• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL SEBAGAI SUATU

A. Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

2. Obyek Pengawasan Hakim

2.4 Aspek Pengawasan

2.4.2 Pengawasan Etika Hakim

Secara konstitusional, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tetap ada.Sehingga, lembaga inilah yang berwenang untuk melakukan pengawasan eksternal hakim-hakim di semua lingkungan peradilan.Diperlukan lembaga pengawasan hakim yang bersifat mandiri ini terlepas dari semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif).Lembaga ini sebagai tempat masyarakat mengadukan segala perilaku hakim.

Menurut Gani Abdullah dalam cuplikan dialog sidang uji materiil Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikutip oleh O.C Kaligis,97

97

O.C Kaligis & Associates, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, Jakarta, 2006: 126 Undang-undang memaparkan mengenai bentuk pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Menurutnya, pada waktu pembahasan Undang-undang Komisi Yudisial, pembentuk undang-undang menginginkan pengawasan terhadap hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung secara teknis yudisial menjadi urusan Mahkamah Agung. Tetapi harkat dan martabat perilaku hakim akan berkaitan dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Sebab, dapat diduga dalam putusan tersebut terdapat unsur-unsur yang merendahkan harkat dan martabatnya.Dalam menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memeriksa putusan (dalam hal ini belum diputuskan oleh hakim atau dalam proses konsep

putusan).Komisi Yudisial berwenang memeriksa terhadap putusan hakim yang sudah dijatuhkan di depan sidang terbuka, karena dalam putusan terbuka untuk umum siapapun berhak untuk memeriksa putusan itu.

Yang menjadi persoalan pada waktu Komisi Yudisial melaksanakan kewenangan pengawasannya sebelum putusan Mahkamah Konstitusi adalah mengenai putusan hakim.Dalam hal ini hakim yang menjadi subjek terlapornya karena hakim diduga melanggar prinsip pedoman perilaku hakim, imparsialitas dan profesionalitas.Prinsip tersebut adalah prinsip yang melekat pada diri seorang hakim, jika prinsip tersebut dilanggar maka menjadi kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa seorang hakim. Prinsip tersebut terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim Oleh karena itu, untuk memastikan adanya unsur pelanggaran atau unsur judicial corruption, putusan hakim dapat digunakan sebagai pintu masuk (entry point) untuk memeriksa dan mengawasi hakim karena disini hakim dapat membuktikan kejujuran, moralitas, imparsialitas dan integritas serta profesionalitasnya. Dalam aspek ini, independensi dapat tetap terjaga dan ada tidaknya unsur judicial corruption tetap dapat dikontrol.Terkait dengan kewenangan pengawasan perilaku hakim tidak melanggar prinsip independensi dan imparsialitas. Hakim tetap dapat memutus dengan mandiri mengingat harus ada proses di Majelis Kehormatan terlebih dahulu karena tidak mungkin hakim diberhentikan tanpa alasan yang sah.

Di dalam melaksanakan wewenang pengawasan perilaku hakim, diperlukan suatu pedoman perilaku hakim .Namun demikian, selama Undang-undang Komisi Yudisial berlaku, tidak ada penjabaran kewenangan pengawasan dan batasan perilaku hakim (code of conduct), serta ketidakjelasan kewenang untuk membentuk code of conduct hakim tersebut.Hal inilah yang menjadi salah satu latarbelakang Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial secara konstitusional masih memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim. Berdasarkan pertimbangan bahwa Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting organ (lembaga negara penunjang), maka Komisi Yudisial tidak berwenang melakukan pengawasan teknis yudisial dan teknis administratif atau dengan kata lain Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan fungsi checks and balances, melainkan hanya penegak kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dalam kewenangan yang demikian, Komisi Yudisial sebaiknya diberikan kewenangan untuk menyusun kode etik hakim (code of conduct), agar pedoman itu lebih obyektif karena dibuat bersama lembaga di luar lembaga peradilan.Kewenangan pembuatan kode etik hakim tersebut dapat dibuat bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.Yang terpenting adalah prosedur pengawasan perilaku hakim tersebut harus jelas, tepat dan adil sehingga tidak menimbulkan potensi mengganggu kemandirian hakim dan lembaga peradilan.

Jimly Asshiddiqie, memaparkan bahwa Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam sikap para hakim dalam berbagai peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sitem penggajian, dan pemberhentian para hakim.Prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality).Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang juga dianggap penting.Misalnya, dalam forum International judicial conference di Bangalore, India, 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang kemudian disebut the Bangalor Draft.98 Dalam The Bangalore principle itu, tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, propriety, equality,dan competence and diligence.99

(1) Independensi (Independence Principle)

Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita hukum. Independensi tersebut melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.

(2) Ketidak berpihakan (Impartiality Principle)

Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, disertai penghayatan yang

98

Jimly Asshiddiqie, “The Bangalore principle “, 2006: 53

99

mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga pada putusan pengadilan dapat benar-benar diterima bagi semua pihak.

(3) Integritas

Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan kekutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, polularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

(4) Kepantasan dan kesopanan

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kekusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hukum, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.

(5) Kesetaraan

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dan yang lain.

(6) Kecakapan dan keseksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas.Sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

Pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial dibatasi pada pelanggaran kode etik atau kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, sehingga perlu diuraikan kode etik hakim.Sedangkan pengawasan atas substansi perkara dan teknis peradilan tetap berada di tangan Mahkamah Agung.Perlu menghilangkan tumpang tindih atau dibuat

sinkronisasi prosedur-prosedur pengawasan dan penjatuhan sanksi sehingga harus ada kooordinasi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi.

Dokumen terkait