. M. Yahya Harahap S.H., dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, sebab putusan pengadilan tingkat pertama diperiksa dan diputus pada tingkat banding dengan putusan tingkat terkahir, karena terdakwa dan penuntut umum memintanya dan sebabnya mereka meminta diperiksa pada tingkat banding, karena keberatan dan tidak setuju atas putusan yang dijatuhkan pengadilan pada tingkat pertama.
kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pengumuman (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001); 5) Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok (Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Lebih lanjut menurut Lilik Mulyadi, pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui jalur keperdataan dapat dilakukan melalui aspek-aspek sebagai berikut:217
1) Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang telah disebutkan sebelumnya. Konstruksi pasal ini menurut Lilik Mulyadi banyak menimbulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk undang-undang, berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah sebagian inti delik telah adanya kerugian keuangan yang telah terbukti, walaupun bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas tidak terbukti, tetap dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal ini mudah dilakukan, tetapi pada praktiknya
banyak mengandung kompleksitas. Agus Subroto yang dikutip oleh Lilik Mulyadi, menegaskan yang paling elementer apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat, tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa Pengacara Negara membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR218, 284 RBg, dan Pasal 1866219
2) Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya (Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
KUHPerdata.
3) Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketentuan Pasal 34, Pasal 38B ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa:
“Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
218 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1985), hal. 121, dalam Pasal 164, maka yang disebut alat-alat bukti yaitu: bukti dengan surat; bukti dengan saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan; sumpah, didalam segala hal dengan memperhatikan aturan- aturan yang ditetapkan dalam pasal tersebut.
219 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1866, alat-alat bukti terdiri atas : bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; sumpah, segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab berikut.
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
Lilik Mulyadi, juga berpendapat selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan, dalam praktik keperdataan juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dengan modus operandi pengembalian tersebut secara sukarela. Misalnya dalam praktek yang terjadi dalam perkara Abdullah Puteh sebagaimana telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1344K/Pid/2005. Terhadap pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut baik melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan serta praktik peradilan berupa tindakan lain sebagaimana dalam bagan seperti berikut ini:
Bagan 2: Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi220
220 Lilik Mulyadi, Op.cit, hal. 242.
Prosedur Perdata
Prosedur Lain Prosedur Pidana
Pembayaran uang pengganti
Pidana denda
Penetapan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal
Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bukan dari tindak pidana korupsi
Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut korupsi
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia masih dalam proses penyidikan Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap
Pelaku tindak pidana korupsi
mengembalikan aset secara sukarela
Perampasan barang bergerak dan tidak bergerak yang digunakan/diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Pengembalian Aset Pelaku TPK
Gambaran prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur pidana yang dapat dilakukan KPK melalui kewenangan penyelidikan dan penyidikan, menurut Himawan dalam sebuah karya tulis ilmiah di Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Mayarakat Universitas Prof. Dr. Hazairin S.H., Bengkulu yang berjudul “Mekanisme Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, yaitu berupa:221
1) Penelusuran Aset
Penelusuran aset atau pelacakan aset (asset tracing) pengertiannya tidak dikenal dalam hukum perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam kerangka hukum acara pidana, menurut Himawan kegiatan pelacakan memiliki kaitan yang erat dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan meskipun tidak disebutkan. Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP memberikan definisi penyidikan. Penelusuran aset ditujukan