• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM TRANSENDENTAL DALAM KONSTELASI PEMIKIRAN HUKUM POSTIVISTIK DI INDONESIA

3. Postivisme Hukum Indonesia

Abad ke-19 menandai munculnya gerakan positivisme di dalam masyarakat dan di bidang hukum, positivisme di dalam bidang hukum dikenal dengan nama positivisme yuridis9. Abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis, seperti halnya hukum alam. Dalam pada itu, perkembangan dan perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi pada abad ke-19 itu telah menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Pandangan serta sikap yang kritis terhadap hukum alam itu telah menimbulkan hasil-hasil yang merusak kehadiran hukum alam tersebut. Oleh pikiran kritis itu ditunjukkan, tetapi hukum tersebut tidak mempunyai dasar, atau merupakan hasil dari penalaran yang palsu.10

Aliran ini (positivisme) dikenal adanya dua sub aliran yang terkenal, yaitu11:

a. Aliran hukum positif yang analistis, pendasarnya adalah John Austin.

b. Aliran hukum positif yang murni, di-pelopori oleh Hans Kelsen.

c. Aliran hukum positif yang analistis meng-artikan hukum itu sebagai a command of

the lawgiver (perintah dari pembentuk

undang-undang atau penguasa), yaitu 8 Ibid.

9 Theo Huijbers. 1990. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.. Yogyakarta: Kanisius, hal. 128

10 Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal, 267

11 Lili Rasyidi. 1993. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal, 42

36

Elviandri

suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik-buruk.

Aliran positivisme yang lahir sekitar 2 abad yang lalu tidak dapat dipisahkan dari konteks politik yang mewarnai kehadiran negara modern, yaitu faktor politik liberalisme. Fokus pemikiran liberal adalah pada kemerdekaan individu, maka adalah sangat logis jika positivime yang dalam sejarahnya lahir dalam atmosfir liberalisme tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas bagi masyarakat.

Sistem hukum, dalam paradigma posi-tivis me tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.12

Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti sebagai positivisme. Austin (1790-1859) seorang positivisme yang utama, mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah. Lebih lanjut Austin menyebutkan hukum adalah perintah

12 Achmad Ali. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 40-410

dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Seorang positivism lainnya adalah Geremy Bentham (1748-1832) seorang pejuang yang gigih untuk pengkodifikasian hukum Inggris.13

Pikiran positivisme terutama berkembang dalam keadaan masyarakat yang stabil. Namun yang menjadi sangat menarik adalah, baik Austin maupun Bentham tidak mengemukakan pikirannya tentang positivisme tersebut di dalam keadaan masyarakat yang stabil seperti saat itu. Bentham dan Austin berpendapat bahwa harus ada kejelasan yang menyeluruh terlebih dahulu mengenai hukum sebagaimana adanya. Positivisme keduanya dilandasi oleh adanya penolakan mereka terhadap naturalisme dan kecintaan mereka terhadap ketertiban dan ketepatan14

Fungsi dari hukum adalah untuk mengatur hubungan antara negara dan warganya serta hubungan antar manusia, agar kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan di dalam masyarakat.

Realisasi dari sebuah negara hukum, agar mencapi tujuannya maka hal yang paling penting adalah bagaimana sistem penegakan hukumnya. Penegakan hukum dapat diartikan sebagai ”Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaedah-kaedah / pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan

13 Op. Cit. Satjipto Rahardjo, hal, 227 14 Ibid.

Hukum Transendental dalam Konstelasi Pemikiran

mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup”.15

Dengan demikian, maka sistem penegakan hukum (yang baik) menyangkut penyerasian antara nilai-nilai dengan kaedah-kaedah serta dengan perilaku nyata dari manusia.

Kepastian hukum mengharuskan dicipta-kannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum. Agar tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu maka kaedah-kaedah hukum tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti. Oleh karena itu kaedah-kaedah hukum yang dinyatakan berlaku surut seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum.

Bagi suatu negara modern dewasa ini, tujuan negara adalah untuk mencapai kese-jahteraan dan kebahagian rakyat, atau dengan perkataan lain untuk mencapai keadilan sosial. Suatu negara yang hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum saja di dalam bentuknya yang negatif akan menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat umum, maka keadilan lebih menekankan pada faktor atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal ini disebabkan oleh karena keadilan itu sebenarnya merupakan soal perasaan. Keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan menimbulkan kegoncangan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa

15 Purnadi Purbacaraka. 1997. Penegakan hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni, hal, 25

keadilan senantiasa mengandung suatu unsur penghargaan, penilaian dan pertimbangan.

Paradigma pisitivisme menghendaki adanya kepastian hukum, walaupun harus mengesampingkan keadilan. Di Indonesia yang lebih dominan memakai paradigma positivisme ini menandakan bahwa hukum merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan demi terciptanya ketertiban dalam masyarakat. Kalau demikian berbicara persoalan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia dihadap kan pada persoalan yang sulit. Karena didalam penegakan hukum, harus dapat memenuhi keadilan prosedural/formal dan keadilan substansial. Sebagai negara hukum diterapkannya hukum merupakan proses yang adil namun dalam prakteknya sering kali penerapan hukum ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak adil di dalam masyarakat.

Paradigma positivisme, yang di maksud dengan hukum adalah aturan-aturan atau norma norma yng tertulis, atau dalam arti aturan yang sudah dipositifkan, sedangkan kalau hal ini akan berbicara keadilan sering kali penerapan aturan atau norma-norma yang tidak tertulis justru lebih adil secara substansi. Sehingga penegakan hukum dalam paradigma positivisme lebih mengutamkan kepastian hukumnya, tanpa melihat substansi dari apa yang terjadi. Melihat kenyataan tersebut maka di Indonesia dengan melihat kecenderungan paradigma positivisme ini akan menghasilkan sebuah keadilan yang formal/prosedural saja, sedangkan keadilan substansinya tidak dapat tercapai.

D. Simpulan

1. Paradigma positivime yang dianut dalam sistem hukum Indonesia adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dengan senjata utamanya

38

Elviandri

adalah kepastian hukum, bukan untuk mewujudkan keadilan. Sebagaimana semboyan paradigma positivime bahwa, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Dari konsep tersebut maka keadilan dalam positivisme lebih mengarah pada konsep keadilan prosedural/formalnya saja karena konsep keadilan menurut positivisme adalah apabila hukum yang tertulis itu dapat diterapkan dengan baik dan menunjukkan kepastiannya.

2. Ilmu hukum transendental berakar pada kehendak Allah kepada makhluknya yang diturunkan melalui nabi dan rasul-Nya, para mualim dan aulia yang senantiasa istiqomah dan berpegang teguh pada garis ilahiyah (sunnahtullah). Sunnahtullah merupakan basis filsafat hukum alam (natural law) dijabarkan melalui ayat ayat-Nya baik yang tertulis (Kitab dan Sunnah) maupun yang terjabarkan dalam alam semesta dan realitas kehidupan.

Ilmu hukum transendental ditujukan untuk pegangan hidup manusia mencapai kebahagian dunia maupun akhirat Ilmu hukum transendental hanya bisa dipahami dengan pendekatan holistik yang melihat manusia dan kehidupannya dalam wujud yang utuh, tidak semata bersifat materi tetapi ruhaniyah (inmateral). Ilmu hukum transendental tidak dapat dipisah antara jasad fisik (formal) dan nilai-nilai transendental. Justifikasi ilmu hukum transendental semata yang diburu adalah demi keadilan berdasar kebenaran atas kuasa Allah, Dzat yang MahaKuasa, penentu hidup dan kehidupan manusia. Ilmu hukum transendental beroreintasi pada kemaslahatan manusia sebagai wujud dari kasih sayang untuk makhluknya.