• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TUJUAN PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN

A. Tujuan Pembuatan Perjanjian Perkawinan Setelah

Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk melakukan hidup bersama, dan tentu saja mengakibatkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 30 UU Perkawinan yang menyatakan “suami istri memikul kewajiban yang lahir untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat-akibat di bidang hukum, salah satunya dalam bidang hukum kekayaan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan sah, akan mempunyai harta benda baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Hal inilah yang biasanya banyak menjadi dasar timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam kehidupan rumah tangga suami istri, sehingga dibuatnya perjanjian perkawinan akan menjadi salah satu solusi untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda kekayaan tersebut.

Calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan di mana perjanjian perkawinan sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat hukum perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 139 KUHPerdata, bahwa :

Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.

Dari uraian pasal 139 KUHPerdata di atas maka perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon suami isteri bertujuan untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Inti perjanjian perkawinan adalah kesepakatan antara calon suami isteri yang akan menikah untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, KUHPerdata menganggap bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan, tidak mengadakan perjanjian apa-apa di antara mereka, maka akibat dari perkawinan itu ialah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan, milik orang berdua bersama-sama, dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah setengahnya. Bagian setengah ini merupakan bagian tak terpisah (onverdeeld aandeel), artinya: tidak mungkin masing-masing suami atau isteri minta pembagian kekayaan itu, kecuali jika perkawinan sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian kekayaan (scheiding van goederen), yang hanya dapat terjadi dengan melalui suatu acara tertentu, termuat dalam KUHPerdata.147

Dalam Pasal 147 KUHPerdata, pada rasionya perjanjian perkawinan dilakukan untuk menghindari peraturan sistem yang diatur oleh KUHPerdata yang menganut sistem percampuran harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta, baik harta bawaan suami maupun harta kekayaan bawaan isteri dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik bersama. Makahuwelijks voorwaarden

ini dimaksudkan untuk menghindari atau pengecualian atas percampuran kekayaan

bersama (Pasal 119 KUHPerdata). Dari saat berlangsungnya perkawinan menurut hukum terwujudlah penggabungan harta benda bersama secara keseluruhan antara suami isteri sekedar hal itu tidak dibuat ketentuan pada saat terjadinya akad nikah.148

Perjanjian perkawinan itu dibuat untuk mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, dengan maksud untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan- ketentuan tentang harta kekayaan bersama seperti yang ditetapkan dalam Pasal 119 KUHPerdata.149 Para pihak adalah bebas untuk menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi objeknya. Mereka dapat saja menentukan, bahwa di dalam perkawinan mereka sama sekali tidak akan terdapat kebersamaan harta kekayaan atau kebersamaan harta kekayaan yang terbatas.150

Dalam hal pemisahan harta ini, biasanya salah satu pihak baik calon suami maupun calon istri memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi. Perjanjian perkawinan yang berisi penyimpangan terhadap persatuan bulat biasanya dibuat oleh calon suami istri yang jumlah kekayaannya sangat tidak berimbang, calon suami kaya sekali, sedangkan calon istri tidak punya atau sebaliknya.151

Perjanjian perkawinan biasanya dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan, namun ternyata kemudian telah ditemukan adanya beberapa perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan dengan didasarkan pada

148M. Yahya Harahap,Op. Cit.,hal. 82. 149

Lihat Pasal 119 KUHPerdata.

150

R. Soetojo Prawirohamidjojo,Op. Cit.,hal. 58.

151 Mochammad Djais, Hukum Harta Kekayaan dalam Perkawinan, (Semarang: Fakultas

Penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr.

Semakin tingginya kemajuan pendidikan dan budaya praktis yang berkembang terutama kehidupan di perkotaan cenderung membuat pasangan suami istri akhirnya membuat perjanjian perkawinan sesudah perkawinan guna menghindari masalah dalam kehidupan perkawinan mereka khususnya dalam bidang harta benda perkawinan. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa pasangan suami-istri yang mengadakan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan dilangsungkan dengan berdasarkan penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri.

Perjanjian perkawinan ini bisa berkembang di perkotaan dan merupakan budaya praktis sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Apabila tidak ingin direpotkan dengan masalah-masalah dalam perkawinan yang akan mengganggu perekonomian masing-masing pasangan. Hal ini disebabkan karena dengan kemajuan pendidikan suami-istri pasti bekerja di luar rumah, sehingga masing-masing mempunyai penghasilan dan saling tidak berketergantungan dalam bidang ekonomi satu dengan lainnya.

Di samping itu juga tidak inginnya pasangan hidupnya untuk terlibat dalam hutang piutang satu sama lainnya dengan pihak lain sehingga dapat merugikan harta benda perkawinan mereka. Sebagai contoh bila pekerjaan mereka sebagai Direksi suatu Perseroan Terbatas, di mana ada ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mengharuskan Direksi mengganti kerugian Perseroan Terbatas dengan

harta kekayaan pribadinya. Hal inilah yang bisa menghancurkan biduk rumah tangga jika pasangan ini tidak ada membuat perjanjian perkawinan, sehingga kemudian dibuatlah perjanjian perkawinan untuk mengatur dan melindungi harta benda perkawinan mereka.

Namun dengan berlangsungnya perkawinan bukan berarti dengan sendirinya terjadi atau berlaku percampuran harta perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketentuan dalam Stb. 1924/556 Pasal 2 ayat (1) “Bepalingen betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht der Vreemde Oosterlingen, andere dan Chineezen”,yang mulai berlaku 1 Maret 1925, yang menyatakan bahwa dengan perkawinan bagi golongan yang tunduk kepada Timur Asing Bukan China ini tidak mengakibatkan di antara mereka yang kawin itu terdapat harta bersama, dan keadaan ini berakhir saat mulai berlakunya Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.152 Hal ini artinya bagi WNI turunan Timur Asing bukan China yang kawin setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka akibat hukum perkawinannya terhadap harta yang diperoleh selama perkawinannya mengacu kepada Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974.153

Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa pengaturan mengenai perjanjian perkawinan tidak terlepas dari peraturan yang mengatur tentang perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka segala ketentuan yang sebelumnya mengatur mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan lebih lengkap mengenai tidak berlakunya

152Lihat Pasal 35 UU Perkawinan. 153Syahril Sofyan,Op. Cit., hal. 42-43.

lagi ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya dapat dilihat dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang berbunyi :154

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 66 UU Perkawinan ini mengandung pengertian, bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan yang belum mendapat pengaturan dalam UU Perkawinan, maupun dalam peraturan pemerintah, sehingga belum berlaku secara efektif. Ketentuan-ketentuan yang belum berlaku secara efektif, adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak dan perwalian. Oleh karenanya mengenai ketentuan yang belum berlaku secara efektif, atas dasar Pasal 66 UU Perkawinan bisa diberlakukan ketentuan dalam peraturan lama (BW, HOCI, GHR).

Namun dalam hal perjanjian perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksana dari UU Perkawinan juga tidak mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Mengingat hal tersebut, Mahkamah Agung kemudian memberikan pendapat melalui petunjuknya Nomor: MA/0807/75 untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan yang sudah ada sebelumnya. “Dengan demikian yang dimaksud oleh Mahkamah Agung tersebut adalah diberlakukannya Burgerlijk Wetboek (BW)

atau KUHPerdata bagi mereka yang dikuasai atau tunduk pada peraturan tersebut yaitu Warga Negara Indonesia keturunan Cina dan Eropa, hukum adat bagi golongan bumiputera dan H.O.C.I (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers) bagi golongan bumiputera yang beragama Kristen”.155

Dari kedua penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dibahas dalam tesis ini, diketahui bahwa para pemohon juga termasuk ke dalam golongan WNI turunan Timur Asing bukan China, namun dari kedua penetapan tersebut juga diketahui bahwa para pemohon telah melangsungkan perkawinannya setelah keluarnya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang mana berarti bahwa akibat hukum dari perkawinan mereka juga mengacu kepada UU No. 1 Tahun 1974 dan khususnya Pasal 35-37 yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan, sehingga perjanjian perkawinan yang mereka buat setelah perkawinan juga harus mengacu kepada UU Perkawinan tersebut.

Perjanjian perkawinan setelah perkawinan yang dilakukan oleh para pemohon dalam kedua penetapan tersebut juga diadakan untuk mengatur sebab akibat harta perkawinan setelah perkawinan terjadi, manakala terdapat sejumlah harta yang tidak sama atau lebih besar pada satu pihak istri ataupun suami. Jadi perjanjian perkawinan setelah perkawinan pada dasarnya selalu terkait dengan persoalan harta dalam perkawinan, sebagaimana tujuan dasar dari pembuatan perjanjian perkawinan, yaitu:156

155Zain Badjeber,Op. Cit., hal. 45.

1. bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain;

2. kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar;

3. masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh ‘failliet’, yang lain tidak tersangkut;

4. atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.

Dari tujuan dasar pembuatan perjanjian perkawinan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pada intinya pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan juga memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing- masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama/gono-gini. Hal ini jelas terlihat dari permohonan yang diajukan oleh para pemohon yang tercantum dalam permohonan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr :157

DUDUK PERKARA :

Menimbang bahwa Para Pemohon mengajukan pemohonan tanggal 2 Mei 2005 terdaftar pada tanggal 4 Mei register perdata permohonan No.: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tim, sebagai berikut :

1. Bahwa Para Pemohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 21-7- 1997 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No.03 /AA /1977 ;

2. Bahwa selama perkawinan tersebut Para Pemohon dikaruniai dua orang anak ;

3. Bahwa Para Pemohon sama-sama bekerja ;

4. Bahwa Para Pemohon mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga, sehingga baik Pemohon I dan Pemohon II tidak memerlukan bantuan di bidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan yang lainya, namun demikan dalam urusan keluarga Pemohon I tetap bertanggung jawab

sepenuhnya atas kesejahteran keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga;

5. Bahwa karena status sosial masing-masing sebagaimana tersebut di atas, di mana pekerjaan Pemohon I mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena pekerjaan Pemohon I mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab sampai pada harta-harta pribadi, oleh karena itu dengan persetujuan Pemohon II berkehendak agar harta–harta atas nama Pemohon I dengan Pemohon II dan tetap menjadi milik Pribadi Pemohon I, harta yang dimaksud adalah sebagai berikut :

A. Tanah dan Bangunan Sertipikat Hak Milik No. 00887, seluas 545 M2 terlatak di Desa Jati Mulya, Kecamatan Kosambi, Kab.Tangerang, Jawa Barat ;

B. Tanah dan Bangunan Sertifikat Hak Milik No. 00888, seluas 630 M2 terletak di Desa Jati Mulya, Kecamatan Kosambi, Kab. Tangerang, Jawa Barat;

C. Tanah dan Bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.154, seluas 288 M2 terletak di Desa Dukuh, Kecamatan Cikupa, Kab. Tangerang Jawa Barat;

Demikian juga terhadap harta-harta lainya yang akan timbul dikemudian hari tetap terpisah satu dengan yang lainnya sehingga tidak lagi berstatus harta campuran;

6. Bahwa seharusya Para Pemohon membuat perjanjian status harta bersama sebelum dilangsungkan perkawinan, akan tetapi oleh karena kealpaan dan ketidaktahuan Para Pemohon sehingga baru sekarang, Para Pemohon berniat membuat perjanjian status harta bersama;

7. Bahwa oleh karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II telah dilangsungkan pada tanggal 21 Juli 1997, oleh karena itu untuk melakukan pemisahan harta bersama diperlukan adanya suatu penetapan dari Pengadilan Negeri;

Hal ini juga terlihat dari permohonan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt./P/2007/PN.Jkt.Tmr :158

DUDUK PERKARA :

Menimbang, bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan tanggal 7 Nopember 2007 terdaftar pada tanggal 7 Nopember 2007 register perdata permohonan No: 459/Pdt/P/2007PN.Jkt.Tmr.sebagai berikut :

1. Bahwa para pemohon telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 27 Maret 2004 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No.04/AI/2004; 2. Bahwa para pemohon sama-sama bekerja;

3. Bahwa para pemohon mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga, sehingga baik pemohon I dan pemohon II tidak memerlukan bantuan di bidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan yang lainnya, namun demikian dalam urusan keluarga Pemohon I tetap bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan keluarganya sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga;

4. Bahwa karena status sosial masing-masing sebagaimana tersebut di atas, di mana pekerjaan pemohon I mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena pekerjaan pemohon I mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab sampai pada harta-harta pribadi;

Demikian juga terhadap harta-harta lainnya yang akan timbul dikemudian hari tetap terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak lagi berstatus harta campuran;

5. Bahwa seharusnya Para Pemohon membuat perjanjian status harta bersama sebelum dilangsungkan perkawinan, akan tetapi oleh karena kealapaan dan ketidaktahuan Para Pemohon sehingga baru sekarang, Para Pemohon berniat membuat perjanjian status harta bersama;

6. Bahwa oleh karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II telah dilangsungkan pada tanggal 27 Maret 2004 sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan No.04/AI/2004 tersebut, oleh karena itu untuk melakukan pemisahan harta bersama diperlukan adanya suatu penetapan dari Pengadilan Negeri;

Dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr di atas, diketahui bahwa para pemohon (Syam Lal Uttam dan Kavita Uttam) dalam permohonannya menyatakan bahwa para pemohon sama- sama bekerja, mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga, sehingga baik para pemohon tidak memerlukan bantuan di bidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan yang lainya, dan juga bahwa karena status sosial masing-masing di mana pekerjaan Pemohon I (Syam Lal Uttam) mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena pekerjaan Pemohon I (Syam Lal Uttam) mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab sampai pada harta-harta pribadi, oleh karena itu

dengan persetujuan Pemohon II (Kavita Uttam) berkehendak agar harta–harta atas nama Pemohon I dengan Pemohon II dan tetap menjadi milik Pribadi Pemohon I (Syam Lal Uttam), demikian juga terhadap harta-harta lainya yang akan timbul dikemudian hari tetap terpisah satu dengan yang lainnya sehingga tidak lagi berstatus harta campuran.

Demikian juga dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor: 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr, diketahui bahwa para pemohon (Dubagunta Ramesh dan Selvia Setiawan) dalam permohonannya menyatakan bahwa para pemohon sama- sama bekerja, mempunyai penghasilan masing-masing yang cukup menopang kehidupan baik untuk kepentingan pribadinya maupun keluarga, sehingga para pemohon tidak memerlukan bantuan dibidang ekonomi atau keuangan antara satu dengan yang lainnya, dan juga karena status sosial masing-masing, di mana pekerjaan pemohon I (Dubagunta Ramesh) mempunyai resiko terhadap harta bersama dalam perkawinan, karena pekerjaan pemohon I mempunyai konsekuensi dan tanggung jawab sampai pada harta-harta pribadi.

Kedua penetapan perjanjian perkawinan di atas mengakui tidak dibuatnya perjanjian perkawinan sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan berlangsung karena kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon tentang adanya ketentuan perjanjian perkawinan, sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengabulkan permohonan penetapan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan berdasarkan alasan-alasan para pemohon sebagaimana disebutkan dalam kedua penetapan tersebut dengan tujuan utama dikehendakinya terjadi

pemisahan harta kekayaan para pemohon. Dalam hal ini harus diartikan bahwa terjadinya pemisahan harta kekayaan para pemohon adalah terhadap harta kekayaan mereka yang diperoleh setelah tanggal penetapan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan harta-harta yang telah ada sebelum tanggal penetapan, tetap menjadi harta bersama suami istri.

Di samping tujuan utama adanya pemisahan harta kekayaan yang diperoleh para pemohon setelah tanggal penetapan perjanjian perkawinan tersebut, maka dari kedua penetapan perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut dapat diketahui perlunya dibuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dengan tujuan antara lain : 1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga

harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama/gono-gini.

2. Atas hutang masing-masing pihakpun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka maka tidak perlu meminta ijin dari pasangan hidupnya.

4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka akan ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya, dalam hal menjaminkan asset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Tujuan dan manfaat pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan di atas pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan tujuan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan, yaitu :159

1. Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal keuangan. Masing-masing pihak dapat mengekspresikan kemauannya dalam perjanjian ini.

2. Menghindari sifat boros salah satu pasangan. Dalam hal salah satu pasangan mempunyai indikasi boros, maka dengan adanya perjanjian ini dapat menyelamatkan rumah tangga perkawinan mereka nantinya. Dengan adanya perjanjian ini, maka pihak yang boros harus menaati semua aturan-aturan yang sudah disepakati dalam perjanjian perkawinan.

3. Menghindari dari maksud buruk salah satu pasangan. Seringkali pernikahan menjadi suatu sarana untuk memperoleh keuntungan atau kekayaan dari pihak lain. Menikah kemudian mengajukan gugatan cerai untuk mendapatkan harta gono gini. Dengan adanya perjanjian perkawinan ini maka akan melindungi harta benda dari rebutan pihak lain.

4. Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum. Apabila salah satu pihak ingin mengajukan kredit (misalnya kredit rumah) biasa akan dilakukan penandatangan perjanjian kredit oleh suami istri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama. Namun, dengan adanya perjanjian ini, maka yang mengajukan kredit bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan menjadi utang bersama.

5. Bagi perempuan WNI yang menikah dengan lelaki WNA, sebaiknya mereka memiliki perjanjian perkawinan, untuk memproteksi diri mereka sendiri, karena kalau tidak, maka perempuan WNI tersebut tidak akan bisa membeli tanah dan rumah atas namanya sendiri. Selain daripada itu, perjanjian ini dapat pula memuat mengenai kewarganegaraan anak yang nantinya dilahirkan dari perkawinan campuran, bahwa anak yang nantinya dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan ibu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya pekerjaan ibu yang berlokasi di Indonesia.

Kedua tujuan perjanjian perkawinan tersebut di atas baik yang dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan maupun yang dibuat setelah dilangsungkannya

159

Surya Mulyani,Perjanjian Perkawinan dalam Sistem Perundang-Undangan di Indonesia (Studi Terhadap Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam), Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009), hal, 56-57.

perkawinan pada dasarnya bertujuan untuk memisahkan akibat hukum yang terjadi terhadap harta benda perkawinan mereka, namun perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda perkawinan mereka sehingga diperlukan perjanjian perkawinan untuk memisahkan dari awal harta benda perkawinan mereka dan hal-hal yang disepakati bersama, sedangkan perjanjian perkawinan yang dibuat seteleh perkawinan bertujuan untuk mencegah timbulnya permasalahan terhadap harta benda perkawinan mereka dengan memisahkan harta benda perkawinan mereka dan hal-hal yang disepakati

Dokumen terkait