• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Internasional di Bidang Industri dan Implikasinya terhadap Desain Industri di Indonesia

PERLINDUNGAN HUKUM DESAIN INDUSTRI

3. Pengaturan Internasional di Bidang Industri dan Implikasinya terhadap Desain Industri di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan peranan desain industri yang merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual.

Keanekaragaman budaya yang dipadukan dengan upaya untuk ikut serta dalam globalisasi perdagangan, dengan memberikan pula perlindungan hukum terhadap desain industri akan mempercepat pembangunan industri nasional.

Dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan, Indonesia telah meratifikasi konvensi tentang pembentukan Oraganisasi perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Inteletktual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right/TRIPs) sebagaimana telah disahkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Ratifikasi konvensi tersebut menunjang pula ratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property, yang telah disahkan 31

dengan Keputusan Presiden No.15 Tahun 1997, dan keikutsertaan Indonesia dalam Hague Agreement Concerning the International Deposit of Industrial Design (London Act).

Konvensi Paris mengatur perlindungan hukum di bidang Hak Milik Perindustrian, diantaranya adalah mengenai Desain Industri (Industrial Design). Desain Industri diatur dalam Pasal 11 Konvensi Paris, dan dalam pasal 25 dan Pasal 26 Persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Right(TRIPs).

Pasal 25 mengatur tentang Persyaratan Untuk Perlindungan :

“1. Anggota wajib memberikan perlindungan terhadap karya cipta yang berupa desain industri yang baru atau asli. Anggota dapat menentukan bahwa suatu desain tidak baru atau asli apabila desain yang bersangkutan tidak secara jelas berbeda dari desain atau kombinasi beberapa desain yang sudah terkenal.

Anggota dapat menetapkan bahwa perlindungan yang diberikan tidak mencakup desain yang sangat tergantung pada pertimbangan-pertimbangan teknis atau fungsi.

4. Anggota wajib menjamin bahwa persyaratan untuk memperoleh perlindungan terhadap desain tekstil, terutama berkaitan dengan biaya, pemeriksaan atau pengumuman, tidak menghambat secara tidak wajar kesempatan untuk memperoleh perlindungan dimaksud. Anggota dapat memenuhi kewajiban ini melalui peraturan perundang-undangan tentang desain industri atau hak cipta.”

Pasal 26 mengatur tentang Perlindungan:

“1. Pemilik suatu desain industri yang dilindungi mempunyai hak untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijin darinya untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung atau memuat desain yang merupakan salinan, atau secara substansial merupakan salinan dari desain yang dilindungi, apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial.

2. Anggota dapat menetapkan pengecualian secara terbatas atas perlindungan yang diberikan terhadap desain industri sepanjang pengecualian dimaksud tidak bertentangan secara tidak wajar dengan tatacara pendayagunaannya secara normal dari desain industri yang dilindungi dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah 32

pemilik dari desain yang dilindungi, dengan memperhatikan kepentingan sah dari pihak ketiga.

3. Jangka waktu perlindungan yang diberikan tidak boleh kurang dari 10 tahun”

Sebagai konsekuensi dari ratifikasi konvensi Paris dan persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs), Indonesia perlu memberikan perlindungan hukum terhadap Hak kekayaan Intelektual di bidang desain industri. Perlindungan hukum ini dimasudkan untuk menjamin hak-hak pendesain dan kewajiban-kewajiban serta mencegah pelanggaran desain industri oleh pihak yang tidak berhak.

Selain mewujudkan komitmen terhadap persetujuan Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs), pengaturan desain industri dimaksud untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas desain industri yang telah dikenal secara luas.

Pengaturan Internasional di bidang desain industri diatur dalam beberapa persetujuan internasional multilateral, baik berupa konvensi atau persetujuan yang dapat diikuti oleh semua negara melalui mekanisme pengesahan atau persyaratan. Konvensi dan persetujuan tersebut merupakan dasar hukum pengaturan perlindungan desain industri di tingkat internasional yang dijadikan pedoman bagi semua negara yang akan menerapkan perlindungan desain industri.

Pengaturan internasional desain industri terdiri dari Konvensi Paris untuk perlindungan hak kepemilikan industri, Konvensi Bern untuk perlindungan karya-karya sastra dan seni, Persetujuan Hague mengenai deposit internasional atas desain industri, Persetujuan Locarno yang mengatur tentang penetapan

penggolongan internasional untuk desain industri serta persetujuan TRIPs-GATT 1994 40

a. Konvensi Paris

Konvensi Paris khusus diadakan untuk memberikan perlindungan pada Hak Kekayaan Industri, yang di dalamnya juga dimuat ketentuan mengenai desain industri. Konvensi Paris pertama kali diadakan pada tanggal 20 Maret 1883, kemudian telah direvisi pada tanggal 14 Juli 1967 di Stockholm dan telah diubah pada tanggal 28 September 1979. Konvensi Paris 1967 terdiri dari 30 Pasal yang memuat prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan larangan bagi negara-negara dalam melaksanakan hak kepemilikian industri.

Pengaturan mengenai desain industri dalam Konvensi Paris tersebar dalam beberapa pasal. Pasal 1 Paris 1967 mengatur mengenai ruang lingkup dari hak kepemilikan industri dan pembentukan serikat (union) dalam konvensi ini. Pasal ini menegaskan bahwa desain industri termasuk dalam ruang lingkup hak kepemilikan industri, bukan termasuk dalam ruang lingkup hak cipta.

Pasal 2 dan 3 Konvensi Paris 1967 memuat prinsip perlakuan sama (National Treatment). Berdasarkan prinsip ini, negara-negara anggota konvensi wajib memberikan perlindungan atau perlakuan yang sama kepada warga negara anggota lain, sama seperti yang diberikan kepada warga negara sendiri. Warga negara dari negara yang bukan anggota juga dapat mendapatkan perlindungan

40

Ranti Fauzi Mayana, Op.Cit, hal.96

Konvensi Paris apabila mereka mempunyai domisi atau industri atau pedagangan yang nyata dan efektif di negara anggota.41

Prinsip national treatment juga berlaku bagi desain industri. Berdasarkan prinsip ini, yang mendapat perlindungan adalah subjek hukum, yaitu pendesain, dimana pun ia berada asalkan di dalam satu negara anggota konvensi. Ia berhak mendapatkan perlindungan hukum atas desain-desainnya. Dalam pendesain bukan warga negara dari suatu negara anggota konvensi, pendesain tetap berhak untuk mendapatkan perlindungan atas desain-desainnya tersebut.

Pasa 4 Konvensi Paris 1967 memuat prinsip hak prioritas (Right of Priority) sebagai berikut :

“The right of priority means that, on te basis of regular application for an industrial property right filed by agiven applicant in one of the member countries, the same applicant (or it`s or his successor in tile) may, within a specified of time (six or 12 months), apply for protection in all the othr member countries. These later applications will then be regarded as if they had benn filed on thr same day as the first (or earlir) application, In other words, these later application enjoy a priority status with respect to all applications relating to the same invention filed after the date ao the first application. They olso enjoy a priority status with respect to all acts accomplished after thet date which would be apt to destroy the rights of the applicant or the patentability of his investion”

41

The national treatment rule applies first of all the “nationals” of the member countries. The term “nationals” includes both natural persons end legal entities. With respect to legal entities, the equality of being a national of a particular country may be difficult to determine. Generally, no nationality as such is granted to legal entities by the national news. There is of corse no doubt the state owned enterprise of a member country or other entities crested ender the public law of such country are to be considred as nationals of member contry concerned. Legal entities crested under the private law of member country will usually be considered a national of the country. If They heve their actual headquarted in anather member country, they may be considered a national of the headquarted country.

Dengan demikian, hak prioritas mengandung pengertian bahwa suatu pendaftaran hak-hak kepemilikan industrial dalam suatu negara anggota juga akan mendapatkan pengakuan di negara-negara anggota lain. Hak prioritas dapat diterapkan jika ada pihak lain yang mendaftarkan hak serupa. Khusus untuk itu permohonan desain industri dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pendaftaran desain industri pertama kali diterima di negara anggota. Jika waktu enam bulan tersebut jatuh pada hari libur atau kantor pendaftaran tutup, maka waktu berakhirnya permohonan pendaftaran tersebut diperpanjang lagi sampai hari kerja dimulai lagi.42

Sehubungan dengan desain industri, WIPO menyatakan:

“industrial design must be protected in each contracting state, and protection may not be forfeited on the ground that articels incorporating the design are not manufactured in that state”43

Berdasarkan prinsip tersebut, maka terdapat kewajiban bagi setiap negara anggota untuk memberikan perlindungan terhadap desain industri tanpa memberikan alasan bahwa desain tersebut tidak dibuat di negara tersebut.

Pasal 11 Konvensi Paris 1967 memberikan jaminan perlindungan sementara bagi desain industri pada Pameran International Tertentu (Certain International Exhibition) oleh negara-negara anggota. Berdasarkan ketentuan itu, maka semua negara anggota harus memberikan perlindungan sementara bagi

42

Ketentuan ini terdapat dalam Konvensi Paris Pasal 4 c (1), (2), (3).

43

WIPO, Guide to the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic

Work, (Genewa: 1998), Hal.15.

desain industri dalam pameran barang yang resmi atau secara resmi diakui sebagai pameran international yang diadakan di setiap wilayah negara.44

b. Konvensi Berne

Konvensi Berne diadakan untuk memberikan perlindungan bagi karya-karya sastra dan seni yang diadakan pada tanggal 9 September 1886 dan telah direvisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris dan telah diubah pada tahun 1979.

Konvensi Berne tahun 1971 dari 21 Pasal dan lampiran tambahan (appendix) yang terdiri dari 6 pasal. Walaupun Konvensi Berne 1971 pada dasarnya mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, desain industri yang termasuk dalam ruang lingkup hal kepemilikan industri juga dimasukkan dalam Konvensi Berne.

Dengan dimasukkannya desain industri ke dalam Konvensi Berne 1971 tetap mewajibkan adanya perlindungan hukum bagi desain industri, sekalipun negara tersebut belum mempunyai perangkat hukum yang mengatur desain industri secara khusus. Hal tersebut dimasukkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dan desain industri di sini dinyatakan sebagai karya terapan (work of applied art) dan dilindungi sebagai bagian dari karya-karya seni.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka WIPO menegaskan bahwa “However and this was a new provision in Stockholm (1967) a country which has no special protection for design and models must always protect works of applied art as artistc work, in others word by their copyrigt law without any formality”.

44

Ibid

Pengaturan mengenai desain industri dalam Konvensi Berne dapat dilihat dalam Pasal 2 dan pasal 7, Pasal 2 Konvensi Berne 1971 memuat tentang karya-karya yang dilindungi, yaitu leterary and artistic work, yaitu semua karya-karya sastra, ilmu pengetahuan, dan karya seni. Karya seni tersebut harus mendapatkan perlindungan di seluruh negara anggota konvensi dan perlindungan ini harus diselenggarakan untuk mendapat nilai bagi pendesain.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Konvensi Berne tersebut yang amat penting adalah bahwa negara anggota harus menetapkan memperluas permohonan pendaftaran dalam hukum negaranya untuk karya seni terapan dan desain industri dan model menurut syarat-syarat yang seharusnya diperlakukan bagi ketiganya. Pasal 2 tersebut juga mempertegas bahwa desain industri harus dilindungi di negara asalnya ataupun dinegara anggota lain dengan ketentuan untuk desain industri. Namun, jika tidak ada ketentuannya, desain industri harus dilindungi sebagai karya seni.

Pasa 7 Konvensi Berne 1971 mengatur tentang waktu berakhirnya perlindungan bagi karya seni terapan yaitu seumur hidup pencipta/pendesain dan 50 tahun sesudah pencipta/pendesain meninggal. Untuk suatu karya seni terapan, negara anggota harus menetapkan waktu berakhirnya perlindungan karya seni terapan sepanjang dilindungi sebagai karya seni, dengan waktu berakhir sekurang-kurangnya akhir periode 25 tahun sejak karya tersebut dibuat. Karena desain industri termasuk karya seni, maka desain industri juga mendapat perlindungan selama 25 tahun.

Konvensi Berne memuat tiga prinsip dasar sebagai berikut :45 (1) Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment)

Prinsip ini terdapat dalam Pasa 5 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa ciptaan yang berasal dari salah satu negara perjanjian (yaitu ciptaan seorang warga negara peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan disalah satu negara perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti yang diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.

(2) Prinsip Perlindungan Langsung (Automatic Protection)

Prinsip ini mengandung arti bahwa pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun.

(3) Prinsip Perlindungan yang Berdiri Sendiri (Independence Protection)

Prinsip ini terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa perlindungan yang diberikan oleh Konvensi adalah terlepas dari peraturan serupa yang berlaku di negara asal pencipta atau negara tempat suatu karya cipta diterbitkan untuk pertama kalinya.

c. Presetujuan Hague 1925

Persetujuan Hague 1925 merupakan persetujuan yang mengatur tentang Deposit Internasional bagi semua desain industri yang disimpan di Biro Internasional. Persetujuan Hague 1925 merupakan suatu persetujuan yang sangat teknis karena mengatur mengenai tata cara penyimpanan desain, jangka waktu perlindungan, dan penerbitan buletin desain industri.

Persetujuan Hague pertama kali diadakan pada tahun 1934 di London, kemudian pada tahun 1960 ditandatangani pula The Hague Act 1960 selanjutnya dilengkapi dengan ketentuan tambahan yang ditandatangani di Monaco pada tahun 1961. Pada tahun 1967 ditandatangani Complementary Act 1967 di Stockholm, Ketentuan-ketentuan tersebut digunakan sebagai sistem untuk deposit desain industri yang berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1994.

45

Eddy Damian, Hukum Cipta Menurut Beberapa Konvensi International,

Undang-Undang Hak Cipta 1997 dan perlindungan Terhadap Buku secara Perjanjian Penerbitannya

(Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal.16.

Sistem tersebut berlaku bagi semua negara yang telah meratifikasi atau melakukan pengikutsertaan atas Complementary Act 1967. Bagi negara yang telah mengikuti Complementary Act 1967 tersebut merupakan anggota dari Majelis, sedangkan negara yang belum mengikuti ketentuan tersebut bukanlah anggota dari Majelis sehingga dengan demikian, suatu negara yang tidak terikat dengan ketentuan tersebut tidak dapat menerapkan sistem deposit tersebut.

Tujuan diadakannya Persetujuan Hague 1925 yang mengatur mengenai Deposit Internasional bagi desain industri tersebut berangkat dari pemikiran sebagai berikut:

“The international deposit of industrial design arose from a need for simplicity and economy. It`s main aim is to enabel protection to be obtained for one or more industrial design in a number of state through a single deposit field with the International Bureau of WIPO. Under the Provison of the Hague Agreement, any perseon entitled to effect an International Deposit has the possibility obtaining by mains of a single deposit protection for his industrial designs in a number of state with a minimum of formalities and of expense. The applicant is thus rilieved of the nees ti make a separate national deposit in each of the states in wich he requires protection, thus avoiding the inherent complication of procedures that vary from one state to another. He does not have to submit the requered documents in varios language nor keep a watch on the deadlines for renewal of a whole series of national deposit. He also avoids the need to pay aseries of national fess and against fess in varying currencies. Under the Hague Agreement the same result can be obtained through the single deposit made with a single office, in one language, on payment of a single set of fess and in one currency.”

Lebih jauh, persetujuan Hague mengizinkan setiap orang yang terdaftar untuk membuat deposit internasional dan untuk memperoleh perlindungan desain industri pada negara-negara yang terkait persetujuan yang mengajukan permohonan suatu sarana single deposit yang dibuat oleh biro international dari WIPO.

Deposit internasional dapat dibuat oleh negara yang terkait perjanjian perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewarganegaraan negara yang bersangkutan atau mempunyai tempat kedudukan dimana industri dan perdagangan tersebut didirikan. Deposit internasional tidak membutuhkan beberapa deposit internasional terlebih dahulu. Ini dibuat langsung oleh depositor ataupun para wakilnya yang tergabung dalam biro international WIPO dalam suatu formulir yang disediakan secara gratis oleh WIPO. Formulir ini dapat dibuat melalui kantor nasional dari negara yang terkait kontrak yang diizinkan oleh hukum negara tersebut. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Persetujuan Hague 1925 menyatakan bahwa hukum negara yang mengikuti kontrak tersebut dapat diterapkan jika negara tersebut masih negara asalnya, deposit internasional ini dibuat melalui kantor nasional negara yang bersangkutan. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut tidak berarti mempengaruhi deposit internasional dinegara-negara lainnya yang terkait perjanjian.

Deposit internasional dibuat untuk waktu lima tahun dan dapat diperbaharui paling sedikit satu kali untuk satu kali periode tambahan, untuk semua atau beberapa desain industri.

Cara untuk memperoleh deposit internasional dapat dilakukan secara langsung atau melalui perantara kantor HaKI negara asalnya, sepanjang memungkinkan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dinegaranya sebagamana yang ternyata dalam Pasal 4 Ketentuan Hague 1967. Desain industri yang telah didepositkan selanjutnya akan diterbitkan dalam bentuk buletin secara berkala, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (3) huruf (a)

Ketentuan Hague 1960. Ketentuan ini sangat membantu pendesain atau pemilik desain industri dalam mengantisipasi tidak terjadinya pembajakan desain karena yang diterbitkan adalah desain yang telah didepositkan di Biro Internasional dimana pendesain yang bersangkutan telah tercatat secara resmi sebagai pemilik dalam buletin tersebut.

Pasal 7 ayat (1) huruf (a) Ketentuan Hague 1960 menyatakan bahwa dengan melakukan deposit internasional akan mempunyai akibat atau pengaruh yang sama kepada negara-negara yang ditunjuk oleh pemohon dengan persyaratan telah memenuhi semua formalitas untuk pemberian perlindungan menurut undang-undang negaranya serta setelah memenuhi persyaratan administratif.

Indonesia tidak terikat dengan Ketentuan Hague 1960 dan Ketentuan Tambahan 1967 baik dalam bentuk ratifikasi ataupun penyertaan. Indonesia termasuk kelompok negara Konferensi Serikat Hague, yaitu negara-negara anggota Persetujuan Hague yang hanya terikat pada Ketentuan London 194. Menurut WIPO, kelompok negara Konferensi Hague tidak dapat menerapkan Sistem Deposit Internasional berdasarkan Ketentuan Hague dan Ketentuan Tambahan 1967.46

Hal tersebut menimbulkan akibat hukum bahwa semua deposit internasional dari negara yang terikat Ketentuan Hague 1960 dan Ketentuan Tambahan 1967 tidak dapat diterima di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, Indonesia tidak dapat melakukan deposit internasional karena tidak terikat dengan ketentuan tersebut. Hal ini merupakan salah satu faktor yang melemahkan posisi

46

Ranti Fauzi Mayana, Op.Cit, Hal.104

Indonesia dalam perdagangan Internasional. Oleh sebab itu, Indonesia perlu meratifikasi ketentuan tersebut untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap desain industri nasional di pasaran Internasional.

4. Ruang Lingkup Desain Industri