• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Jawa Apakah Suatu Tatanan Hukum

DENGAN MODEL KOLABORATIF HOLISTIK

B. Metode Penelitian

1. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Jawa Apakah Suatu Tatanan Hukum

yang Sistematis, Logis dan Rasional atau Justru Merupakan Tatanan Hukum yang Kompleks, Dinamis dan Penuh Ketidakpastian

Konfigurasi hukum yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tercermin dalam rumusan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Filosofi penguasaan dan kemanfaatan sumber daya alam tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria/ Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang menegaskan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN), sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum warga negara yang menyangkut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk sumber daya hutan.

72

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

Dalam konteks penguasaan dan pengelola-an sumberdaya hutpengelola-an maka Pasal 4 Undpengelola-ang- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: “ Semua hutan di

dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Intinya hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat, dan digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmur-an rakyat dalam arti kebkemakmur-angsakemakmur-an, kesejahterakemakmur-an dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” oleh negara, tetapi bukanlah berarti hutan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian yang meng-andung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sebagimana dikemukakan Barber5 ideologi seperti yang dimaksud dalam konstitusi dan dijabarkan dalam perundang-undangan di atas merupakan cerminan dari artikulasi nilai dan norma serta konfigurasi hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumber daya hutan, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi otoritas dan legitimasi kepada negara

5 Barber, Charles Victor, 1989, The State, The Environtmen, and Development : Genesisi and Transformation of Social Forestry Policy in new Order Indonesia, Doctoral Desertation University of California Barkeley, USA, hal 34-35

untuk menguasai dan mengelola sumber daya hutan dalam wilayah negara.6

Berangkat dari realitas yuridis normatif di atas bahwa pengelolaan sumberdaya hutan diarahkan pada tujuan utama yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah melalui kebijakan top-down yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat legal formal, sistematis dan rasional mengatur kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan, Hal ini merupakan bagian dari pemikiran aliran ilmu hukum positivistik.

Menurut Satjipto Raharjo7, ilmu hukum yang berkembang saat ini khususnya di Indonesia cenderung menjadi ilmu praktis (practical science) dan bukan (belum) me-rupakan ilmu hokum sebagai sebenar ilmu (genuine science). Dinyatakan bahwa “… kita telah terjebak pada konsep hukum para professional yang disebut “lawyer’s law, “law

for the lawyers” atau “law for profesionals….”.

Suatu konsep hokum yang lahir dari pemikiran kaum positivis yang hanya mau mengakui kebenaran itu pada hal-hal yang praktis, yaitu realitas yang pasti, bisa dibuktikan dan bisa diterima akal (logika). Ilmu hukum sebagai

practical science bekerja dengan menggarap

teks-teks normatif yang disebut hukum positif. Ia tidak menggarap hokum dari realitas yang utuh, tetapi sebatas realitas yang logis –rasional saja. Identik dengan pemikiran Newtonian, yang melihat alam sebagai suatu bangunan yang sistematis, mekanistis, linier dan deterministik, para positivistis juga menghendaki agar hokum modern itu harus rasional, sistematis dan logis.

6 Peluso, Nancy Lee, 1992, Rich Forests Poor People, University Of California Press, Barkeley-Los Angeles-Oxford, hal 11

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dengan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan sumberdaya hutan melihat bahwa hukum dipositipkan dalam wujud sebagai perundang-undangan atau hukum formal (hukum negara) yang dibuat melalui cara-cara mekanis sehingga hukum itu rasional dan sistematis. Tuntutan positivisasi setiap norma hukum menurut sejarahnya dilakukan demi tertatanya kehidupan bernegara modern yang mnjamin kepastian hukum dan kebebasan bagi setiap individu warga negaranya.

Dalam paradigma positivisme tatanan hukum merupakan salah satu tatanan social yang mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang sedikit banyak tertib dan teratur. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, ciri tatanan hukum yang menonjol apabila dibandingkan dengan tatanan yang lain (tatanan kebiasaan dan kesusilaan) yaitu pada penciptaan hukum yang murni dibuat sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang dibentuk untuk itu. Pada proses penciptaanya tatanan hukum didukung oleh norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat untuk menegakkan suatu jenis norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu dalam masyarakat. Pihak yang menentukan jenis ketertiban itu tidak lain adalah masyarakat atau perwakilannya yang ditunjuk melalui mekanisme kerja tertentu. Kelompok masyarakat inilah yang kemudian memiliki wewenang sah untuk menciptakan hukum itu.8

Menurut Hans Kelsen hukum berurusan dengan bentuk (formal), bukan isi (materi). Jadi keadilan sebagai isi hokum berada diluar 8 Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Alumni Bandung, hal 17

hokum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi tetaplah hokum karena dibuat dan dikeluarkan penguasa. Hukum adalah keharusan mengatur tingkah laku manusia sebagai makluk rasional.9

Salah satu ciri hukum modern adalah dalam hal penggunannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan hokum modern menjadi sangat instrumental sifatnya. Kehidupan ini seakan bisa direkayasa dengan sbuah hukum, dan perekayasanya adalah kaum elite. Hal ini sebagaimana dalam hukum kehutanan dimana hukum lebih hanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuannya. Dilihat dari perspektif strategi pembangunan hukum, maka yang selama ini dijalankan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah pembangunan hukum yang represif (repressive

law) yang bersifat positivis instrumentalis.

Dalam tatanan hukum represif, hukum sebagai abdi kekuasaan represif dari pemerintah yang berdaulat (pengemban kekuasaan politik) yang memiliki kewenangan tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta hukum dan politik tidak terpisah sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka dari aspek ekspresifnya.10

Paradigma ini merupakan kreasi dari suatu bingkai budaya kontrol (culture control) terhadap sumber daya alam khususnya sumber daya hutan yang berbasiskan Negara

(State-based forest resource management) yang

semata-mata dikelola untuk kepentingan pendapatan dan devisa negara . Paradigma seperti ini dicirikan dengan perilaku dan orientasi yang

9 Ibid, hal 242-246

10 Nonet, Philip dan Zelznik, philip, 1978, Law and Society in Transition : Toward Resonsive Law, New York, Harper & Raw, hal 14-15

74

Subadi, dan Rizky Wahyu Nugroho

cenderung mengatur dan mengendalikan

(policing and controling) meraih keuntungan

jangka pendek, perencanaan yang kaku, pengambilan keputusan yang unilateral dan menjadi andalan bagi pendapatan dan devisa negara. Bentuk institusi dan implementasinya berciri sentralistik, pengelolaan tunggal oleh departemen, pendekatan atas bawah

(top-down), orientasi target, perencanaan makro,

penganggaran yang ketat, pendekatan sekuriti, dan cenderung menerapkan banyak sanksi. Sedangkan metode pengelolaanya memiliki ciri-ciri antara lain kaku, tujuan tunggal, homogen, produk tunggal, sistem silvikultur tunggal, dan hubungan majikan buruh.11

Dalam tataran empiris yuridis pengelolaan sumberdaya hutan ternyata tidak hanya mendasarkan pada legal formal saja artinya ada hukum yang hidup didasarkan pada kearifan local masyakat setempat. Atau kalau di Indonesia umumnya merupakan masyarakat sederhana. Di mana ciri-ciri sebuah masyarakat sederhana antara lain dapat dilihat dari struktur hukumnya yang lebih menonjolkan peran norma adat. Dalam masyarakat sederhana seperti itu hukum pengelolaan sumberdaya hutan tidak hanya dipahami sekedar teks-teks normative tentang apa yang seharusnya dipatuhi, ditaati dan dilakukan tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan seluruh warga sekitar hutan. Sebagai contoh kehidupan masyarakat Samin di Bojonegoro yang mengelola hutan diwilayahnya dengan menggunakan cara-cara 11 I Nyoman Nurjaya, 1999, Menuju Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Berorientasi pada Pola Kooperatif: Perspektif Legal Formal dalam Awang, san Afri & Bambang Adi S, (editor), Perubahan Arah dan Alternatif Pengelolaan Sumber daya Hutan perhutani di Jawa, Perhutani & Fakultas Kehutanan UGM, Jogjakarta, Hal. 8).

tradisional sesuai dengan hokum adat mereka tetapi hutan dapat dijaga kelestariannya dengan baik karena alam dilihat secara sains-sakral adanya hubungan yang mendasarkan keridaan Tuhan.

Secara realitas bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dalam masyarakat adat yang merupakan daerah kawasan hutan memberikan gambaran cukup jelas bahwa komunitas lokal ( pesanggem=petani hutan), (blandong=pekerja hutan) hukum pengelolaan sumberdaya hutan tidak sekedar bermakna sebagai teks-teks yang normatif yang mengatur bagaimana mengelola dan peduli terhadap hutan belaka tetapi jugaterkait dengan kegiatan-kegiatan sosial, budaya, adat, bahkan keagamaan. Realitas demikian membuktikan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa hanya dapat dilihat sebagai bangunan hokum yang sistematis, logis-rasional tetapi juga menjalankan interaksi yang kuat dalam dan dengan lingkungan masyarakatnya yang kompleks, dinamis dan penuh dengan ketidak pastian.

Artinya masyarakat diberikan peran untuk melakukan pemberdayaan sesuai dengan kearifan lokal yang ada. Karena konsepsi pemberdayaan ini mempunyai asumsi bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat dengan kearifan lokal yang dimilikinya diberi hak untuk mengelola sumber daya alam. Selain konsep pemberdayaan juga sangat menuntut adanya penghormatan terhadap keberagaman, kekhasan lokal dan peningkatan kemandirian lokal. 12

12 Pranarka, A.M.W. Vidhyandika Moeljarto, 1996, Pemberdayaan (Empowerment) dalam Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi (penyunting Onny S. Prijono & AMW Pranarka), CSIS, Jakarta, hal 58

Quo Vadis Politik Hukum Agraria Indonesia di Era Reformasi

Menghadapi dan menjelaskan kenyataan tentang pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa yang kompleks tentunya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang linier-mekanistik seperti dalam ajaran legal positivistik. Keberadaan hukum pengelolaan sumberdaya hutan yang kompleks, dinamis dan penuh ketidak pastian tidak boleh digolongkan sebagai realitas yang salah, menyimpang ataupun abberational data sehingga perlu direduksi. Pereduksian atas realitas sangat bertentangan dengan sikap ilmiah yang bertolak dari pengamatan terhadap yang benar-benar ada dalam masyarakat. Untuk memahami realitas demikian diperlukan teori hukum yang bertolak dari realitas hukum yang tak teratur atau kacau (chaos) dan sekaligus menempatkan keteraturan dan ketidak aturan hukum sebagai suatu satu kesatuan yang utuh (holistik).

Adanya kedua sistem hukum pengelolaan sumberdaya hutan baik secara legal formal dan cara-cara kearifan lokal yang kompleks dinamis dan penuh ketidakpastian bertemu tejadilah interaksi, komunikasi dan saling mempengaruhi sehingga hukum pengelolaan sumberdaya hutan dalam keutuhan menjadi bersifat cair (fluid, mellee), tidak memiliki struktur pasti, bahkan cenderung asimetris. Keadaan dan sifat hukum yang demikian terkait kekuatan sentripetal dan sentrifugal dalam masyarakat. Yang dimaksud kekuataan sentripetal dan kekuatan sentrifugal adalah kekuatan yang berpangkal dari unsur-unsur kemanusiaan yang berupa rasio dan kalbu. Ketika penggunaan rasio lebih dominan daripada kalbu maka pengelolaan sumberdaya hutan cenderung eksploitatif hanya mengejar keuantungan bagi kaum kapitalis. Pada kondisi demikian hukum menjadi tidak teratur (disodered). Tetapi ketika disadari

bahwa keteraturan hukum merupakan prasyarat bagi kehidupan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, akan terjadi interaksi antar stakeholders untuk mewujudkan keteraturan hukum (ordered).

Masyarakat yang cair (social melee) berkonsekuensi pada tatanan hukum yang cair (legal melee), untuk menyebut tatanan hukum yang tidak teratur dan kompleks, karena masyarakat bersifat asimetris dan juga kompleks, maka sebagai suatu realitas mikro dari masyarakat hukumpun demikian. Masyarakat merupakan himpunan dari serbaragam relasi bangunan mencerminkan berbagai pengaruh saling mempengaruhi kepentingan.13

2. Pengaturan Hukum Pengelolaan