• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Pertanggungjaw aban Korporasi Berdasar Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah di ubah dengan Undang-Undang N omor 20 Tahun

HASIL PEN ELITIAN DAN PEM BAHASAN

A. Pengaturan Pertanggungjaw aban Korporasi Berdasar Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah di ubah dengan Undang-Undang N omor 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Pengat uran Pertanggungjawaban Korporasi Berdasar Undang Undang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

Perkembangan baru yang diatur dalam UU Nom or 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tent ang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi adalah mengat ur korporasi sebagai subyek hukum t indak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini t idak diatur dalam UU No. 3 tahun 1971. Dicant umkannya korporasi sebagai subyek hukum t indak pidana merupakan langkah maju dari pembentuk undang-undang. Dengan menempat kan korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana akan memberikan harapan serta opt imism e bagi upaya pengusutan korupsi secara tunt as dan efekt if mungkin. M elalui perundang-undangan, korporasi dewasa ini diterima sebagai subyek hukum dan diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain, yait u manusia (alamiah). Dengan demikian korporasi dapat bertindak sepert i manusia pada umumnya. Pada UUPTPK ini pengat uran pertnggungjawaban korporasi t ercantum dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tent ang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut :

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang t erorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliput i:

b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kit ab Undang-undang Hukum Pidana;

c.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara at au daerah; d.orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bant uan dari keuangan negara atau daerah; at au

e.orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal at au fasilit as dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau t ermasuk korporasi.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyat akan sebagai berikut:

(1) Set iap orang yang secara melaw an hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua pu luh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal t indak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan t ertent u, pidana mat i dapat dijatuhkan.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan sebagai berikut:

“ Set iap orang yang dengan tujuan mengunt ungkan diri sen diri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kew enangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabat an atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara at au perekonom ian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (sat u) t ahun dan paling lama 20 dua puluh) t ahun dan at au denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” .

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyat akan sebagai berikut:

(1)

Dalam hal t indak pidana korupsi dilakukan oleh atas at au nama suat u korporasi, maka tunt ut an dan penjat uhan pidana dapat dilakukan t erhadap korporasi dan atau pengurusnya.

(2)

Tindak pidana korupsi dilakakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi t ersebu t baik sendiri maupun bersama-sama.

(3)

Dalam hal t untutan pidana dapat dilakukan t erhadap suatu korpo rasi maka korporasi t ersebut dapat diwakili oleh pengurus.

(4)

Pengurus yang mew akili korporsai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5)

Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus t ersebut dibaw a kesidang pengadilan.

(6)

Dalam hal t untutan pidana dilakukan t erhadap korporasi, maka pegadilan unt uk menghadap dan penyerahan surat panggilan t ersebut disampaikan kepada pengurus di tempat t inggal pengurus atau dit empat pengurus berkantor.

(7)

Pidana pokok yang dapat dijathkan t erhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ket ent uan maksimum pidana ditambah 1/ 3 (sat u pert iga).

2. Pembahasan

Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu melakukan pembangunan di segala bidang. Hakekat suatu pembangunan adalah proses perubahan terus menerus menuju pada suatu peningkatan kehidupan masyarakat. Dengan demikian pembangunan senant iasa akan menimbulkan perubahan, secara langsung maupun t idak langsung berpengaruh terhadap keseimbangan manusia dan lingkungan dalam segala aspek kehidupan. Berkaitan dengan hal t ersebut Garis-Garis Besar Haluan Negara menegaskan:

Pem bangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat , bangsa dan Negara untuk melaksanakan tugas m ewujudkan tujuan nasional yang t ermaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yait u melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejaht eraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta melaksanakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial (GBHN, 1998: 16).

Sejalan dengan perubahan masyarakat , pelaksanaan pembangunan t ersebut di atas, menunjukkan adanya perkembangan yang memadai dan berjalan

cukup cepat . Dalam proses pembangunan it u sendiri, t ernyata ada pula banyak faktor penghambat pembangunan yang berkembang bersamaan dengan berkembangnya pembangunan it u sendiri. Salah satu faktor penghambat pembangunan it u adalah berupa perbut an korupsi. M asalah korupsi merupakan masalah yang sangat sent ral di dalam kurun waktu pembangunan dew asa ini dan sering hal it u menimbulkan perbincangan dan diskusi yang berkepanjangan oleh berbagai kalangan masyarakat .

Semua pihak sepakat bahwa korupsi telah merupakan penyakit kronis di Indonesia. Tidak diragukan lagi bahwa t indak pidana korupsi merupakan perbuatan yang t ercela sekali, t erkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat dan bangsa Indonesia. Korupsi merupakan suatu penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejaht eraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan ekonomi dan mengabaikan moral, oleh karena itu harus segera diberant as.

Usaha penanggulangan bentuk kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, merintangi t ercapainya tujuan nasional, mengancam keseluruhan sosial, merusak cit ra aparat ur yang bersih dan berw ibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya. Di tengah situasi perekonm ian nasional yang buruk sepert i sekarang ini, t un tutan masyarakat agar berbagai bentuk penyelew engan seperti korupsi, kolusi dan nepot isme segera diberant as, makin meningkat ganasnya. Segala bentuk kebocoran dan pemborosan anggaran-anggaran harus segera dicegah dan dit anggulangi. Harus disadari oleh segenap komponen bangsa bahwa untuk membiayai jalannya roda pembangunan m emerlukan biaya yang t idak sedikit ju mlahnya. Sumber biaya itupun dalam krisis sepert i ini makin sulit unt uk diperoleh. Pajak sudah tidak bisa diandalkan lagi sebagai sumber pembiayaan pembangunan, sement ara para kredit or luar negeri makin berhat i-hati dalam memberikan pinjaman kepada Indonesia. Unt uk it ulah para pengelola pembangunan harus betul-betul hat i-hat i dalam melakanakan anggaran negara agar t idak ada kebocoran dalam bent uk korupsi.

Sebetulnya sejak dahulu pemerintah telah berusaha unt uk memberant as korupsi seoptimal mungkin, akan tetapi t ampaknya belum memberikan hasil yang memuaskan. Berbagai aturan t elah dibuat, di tiap depart emen telah ada aparat pengawasan int ern (irjen), ada BPKP, BEPEKA dan sebagainya, t etapi kasus korupsi t ernyata t erus menerus masih terjadi. Pemerintahpun tidak merasa bosan un tuk secara kont inue berupaya menekan kerugian negara akibat korupsi. Budaya KKN menjadi realitas keseharian dan mendom inasi perilaku bangsa kita dalam berbangsa dan bernegara. Upaya terbaru yang dilakukan pemerintah unt uk memberantas korupsi adalah dengan lahirnya UU No. 31 tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU lama, yait u UU No. 3 t ahun 1971 dirasakan tidak memadai lagi sebagai sarana penanggulangan korupsi. Dengan UU yang baru ini diharapkan mampu memenuhi dan mengant isipasi perkembangan kebut uhan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberant as secara lebih efektif set iap bentuk t indak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara at au perekonomian Negara pada khususnya sert a masyarakat pada umumnya (W idodo Tresno Novianto, 2007: 3).

Korupsi yang t erjadi dan t elah mendarah daging di negara kita ini dilakukan bukan saja oleh subyek hukum orang/ manusia melainkan t elah merambah pada suatu badan/ korporasi. Selama ini hanya subyek hukum orang/ manusia yang melakukan t indak pidana korupsi yang dapat dijerat oleh hukum. Dan korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi dengan leluasanya melakukukn perbuatan pidana t anpa ada rasa salah dan tanpa rasa takut akan t erjerat sanksi pidana. It u di karenakan hukum pidana kit a khususnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tent ang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi belum mengatur korporasi sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi. Sehingga akibat yang dit imbulkan adalah kerugian negara yang semakin meningkat karena adanya tindak pidana koruspsi yang dilakukan oleh korporasi yang belum bisa dijangkau oleh hukum.

M enurut Subekt i dan Tjit rosudibio yang dimaksud dengan corporat ie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum . Sedangkan Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu

perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi at au perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sepert i seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat maupun digugat di muka pengadilan (M uladi dan Dw idja Priyatno, 2010: 25).

Adapun pengert ian korporasi dalam Endisklopedia Ekonomi Keuangan, dan Perdagangan yang dihimpun oleh A. Abduracman menyatakan: corporat ion (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut undang-undang suatu negara untuk menjalankan suatu usaha atau akt ifitas at au kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu terbatas, mempunyai nama dan ident it as it u dapat ditunt ut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kont rak dan melaksanakan menurut kont rak dan melaksanakan semuua fungsi lainya yang seseoarng dapat melaksanakannya menurut undang-undang suatu negara (M uladi dan Dw idja Priyat no, 2010: 26).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa:“ korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan t erorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” .

Berdasarkan pengert ian korporasi yang dapat menjadi subyek hukum t indak pidana korupsi, maka jelas pengert ian korporasi dalam hukum pidana korupsi jauh lebih luas yait u yang berbadan hukum dan yang t idak berbadan hukum. Korporasi yang berbadan hukum contohnya: PT, Koperasi. Dan korporasi yang tidak berbadan hukum cont ohnya: perusahaan yang berbent uk firma, dan usaha dagang biasa.

Dengan perkembangan baru sesuai apa yang diuraikan diatas, maka korporasi sebagai subyek hukum dalam bert indak tidak dapat melakukan perbuatan sendiri, tetapi selalu harus melalaui perbuat an manusia. Pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana t idak t erlepas dari adanya manusia yang menjadi pelaku sesungguhnya (pelaku materiil) dari tindak pidana itu. Setelah

adanya perbuatan manusia yang menjadi pelaku t indak pidana kemudian dapat dikaji apakah at as apa yang dilakukannya t indak pidana it u dipenuhi unsur-unsur atau syarat -syarat untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada korporasi.

Berdasarkan adanya beberapa teori at au ajaran pertanggungjaw aban korporasi, maka pendapat penulis menganut ajaran at au t eori ident ifikasi dan t eori aggregat e. Yang mana pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi atas t indak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah apabila dipenuhi unsur- unsur at au syarat-syarat sebagai berikut :

1. Delik atau t indak pidana t ersebut (baik dalam bent uk com mission maupun om ission) dilakukan atau diperint ahkan oleh personel korporasi yang dalam st rukt ur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai direct ing m ind dari korporasi.

Direct ing m ind dari korporasi adalah personel atau anggot a yang memiliki posisi sebagai penen tu kebijakan atau memiliki kew enangan sah untuk melakukan atau t idak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasan. Directing m ind dari suatu korporasi t idak t erbat as kepada satu orang saja. Sejumlah pejabat dan direkt ur dapat merupakan directing m ind dari korporasi tersebut. Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi hanya apabila delik t ersebut : dilakukan at au t idak dilakukan oleh directing m ind korporasi, diperintahkan oleh directing m ind korporasi agar dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain.

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana korporasi hanya diberlakukan dalam hal delik:

a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasarnya secara formal menjalankan pengurusan koporasi, dan / at au b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar

untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan:

1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatanya it u unt uk dapatt melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi; atau

2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana dimaksud daslam huruf (1) diat as unt uk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi.

c. Diperint ahkan oleh mereka yang t ersebut dalam huruf (a) dan (b) diatas agar dilakukan oleh orang lain.

Dengan demikian, apabila delik dilakukan atau diperint ahkan oleh seseorang, sekalipun orang it u adalah personel atau anggota korporasi, t et api personel atau anggota t ersebut tidak memiliki kew enangan untuk mengambil kepu tusan yang mengikat korporasi dalam melakukan atau t idak melakukan perbuatan itu, maka korporasi tidak diharuskan unt uk ikut bertanggungjawab atas dilakukannya delik at au t indak pidana itu.

2. Delik atau t indak pidana t ersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi

Art inya, hanya apabila kegiatan t ersebut merupakan kegiatan yang sesuai dengan maksud dan t ujuan korporasi sebagaimana dit ent ukan dalam anggaran dasarnya, baru perbuatan pengurus it u dibebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi. Jadi apabila tindak pidana yang dilakukan atau diperintahkan agar dilakukan oleh orang lain merupakan perbuatan yang t idak sesuai dengan maksud dan t ujuan korporasi sebagaimana dit ent ukan dalam anggaran dasarnya, maka korporasi yang bersangkut an t idak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian t indak pidana tersebut harus dipikul sendiri pertanggungjawabannya oleh personil at au anggota korporasi yang melakukan perbuatan it u atau yang memerintahkan agar perbuatan it u dilakukan oleh orang lain.

Jika hal ini dit erapkan secara kaku oleh penegak hukum maka akan sangat sulit sekali untuk mengungkapkan pertanggungjaw aban korporasi atau menyeret korporasi sebagai pelaku t indak pidana korupsi. Dengan argum en direksi t elah bertindak menyalahi w ew enang at au melampaui batas yang telah dit ent ukan korporasi sebagaimana dalam anggaran dasar (AD/ ART korporasi) maka korporasi lepas dari tanggungjawabnya. Tentunya apabila semua berpijak demikian akan begitu mudah bagi korporasi un tuk selalu cuci tangan dan t erlepas dari kasus-kasus korupsi. Padahal, bisa terjadi perbuatan korupsi t ersebut just ru dirancang unt uk dinikmat i oleh korporasi dalam memperbesar modal usahanya sehingga melakukan ekspansi usaha yang lebih luas lagi. Oleh karenanya unt uk meminimalisir keadaan ini harus t et ap diingat oleh aparat penegak hukum yakni sepanjang pengurus bert indak atas nama dan untuk kepent ingan korporasi maka jelas penyimpangan yang dilakukan oleh pengurus maka korporasi t ersebut bertanggungjawab, sekalipun perilaku direksinya melampaui batas kewenangannya. Dalam meminta pertanggungjawaban korporasi, memang aparat penegak hukum diharapkan dapat bert indak dengan ekst ra cermat dan berhati-hati.

3. Tindak pidana at au perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan maksud dapat memberikan manfat bagi korporasi.

Art inya, pertanggungjawaban at as dilakukannya perbuatan pidana t ersebut menjadi pertanggungjawaban korporasi hanya apabila personel atau anggota yang melakukan perbuat an t ersebut sejak semula memiliki t ujuan at au maksud agar t indak pidana at au perbuatan pidana tersebut memberikan manfat bagi korporasi. M anfaat t ersebut dapat berupa keunt ungan finansial atau non- finansial at au dapat menghindarkan atau mengurangi kerugian finansial maupun non-finansial bagi korporasi. Dalam hal pelaku hanya menjalankan perint ah orang lain, pertanggungjaw aban dari tindak pidana it u dapat di bebankan kepada korporasi hanya apabila pemberi perintah memiliki maksud atau t ujuan bahwa t indak pidana itu akan memberikan manfaat bagi korporasi. Sekalipun tindak pidana t ersebut gagal memberikan manfaat bagi korporasi, t et api korporasi hrus memikul pertanggungjawabn pidananya.

4. Pelaku at au pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjaw aban

Oleh karena pembebanan pidana kepada korporasi t erjadi karena dilakukan oleh directing m ind korporasi atau diperintahkan olehnya, maka unsur t idak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf pada direct ing m ind korporasi t ersebut harus dipenuhi. Dengan kata lain apabila pelaku atau pemberi perintah t indak pidana itu memiliki alasan pemaaf atau alasan pembenar untuk membebaskan diri dari pertanggungjawaban pidana tersebut, maka pertanggungjawaban pidana tersebut tidak dapat dibebankan baik kepada personel atau anggota korpo rasi yang bersangkutan maupun kepada korporasi.

5. Bagi t indak pidana yang mengaruskan adanya unsur tindak pidana dan unsur kesalahan, kedua unsur t ersebut t idak harus terdapat pada sat u orang saja.

Art inya, bagi orang yang melakukan t indak pidana perlu harus memiliki sendiri kesalahan, asalkan dalam hal yang itu melakukan t indak pidana it u menjalakan perint ah atau suruhan orang lain (t entu saja direcrt ing m ind-nya korporasi) yang menghendaki dilakukan perbuatan t ersebut( Dw idja Priyatno:2004, 89-92).

Hal ini dimungkinkan t erjadi apabila pelaku tindak pidana hanya berdasarkan sikap kalbu untuk menjalankan perint ah atasan, t et api tidak menyadari latar belakang sesungguhnya dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Dalam hal ini, korporasi tetap harus bertanggungjawab atas t indak pidana yang dilakukan orang t ersebut .

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat diketahui pada ayat (1) mengandung maksud bahw a subyek hukum tindak pidana korupsi t idak hanya terbatas pada individu saja melainkan korporasi juga. Dimana pengert ian korporasi disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang t erorganisir baik yang berbadan hukum maupun t idak berbadan hukum. Sedangkan pada ayat (2) mengenai pengertian Pegawai Negeri menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berlapis t iga, yait u pegawai negeri

menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tent ang Pokok-Pokok Kepegawaian, menurut Pasal 92 KUHP, dan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t ent ang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri. Dan pada ayat (3) menyatakan bahwa pengert ian set iap orang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah orang perorangan dan korporasi, karena undang- undang ini mengakui suat u korporasi sebagai subyek hukum t indak pidana korupsi maka undang-undang ini berlaku juga bagi korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada ayat (1) jika dirnci memiliki unsur-unsur:

a. Perbuatan: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, memperkaya suatu korporasi

b. Dengan cara melawan hukum

c. Yang dapat merugiakn keuangan Negara atua perekonom ian Negara. Dalam rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 adalah rumusan yang paling abst rak diantara rumusan-rumusan yang lainnya, karena cakupannya sangat luas, sehingga membuka perebat an dan penafsiran yang beragam tentang pengertian korupsi dalam rangka penerapannya pada kasus-kasus konkret yang t erjadi. Tetapai dari segi positif rumusan seperti ini adalah cangkupannya sangat luas sehingga lebih mudah menjerat si pembuat . Selain itu, rumusan abstrak seperti ini lebih mudah mengikuti arus perkembangan masyarakt melalui penafsiran hakim. Namun, segi negat ifnya mengurangi kepast ian hakim akibat t erbukanya peluang dan kecenderungan yang lebih luas bagi jaksa dan hakim yang t idak baik untuk menggunakan pasal ini secara serampangan. Lebih-lebih apabila sejak awal sutau perkara sudah disekenario atau diatur sekedemikian rupa oleh orang-orang kuat dibelakangnya.luasnya perumusan pada Pasal 2 ini selalu tercantum dalam surat dakwaan perkara korupsi, bahkan sering menjadi akw aan primer dan subsidernya, atau dakwaan pertama dan kedua. Hal ini dapat membukt ikan bahwa Pasal 2 ini

Dokumen terkait