• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Terhadap Korporasi Yang Telah M elakukan Tindak Pidana Korupsi

HASIL PEN ELITIAN DAN PEM BAHASAN

B. Sanksi Terhadap Korporasi Yang Telah M elakukan Tindak Pidana Korupsi

1. Sanksi Terhadap Korporasi Yang Telah M elakukan Tindak Pidana Korupsi.

Sehubungan dit erimanya korporasi sebagai subyek hukum t indak pidana korupsi sesuai apa yang termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tent ang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengatur korporasi sebagai subyek hukum t indak pidana korupsi. Sehingga apabila korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi dan sah t erbukt i melakukan t indak pidana it u maka dapat dijerat dengan sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku yait u dalam Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah denagn Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi.

Sanksi atau pemidanaan bagi korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termuat dalam Pasal 20 ayat (7): ” Pidana pokok yang dapat

dijat uhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya dit ambah/ diperberat 1/ 3 (satu pertiga)” . Selain pidana pokok denda sesuai Pasal 20 ayat (7) yang dijatuhkan pada korporasi yang telah melakukan t indak pidana korporasi, juga dimungkinkan penjatuhan pidana tambahan sesuai dalam: ” Pasal 18

ayat (1) huruf c: ” Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan unt uk wakt u paling lama (1) sat u t ahun” .

2. Pembahasan.

Pemidanaan merupakan salah sat u sarana unt uk menangulangi masalah-masalah sosial dalam mencapai t ujuan, yaitu kesejahteraan masyarakat. Pengunaan sanksi yang berupa pidana terhadap kejahatan korporasi yang penuh mot if yang bersifat ekonomis harus dipert imbangkan benar urgensinya. Perlu dipertimbangkan bahwa sanksi pidana akan menemui kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak mengunakan ancaman pidana dapat mengakibat kan devaluasi dari undang-undang pidana.

Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy Bentham menyat akan bahw a pidana hendaknya jangan digunakan apabila t idak mendasar (groundless), tidak dibutuhkan (needless), t idak menguntungkan (unfrofit able), dan tidak efekt if (ineffect ive). Packer menyatakan bahwa pidana it u menjadi penjamin yang utama (prim er guarantor) apabila pidana itu digunakan secara cermat , hat i-hati (provident ly) dan secara manusiaw i (humanly). Akan tetapi sebaliknya pidana bisa menjadi pengacuan yang membahayakan (prim e threatner) apabila digunakan secara indiscriminat ely dan coercively. Lebih lanjut Packer menegaskan bahw a syarat -syarat penggunaan sanksi pidana secara opt imal harus mencangkuphal-hal sebagai berikut:

1. perbuatan yang dilarang t ersebut menurut pandangan sebagian besar anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan masyarakat dan t idak dibenarkan oleh siapa saja yang oleh masyarakat dianggap penting.

2. penerapan sanksi pidana t erhadap perbuatan t ersebut konsisten dengan tujuan-t ujuan pemidanaan.

3. pemberant asan t erhadap perbuatan t ersebut t idak akan menghalangi atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan.

4. perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang t idak berat sebelah dan t idak bersifat diskriminatif.

5. pengat urannya melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan memperberat baik secara kualitatif maupun kuant itatif.

6. t idak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana t ersebut guna menghadapi perilaku t ersebut (Set iyono, 2005: 117).

Pemidanaan terhadap korporasi, sekalipun sering dikaitkan dengan masalah finansial, namun sebenarnya mengandung t ujuan yang lebih jauh. Perlu dikaji pendapat dari Suzuki agar dalam menjat uhkan pidana pada korporasi, misalnya daalm bentuk penut upan seluruh sebagian usaha, dilakukan secara hati-hat i. Hal ini disebabkan karena dampak putusan tersebut sangat uas. Yang akan menderita t idak hanya yang berbuat salah, tetapi juga orang yang t idak berdosa seperti buruh. Untuk mencegah dampak negatif pemidanaan korpirasi, hendaknya dipikirkan untuk mengasuransikan para buruh/ pekerja, pem egang saham. Sehingga efek pemidanaan t erhadap korporasi yang mempunyai dampak negat if dapat t erhindarkan ( M uladi dan Dw idja Priyatno, 2010: 143).

M enurut Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/ 1981, menyatakan dasar pert im bangan pemidanaan korporasi ialah” jika dipidananya pengurus saja t idak cukup untuk mengadakan represi, t erhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suat u korporasi karena delik itu cukup besar kerugiaan yang dit imbulkan dalam masyarakat at au saingan-saingannya sangat berart i” . Dengan demikian dipidananya pengurus t idak dapat memberikan jaminan yang scukup bahwa korporasi t idak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (Dw idja Priyatno, 2004: 121).

Kalau dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan yang bersifat int egrasif, yang mencangkup:

1. Tujuan pemidanan adalah pencegahan (umum dan khusus).

Pencegahan khusus bilamana seorang penjahat bisa dicegah melakukan suat u kejahatan dikemudian hari apabila dia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan it u membawa penderitaan baginya, tujuan pemidanaan ini adalah untuk mendidik atau memperbaiki. Sedangkan pencegahan umum art inya bahw a penjatuhan pidana dilaakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang lain t ercegah untuk melakukan kejahatan. Bila dihubungkan dengan t ujuan pemidanaaan korporasi, bahwa dengan dipidananya korporasi agar korporasi itu sendiri t idak akan melakukan t indak pidana lagi dan korporasi

lainnya t ercegah unt uk melakukan t indak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat .

2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat bertujuan yang bersifat luas, karena secara fundament al ia merupakan t ujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalaui pemidanaan agar masyarakat t erlindungi bahaya pengulangan t indak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mau. Bila dikait kan dengan pemidanaan korporasi, sehingga korporasi t idak mampu lagi melakukan suat u tindak pidana.

3. Tujuan pemidanaan adalah melahirkan solidaritas masyarakat . meliharaan solidarit as masyaraakt dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaaan adalah untuk mencegah adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang t idak resmi. Pengert ian solidarit as ini sering kai dibicarakan pula dalam kait annya dengan masalah kompensasi t erhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Bila dihubungkan dengan pemidaaan korporasi kom pensasi t erhadap korban untuk memelihara solidarit as sosial dilakukan oleh korporasi itu sendiri, yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidarit as sosial dapat terpelihara.

4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan/ pengimbangan. t ujuan pemidanaan ini yaitu adanya kesebandingna antara pidana pidana dengan pert anggungjaw aban individu dari pelaku t indak pidana, dengan memperhat ikan beberapa faktor (M uladi dan Dw idja Priyat no, 2010:148-149).

Perkembangan di dalam perumusan sanksi pidana dibeberapa negara t erut ama Eropa sudah sedemikian maju bila dibandingkan jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHpidana Indonesia. Apabila dikaji mengenaia sanksi pidana meluas t erhadap subyek t indak pidana berupa korporasi, maka seolah-olah sanksi pidana yng terdapat didalam KUHPidana t idak berdaya menampung t indak pidana yang dilakukan oleh korpo rasi. Walaupun ada beberapa sanksi yang relevan seperti pidana denda dan pengumuman putusan hakim dapat diterapkan terhadap

korporasi. Hal ini dapat dimengert i sebab KUHPidana indonesia sekarang masih menganut subyek tindak pidana berupa orang/ manusia. Sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP sesuai dengan dasar filosofinya hanya ditunjukan kepada manusia at au orang.

Sedangkan stelsel pidana di dalam KUHP Pasal 10, t erdiri dari:

1. pidana pokok a. pidana mati; b. pidana penjara; c. pidana kurungan ; d. pidana denda. 2. pidana tambahan

a. pencabutan hak-hak tert nt u;

b. perampasan barang-barang t ert ent u; c. pengumuman putusan hakim.

Untuk pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah denda, sedangkan untuk pidana tambahan, terbatas hanya perampasan barang-barang t ertent u dan pengumuman put usan hakim. Untuk jenis pidana t ambahan berupa pencabutan hak-hak t ertent u yang t ercant um dalam KUHP tersebut diatas t idak dapat dikenakan pada korporasi sebab menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak yang dapat dicabut adalah memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih, hak menjadi penasehat, hak menjadi wali. Hal t ersebut t idak dit ujukan pada korporasi t et api hanya tepat dit ujukan pada orang perorangan.

Berdasar keterangan mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi adalah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pidana Pokok

Pidana pokok yang dijatuhkan t erhadap korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi adalah denda. Hal ini termuat dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Sebagaimana t elah diubah denagn

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan sebagai berikut:

” Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya dit ambah/ diperberat 1/ 3 (satu pert iga)” .

Ket ent uan t ersebut cukup w ajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan yaitu pidana penjara dan denda hanya pidana denda yang dapat diterapkan unt uk korporasi. Pidana pokok denda yang yang dapat diperberat dengan ditambah (1/ 3) sepert iga dari ancaman maksimum denda pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Pada akhirnya, yang semula khayal (fiksi) bahwa korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan bert anggungjawab seperti layaknya atau seolah-olah sebagai subyek hukum orang harus melihat dan kembali pada kenyataannya, yait u pada saat akan membebani t anggungjaw ab dengan wujud menjatuhkan pidana. Kenyataaan bahw a badan/ korporasi t idak mungkin dipidana yang int inya hilang kemerdekaan (sanksi dalam hukum pidana), melainkan hanyalah pidana denda.

Sebagai catat an bahwa dalam ket ent uan Pasal 20 ayat (7) mempunyai konsekuensi yang sama dengan dengan pidana yang dirumuskan tunggal, karena t idak ada alternat if lain seandianya pidana denda unt uk t indak pidana korupsi yang tidak dibayar oleh korporasi. Hal ini akan menimbulkan masalah pada saat implement asinya yait u tindakan apa yang dapat diambil seandainya pidana denda itu t idak dibayar oleh korporasi.

Apabila pidana denda ini dijat uhkan t erhadap subyek hukum orang t idaka akan menimbulkan masalah, oleh karena dalam Pasal 30 KUHP diat ur bagaimana jika denda tidak dibayar yait u dapat dikenakan pidana kurungan pengganti denda. Jadi jika Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t ent ang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana sebagai undang-undang pidana khusustidak mengatur t ent ang hal ini, maka sesuai Pasal 103

KUHP ket ent uan KUHP lah yang dipakai. M asalah yang muncul bagaiman jika yang melakukan hal it u adalah korporasi jelas bahwa pidana kurungan pengganti denda ini t idak dapat dijatuhkan pada korporasi. M aka untuk mengatasi ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tent ang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi harus membuat ket ent uan khusus bagaiman jika denda t idak dibayar oleh korporasi.

2. Pidana Tambahan

Selain pidana pokok denda sesuai Pasal 20 ayat (7) yang dijatuhkan pada korporasi yang t elah melakukan tindak pidana korpo rasi, ju ga dimungkinkan penjatuhan pidana tambahan sesuai dalam: ” Pasal 18 ayat (1) huruf c:

” Penut upan seluruh at au sebagian perusahaan unt uk w akt u paling lama (1) sat u tahun” .

Yang dimaksud dengan ” penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c adalah pencabutan izin usaha untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.

Tapi ada yang perlu diperhat ikan yaitu akibat penjatuhan pidana t ambahan ini, sesuai apa yang di tulis Benjamin A. Olken dalam tulisannya yang berjudul “ M onitoring Corrupt ion: Evidence from a Field Experiment in

Indonesia” yang m enyatakan:

“ t he main effect and usefulness of criminal conviction imposed upon a corporat ion cannot be seen eit her in any personal injury or, in most cases, in the financial det erment, but in public opprobr ium and st igma that att aches t o a criminal convict ion” ( Benjamin A. Olken, 2000: 45).

Pemidanaaan terhadap korporasi dilakukan secara hati-hat i, sebab dampak put usan t ersebut sangat luas. Yang akan menderita t idak hanya yang berbuat salah, t et api juga orang-orang t idak bersalah seperti para buruh, pemegang saham, dan para konsumen produk suatu perusahaan misalnya.

Barda Naw aw i Arif disamping pidana denda, sebenarnya jenis sanksi pidana t ambahan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c seperti diat as dapat dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-t idaknya sebagi pidan t ambahan yang dapat dijatuhkan mandiri, kalau pidana penjara merupakan pidana pokok untuk subyek hukum orang/ manusia, maka pidana pokok yang dapat diident ifikasikan dengan pidana peram pasan kemerdekaan adalah sanksi berupa penut upan perusahaan atau korporasi unt uk waktu t ertent u at au pencabutan hak izin usaha. Brickey mengemukakan pendapat bahwa sering dikatakan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan kepada korporasi adalah denda, t et api apabila dijat uhkan sanksi t ambahan berupa segala pembat asan terhadap akt ivitas korporasi, hal ini sebenarnya mempunyai hakekat yang sama dengan pidana penjara atau pidana kurungan (M uladi dan Dw idja Priyatno, 2010: 152).

Sebagai bahan pembanding lihat pasal 18 ayat (2) yang mengatur bahwa:

” jika terpidana tidak membayar uang penggant i sebagiman dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam w aktu 1 (satu) bulan sesudah pu tusan pengadilan yang t elah memperoleh kekuatan hukum t etap, maka harta bendanya dapat disit a oleh jaksa dan dilelang unt uk menutupi uang penggant i t ersebut” .

Dari ket entuan diatas jelas diat ur alt ernat if lain seandainya uang pengganti tidak dibayar oleh terpidana. Jadi dalam hubungannya dengan pidana pokok untuk korporasi dan formulasi dimasa yang akan datang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomo r 20 Tahun 2001 Tent ang Pemberant asn Tindak Pidana Korupsi harus dirumuskan alt ernatif lain, jika denda t idak dibayar oleh korpo rasi misalnya dengan penu tupan perusahaan atau korporasi untuk w aktu tert entu, atau pencabutan izin usaha sebagaiman yang t elah dikemukaakan Barda Nawaw i Arif diat as, at au sanksi berupa

segala pemutusan akt ivit as korporasi dan lain-lain sebagaimana dikemukakan Brikey.

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat diperoleh kesimpulan:

1. Pengat uran pertanggungjaw aban korporasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20.

a. Dalam ket entuan Pasal I ayat (1) dimana pengertian korporasi disini adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang t erorganisir baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, pada ayat (2) mengenai pengert ian Pegaw ai Negeri menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana t elah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berlapis t iga, Dan pada ayat (3) menyatakan bahwa pengert ian setiap orang dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah orang perorangan dan korporasi, karena undang-undang ini mengakui suatu korpo rasi sebagai subyek hukum t indak pidana korupsi maka undang-undang ini berlaku juga bagi korpo rasi yang melakukan t indak pidana korupsi.

b. Sedangkan Pasal 2 rumusan yang paling abst rak diantara rumusan-rumusan yang lainnya, karena cakupannya sangat luas, sehingga membuka perdebatan dan penafsiran yang beragam tentang pengert ian korupsi dalam rangka penerapannya pada kasus-kasus konkret yang t erjadi. Namun, segi negatifnya mengurangi kepast ian hakim akibat t erbukanya peluang dan kecenderungan yang lebih luas bagi jaksa dan hakim yang t idak baik untuk menggunakan pasal ini secara serampangan.

c. Pasal 3, tidak semua t indak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nom or 20 Tahun 2001 t ent ang Pemberant asan Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan oleh suatu korporasi, w alaupun dalam Pasal 1 but ir 3 ditegaskan bahwa set iap orang itu adalah orang pr ibadi dan korporasi.

d. Pasal 20 tersebut memuat beberapa ket ent uan yait u: pertama, indikat or kapan t erjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi yang t ercermin dalam Pasal 20 ayat (2). Yang kedua, secara sum ir mengatur hukum acaranya, t etapi masih sedikit memberikan ket erangan yakni hal t untut an penjatuhan pidananya sesuai Pasal 20 ayat (1), dan hukum acaranya pada Pasal 20 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Dan yang ketiga, mengenai pembebanan tanggung jaw ab pidananya dalam Pasal 20 ayat (7). Sehingga Undang-Undang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran atau teori pert anggungjawaban korporasi identifikasi serta t eori aggregat e. Teori ident ifikasi dit unjukan dari frasa:; “ dalam hal t indak pidana korupsi dilakukan

oleh at au at as nam a suat u korporasi, m aka tunt ut an dan penjat uhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan at au pengurusnya” (Pasal 20 ayat (1) ) dan frasa “ apabila t indak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan

hubungan kerja m aupun berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20 ayat (2) ). Dan t eori aggregat e ditunjukan dalam frasa “ apabila t indak pidana t ersebut dilakukan oleh

orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bert indak dalam lingkungan korporasi t ersebut baik sendiri m aupun bersama-sama

(Pasal 20 ayat (2). Dengan mengurai Pasal 20 tadi sist em atau model pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi menganut sistem yang ketiga yait u, korporasi sebagai pembuat dan yang bert anggungjawab.

2. Sanksi bagi korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat berupa:

a. Pidana pokok

Pidana pokok yang dijatuhkan t erhadap korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi adalah denda. Hal ini termuat dalam Pasal 20 ayat (7) yang menyatakan

sebagai berikut: ” Pidana pokok yang dapat dijat uhkan kepada korporasi hanya

pidana denda, yang m aksim um nya dit am bah/ diperberat 1/ 3 (sat u pert iga)” .

Ket ent uan t ersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan yait u pidana penjara dan denda hanya pidana denda yang dapat dit erapkan untuk korporasi. Pidana pokok denda yang yang dapat diperberat dengan ditambah (1/ 3) sepert iga dari ancaman maksimum denda pada t indak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi t ersebut.

Sebagai cat atan bahwa dalam ketentuan Pasal 20 ayat (7) mempunyai konsekuensi yang sama dengan dengan pidana yang dirumuskan t unggal, karena t idak ada alt ernatif lain seandainya pidana d enda unt uk t indak pidana korupsi yang t idak dibayar oleh korporasi. Hal ini akan menimbulkan masalah pada saat implementasinya yaitu t indakan apa yang dapat diambil seandainya pidana denda itu t idak dibayar oleh korporasi.

b. Pidana t ambahan

Selain pidana pokok denda sesuai Pasal 20 ayat (7) yang dijatuhkan pada korporasi yang t elah melakukan tindak pidana korporasi, juga dimungkinkan penjat uhan pidana t ambahan sesuai dalam: ” Pasal 18 ayat (1) huruf c: ” Penut upan seluruh atau

sebagian perusahaan untuk w aktu paling lama (1) satu t ahun” .

Yang dimaksud dengan ” penut upan seluruh at au sebagian perusahaan” sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c adalah pencabutan izin usaha untuk sementara w akt u sesuai dengan put usan pengadilan.

B. Saran

M emperhat ikan kelemahan-kelemahan tersebut diatas, baik kelemahan dalam pengaturan pertanggungjawaban korporasi maupun pengat uran umum sehingga berdampak t erhadap pengaturan pemidanaan atau sanksi bagi korporasi yang melakukan t indak pidana korupsi, maka saran yang dapat diberikan adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nom or 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu di perbaharui atau diformulasikan kembali.

Dokumen terkait