• Tidak ada hasil yang ditemukan

a). Pengertian Korporasi

Secara et imologi t entang kata korporasi (Belanda: corrporat ie, Inggris:

corporat ion, Jerm an: corporat ion) berasal dari kat a corporation dalam bahasa latin. Dengan demikian, corporation itu berart i hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang.

M enurut Utrecht / M oh . Sholeh Djindang korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bert indak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum t ersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan, t et api mempunyai hak dan kewajiban anggot a masing-masing. A.Z.Abidin menyatakan bahw a korporasi dipandang sebagai realitas sekum pulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pr ibadi hukum, unt uk t ujuan t ert entu.

M enurut Subekt i dan Tjit rosudibio yang dimaksud dengan corporat ie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Sedangkan Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum, korporasi atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sepert i seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat maupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), NV (nam loze vennoot schap), dan yayasan (stichting), bahkan Negara juga merupakan badan hukum (M uladi dan Dwidja Priyatno, 2010: 25).

Adapun pengert ian korporasi dalam Endisklopedia Ekonomi Keuangan, dan Perdagangan yang dihimpun oleh A. Abduracman menyatakan: corporat iaon (korporasi; perseroan) adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suat u badan susila yang diciptakan m enurut undang-undang suatu negara unt uk menjalankan suat u usaha atau aktifitas at au kegiatan lainnya yang sah. Badan ini dapat dibent uk untuk selama-lamanya atau unt uk jangka wakt u terbatas, mempunyai nama dan identit as it u dapat dit untut dimuka pengadilan, dan berhak akan mengadakan suatu persetujuan menurut kont rak dan melaksanakan menurut kont rak dan melaksanakan semuua fungsi lainya yang seseoarng dapat melaksanakannya menur ur undang-undang suatu negara (M uladi dan Dw idja Priyatno,2010: 26).

M enurut Wirjono Prodjokoro, korporasi adalah suat u perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepent ingan adalah orang-orang yang merupakan anggota dari koperasi itu, anggota mana juga memiliki kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai kekuasaan yang t ert inggi dalam peraturan korporasi (M uladi dan Dw idja Priyat no,2010: 27).

Kata korporasi adalah sebutan yang lazim dipergunakan para pakar hukum pidana untuk menyebut kan apa yang biasa dalam hukum lain khususnya hukum perdata sebagai badan hukum, yang dalam bahasa Belanda recht spersoon at au dalam bahasa Inggris disebut legal entit ies at au corporation.

Subyek hukum korporasi di Indonesia sudah mulai dikenal sejak tahun 1951, yaitu t erdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang. M ulai dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Pasal 15 ayat (1) UU Drt . Tahun 1955), juga diket emukan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 11 PNPS Tahun 1963 Tent ang Tindak Pidana Subversi, Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, pasal 1 ayat (1) Undang-Undang 31Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomo r 20 Tahun 2001, Pasal 1 but ir 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal 1 but ir 19 Undang-Undang Nomot 22 Tahun 1997 Tentang Narkot ika, serta dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan demikian, korpo rasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia hanya ditem ui dalam perundang-undangan khusus diluar KUHP, yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana atau KUHP itu sendii masih m enganut subyek hukum pidana secara umum, yaitu manusia sesuai pasal 59 KUHP (M uladi dan Dw idja Priyatno, 2010:45).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 1 butir 1“ korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan t erorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” .

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tent ang Psikot ropika Pasal 1 butir 13 menjelaskan bahwa “ korporasi adalah kumpulan t erorganisasi dari orang/ kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan m erupakan badan hukum” .

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa korporasi menurut hukum perdata adalah merupakan badan hukum dengan bentuk bermacam-macam sesuai dengan ket ent uan hukum perdata. Unt uk mendapat kan stat us badan hukum harus mendapat kan pengesahan akta pendirian dari pemerintah.

Pengertian korpo rasi menurut hukum pidana lebih luas pengertiannya dibanding dengan hukum perdata. M enurut hukum pidana korporasi bisa berbentuk badan hukum maupun t idak berbadan hukum. Korporasi berbadan hukum disini berart i sesuai dengan pengert ian m enurut hukum perdata yait u suatu badan atau perkumpulan atau organisasi yang dalam pendiriannya harus mendapat kan pengesahan atau mendapat kan akata dari pejabat yang berw enang at au pemerintah. Sedangkan untuk korporasi yang t idak berbadan hukum adalah suatu korporasi yang t idak memerlukan

pengesahan dari pejabat yang berw enang atau pemerintah dalam mendirikannya.

b). Pembagian Korporasi

M enrut Chidir Ali, korporasi (badan hukum ) di Indonesia dapat di golongkan menurut macam-macamnya, jenis dan sifat nya:

1)M enurut M acam-macamnya

a) Badan hukum orisinal (murni, asli) yait u Negara

b) Badan hukum yang tidak orisinil (t idak murni, tidak asli), yaitu badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketent uan Pasal 1653 KUHPerdat a. M enurut Pasal tersebut ada empat jenis badan hukum:

(1)

Badan hukum yang didirikan oleh kekuasaan umum, misalnya propinsi, kotaparaja, bank-bank ynag didirikan Negara

(2)

Badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum, misalnya perseroan (venootschap), gereja-gereja (sebelum diat ur sendiri t ahun 1027),

w aterschapen sepert i Subak di Bali

(3)

Badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan.

(4)

Badan hukum yang didirikan unt uk suatu maksud atau tujuan t ertent u.

2)M enurut Jenis-Jenisnya

a). Badan hukum publik: suatu badan hukum publik di Indonesia yang merupakan badan hukum publik adalah Negara. Badan hukum publik meliputi badan hukum publik yang mempunyai terit orial (misalnya Negara Republik Indonesia, propinsi) dan badan hukum publik yang t idak mempunyai teritorial (misalnya Bank Indonesia)

b). Badan hukum privat: adalah badan hukum terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak dari orang secara perorangan, misalnya perkumpulan, yayasan, koperasi, perseroan t erbat as (PT).

3)M enurut Sifatnya a) Korpo rasi

b) Yayasan (Setiyono,2005:4-5).

c). M otif kejahatan Korporasi

M ot if ekonomi dari sebagian korporasi untuk memperoleh keunt ungan dan kekayaan besar-besaran dengan menimbulkan kerugian besar kepada warga masyarakat dan w arga Negara dapat dilakukan melalaui perbuatan-perbuat an atau kejahatan t erselubung dengan modus operandi yang halus. Dengan memanfaat kan teknologi canggih, mereka merusak mental pejabat atau birokratik. M aka dengan it u korban dapat t imb ul, baik menyangkut kerusakan sumber daya alam maupun sumber daya manusia (Set iyono,2005:44).

d). Kerugian akibat kejahatan korporasi

1) Kerugian di bidang ekonomi at au materi

M eskipun sulit unt uk mengukur secara t epat jumlah kerugian yang dit imbulkan oleh kejahatan korporasi, terut ama tidak ada badan hukum secara

khusus bertugas mencatat kejahatan korporasi, berbeda dengan kejahatan konvesional. Berbagai perist iw a m enunjukan bahwa t ingkat kerugian ekonom i dit imbulkan oleh kejahat an ini luar biasa tingkat kerugian ekonom i yang dit imbulkan dibandingkan dengan kerugian yang timbulkan oleh kejahatan konvensional sepert i perampokan, pencurian, penipuan.

2) Kerugian dibidang kesehatan dan keslamatan jiwa

Korporasi bertanggungjawab t erhadap ribuan kematian dan cacat t ubuh yang t erjadi di seluruh dunia. Resiko kemat ian dan cacat tubuh yang disebabkan oleh produk yang dihasilkan oleh korporasi maupun dalam proses produksi, sehingga yang menjadi korban kajahatan adalah masyarakat luas, khususnya konsumen dan mereka yang bekerja pada korporasi.

3) Kerugian di bidang sosial dan moral

Disamping kerugian ekonom i, kesehatan dan jiw a, kerugian yang t idak kalah pentingnya yang t imbukan oleh kejahat an korporasi adalah kerugian dibidang sosial dan moral. Dampak yang dit imbulkan oleh kejahatan korporasi adalah merusak kepercayaan masyarakat t erhadap perilaku bisnis (Set iyono, 2005: 56).

Pengaruh lain yang dit imbulkan oleh kejahatan korporasi adalah t erjadinya perubahan minat para pelaku bisnis, yaitu efisiensi di bidang produksi ke efisiensi dalam tindakan manipulasi terhadap masyarakat , termasuk manipu lasi t erhadap pemerintah dalam usaha mencapai t ujuan untuk memperoleh keuntungan yang diinginkan. Hal ini mempunyai pengaruh cenderung memiskinkan orang miskin, seolah-olah berbuat amal kepada pengusaha atas beban masyarakat (konsumen) dan cenderung membuat pemerintah korup.

e). Teori Pertanggungjaw aban Pidana Korporasi

1)Identificat ion Doct rine (t eori ident ifikasi)

Dalam t eori ini dicari siapa dalam perusahaan yang melakuakan delik t ersebut yang individu yang paling senior atau yang memiliki kuasa tert inggi dalam mengeluarkan kebijakan perusahaan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan perusahaan tersebut. Individu iniah yang dianggap sebagai act or int elektual atas perbuatan perusahaan t ersebut . Dengan kata lain dalam teori ini

perbuatan pemimpin perusahaan dapat di ident ifikasikan sebagai perbuatan perusahaan. Oleh karenanya ia dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

2)Aggregation Doctrine (teori aggregat e)

Teori ini menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan adalah kumpulan perbuatan beberapa orang didalam perusahaan yang menjadi sat u, sehingga kepada mereka secara t ot al pertanggungjawaban atas delik dapat dimintakan.

3)Reactive Corporate Fault

Ket ika delik dilakukan oleh atau at as nama perusahaan, pengadilan dapat memerint ahkan kepada perusahhaan yang menjadi pelaku delik unt uk melakukan invest igasi unt uk menemukan siapa dalam perusahaan yang bertanggungjawab atas delik dan melakukan tindakan penghukuman yang dianggap perlu terhadap orang tersebut .

4)Vicarious Liabilit y (Pert anggungjawaban Pidana Sesorang Atas Perbuatan Orang Lain).

Teori ini menerangkan bahwa seseorang dapat dimintakan pertanggungjawabannya at as perbuat an pidana orang lain. Dalam hal ini perusahaan dapat memint akan pertanggungjawabanya terhadap perbuatan pidana individu didalam perusahaan tersebut selama individu t ersebut melakukan perbuatan masih dalam lingkup pekerjaan.

5)M anagement Failure M odel

Dalam teori ini pelaku melakukan delik dikarenakan kesalahan manajemen dalam perusahaan tersebut . Pada pelaku t idak melekat unsur kesalahan. Kesalahan ada pada perusahaan.

6) Corporat e M ens Rea Doct rine

Dokt rin ini menganggap perusahaan sama seperti individu sebagai subyek hkum pidana dan oleh karea unsur m eans rea melekat pada perusahaaan bukan pada individu-individu dalam perusahaan tersebut (M uladi dan Dw idja Priyatno,2010: 222-223).

f). M odel Pertanggungjaw aban Pidana Korporasi

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada 3 sist em pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek hukum pidana, yait u:

1)Pengurus korporasi sebagai pembuat , maka pengurus yang bertanggungjawab. Sistem pertanggungjawaban ini dit andai dengan usaha-usaha agar sifat t indak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (nat urlijk

persoon). sist em pertanggungjawaban krporasi ini bert it ik tolak pada asas

societas/ universitas delinquere non potest . asas ini berlaku pada abad yang lalu pada seluruh negara Eropa kontinent al. Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu it u dan kemudian dilanjut kan oeh aliran modern dalam hukum pidana.

Dalam M emori penjelasan Kit ab Undang-Undang Hukum Pidana yang diberlakukan pada tanggal 1 Sept ember 1886 bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (naturlijke persoon). Sist em ini dianut oleh KUHP, karena sist em ini menganut pendirian bahw a oleh karena korporasi t idak dapat melakukan sendiri perbuat an yang merupakan t indak pidana dan t idak dapat memiliki kalbu yang salah (gualit y m ind), akan t et api yang melakukan perbuat an tersebut adalah pengurus korporasi yang di dalam melakukan perbuatan t ersebu t dilandasi oleh sikap kalbu tert entu baik yang berupa kealpaan at au kesengajaan, maka pengurus dari korporasi it ulah yang harus memikul pertanggungjawabam pidana atas perbuatan yang dilakukakan sekalipun perbuatan it u dilakukan dan atas nama korporasi yang dipimpinnya.

Pendirian KUHP yang menganut sist em ini sebagai konsekuensi dari pendirian KUHP bahwa hanya manusia yang merupakan subyek t indak pidana. Pendirian KUHP yang menganut sistem ini tampak dari bunyi pasal 59 KUHP dan Pasal 399 KUHP.

Pasal 59 KUHP berbunyi sebagai berikut : ” Dalam hal dimana karena pelanggaran ditent ukan pidana t erhadap pengurus, anggota-anggot a pengurus, atau komisaris-kom isaris, maka pengurus, anggota pengurus, at au komisaris, yang t ernyata tidak ikut campu r melakukan pelanggaran, t idak dipidana” .

Secara a cont rario Pasal tersebut menentukan bahw a pidana dijatuhkan t erhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris (suatu korporasi) yang melakukan campur tangan dalam pelaksanaan t indak pidana yang t erhadap t indak pidana t ersebut diancamkan pidana kepada pengurus (Dw idja Priyantno, 2004: 54).

Sistem pertanggungjawaban korporasi yang kedua ini ditandai dengan pengakuan yang t imbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu t indak pidana dapat dilakuakan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan t et api tanggung jawab un tuk it u menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi) t ersebut . Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggot a pengurus kepada mereka yang memerint ahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimp in secara sesunguhnya. Dalam sist em pertanggungjawaban ini korporasi dapat menjadi pembuat t indak pidana, akan t et api yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus asal saja dinyat akan dengan t egas dalam peraturan itu (Setiyono, 2005: 13).

3)Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab

Sistem pertanggungjawaban yang ket iga ini m erupakan permulaan adanya t anggungjaw ab yang langsung dari korporasi. Dalam sist em ini dibuka kemungkinan menunt ut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Hal-hal yang dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut:

a)Pert ama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korpo rasi atau kerugian yang diderit a masyarakat dapat sekedemikian besarnya sehingga t idak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja.

b) Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi t idak akan m engulangi t indak pidana lagi. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan korporasi dapat menaat i peraturan yang bersangkutan (Set iyono, 2005: 13).

Peraturan perundang-undangan yang menempat kan korporasi sebagai subyek t indak pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonom i, Pasal 15 ayat 1 berbunyi:

Jika suatu t indak pidana ekonomi dilakukan oleh at au atas nama suatu badan hukum, suatu persroan, suatu perserikat an oarang atau yayasan, maka tunt ut an pidana dilakukan dan hukuman pidana dan tindakan tata t ertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan it u, baik t erhadap mereka yang memberi perintah, melakukan t indak pidan ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pem impin dalam perbuatan at au kelalian itu, maupun t erhadap kedua-duanya.

Hal serupa juga dit emukan dalam Undang-Undang Nom or 6 Tahun 1984 t ent ang Pos, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 t entang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tent ang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam sist em yang ketiga ini, t elah t erjadi pergeseran pandangan, bahw a korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat , di samping manusia alamiah (Dw idja Priyantno, 2004: 58).

Dokumen terkait