• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Pengelolaan Sum- Sum-berdaya Hutan di Jawa yang Kompleks,

DENGAN MODEL KOLABORATIF HOLISTIK

B. Metode Penelitian

2. Pengaturan Hukum Pengelolaan Sum- Sum-berdaya Hutan di Jawa yang Kompleks,

Dinamis dan Penuh Ketidak pastian dapat Mewujudkan Pemikiran Filosofis Menuju Tatanan Hukum Holistik.

Berangkat dari pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang cenderung bersifat top down, legal formal, sistematis dan logis yang merupakan hegemoni paradigma positivisme (hukum modern) yang identik dengan peraturan perundang-undangan. Di mana sistem hukum modern positivistik mencerminkan logika-empirisme dengan memahami hukum secara rasional dan hukum sebagai realitas objektif di masyarakat. Sistem ilmu hukum modern positivistik memberikan dominasi peran manusia dalam menggali rasionalitas dan kenyataan objektif, serta melepaskan dari peran Tuhan. Sistem hukum logika-empirisme seperti tergambarkan oleh konsep aufklarung yang mengutamakan

13 Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, 2015, Hukum Profetik, Genta Publising, Yogyakarta., hal 216

76

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

kebebasan asasi manusia dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu dan Rousseau.

Sistem hukum modern positivistik yang mengesampingkan peran Tuhan akhirnya menimbulkan masalah-masalah dalam dunia hukum. Kebebasan asasi manusia dengan rasio dan realitasnya. Kehidupan manusia menjadi kering dan kehilangan makna, karena ilmu hukum modern positivistik tidak dapat menyentuh pada aras batiniah yang spiritual. Immanuel Kant dengan konsep idealisme berusaha tidak membatasi pada logika-empirisme, tetapi juga melihat etika dan teologi keTuhanan. Begitu juga dengan Hegel yang tidak membatasi pada logika-empiris, tetapi juga melihat sejarah, negara, agama dan Tuhan.

Kini era modernisme itu sudah hampir berakhir. Fenomena postmodern telah hadir menandai berakhirnya sebuah cara pandang modernisme yang bersifat universal. Etos postmodern adalah menolak penjelasan yang universal dan konsisten. Mereka menggantikan semua itu dengan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan maupun terhadap apa yang bersifat khusus (partikular dan lokal). Posmodern menolak penekanan pada ketunggalan metode penemuan ilmiah melalui scientific method, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunai lebih baik. Secara singkat dapat dikatan postmodernisme anti-modernisme, dan secara mutatis mutadis postpositivisme anti positivisme.

Menurut teori ketidakteraturan hukum oleh Charles Sampford dalam bukunya “The

Disorder of Law, A Critique of Legal Theory,

Asumsi dasar teori ini adalah hubungan-hubungan social bersifat asimetris. Hal ini terjadi berlangsung karena

hubungan-hubungan tersebut bertumpu pada kekuatan dan wewenang individu atau pihak-pihak. Para pihak mempersepsikan secara berbeda-beda mengenai hubungan social termasuk hubungan hokum. Oleh karenanya, hal yang dipermukaan kelihatan teratur, tertib dan pasti apabila dicermati ternyata penuh dengan ketidakteraturan, ketidaktertiban dan ketidakpastian. Keadaan yang tidak memiliki formal-formal atau struktur yang pasti yang oleh Sampford diistilahkan dengan melle.

Atas dasar asumsi yang demikian itu menurut Sampford, hukum sesungguhnya bukan merupakan institusi yang sistematis, logis-rasional melainkan merupakan realitas yang cair (legal melee). Berdasarkan hal demikian makna suatu undang-undang bukan semata-mata ditentukan oleh yang tersurat dalam aturan formal tersebut melainkan ditentukan posisi posisi individu atau para pihak yang melakukan hubungan hukum.

Sebagaimana pendapat di atas Sampford menyatakan bahwa masyarakat pada dasarnya tanpa sistem atau dalam kondisi asimetris yang disebut ilmu hukum nonsitemik. Hukum adalah bagian dari onsi masyarakat, dalam keadaan yang demikian maka hukumpun melee (legal melee). Dalam pemikiran ilmu hukum nonsistemik terdapat pluralitas, transformasi, keanekaragaman, perbedaan, diversitas yang selama ini keberadaanya tidak dianggap dalam tradisi hukum yang sistemik.14

Dengan demikian dipandang dari sudut teori ketidakteraturan hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang digambarkan bersifat kompleks, dinamis dan penuh dengan ketidakpastian, dimana adanya peran masyarakat lokal dengan kearifannya terkadang tidak dapat dilakukan dengan

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

pendekatan legal positivistik yang bersifat linier-mekanistik tidak boleh digolongkan sebagai realitas yang salah atau menyimpang. Untuk melihat hal yang demikian teori ketidakteraturan hukum Sampford mendorong hadirnya teori kekacauan (chaos theory) atau teori kekacauan dalam hukum (chaos theory

of law).

Berdasarkan teori kekacauan hukum melihat pemahaman bahwa hukum meupakan realitas yang kompleks, tak teramalkan, simpangsiur, dan acak. Pandangan teori ini indeterministik artinya memandang segala sesuatu serba tak pasti. Tesis umunya bahwa kekacauan sebagai metafora dari fungsi hukum merupakan sarana kuat untuk menggambarkan dan memahami hukum dengan lebih baik. Sejalan hal demikian Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip Sudjito15 berpandangan bahwa untuk memahami realitas hukum yang kompleks, tentulah tidak dapat dilakukan dengan pendekatan linier-mekanistik-rasional, seperti dalam ajaran rechdogmatik atau legal-positivisme. Untuk menghadapi realitas yang kompleks diperlukan ketersediaan ilmuwan untuk melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur melainkan keadaan yang kacau (chaos).

Perlu diketahui bahwa hingga saat ini chaos theory sering dipandang dengan pandangan yang keliru, termasuk chaos

theory of law ketidakteraturan belaka. Chaos theory tidak menyatakan bahwa system yang

teratur itu tidak ada. Istilah chaos dalam

chaos theory justru merupakan “keteraturan”,

bahkan esensi keteraturan. Ketidkteraturan memang hadir ketika ilmuwan mengambil pandangan reduksionistik dan memusatkan perhatian pada perilaku saja, tetapi kalau sikap

15 Sudjito, Opcit, hal 27

holistic yang digunakan dalam memandang pada perilaku keseluruhan system terpadu keteraturan yang akan nampak. Jadi chaos

theory yang dianggap berkenaan dengan

ketidakteraturan pada saat yang sama berbicara tentang keteraturan. Ketidakteraturan dalam pandangan reduksionistik merupakan keteraturan dalam pandangan holistik.

Adanya hukum pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang bersifat kompleks, dinamis dan penuh ketidakpastian harus dipandang dari hukum sebagai realitas yang utuh tanpa adanya reduksi bertumpu pada paradigma holistik..

Paradigma holistik yang dipelopori oleh Fritjof Tjapra16 turut mempengaruhi pemikiran ilmu hukum di Indonesia. Terdapat beberapa ilmu hukum yang menggunakan konsep holistik untuk menganalisis dan metodologis.. Menurutnya paradigma hukum holistik diawali dari tulisan Tjapra “turning

point” atau sebagai masa ketidakmampuan

melihat kehidupan secara utuh, sehingga menyebabkan krisis dimensi intelektual, moral dan spiritual. Manusia tidak dapat memusatkan perhatian pada objek yang dipisahkan dari lingkungannya dan membiarkan objek ter sebut bersatu dengan lingkungannya. Kehidupan adalah suatu jaringan besar, sehingga terhadap masing-masing bagian dapat dilakukan studi, tetapi masing-masing tidak dapat dipelajari dan dipahami secara terisolasi. Menurut Theresia17 paradigma hukum holistik berusaha melihat gejala-gejala

16 Fritjof Tjapra, 2007, The Turning Point; terjemahan Titik Balik Peradaban, Penerbit Jejak Yogyakarta, hal 47

17 Theresia Anita Christiani, 2008, Studi Hukum Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol 26

78

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

dalam masyarakat sebagai fenomena hukum dengan tidak meninggalkan realitas kehidupan masyarakat, sehingga gambaran hukum yang dihasilkan menjadi utuh.

Pendapat serupa dinyatakan Khudzaifah Dimyati bahwa pemikiran untuk mengem-bangkan teori hukum di Indonesia di masa depan tidak hanya mengadopsi pemikiran yang memiliki setting Indonesia akan tetapi juga mempertimbangkan relasi-relasi hukum yang bersifat global sebagai bahan pemikiran dan membangun teori hokum di Indonesia merupakan intellectual activity yang membutuhkan pemikiran yang mendalam dengan perspektif holistik.18

Berdasarkan realitas yang ada dalam pengelolaan sumberdaya hutan harus diterima secara utuh akan menjadi sebuah tatanan (order). Tatanan(oder) yang utuh merupakan kesatuan antara tujuan, asas-asas hokum dan prosedur hukum. Tujuan dan asas-asas hukum pada dasarnya merupakan penampakan dari niat sebagai nilai moralitas hukum yang paling dasar, sedangkan prosedur hukum merupakan penjabaran dari asas-asas hukum tersebut. Dalam konteks paradigma holistik tatanan (order) yang progresif membuat ruang gerak terhadap pluralisme hukum dan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk bermusyawarah menemukan kebenaran yang lebih dekat dengan Allah Swt.

Hukum pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tatanan (order) bukan merupakan tatanan yang mutlak serta final melainkan berada dalam proses untuk terus menjadi tatanan yang terus menerus mebangun menuju tingkat kesempurnaan yang baik sehingga hokum pengelolaan sumberdaya hutan dapat

18 Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, hal vii

menjadi sarana untuk mewujudkan tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selama proses berlangsung perlu kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi baik tingkat lokal, nasional maupun global dan hendaknya tetap konsisten mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan untuk memihak kepentingan kelompok masyarakat ataupun Negara tertentu.

Tolok ukur keadilan dan kesejahteraan itu bukan semata-mata pada hal-hal yang rasional dan bersifat lahiriah melainkan mencakup ter-penuhinya kebutuhan-kebutuhan bathiniah, metafisis dan spiritual-religius. Suasana tertib, teratur da pasti itu ternyata tidak serta merta melekat dalam kehidupan masyarakat. Betapapun masyarakat maupun pemerintah seakan nyakin bahwa ketertiban, keteraturan dan kepastian itu merupakan condition sine

quanon bagi terwujudnya kehidupan yang

lebih produktif, tetapi realitas dari dan di dalam ketertiban, keteraturan dan kepastian senantiasa muncul ketidaktertiban, ketidak-teraturan dan ketidakpastian. Order dan disorder senantiasa ada dalam aras proses social yang berkesinambungan. Melalui proses social yang didasarkan pada paradigma holistik semua kekacauan (chaos) dapat dikelola sebuah peluang terwujudnya system hokum sebagai tatanan (order) yang utuh. Ketertiban, keteraturan dan kepastian tidak sekedar ditempatkan pada konteks hukum Negara, tetapi juga dalam konteks sunatullah yang menghargai pluralisme hukum dalam proses yang berporos pada Allah Swtdan menuju keridaan Allah Swt. Proses ini diawali dari diri setiap manusia (ibda’ bi nafsihi) sebagai manuaia pribadi, makluk sosial dan sekaligus khalifatullah.

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

D. Kesimpulan

1. Pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa dalam tataran yuridis normatif member-lakukan hukum bersifat sentralistik-formal-rasional melalui kebijakan yang bersifat top-down sehingga hukum merupakan bangunan yang teratur dan penuh kepastian tetapi dalam tataran yuridis empiris pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa didasarkan pada cara-cara lokal tradisional yang bersifat komplek, dinamis dan penuh ketidakpastian. Ketika dua system hukum bertemu terjadi interaksi, komunikasi dan saling mempengaruhi sehingga hukum pengelolaan sumberdaya hutan dalam keutuhanya bersifat cair (melee), tidak memiliki struktur yang pasti dan cenderung asimetris. Berubahnya hukum yang penuh keteraturan menjadi bersifat cair karena adanya kekuatan yang berpangkal pada rasio dan kalbu.

2. Melalui pemikiran filosofis secara holistik menunjukan bahwa realitas hukum yang kompleks, dinamis apabila diterima secara utuh dapat menjadi sebuah tatanan (order). Di mana untuk mewujudkan tatanan tersebut perlu kesatuan antara tujuan, asas dan prosedur hukum yang merupakan nilai moralitas hukum yang paling dasar. Dalam konteks paradikma holistik sebuah tatanan merupakan cermin kesatuan antara unsur kemanusiaan, kesatuan manusia dengan alam dan kesatuan manusia dengan Tuhan. Dimana tatanan yang progresif senantiasa membuka ruang gerak terhadap pluralisme hukum dan mendorong stakeholders untuk bermusyawarah menemukan kebenaran yang lebih dekat dengan Allah Swt guna

mewujudkan sumberdaya hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Kelik Wardiono, Saepul Rochman, 2015, Hukum Profetik, Genta Publising, Yogyakarta

Barber, Charles Victor, 1989, The State, The

Environtmen, and Development : Genesisi and Transformation of Social Forestry Policy in new Order Indonesia, Doctoral

Desertation University of California Barkeley, USA

Fritjof Tjapra, 2007, The Turning Point;

ter-jemahan Titik Balik Peradaban, Penerbit

Jejak Yogyakarta

I Nyoman Nurjaya, 1999, Menuju Pengelolaan

Sumberdaya Hutan yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif Legal Formal dalam Awang, san Afri & Bambang Adi

S, (editor), Perubahan Arah dan Alternatif

Pengelolaan Sumber daya Hutan perhutani di Jawa, Perhutani & Fakultas Kehutanan

UGM, Jogjakarta

……….,2001, Magersari (Studi Kasus Pola

Hubungan Kerja Penduduk Setempat Dalam Pengusahaan Hutan, Desertasi,

Pasca Sarjana UI, Jakarta

Kudzdaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum, Genta Publising, Yogyakarta

Nonet, Philip dan Zelznik, philip, 1978,

Law and Society in Transition: Toward Resonsive Law, New York, Harper & Raw

Peluso, Nancy Lee, 1992, Rich Forests Poor

People, University Of California Press,

Barkeley-Los Angeles-Oxford

Pranarka, A.M.W. Vidhyandika Moeljarto, 1996, Pemberdayaan (Empowerment)

80

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

dan Implementasi (penyunting Onny S.

Prijono & AMW Pranarka), CSIS, Jakarta Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Alumni

Bandung

Subadi dan Sigit Sapto Nugroho, 2012, Model

Mega Wana Agrowisata Kawasan Hutan Berbasis Pemberdayaan Potensi Lokal di Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, laporan Hibah Kompetensi

Dikti

Sigit Sapto Nugroho, 2014, Model

Pengembangan Desa Konservasi Berbasis Pendayagunaan Potensi Lokal Kawasan Lindung Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun Jawa Timur, Laporan Hibah

Dosen Pemula Dikti

………., 2004, Pengelolaan Sumber daya

Hutan Bersama Masyarakat (Studi Di Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Saradan Jawa Timur), Tesis,Universitas

Brawijaya, Malang

Soetandyo Wignyosoebroto 2002, Hukum:

Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Elsam-Huma, Jakarta

Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Theresia Anita Christiani, 2008, Studi Hukum

Berdasarkan Perkembangan Paradigma Pemikiran Hukum Menuju Metode Holistik, Jurnal Hukum Pro Justitia Vol 26

PEDOMAN PENULISAN NASKAH