PERSEPSI PENGUSAHA FURNITURE
DI KOTA MEDAN TERHADAP PENTINGNYA
PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI
T E S I S
Oleh
SRI HADININGRUM
017005035/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSEPSI PENGUSAHA FURNITURE
DI KOTA MEDAN TERHADAP PENTINGNYA
PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
OLEH :
SRI HADININGRUM 017005035/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
JUDUL TESIS : PERSEPSI PENGUSAHA FURNITURE DI KOTA MEDAN TERHADAP PENTINGNYA PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI
NAMA MAHASISWA : SRI HADININGRUM NOMOR POKOK : 017005035
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
MENYETUJUI, KOMISI PEMBIMBING
Prof.Dr.Bismar Nasution, SH, MH. Ketua
Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Syafruddin S., Hasibuan, SH, MH Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur
Tanggal lulus : 20 Agustus 2007
Telah diuji pada
Tanggal 20 Agustus 2007
PANITIA UJIAN TESIS
KETUA
: 1. Prof.Dr.Bismar Nasution, SH, MH
ANGGOTA : 2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
3. Syafruddin S., Hasibuan, SH, MH
4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum.
PERCEPTION OF FURNITURE BUSINESSMAN IN CITY OF MEDAN TO THE ESSENTIAL OF INDUSTRIAL DESIGN PROTECTION
Sri Hadiningrum* Bismar Nasution**
Runtung ** Syafruddin S. Hasibuan**
ABSTRACT
As the promulgation of Law Number 31 of 2000 regarding Industrial Design, the industrial design start getting attention, although until recently Indonesia still seeking for better form to regulate and protection of industrial design. The weakness on the protection of industrial design in Indonesia gave big oppurtunity to foreign party for committing piracy to Indonesian Intellectual Property Rights. Therefore, it was needed a sufficient legal protection to avoid vatious forms of infringe,emt to upon industrial design right, particularly to furniture businessan in Medan City, in order to generate spirit to create, develop competitiveness and economic value, both in domestic and international market.
This research is aimed to know on how is the perception of furniture businessman on industrial design protection , what are the factors that influencing furniture businessman perception in industrial design protection and what is government effort in providing legal protection for industrial design in relation with development of industrial sector and economy. This research having descriptive analytical character by using empiric juridical approach method. Population of this research are 55 businessmen and sample was taken by purposive sampling, which are 20 businessmen and additional information from informan from Legal Section of Regional Office of Law and Human Rights of North Sumatra, Businessmen Organization of Asmelindo, Intellectual Property Rights Law experts and Chief of Medan District and Commercial Court.
Result of this research shown that furniture businessman in Medan City having opinion thet industrial design protection is not sufficient. Prevailing legal regulations still could not protect industrial design created by designers. Factors which casuing the furniture Designer/Businessman not to register their industrial design in Medan City are: (a) not understanding on the essentil of registration, where and how registration should be submitted; (b) fee for registration is relatively expensive and government bureaucracy is complicated and take quite long time; (c) crated design was immitation from magazines or consumer order and also hesitation among the businessmen to prohibit to immitate its design; (d) matters on the essential of Intellectual Property Rights still not popular amongst the community. Efforts that should be made by government for sake of businessman are to provide sufficient legal protection for industrial design in order to stimulate designer creative activity in creating new design. Therefore, for that reason, it is suggested that it should be all community and state apparatus participation to cooperate in executing supervision in industrial design. Government have to make regulations that firmly regulate all infringement (piracy or immitating). Legal enforcement officer should make investigation and process pursuant to prevailing law and award weight sentence to the infringer.
Keyword: - protection - industrial design
* Student of Law Science Magisterial – Postgraduate School of University of Sumatera Utara
PERSEPSI PENGUSAHA FURNITURE DI KOTA MEDAN TERHADAP PENTINGNYA PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI
Sri Hadiningrum* Bismar Nasution**
Runtung ** Syafruddin S. Hasibuan**
INTISARI
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri, maka desain industri mulai mendapat perhatian, meskipun hingga kini Indonesia masih mencari bentuk pengaturan dan perlindungan desain industri yang lebih baik. Lemahnya perlindungan terhadap desain industri di Indoesia membuka peluang besar bagi pihak asing untuk melakukan pembajakan HaKI milik Indonesia. Untuk itulah diperlukan suatu perlindungan hukum yang memadai guna mencegah berbagai bentuk pelanggaran atas hak desain industri khususnya terhadap pengusaha furniture di kota Medan, agar dapat menumbuhkan semangat berkarya untuk meningkatkan daya saing dan nilai ekonomis baik di pasar domestik maupun Internasional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman pelaku usaha furniture tentang perlindungan desain industri, faktor-faktor apa yang mempengaruhi persepsi pengusaha furniture dalam perlindungan desain industri dan upaya pemerintah dalam mem- berikan perlindungan hukum desain industri dikaitkan dengan kemajuan sektor perindus trian dan perekonomian. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendekatan juridis empiris. Populasi penelitian berjumlah 55 Pengusaha dan pengambilan sampel dilakukan secara purporsive sampling yaitu sebanyak 20 pengusaha serta tambahan informasi dari nara sumber yang terdiri dari Kabag Hukum Kanwil Hukum & HAM Sumut, Organisasi Pengusaha Asmelindo, Ahli Hukum HaKI, dan Ketua PN & Niaga Medan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusaha furniture di kota Medan berpendapat perlindungan desain industri belum memadai. Peraturan Perundang-Undangan yang ada belum bisa melindungi desain industri yang diciptakan oleh pendesain. Faktor-faktor yang menyebabkan Pendesain/Pengusaha Furniture tidak mendaftarkan desain industrinya di kota Medan adalah: (a) ketidaktahuan pentingnya pendaftaran, kemana dan bagaimana proses pendaftaran diajukan; (b) biaya pendaftrran desain relatif mahal serta birokrasi pemerintah yang berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang cukup panjang/lama; (c) desain yang dibuat merupakan tiruan dari majalah atau pesanan konsumen dan juga ada rasa sungkan terhadap sesama pengusaha melarang untuk meniru desainnya; (d) masalah pentingnya HaKI ini belum populer di kalangan masyarakat. Adapun upaya yang harus dilakukan pemerintah bagi para pengusaha adalah memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap desain industri agar merangsang aktifitas kreatif pendesain untuk menciptakan desain baru. Untuk itu disarankan agar adanya peran serta seluruh masyarakat dan aparatur negara untuk bekerja sama dalam melakukan pengawasan atas desain industri. Pemerintah harus membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas setiap pelanggaran (pembajakan atau penjiplakan). Kepada penegak hukum agar melakukan penyidikan dan proses sesuai dengan hukum yang berlaku serta menjatuhkan putusan yang berat kepada pelanggar.
Kata Kunci: - perlindungan dan desain industri
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur Allhamdulillah ke Hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah
memberikan rahmat dan karuniaNya, membukakan hati dan pikiran penulis
sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan di Magister Ilmu Hukum pada
Program Studi Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan baik dan dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “ Persepsi
Pengusaha Furniture di Kota Medan terhadap Pentingnya Perlindungan
Desain Industri”
Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus
dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Ilmu Hukum pada Program Studi
Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam
penyelesaian penulisan tesis ini, penulis telah banyak memperoleh dorongan,
pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Bapak Prof.Dr. Runtung, SH,
M.Hum. dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH. selaku dosen
pembimbing yang dengan sabar telah membantu memberikan bimbingan dan
saran kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum. dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH. CN,
M.Hum. yang telah memberikan masukan demi memperkaya penulisan tesis
3. Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Sekolah Pascasarjana Ibu Prof.
Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. Dan Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Bapak Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH., serta para Guru Besar dan Staff
Pengajar Program Studi Ilmu Hukum yang telah mendidik dan memberikan
ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.
4. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara,
Kepala Bagian Hukum Kanwil Dep.Hum HAM Sumatera Utara Bapak Bindu
Tagor Naibaho, SH, M.Hum. Kepala Kantor Dinas Perindustrian Kota Medan
beserta staff, Ketua Organisasi Pengusaha ASMELINDO dan para pengusaha
furniture yang menjadi responden penulis, Bapak Ketua Pengadilan Negeri
dan Niaga Medan dan tak lupa kepada Bapak O.K. Saidin, SH, M.Hum. yang
telah membantu memberikan kesempatan dan informasi yang dibutuhkan guna
mendukung penulisan tesis ini.
5. Para staff Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum yang telah
membantu dalam mengurus administrasi selama ini.
6. Para pihak yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu.
Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada seluruh pihak keluarga yang sangat membantu dan mendukung penulis
sampai selesainya tesis ini. Semoga segala bantuan dan dukungan kepada penulis
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang berguna bagi tesis ini.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak, atas
perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Juli 2007
Penulis
( SRI HADININGRUM)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
N a m a : Sri Hadiningrum
Tempat /tanggal lahir : Padang Sidempuan, 13 September 1967
Jenis kelamin : Perempuan
A g a m a : Islam
Instansi : Fakultas Ilmu Sosial
Jurusan PPKn - Universitas Negeri Medan
Pendidikan : SD. Harapan II Medan ( Lulus Tahun 1980)
SMP Harapan I Medan (Lulus Tahun 1983)
SMA Neg. I Medan (Lulus Tahun 1986)
Fakultas Hukum USU Medan (Lulus Tahun 1992)
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
DAFTAR ISI
ABSTRACT...
i
INTISARI ... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
1. Latar Belakang... 1
2. Perumusan Masalah... 8
3. Tujuan Penelitian... 9
4. Manfaat Penelitian... 9
5. Keaslian Penelitian... 10
6. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11
a. Pengertian HaKI... 16
7. Metode Penelitian... 21
a. Sifat Penelitian... 22
b. Lokasi, Populasi dan Sampel... 22 c. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 23
d. Analisa Data... 24
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM DESAIN INDUSTRI... 26
1. Objek HaKI... 26
3. Pengaturan Internasional di Bidang Desain Industri dan
Implikasinya terhadap Pengaturan Desain Industri di Indonesia... 31
a. Konvensi Paris ... 34
b. Konvensi Berne... 37
c. Persetujuan Hague... 39
4. Ruang Lingkup Desain Industi ... 43
a. Pengertian Desain Industri... 43
b. Persepsi, Pembentukan Persepsi dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi... 51
c. Subjek Desain Industri... 55
d. Lingkup Hak Desain Industri... 57
e. Klasifikasi Desain Industri Berdasarkan Lacarno Agreement..62
f. Jangka Waktu Perlindungan Desain Industri... 65
BAB III PERSEPSI PENDESAIN/PELAKU USAHA FURNITURE DI KOTA MEDAN TERHADAP PENTINGNYA PERLINDUNGAN DESAIN INDUSTRI... 69
1. Gambaran Umum Kota Medan... 69
2. Hasil Penelitian ... 73
a. Identitas Responden... 73
BAB IV FAKTOR– FAKTOR YANG MENYEBABKAN PENDESAIN/
PENGUSAHA FURNITURE TIDAK MENDAFTARKAN DESAIN
INDUSTRINYA ... 85
1. Pentingnya Perlindungan Hukum Desain Industri ... 85
2. Beberapa Faktor Penyebab Pendesain/Pengusaha Furniture tidak Mendaftarkan Desain Industrinya ... 89
3. Keterkaitan Perlindungan Hukum Desain Industri dengan Kemajuan Sektor Perindustrian dan Perekonomian Indonesia ... 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 105
1. Kesimpulan... 105
2. Saran... 106
DAFTAR PUSTAKA... 108
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah, Laju Pertumbuhan Dan Kepadatan Penduduk di Kota
Medan Tahun 2001 – 2005... 70
Tabel 2. Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan... 73
Tabel 3. Distribusi Responden Menurut Usia... 73
Tabel 4. Distribusi Responden Menurut Lama Usaha... 74
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Kapasitas Produksi Potensial (Perbulan)... 74
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Besarnya Investasi (Rupiah) .... 75
Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tenaga Kerja... 75
Tabel 8. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pentingnya Penerapan Perlindungan Desain Industri Terhadap Usaha Furniture... 76
Tabel 9. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Manfaat Perlindungan Desain Industri Terhadap Perkembangan Industri Usaha Furniture... 77
Tabel 10. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Adanya Perbedaan Khusus Antara Produk Antar Pengusaha Furniture... 77
Tabel 11. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Adanya Pendaftaran Desain Industri Pengusaha Furniture di Dirjen HaKI atau Departemen Kehakinan... 78
Tabel 12. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pengetahuan Pengusaha Furniture Terhadap Peraturan Perundang-undangan... 79
Tabel 13. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pernyataan Pemegang Hak Milik Hak Monopoli Terhadap Desain Tersebut... 80
Tabel 14. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Adanya Peluang Untuk Melakukan Pembajakan Terhadap Desain Industri Tertentu.... 80
Tabel 15. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Adanya Himbauan Pemerintah Untuk Melakukan Pendaftaran Desain Industri... 81
Akibat Kelalaian Tidak Melakukan Pendaftara Desain Industri.. 81
Tabel 17. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Penemuan Adanya
Persamaan Desain Dengan Desain Pengusaha Furniture
Lainnya... 82
Tabel 18. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Pemehaman Terhadap
Fungsi Atau Makna Dari Peraturan Perundang-undangan... 82
Tabel 19. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Perlindungan Desain
Industri Dapat Menanggulangi Teradinya Pelanggaran... 83
Tabel 20. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Perlindungan Desain
Industri akan Meningkatkan Penghasilan Pengusaha Furniture.. 83
Tabel 21. Distribusi Jawaban Responden Mengenai Perlunya Diadakan
Pengawasan Secara Periodik Oleh Pemerintah... 84
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri
dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut
adalah dengan memanfaatkan peranan Desain Industri yang merupakan bagian
dari Hak Kekayaan Intelektual. Keanekaragaman budaya yang dipadukan dengan
upaya untuk ikut serta dalam globalisasi perdagangan, dengan memberikan pula
perlindungan hukum terhadap Desain Industri akan mempercepat pembangunan
industri nasional.
Dalam kaitan dengan globalisasi perdagangan, Indonesia telah
meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on
Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (Persetujuan TRIPs)
sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.
Ratifikasi atas Persetujuan-persetujuan tersebut mendukung ratifikasi Paris
Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) dengan
Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan keikutsertaan Indonesia dalam
The Haque Agreement (London Act) Concerning The International Deposit of
Industrial Designs.1
1
Perlindungan atas desain industri didasarkan pada konsep pemikiran
bahwa lahirnya desain industri tidak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta,
rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Jadi ia merupakan produk intelektual
manusia, daya cipta atau daya kreasi.
Jika desain industri itu semula diwujudkan dalam bentuk lukisan,
karikatur atau gambaran/grafik, satu dimensi yang dapat diklaim sebagai hak
cipta, maka pada tahapan berikutnya ia disusun dalam bentuk dua atau tiga
dimensi dan dapat diwujudkan dalam satu pola yang melahirkan produk materil
dan dapat diterapkan dalam aktivitas industri. Dalam wujud itulah kemudian ia
dirumuskan sebagai desain industri.2
Pemikiran perlunya perlindungan terhadap sesuatu hal yang berasal dari
kreativitas manusia, yang diperoleh melalui ide-ide manusia, sebenarnya telah ada
sejak lahirnya revolusi industri di Perancis pada abad ke-19. Perlindungan atas
hak kebendaan yang diatur dalam hukum perdata yang berlaku saat itu dianggap
tidak memadai, terlebih lagi dengan maraknya kegiatan perdagangan
internasional. Hal itulah yang kemudian melahirkan konsep perlunya suatu
ketentuan yang bersifat internasional yang dapat melindungi kreativitas manusia
tersebut.3
Keberadaan HaKI dalam hubungan antar manusia dan antar negara
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HaKI merupakan sesuatu yang
penting dalam sebuah masyarakat industrial atau yang sedang mengarah ke sana.
2
Dalam perundang-undangan Indonesia rumusan desain industri semula dijumpai dalam UU. No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Istilah yang dijumpai dalam UU tersebut adalah “desain produk industri”. Sedangkan istilah “industrial design” sering digunakan oleh masyarakat Eropa dan Jepang, lebih lanjut lihat Suyud Margono, Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: Penerbit CV Novindo Pustaka Mandiri, 2002), hal. 31.
3
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Rahasia Dagang, (Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 17.
Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu
sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau
tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HaKI.
HaKI atau Intellectual Property Rights menjadi bagian penting bagi
dunia usaha sebagai identitas yang memiliki nilai ekonomi strategis dan
signifikan, baik bisnis nasional maupun transnasional. Namun perlindungannya
sering kali terabaikan karena tidak ada kesadaran para pengusaha dan pemerintah.
Di samping itu, penghargaan masyarakat Indonesia terhadap HaKI,
khususnya bidang desain industri, masih sangat rendah. Sebagai contoh banyak
hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian atau kreasi dari
pendesain yang tidak dikembangkan lebih jauh karena tidak adanya dukungan dari
kalangan industri. Sebaliknya, ada kemauan dari kalangan industri tertentu untuk
mengembangkan kreativitas dari putra/putri Indonesia tetapi karya yang
diharapkan malah tidak didapatkan sehingga pihak industri tersebut tetap
bergantung kepada hasil karya bangsa asing.
Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade
Organization) yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Perjanjian
Multilateral GATT (General Agreement on Tariff and Trade) Putaran Uruguay
1994 serta meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994,
mengakibatkan Indonesia harus menyesuaikan segala peraturan perundangannya
dengan ketentuan dalam GATT. Salah satu lampiran dari persetujuan GATT
tersebut adalah TRIPs (Trade Related of Intellectual Property Rights) yang
Aspek Dagang Hak Kepemilikan Intelektual, yang dimulai sejak tahun 1997 dan
diperbaharui kemudian pada tahun 2000 dan 2001.4
Sebagai konsekuensi dari ratifikasi GATT dan konvensi-konvensi
internasional di bidang HaKI, Indonesia juga harus menyesuaikan
ketentuan-ketentuan yang diharuskan yaitu Undang-Undang tentang Hak Cipta, Paten,
Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Istilah hak cipta, paten dan merek memang sangat terkenal berkaitan
dengan HaKI. Sebuah produk biasanya hanya didaftar untuk memperoleh hak
cipta, merek atau paten. Padahal, dalam sebuah produk tidak hanya ketiga unsur
tersebut, masih ada unsur penting yang turut menentukan nilai produk, yakni
desain industri. Tak dapat dipungkiri bahwa desain memegang peranan penting
dalam meningkatkan nilai suatu produk. Barang yang sederhana sekalipun,
apabila didesain secara menarik akan meningkatkan harga dan minat beli terhadap
produk tersebut.
Kekayaan alam Indonesia yang melimpah merupakan komoditi ekspor
yang potensial apabila diproduksi dengan baik dan didesain dalam suatu bentuk
yang menarik dan fungsional. Sebagai contoh dapat dikemukakan ekspor produk
furniture yang dihasilkan pengusaha di Kota Medan yang didesain dengan
menarik ternyata dapat menembus pasar internasional. Dengan demikian jelaslah
bahwa desain industri dapat digunakan sebagai salah satu sarana pembangunan
industri sebagai sarana pembangunan industri yang akan menunjang
pembangunan ekonomi di Kota Medan. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa
4
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas (Jakarta : Grasindo, 2004), hal. 1.
pengusaha furniture di Kota Medan belum memahami eksistensi desain industri
sebagai sarana pembangunan ekonomi tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kurangnya penghargaan yang diberikan oleh masyarakat terhadap desain industri
dan kurangnya semangat untuk berkreasi. Selain itu, hal yang amat
mengkhawatirkan adalah sampai saat ini perlindungan hukum terhadap desain
industri di Indonesia belum maksimal.
Perlindungan hukum terhadap hak desain industri seolah tenggelam
dalam maraknya kampanye anti pembajakan terhadap hak cipta dan merek.
Desain industri mulai mendapat perhatian dengan terbitnya Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang berlaku sejak 20 Desember
2000. Pendaftaran sendiri baru dimulai pada tanggal 16 Juni 2001. Tak heran, bila
desain industri kurang dikenal dibandingkan hak cipta, paten atau merek. Padahal
desain bagi masyarakat menjadi indikator akan nilai sebuah produk.
Ironisnya di Indonesia, desain yang didaftar masih sangat sedikit
dibandingkan banyaknya jumlah produk yang dikeluarkan dalam industri. Tidak
didaftarkannya suatu desain industri mengakibatkan desain tersebut tidak
memperoleh perlindungan hukum, sehingga apabila ada pihak lain yang meniru
desain tersebut maka pendesain yang asli tidak akan dapat mengajukan tuntutan.
Direktur Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
dan Rahasia Dagang Departemen Kehakiman dan HAM, Ernawati Junus
mengakui besarnya ketidaktahuan masyarakat terhadap perlindungan desain
industri.5 Saat ini pendaftaran terhadap desain industri yang masuk baru 8000
5
Harian Umum Sore Sinar Harapan, Kamis, 3 Februari 2005.
aplikasi dan diantaranya hanya 49 aplikasi berasal dari Usaha Kecil dan
Menengah (UKM). Statistik pemohon dari luar negeri 14 persen dan 86 persen
berasal dari dalam negeri.6
Pembajakan desain memang tak jarang dianggap sepi, tak heran kasus
pembajakan ini yang muncul ke permukaan nyaris tidak ada. Padahal sebuah
desain, sangat mudah untuk dijiplak. Hanya dengan memotret produk itu,
membuatnya dengan desain yang sama dan mendaftarkan atas nama dirinya maka
pihak lain bisa mendapatkan hak atas desain produk tersebut. Secara tidak
langsung seseorang bisa mendapatkan hak desain industri yang seharusnya milik
orang lain secara legal.
Industri maupun masyarakat harus berjaga-jaga dengan pembajakan
desain, terlebih banyaknya industri terutama UKM yang tidak perduli dengan hal
ini. Karena itu, pendesain kerap tidak mempunyai hak atas kreativitas yang
dihasilkannya. Pendesain akhirnya hanya jadi tukang dan yang mendaftarkan
adalah orang lain, bahkan kepemilikan hak desain bisa berada di tangan orang
asing.
Hingga kini Indonesia masih saja mencari bentuk pengaturan dan
perlindungan desain industri yang lebih baik. Sistem pendaftaran yang diatur oleh
Undang-undang Nomor 31 tahun 2000 dinilai masih mempunyai banyak
kelemahan, sehingga memberi peluang untuk melakukan kecurangan. Kemudian
dari sistem pendaftaran juga tidak memungkinkan adanya pemeriksaan substantif
seperti halnya paten atau merek. Hal ini disebabkan karena perhatian pemerintah
6
Ibid
lebih pada mendorong lahirnya kreativitas. Kreativitas ini diharapkan akan
meningkatkan nilai jual produksi sehingga semakin kompetitif. Akan tetapi tanpa
dorongan dan keseriusan dari pemerintah dalam melindungi desain industri maka
hal ini mustahil terjadi.
Permasalahan mengenai HaKI, khususnya desain industri, akan
menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial budaya dan
berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya
perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan
mampu mengatasi berbagai masalah yang timbul berkaitan dengan HaKI tersebut.
Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga
mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada
tujuan berhasilnya perlindungan HaKI.
Keikutsertaan Indonesia dalam WTO mengharuskan Indonesia
memberikan perlindungan hukum mengenai desain industri. Berhubung sampai
saat ini pengaturan hukum mengenai desain industri belum dapat memberi
perlindungan yang memadai terhadap desain industri, Indonesia perlu mengkaji
ulang undang-undang yang mengatur mengenai desain industri agar dapat
menjamin perlindungan hak-hak pendesain dan menetapkan hak dan
kewajibannya serta menjaga agar pihak yang tidak berhak tidak menyalahgunakan
hak desain industri.
Lemahnya perlindungan terhadap desain industri di Indonesia karena
hukum yang mengatur mengenai desain industri belum memberikan perlindungan
asing untuk melakukan pembajakan HaKI milik Indonesia. Salah satu misalnya
adalah tindakan Malaysia yang telah mengajukan pendaftaran hak cipta, hak paten
dan desain industri atas batik. Mereka juga berencana akan membuka pabrik jamu
dalam lima tahun mendatang. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan kerugian
yang besar bagi Indonesia.
Untuk itulah diperlukan suatu perlindungan hukum yang memadai
terhadap desain industri guna mencegah berbagai bentuk pelanggaran atas hak
desain industri khususnya terhadap pengusaha furniture di Kota Medan. Juga
untuk menumbuhkan semangat berkarya sehingga mampu meningkatkan daya
saing dan nilai ekonomis produk furniture pengusaha di Kota Medan, baik di
pasar domestik maupun di pasar internasional.
Berdasar uraian di atas, penulis termotivasi untuk meneliti lebih lanjut
mengenai Persepsi Pengusaha Furniture di Kota Medan terhadap Pentingnya
Perlindungan Desain Industri.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pemahaman pelaku usaha furniture tentang perlindungan
desain industri di Kota Medan?
b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan pendesain/pengusaha furniture tidak
mendaftarkan desain industrinya di Kota Medan?
c. Bagaimanakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang diuraikan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan mendalami pemahaman pelaku usaha furniture tentang
perlindungan desain industri di kota Medan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Pendesain/Pengusaha
Furniture tidak mendaftarkan desain industrinya di kota Medan.
c. Untuk mengetahui dan mendalami upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum desain industri dengan kemajuan sektor perindustrian
dan perekonomian.
4. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini dapat diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
a. Dari segi teoritis, penelitian ini akan menambah wawasan ilmu hukum
terhadap perlindungan Hak Milik Intelektual khususnya perlindungan terhadap
desain industri dan dapat menjelaskan dan mengatasi sebagian problem hukum
yang timbul dalam perlindungan desain industri, selain itu dapat membantu
dalam memberikan perlindungan terhadap pelanggaran yang terjadi dalam
Hak Milik Intelektual khususnya desain industri.
b. Dari segi praktis, penelitian ini dapat menambah masukan dan wacana kepada
masyarakat luas yang berhubungan dengan perlindungan Hak Milik
instansi pemerintah, praktisi hukum dan pihak-pihak instansi lainnya yang
sedang dan atau akan menghadapi perlindungan Hak Milik Intelektual
khususnya perlindungan desain industri.
5. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai masalah Persepsi Pengusaha Furniture di Kota Medan terhadap
Pentingnya Perlindungan Desain Industri belum pernah dilakukan dalam topik
dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai
dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua
ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang Persepsi Pengusaha
Furniture di Kota Medan terhadap Pentingnya Perlindungan Desain Industri, juga
pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal di atas,
ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan
yang sama oleh peneliti lainnya baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara
maupun Perguruan Tinggi lainnya.
6. Kerangka Teori dan Konsepsi
Dalam penulisan tesis yang berjudul Persepsi Pengusaha Furniture di Kota
Medan terhadap Pentingnya perlindungan Desain Industri mempergunakan
kerangka teori yang pada dasarnya adalah merupakan landasarn teori.
Roscoe Pound, berpendapat bahwa Hukum merupakan sarana (alat)
pembaharuan (membentuk, membangun, merubah) atau Law as tool of social
Enginering. Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat telah menjadi tujuan
yang filosofis, yang berarti bahwa hukum sebagai alat pembaharuan telah berlaku
atau diterima, oleh negara yang sedang berkembang ataupun oleh negara yang
telah maju (modern) dan bagi negara yang sedang berkembang hukum itu sangat
penting karena hukum bukan hanya untuk memelihara ketertiban, melainkan
hukum itu sebagai alat pembaharuan sikap mental masyarakat yang tradisional
kearah sikap mental masyarakat modern. Dalam pengertian sebagai sarana
rekayasa sosial, maka hukum tidak pasif dimana hukum mampu dipakai untuk
mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju sesuai dengan
keamanan masyarakat.7
Sebagaiman pendapat Montesquieu tentang tujuan hukum adalah :
“have suggested that law and legal evolution are part of the idiosyncratic historical development of a country. And that they are determined by multiple factors, including culture, geography, climate, and religion, Although law is by no means static, legal evolution in each country is distinct and will produce vastly differen out comes. Far from converging over time, legal instiotution remain different. The idea that law is culturally distinct applies as much to the law governing private transactions (les lois civiles) as to “les lois politiques” – constitutional law, administrative law, and judicial procedural law - the legal processes that define the relation between the state and citizens. The same idea is also reflected in writing of the German Scholar Friedrich Carl von Savigni (1814), who argued that the soul of the people, the “Volksgeist,” shapes political and legal institution. (yang terjemahannya kira-kira telah menyarankan bahwa hukum dan evolusi undang-undang adalah bahagian dari perkembangan sejarah idiosincratik dari suatu negara dan mereka ditentukan oleh faktor-faktor yang beragam termasuk budaya, geografi, iklim dan agama, ide ini adalah suatu hukum budaya yang menyediakan
7
Roscoe Pound, dikutip oleh Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia
Menghadapi Globalisasi: Studi Kasus Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi,
sebanyak hukum transaksi kepemerintahan, seperti Hukum Konstitusional, Hukum Administrasi dan Hukum Acara di Pengadilan yang diproses secara Undang-undang yang mana mengartikan hubungan antara Negara dan Bangsa. Ini juga sama seperti yang dikatakan oleh penulis Germany Scholar (1814) yang mengargumentasikan bahwa jiwa setiap orang “Volksgeist” adala ruang praktik dan institusi undang-undang)8.
Menurut teori kegunaan, Hukum dipandang sebagai suatu alat yang
digunakan untuk mempromosikan hubungan ekonomi. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Jeremy Bentham pada tulisannya pada abad 19,
“ law has been increasingly viewed not as the result of socioeconomic development, but as a tool for governments to initiate and shape economic development. The most famous propents of this scholl of thought is John Stuart Mill, Who Coined the term “ Utilitarianism (Stei, 1980). “According to this theory, laws can and should be designed to enhance efficiensy and to reduce transaction costs, ultimately promoting growth. This theory assumes that legal change has a direct impact on the behavior of economic agents and therefore on economic development)”9 (Yang terjemahannya kira-kira : Hukum telah di pandang secara maju bukan sebagai hasil dari perkembangan sosioekonomi, tetapi suatu alat untuk pemerintah menginisiasikan perkembangan ekonomi.Menurut John Stuart Mill dalam teori hukum dapat dan seharusnya di desain mempertinggi efisiensi dan menolak biaya transaksi. Dan pada akhirnya pada pertumbuhan promosi.Teori ini mengasumsikan bahwa perubahan undang-undang Hukum mempunyai suatu pengaruh yang langsung pada sifat dari wakil ekonomi dan bagaimanapun juga dalam perkembangan ekonomi.)
Demikian juga Jeremy Bentham melihat hukum dari tujuannya yang
menguraikan sebagai berikut :
-“The greatest happiness for the greates number” (Yang terjemahannya Hukum bertujuan memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang sebanyak-banyaknya).
- Di bagian lain tujuan hukum ialah untuk menyempurnakan kehidupan, mengendalikan kelebihan, memajukan persamaan dan menjaga kepastian”10
8
Katharina Pistor and Philip A. Wllons, The Role Of Law And Legal Institutions In Asia
Economic Development 1960 – 1995. Printed in Hong Kong Piblished by Oxford University Press
(China) 1999, Ltd 18 th Floor Warwik House East Taikoo Place, 979 Kong’s Road, Quarry Bay Hong Kong. hal 35
9
Ibid hal 35
10
Mustafa Siregar, Sari Kuliah Filsafat Hukum, Pascasarjana USU Medan, tanggal 25 Februari 2002
Prinsip utama dari pada Hak atas Desain Industri yang merupakan bagian
dari kemampuan kreativitas cipta, rasa dan karsa yang dimiliki oleh manusia yang
merupakan hasil produk intelektual manusia, maka si pendesain yang
menghasilkan karyanya mendapatkan kepemilikan yang berupa hak alami
(natural) dan perlu dilindungi oleh hukum agar bagi orang-orang yang inovatis
dan kreatif terhadap karya intelektuanya bergairah dan mempunyai kepastian
hukum. Sebagaimana juga sistem hukum yang berlaku di Roma mengatur cara
perolehan alami (natural acquistion) berbentuk spesifikasi yaitu melalui
penciptaan. Pandangan demikian terus didukung dan dianut banyak sarjana mulai
dari Locke sampai kepada kaum sosialis. Sarjana-sarjana hukum Romawi
menamakan apa yang diperoleh di bawah sistem masyarakat ekonomi dan hukum
yang berlaku sebagai perolehan sipil dipahamkan bahwa azas Suum cuique
tribuere menjamin bahwa benda yang diperoleh secara demikian adalah
kepunyaan seseorang itu.11
Pengaturan desain industri dengan undang-undang juga dimaksudkan
untuk memberikan landasan yang jelas bagi perlindungan hukum guna mencegah
terjadinya berbagai bentuk pelanggaran yang berupa pembajakan, penjiplakan
atau peniruan atas desain produk-produk yang sudah terkenal. Prinsip
pengaturannya adalah pengakuan kepemilikan atas suatu pola sebagai karya
11
Roscoe Pound, Dikutip oleh Muhammad Djumhana dan R. Djubaedilah, Hak Milik
Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia), (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya
Bakti, 1993, hal.19
intelektual yang mengandung nilai estetik, dan dapat diproduksi secara
berulang-ulang serta menghasilkan barang dalam dua atau tiga dimensi.12
Perlindungan desain industri atas suatu ciptaan inovatif dan kratif
seseorang di Indonesia baru diakui setelah desain industrinya tersebut didaftarkan
dan memperoleh hak desain industri dari Dirjen HaKI. Hak desain Industri ini
adalah hak khusus (executive right) yang diberikan oleh Negara Republik
Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya, untuk selama waktu tertentu
melaksanakan kreasi tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya.13 Hak desain industri diberikan hanya untuk desain
industri yang baru, dan desain itu dianggap baru apabila pada tanggal
penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah
ada sebelumnya baik melalui media cetak atau media elektronil, termasuk juga
keikutsertaan dalam suatu pameran. Pengungkapan sebelumnya adalah
pengungkapan desain industri yang sebelum tanggal penerimaan atau sebelum
tanggal prioritas apabila pemohon diajukan dengan hak prioritas, telah
diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia.14
Adapun desain hasil karya dari pendesain yang dimaksud dalam UUDI
adalah hasil karya seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain
industri15 termasuk juga yang dihasilkan oleh badan hukum. Dan tidak semua
permohonan dapat diberi hak desain industri apabila hak desain industrinya
12
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2001) hal.226.
13
Pasal 1 angka (5 ) UUUDI
14
Pasal 2 UUDI
15
Pasal 1 angka (2) UUDI
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ketertiban umum atau kesusilaan.16
Dengan Hak desain yang dimiliki seseorang maka dia berhak untuk
melaksanakan hak desain industrinya dan melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya membuat, menjual, atau mengimpor produk yang diberikan oleh
Hak Desain Industri.17 Apabila ada dalam hubungan dinas di lingkungan
pekerjaan maka yang berhak atas desain tersebut adalah orang yang mengerjakan
desain itu. Akan tetapi bila diperjanjikan lain maka yang berhak sebagai
pendesain adalah orang yang memberikan pekerjaan, tanpa mengurangi hak
pendesain yang sebenarnya apabila penggunaan desain industri itu diperluas
keluar hubungan dinas.18
Apabila suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atau
berdasarkan pesanan, maka pihak yang membuat desain industri itu dianggap
sebagai pendesain dan pemegang hak desain industri, akan tetapi jika
diperjanjikan lain atara kedua pihak, maka yang berhak sebagai pemegang hak
desain industri adalah pihak pemberi kerja.19
Hubungan kerja yang dimaksud dalam ketentuan Undang-undang ini
adalah hubungan kerja baik di lingkungan Instansi pemerintah maupun
perusahaan swasta dengan pihak lain, atau dasar pesanan individu dengan
individu. Demikian juga dalam peraturan ini, walaupun si pendesain yang
sebenarnya tidak berhak atas desain industri, akan tetapi mengingat adanya
16
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit.hal 268
17
Pasal 9 ayat (1) UUDI, Bandingkan dengan ketentuan dalam Articel 26 Persetujuan TRIPs.
18
Pasal 7 ayat (1) UUDI
19
Pasal 7 ayat (3) UUDI
manfaat ekonomi yang diperoleh dari desain industri yang dibuat tersebut,
sebagaimana menurut Abdulkadir Muhammad :20
“adalah wajar bila si pendesain yang sebenarnya memperoleh hak untuk menikmati manfaat dari hasil desainnya tersebut dalam bentuk imbalan sebagai konpensasi, dan juga tidak menghapus hak pendesain untuk tetap dicantumkan namanya dalam Daftar Umum Desain Industri dan Berita Resmi Desain Industri”.
Dari uraian tersebut di atas maka pemberian hak desain industri menurut
UUDI adalah suatu desain industri yang telah mendapat persetujuan atas
permohonan pendaftarannya melalui Direktorat Jenderal HaKI, yang artinya
seseorang yang mendesain suatu produk, akan tetapi tidak mendaftarkan hasil
desainnya ke Dirjen HaKI, maka dia tidak akan mendapat perlindungan. Bahkan
menurut Undang-undang pemberian hak desain industri hanya diberikan kepada
pendaftar pertama (first to file), hal ini sebagaimana pendapat dari Suyud
Margono dan Amir Angkasa yang menyatakan : “orang yang pertama mengajukan
permohonan hak atas desain industri bukan berdasarkan orang yang pertama
mendesain akan tetapi orang yang pertama mendaftarkan hasil desain
industrinya”21
a. Pengertian HaKI
Karya-karya intelektualitas dari seseorang atau manusia tidak sekedar
memiliki arti sebagai arti akhir, tetapi juga sekaligus merupakan kebutuhan yang
bersifat lahiriah dan batiniah baik bagi pencipta atau penemunya maupun orang
lain yang memerlukan karya-karya intelektualitas tersebut. Dari karya-karya
intelektualitas itu pula dapat diketahui dan diperoleh gambaran mengenai
20
Abdulkadir Muhammad, Op-Cit, hal 269
21
Suyud Margono dan Amir Angkasa, Komersial Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), hal.36.
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, sastra bahkan teknologi
yang sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan
martabat manusia. Demikian pula karya-karya intelektualitas itu juga dapat
dimanfaatkan bagi kemaslahatan masyarakat. 22
Intellectual Property Rights (Hak Kekayaan Intelektual) merupakan hak
yang melekat pada suatu produk/barang hasil karya manusia yang harus
dilindungi oleh hukum. Perlindungan ini sangat penting mengingat di samping
biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan oleh penemu tidak sedikit, juga untuk
mendorong gairah inovasi orang-orang yang kreatif.23
Bouwman-Noor Mout mengatakan bahwa HaKI merupakan hasil kegiatan
berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu
bentuk baik materil maupun immateril. Bukan bentuk jelmaannya yang dilindungi
akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang
seni, industri dan ilmu pengetahuan atau ketiga-tiganya.24
Mieke Komar Kantaatmadja, mengatakan bahwa HaKI merupakan suatu
hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan
karya-karya inovatif yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia.25
HaKI dapat diartikan sebagai hak atas kepemilikan karya-karya yang
timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang
22
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia (Bandung : Penerbit Alumni, 2003), hal. 3. 23
Taryana Soenandar, Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-Negara ASEAN (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1996), hal. 1.
24
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelektual Property Right), Cet. I, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 9.
25
Mieke Komar Kantaatmadja, Penelitian Hukum Mengenai Perlindungan atas
Kekayaan Intelektual di bidang Penginderaan Jauh di Indonesia (BPHN, Departemen Kehakiman,
1994-1995), hal. 41.
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan
tidak berwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang atau
manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa
dan karyanya, yang memiliki nilai-nilai moral, praktis dan ekonomis. Pada
dasarnya yang termasuk dalam lingkup HaKI adalah segala karya dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan melalui akal atau daya pikir seseorang
atau manusia tadi. Hal inilah yang membedakan HaKI dengan hak milik lainnya
yang diperoleh dari alam.
Esensi yang terpenting dari setiap bagian HaKI ini adalah adanya suatu
ciptaan tertentu (creation) di bidang kesenian (art), dalam bidang industri, ilmu
pengetahuan, maupun kombinasi dari ketiga bidang tersebut yang masing-masing
mempunyai istilah tertentu.
Seiring dengan pembentukan WIPO, istilah Intellectual Property diartikan
dalam pengertian yang luas dan meliputi :
1. Karya-karya kesusastraan, kesenian dan ilmu pengetahuan (literary, artistic and scientific works)
2. Pertunjukan oleh para artis, kaset dan penyiaran audio visual (performances of performing artist, phonograms, and broadcasts) 3. Penemuan teknologi dalam semua bidang usaha manusia (invention in
all fields of human endeavor)
4. Penemuan ilmiah (scientific discoveries) 5. Desain industri (industrial designs)
6. Merek Dagang, nama usaha dan penentuan kemersial (trade marks, service marks, and commercial names and design nations)
7. Perlindungan terhadap persaingan tidak sehak (protection against unfair competition)
8. Segala hak yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia di bidang industri, ilmu pengetahuan, kesusastraan atau kesenian (all
other resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary or artistic fields).26
Dari perkembangan yang ada, pengaturan HaKI kini menempatkan
undang tidak semata-semata bersifat tambahan melainkan pembuat
undang-undang telah bermaksud untuk memberikan suatu ketentuan yang bersifat
memaksa, namun perubahan tersebut masih bertumpuh pada sifat asli yang ada
pada HaKI tersebut, yaitu :
1) Mempunyai jangka waktu yang terbatas.
Jangka waktu perlindungan HaKI ditentukan secara jelas dan pasti dalam
undang-undang tetapi tidak sama bagi semua jenis, misalnya di Indonesia
paten dilindungi selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan
permintaan paten, sedang desain industri selama 10 tahun.
2) HaKI bersifat eksklusif dan mutlak.
Maksudnya adalah bahwa hak tersebut dapat dipertahankan terhadap
siapapun yang mempunyai hak tersebut dapat menuntut terhadap
pelanggaran yang dilakukan terhadap siapapun. Si pemilik/pemegang
HaKI mempunyai suatu hak monopoli bahwa ia dapat mempergunakan
haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat
ciptaan/penemuannya ataupun menggunakannya.
3) HaKI bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan dalam lingkup hak-hak
perdata.
Hal ini diakui dalam TRIP’s (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights) sebagaimana tercantum dalam konsiderans
26
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 5.
TRIP’s yang menyatakan, Members, Recognizing that Intellectual
Property Rights are private rights.
Sifat-sifat HaKI ini berlaku secara umum dan diakui oleh negara-negara di
dunia, akan tetapi setiap negara penekanannya selalu berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan sistem hukum, sistem politik dan landasan filosofi
suatu negara, maupun sejarah dan kondisi ekonomi negara tersebut.
Perlindungan terhadap HKI akan memberikan kepastian hukum dan juga
dapat memberikan manfaat secara ekonomo makro dan mikro sebagai berikut :27
1) Perlindungan HKI yang kuat dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan landasan teknologi nasional guna memungkinkan pengembangan teknologi yang lebih cepat lagi.
2) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya gairah pencipta atau penemuan sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
3) Pemberian perlindungan hukum terhadap HKI bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap hasil karya dan karsa manusia, melainkan secara ekonomi merupakan penciptaan suasana yang sehat untuk menarik penanam modal asing serta memperlancar perdagangan internasional.
Untuk memajukan sektor industri di Indonesia melalui pemberdayaan
HKI, khususnya desain industri, diperlukan pengaturan desain industri dengan
memperhatikan keadilan (justice) seperti yang diajarkan Adam Smith. Adam
Smith merupakan Bapak Ekonomi Modern yang mengatakan bahwa tujuan
keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to scure from
injure). Ajaran Adam Smith ini menjadi dasar hubungan yang tidak dapat
dipisahkan antara hukum dan ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa antara
ekonomi dan politik mempunyai hubungan yang erat, yang pada gilirannya
27
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori, dan
Prakteknya di Indonesia, Cetakan Kedua (Bandung: Penerbit Citra Baktu,1997).
dikenal dengan istilah ekonomi politik (political economic). Salah satu tujuannya
adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu
menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik dimana ekonomi politik
berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah
sekaligus.28
Sedangkan menurut Bismar Nasution, dalam pembangunan ekonomi,
hukum ekonomi harus berlandaskan hukum yang rasional. Karena dengan hukum
modern atau rasional tersebut akan dapat dilakukan pengorganisasian
pembangunan ekonomi. Adapun yang menjadi ciri dari hukum modern ini adalah
penggunaan hukum secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Dengan cara pendekatan ini, diharapkan akan tercipta penerapan keadilan dan
kewajaran, serta secara proporsional dapat memberikan manfaat pada masyarakat.
Aturan hukum tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek saja, akan tetapi
harus berdasarkan kepentingan jangka panjang.29
7. Metode Penelitian
Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka
metode yang akan dipergunakan adalah juridis empiris yaitu mengkaji
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Perlindungan Desain Industri.
Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian
mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut:
28
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Medan: 17 April 2004), hal. 4-5.
29
Memoles Hukum Mengundang Investasi, Harian Medan Bisnis, Sabtu 5 Juni 2004,
hal. 8.
a. Sifat Penelitian
Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu: “suatu
penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan (menggambarkan) secara
sistematis, faktual dan akurat terhadap sesuatu populasi atau daerah tertentu,
mengenai sifat-sifat atau faktor-faktor tertentu”,30
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
empiris. Pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji tentang peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan perlindungan
desain industri dan selanjutnya dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek
pelaksanaan perlindungan desain industri.
b. Lokasi, Populasi dan Sampel
Penelitian ini berlokasi di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, karena
selain merupakan Ibukota Propinsi Sumatera Utara, juga letak kota Medan
berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur lalu
lintas terpadat di dunia, di samping itu juga Kota Medan memiliki posisi strategis
sebagai pintu gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik
perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Juga karena
keingintahuan penulis mengenai persepsi pengusaha furniture di Kota Medan
terhadap perlindungan desain industri.
30
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 36.
Populasi penelitian adalah semua pengusaha furniture di Kota Medan
yang jumlahnya 55.31 Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive
sampling yaitu sebanyak 20 (dua puluh) pengusaha furniture di Kota Medan.
Dalam melengkapi data-data yang telah diperoleh dari responden di atas,
maka diperlukan tambahan informasi dari nara sumber, yaitu :
1. Kabag Hukum pada Kantor Wilayah Hukum Hak Asasi Manusia Propinsi
Sumatera Utara.
2. Organisasi Pelaku Usaha Furniture : Asmelindo (Asosisasi Mebel Indonesia
Cabang Medan).
3. Ketua Pengadilan Negeri dan Niaga Medan
4. Ahli Hukum HaKI
c. Teknik dan Alat Pengumpul Data
Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan dua jenis teknik
pengumpul data, yaitu :
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research), dilakukan untuk menghimpun
data sekunder dari peraturan-peraturan. Data sekunder diperoleh melalui bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tertier yaitu
melalui penelitian kepustakaan (Library Research) berupa :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu,
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan
perlindungan desain industri.
31
Data diperoleh dari Kantor Dinas Perindustrian Kota Medan tahun 2006
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer berupa hasil penelitian di bidang hukum dan karya ilmiah
lainnya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa
kamus.
2. Penelitian lapangan (Field Research), dilakukan untuk memperoleh data
primer yang diperoleh langsung dari para responden yaitu pengusaha furniture
di Kota Medan.
Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan cara :
1. Studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori,
buku-buku, hasil penelitian, buletin-buletin dan dokumen-dokumen lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
2. Wawancara langsung dengan menemui pihak-pihak terkait dengan
permasalahan yang diteliti, yang dapat dipertanggungjawabkan akan isi dan
kebenarannya, dengan menggunakan pedoman wawancara.
3. Kuesioner dengan menggunakan daftar pertanyaan terbuka dan tertutup untuk
responden.
d. Analisis Data
Sesuai dengan sifat penelitian yang deskriptif analisis maka analisis data
dilakukan dengan editing dan coding data dan selanjutnya mengelompokkan
selanjutnya memasukannya ke dalam tabel frekuensi agar dapat ditafsirkan, dan
kemudian diuji rata-rata dari setiap jawaban responden berdasarkan pertanyaan
Variabel (X) Persepsi dan Variabel (Y) perlindungan Desain Industri serta
menganalisa dengan lebar interval berdasarkan skala jawaban, sedangkan data
yang diperoleh dari wawancara, setelah diberi kategori-kategori, selanjutnya
ditafsirkan dan dideskripsikan dengan pendekatan kualitatif.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir
induktif – deduktif yaitu untuk sampai pada suatu kesimpulan, sehingga pokok
permasalahan yang ditelaah dalam penelitian dapat dijawab.
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM DESAIN INDUSTRI
1. Objek HaKI
Tumbuhnya konsepsi atas karya-karya intelektual manusia pada akhirnya
menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan
tersebut. Pada gilirannya akan melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property) tadi, termasuk di dalamnya adalah
pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, Hak atas Kekayaan
Intelektual dikelompokkan sebgai hak milik perorangan yang sifatnya tidak
berwujud (intangible).
Paham mengenai hak milik Indonesia yang dikenal dalam Hukum Perdata
yang berlaku hingga saat ini pada dasarnya tergantung pada konsepsi kebendaan.
Lebih dari itu, konsep itu pun ternyata sangat digantungkan pada asumsi fisik,
yaitu tanah/alam dan benda lain yang dikandung atau tumbuh diatasnya. Kalaupun
kemudian berkembang pada asumsi non-fisik atau tidak berwujud, maka hak-hak
seperti itu masih bersifat derivatif dari hak-hak yang berpangkal dari konsep
kebendaan tadi.32
Buku Kedua tentang Kebendaan pada KUHPerdata yang selama ini
diberlakukan belum menampung hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia. Hal ini membuktikan bahwa Hak atas Kekayaan
32
Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional Pengaruh Globalisasi Ekonomi
Terhadap Hukum Nasional Khususnya Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Jakarta: Penerbit
Intelektual di Indonesia masih baru, yang melengkapi dan memperkaya paham
mengenai hak milik dalam hukum perdata Indonesia.
Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai hak kebendaan timbul bukan secara
alamiah sebagaimana hak kebendaan lain kehadirannya bukan sejak awal tumbuh
dalam sistem hukum Indonesia. Sekalipun demikian, kehadirannya telah
melengkapi konsepsi mengenai hak milik dalam hukum perdata Indonesia.33
HaKI pada intinya terdiri dari beberapa jenis, secara konvensional dipilih
dalam dua kelompok, yaitu :
1) Hak Cipta (Copyright)
2) Hak atas Kekayaan Industri (Industrial Property), yang berisikan :
a. Paten (Patent)
b. Merek (Trademark)
c. Desain Produk Industri (Industrial Design)
d. Rahasia Dagang (Trade Secret)
Perlu dicatat, bahwa pengenalan jenis HaKI di atas pada dasarnya
berpangkal pada Konvensi Pembentukan WIPO (The World Property
Organization). WIPO adalah badan khusus PBB yang dibentuk dengan tujuan
untuk mengadministrasikan perjanjian/persetujuan multilateral mengenai HaKI.34
Imam Sjahputra Tunggal mengatakan bahwa objek HaKI adalah sesuatu
yang sangat abstrak yang masih merupakan ide manusia, pada akhirnya dituang
dalam bentuk hasil karya. Dalam HaKI meski secara kasar dikatakan bahwa yang
33
Ibid, hal. 273
34
Suyud Margono, Hak Kekayaan Intelektual Komentar atas Undang-Undang Rahasia
Dagang, Desain Industri, Desain Letak Sirkuit Terpadu, Cet I, (Jakarta: Penerbit Novindo Pustaka
Mandiri, 2001), hal. 8-9.
dilindungi ide karya “konkrit” dari ide manusia, namun jika kembali pada konsep
dasar pemberian perlindungan HaKI, maka dari hasil karya yang sudah tertuang
tersebut, banyak yang sudah merupakan “public domein”, jadi sesungguhnya yang
dilindungi itu “ide” asal dari mereka yang menciptakan hasil karya tersebut. Ide
tersebut adalah unik dan akan berbeda satu orang dengan orang lain, meskipun
hasil karya yang “diciptakan” mungkin akan serupa.35
2. Desain Industri sebagai salah satu HaKI
Apabila hendak membahas desain industri sebagai salah satu bagian dari
Hak atas Kekayaan Intelektual maka hal ini tidak terlepas dari sejarah atau
permulaan timbulnya desain industri itu sendiri.
Pemikiran pentingnya suatu perlindungan hukum di bidang hak milik
perindustrian timbul dari sekelompok profesional yaitu Patent Lawyers, yang
telah mulai berkumpul pada kesempatan Vienna World Fair pada tahun 1873.
Perlindungan desain dimaksud tidak terbatas di suatu negara saja melainkan juga
butuh perlindungan yang bersifat lintas negara (internasional). Hal tersebut terjadi
setelah perdagangan melewati batas-batas teritorial suatu negara semakin besar
jumlahnya. Adanya kebutuhan perlindungan hukum tersebut membuat mereka
mengadakan suatu konvensi di Paris pada tanggal 20 Maret 1883 yang dikenal
dengan Paris Union atau secara lengkapnya The Paris Convention for the
Protection Property yang sampai Januari 1993 telah diratifikasi oleh 108 negara.
Pada prinsipnya Paris Convention ini mengatur perlindungan hak milik
perindustrian yang meliputi hak penemuan atau paten (invention, patents), model
35
Imam Sjahputra Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Peraturan Perundang-undang Hak
Cipta, Paten dan Merek Buku II, Edisi Revisi, (Jakarta: Penerbit Harvarindo, 2001), hal. v.
dan rancang bangun (utility models), desain industri (industrial designs), merek
dagang (trade marks), nama dagang (trade names) dan persaingan curang (unfair
competition).36
Selain mengatur mengenai paten sederhana, merek, nama dagang, indikasi
asal dari persaingan curang, Paris Convention juga mengatur mengenai desain
industri (industrial designs). Dalam Pasal 5 Paris Convention dinyatakan :
Industrial designs shall be protected in all the countries of the union. Berdasarkan
ketentuan ini, negara peserta Paris Convention berkewajiban untuk melindungi
desain-desain industri.
Istilah industrial designs diatur di bawah Section 4 Industrial Designs
Pasal 25 dan 26 TRIP’s Agreement.37 Pasal 25 mengatur mengenai persyaratan
untuk perlindungan desain industri. Desain industri yang dapat diberikan
perlindungan hanyalah desain industri yang baru (novelty). Suatu desain industri
36
Muhamad Djumhana, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia, Cet. 1, (Bandung: Penerbit PT.Citra Aditya Bakti1999), hal. 18-19.
37
Article 25
(1)Members shall provide for protection of independently industrial designs that are new or original. Members may provide that the designs are not new or original if they do not significantly differ from known designs or combinations of known design features. Members provide that such protection shall not extend to designs dictated essensially by technical or funcitional considerations.
(2)Each Members shall ensures that requirements for securing protection for textile design, in particular in regard to any cost, examination or publication, do not unreasonably impair the opportunity to seek and obtain such protection. Members shall be free to meet this obligation through industrial designs law or through copyright law.
Article 26
(1) The Owner of the protected industrial designs shall have the right to prevent third parties not having his concent from making, selling, or importing articles bearing or embodying a designs which is copy, or substantially a copy, of the protected design, when such acts are undertaken for commercial purposes
(2) Members may provide limited exception to the protection of industrial designs, provided that such exceptions do not unreasonably conflict with the normal exploitation or protections industrial designs and do not unreasionebly prejudice design, taking eccount of the legitimate interests of third parties.
(3) The duration of protection available shall amount to at least ten years.
dikatakan tidak baru bila desain yang bersangkutan tidak berbeda dari desain lain
yang telah dikenal atau dikombinasi beberapa desain yang telah dikenal. Pasal 26
mengatur mengenai ruang lingkup perlindungan hukum yang diberikan kepada
desain industri. Menurut pasal ini pemilik suatu desain industri yang dilindungi
memiliki hak untuk melarang pihak ketiga yang tidak memperoleh izin darinya
untuk membuat, menjual atau mengimpor benda yang mengandung atau memuat
desain yang merupakan tiruan, atau secara pokok merupakan tiruan dari desain
yang dilindungi apabila tindakan-tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan
komersial. Lamanya perlindungan menurut pasal ini adalah tidak kurang dari
sepuluh tahun.38
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, istilah
yang dipakai adalah desain produk industri. Sedangkan istilah industrial design
sering digunakan oleh masyarakat Eropa dan Jepang. Penyebutan nama
Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 ini dengan nama Undang-Undang-Undang-Undang Desain Industri
lebih tepat sebagai padanan kata industrial design, dari pada menyebutnya dengan
nama Undang-Undang tentang Desain Produk Industri.39
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai desain industri tidak akan
terlepas dari hak cipta. Pada permulaannya pengaturan desain industri tidak
dipisahkan dengan bidang hak cipta. Desain industri dianggap sebagai bagian dari
pekerjaan artistik atau paling tidak adalah bagian dari seni pakai (applied art).
Desain industri tidak bisa terlepas dari kerja cipta manusia yang
pengaturannya secara tegas melalui ketentuan hak cipta, yaitu seperti seni lukis,
38
Rachmad Usman, Op.Cit, hal. 415.
39
Suyud Margono dan Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum
Bisnis, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), hal. 35.