• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG

B. Pengaturan Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan

Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan setelah perkawinan tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang perkawinan, di mana perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan, di mana harta benda yang diperoleh dalam masa perkawinan itu akan menjadi harta bersama atau terjadi percampuran harta perkawinan. Hal inilah yang biasanya banyak menjadi dasar timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga suami istri, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan akan menjadi salah satu solusi untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda kekayaan tersebut.

123 Iskandar Bakrie, Surat Perjanjian Dulu, Baru Kawin, http://www.tnol.co.id/id

/spiritual/spiritual/3332-seberapa-pentingkah-membuat-perjanjianperkawinan.html, dipublikasikan tanggal 21 Maret 2010, diakses tanggal 22 Agustus 2013.

Namun dengan berlangsungnya perkawinan bukan berarti dengan sendirinya terjadi atau berlaku percampuran harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam Stb. 1924/556 Pasal 2 ayat (1) “Bepalingen betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht der Vreemde Oosterlingen, andere dan Chineezen”,yang mulai berlaku 1 Maret 1925, yang menyatakan bahwa dengan perkawinan bagi golongan yang tunduk kepada Timur Asing Bukan China ini tidak mengakibatkan di antara mereka yang kawin itu terdapat harta bersama, dan keadaan ini berakhir saat mulai berlakunya Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.124 Hal ini artinya bagi WNI turunan Timur Asing bukan China yang kawin setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka akibat hukum perkawinannya terhadap harta yang diperoleh selama perkawinannya mengacu kepada Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.125

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka segala ketentuan yang sebelumnya mengatur mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan lebih lengkap mengenai tidak berlakunya lagi ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya dapat dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang berbunyi :126

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898

124

Lihat Pasal 35 UU Perkawinan.

125 Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), (Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2011), hal. 42-43.

No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 66 UU Perkawinan ini mengandung pengertian, bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam UU Perkawinan, maupun dalam peraturan pemerintah, sehingga belum berlaku secara efektif. Ketentuan-ketentuan yang belum berlaku secara efektif, adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak dan perwalian. Oleh karenanya mengenai ketentuan yang belum berlaku secara efektif, atas dasar Pasal 66 UU Perkawinan bisa diberlakukan ketentuan dalam peraturan lama (BW, HOCI, GHR).

Namun dalam hal perjanjian perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan juga tidak mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Mengingat hal tersebut, Mahkamah Agung kemudian memberikan pendapat melalui petunjuknya Nomor: MA/0807/75 untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud oleh Mahkamah Agung tersebut adalah diberlakukannya Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHPerdata bagi mereka yang dikuasai atau tunduk pada peraturan tersebut yaitu warga negara Indonesia keturunan Cina dan Eropa, hukum adat bagi golongan bumiputera dan H.O.C.I (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) bagi golongan bumiputera yang beragama Kristen.127

Dalam KUHPerdata maupun UU Perkawinan tidak terdapat pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan. Namun dalam KUHPerdata dimungkinkan untuk para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undang- undang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku dalam BW sebagaimana dalam buku III Title I-IV.128

Hal ini juga kita ketahui dengan adanya jenis perjanjian yang disebut dengan Perjanjian bernama (benoemd contractenataunominaat contracten), yaitu perjanjian- perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari, dan jenis perjanjian tidak bernama (onbenoemd contracten atauinnominaat contracten), yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian.129

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian

Innominaatatau Perjanjian Tidak Bernama, adalah :130

Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun d dalam Kitab Undang-

128

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 10.

129Mariam Darus Badrulzaman.Op. Cit.,hal.19.

Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari- hari dan putusan pengadilan (yurisprudensi).

Perjanjian Tidak Bernama ini ada diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyebutkan, bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Dari pasal ini dapat kita ketahui bahwa perjanjian yang belum ada pengaturannya namun terdapat di dalam masyarakat harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata. Hal ini dapat menjelaskan kepada kita bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung, meskipun pengaturannya secara khusus tidak ada ditemukan dalam KUHPerdata maupun peraturan lainnya, namun karena perjanjian perkawinan ini ada ditemukan dalam masyarakat maka perjanjian ini juga harus tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata perjanjian perkawinan yang diatur secara khusus dalam Pasal 139-154 KUHPerdata hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 147 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi : “atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya”.

Dalam pasal itu dapat diketahui bahwa calon suami isteri yang akan membuat perjanjian perkawinan, khususnya mereka yang melakukan pemisahan harta

seluruhnya, diperlukan adanya pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dengan suatu akta notaris. Apabila tidak dibuat dengan akta notaris, perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian perkawinan baru berlaku setelah perkawinan dilangsungkan, sehingga apabila perkawinan tidak dilakukan, maka perjanjian perkawinan menjadi tidak berlaku.

Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa KUHPerdata tidak menetapkan jangka waktu antara pembuatan perjanjian perkawinan dengan saat dilangsungkannya perkawinan, namun sebaliknya perjanjian perkawinan dibuat sedekat mungkin dengan waktu dilangsungkannya perkawinan.

Selain itu juga sebelum perkawinan dilangsungkan, calon suami istri masih dapat melakukan perubahan-perubahan atas perjanjian perkawinan. Perubahan tersebut harus dilakukan dengan akta notaris, dan dalam hal perjanjian perkawinan dibuat dengan bantuan orang tua atau wali, maka orang tua atau wali tidak menyetujui perubahan yang akan dilakukan, maka perubahan tersebut tidak dapat dilakukan.

Ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari asas yang terdapat dalam KUHPerdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung termasuk kalau perkawinan tersebut disambung kembali setelah terputus karena perceraian, bentuk harta perkawinan harus tetap tidak berubah. Hal tersebut dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) supaya tidak dihadapkan kepada situasi

yang berubah-ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).131

Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : “setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah”.

Dari rumusan pasal tersebut, dapat diartikan bahwa menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, perubahan terhadap perjanjian perkawinan selama perkawinan dilangsungkan tidak dimungkinkan sama sekali, akan tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan calon suami istri masih dapat merubah perjanjian perkawinan yang dibuatnya.

Pembuatan perjanjian perkawinan maupun perubahan terhadap perjanjian perkawinan ditentukan dan dibuat atas persetujuan bersama dari kedua belah pihak, dalam hal ini yang dimaksud ialah bahwa persetujuan terhadap pembuatan perjanjian perkawinan adalah kata sepakat yang bebas serta tidak terdapat paksaan dari pihak manapun, juga tidak ada penipuan dan juga kekhilafan.132

Asas tidak dapat diubahnya perjanjian perkawinan ini berkaitan dengan sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa

131J. Satrio,Op. Cit., hal. 28.

perkawinan sang suami dapat memaksa istri untuk mengadakan perubahan yang tidak diinginkan oleh istrinya.133

KUHPerdata juga ada mengatur tentang harta bersama menyeluruh atau bulat adalah akibat normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan setiap kebersamaan harta menyeluruh atau bulat hanya dapat dilakukan dengan suatu perjanjian perkawinan.134

Dalam Pasal 140 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada yang masih hidup paling lama.

Perjanjian perkawinan berdasarkan KUHPerdata juga harus didaftarkan di Pengadilan Negeri di wilayah hukum di mana suami istri tersebut berdomisili. Pendaftaran perjanjian perkawinan dilakukan agar dapat diketahui oleh umum terutama pihak ketiga yang tersangkut langsung dengan isi yang terkandung dalam perjanjian tersebut.

Mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan ini juga dinyatakan dalam UU Perkawinan Pasal 29 sebagai berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

133 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di

Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002), hal 59.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut berlaku, sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan demikian mengenai waktu pembuatan perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan.135Maka, dengan telah adanya atau ditentukannya saat pembuatan perjanjian perkawinan tersebut maka tidak diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung apabila sebelum atau pada saat perkawinan tidak telah diadakan perjanjian perkawinan.136

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwasanya pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan dilangsungkan tidak ada dijumpai dalam berbagai ketentuan yang mengatur tentang perkawinan. Namun dalam perkembangannya yang terjadi di masyarakat sekarang ini dimungkinkan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yaitu dengan didasarkan pada Penetapan Pengadilan Negeri, karena kenyataannya ada pasangan suami istri yang karena alasan tertentu kemudian membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan dengan Penetapan Pengadilan Negeri.

Banyaknya peristiwa hukum yang timbul di kalangan masyarakat di mana dalam hal ini belum ada pengaturan yang jelas mengenai peristiwa hukum tersebut

135Ibid., hal. 61.

sehingga hakim sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan hukum untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.137

Penemuan hukum oleh hakim dianggap suatu hal yang mempunyai wibawa sebab penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena hasil penemuan hukum itu dituangkan dalam bentuk putusan. Hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan perjanjian perkawinan para pemohon harus sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan benar dan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dan alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna.

Penetapan pengadilan negeri tersebut merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini

137Abdul Manan,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan

Agama, Makalah Disampaikan pada Acara Rakernas Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.

ditempuh karena Pengadilan Negeri sebagai instansi hukum yang dijunjung tinggi, di mana produk hukumnya harus dipatuhi oleh siapapun. Oleh karena itu, penetapan tersebut dapat dipergunakan sebagai landasan hukum untuk dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan bagi pasangan suami-istri.

Pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan yang berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini pada dasarnya tetap mengacu kepada pengaturan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya yang mana mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu hukum perjanjian, hukum perkawinan di Indonesia dan juga tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini dilakukan dengan berlandaskan kepada azas kebebasan berkontrak yang ada terkandung dalam KUHPerdata berdasarkan kesepakatan dan itikad baik dari kedua belah pihak suami istri, sebagai mana tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi :

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Berdasarkan asas ini maka siapa saja yang dalam hal ini adalah para pemohon diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, sepanjang hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang

dilarang. Konsekuensi hukum dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut adalah bahwa setiap orang/pihak yang telah mengikatkan dirinya ke dalam suatu perjanjian harus mematuhi perjanjian tersebut karena telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah menandatanganinya.138

Pembuatan perjanjian sesudah perkawinan ini juga tidak terlepas dari persyaratan mendasar untuk sahnya suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak suami istri yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.

Perbedaan mendasar yang terlihat dalam pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan hanyalah mengenai prosedur pembuatannya yang biasanya dilakukan oleh Notaris maka untuk pembuatan pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini harus dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri setempat untuk mengeluarkan Penetapan Pengadilan Negeri tentang perjanjian perkawinan setelah perkawinan.

Pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri ini dapat diketahui dengan adanya beberapa penetapan Pengadilan Negeri mengenai perjanjian perkawinan yang dilakukan sesudah perkawinan dengan didapatnya data adanya 2 (dua) Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan, yaitu Penetapan

Pengadilan Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt./P/2007/PN.Jkt.Tmr.

Kedua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini adalah penetapan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dengan didasarkan atas pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diputuskan berdasarkan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, di samping itu juga berlandaskan pada ketentuan yang berlaku secara universal bahwa Pengadilan Negeri dilarang untuk menolak setiap permohonan dan/atau perkara yang masuk.

Namun demikian kebebasan membuat perjanjian perkawinan tersebut telah diberikan rambu-rambu yaitu harus tetap mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu hukum perjanjian, hukum perkawinan di Indonesia dan juga tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Dokumen terkait