• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945

TESIS

OLEH:

MAURICE ROGERS 097005029/ HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAURICE ROGERS 097005029/ HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Nama Mahasiswa : Maurice Rogers Nomor Pokok : 097005029 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Solly Lubis, SH)

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Anggota Anggota

(4)

Tanggal lulus: 28 Juli 2011

Judul Tesis : TINJAUAN KRITIS KEDUDUKAN DAN

KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL RI PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Nama Mahasiswa : Maurice Rogers Nomor Pokok : 097005029 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Solly Lubis, SH)

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Anggota Anggota

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Ketua Program Studi, Dekan

(5)

Tanggal lulus: 28 Juli 2011 Telah diuji pada

Tanggal 28 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. M.Solly Lubis, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(6)

ABSTRAK

Konstitusi menjadi dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Salah satu instrument penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya sehingga dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif. Untuk mengawasi tindak-tanduk hakim dalam kemandiriannya, maka lembaga negara yang kini mempunyai wewenang sebagai polisi untuk mengungkap segala perilaku hakim yang merusak penegakan hukum adalah Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pembentukan Komisi Yudisial terkait erat dengan usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dalam mekanisme sistem pemerintahan di Indonesia. Fungsi yang diberikan kepada Komisi Yuddisial bertujuan untuk membuat badan peradilan di Indonesia mempunyai kinerja yang tinggi dan bersih sehingga penegakan hukum dapat diselenggarakan.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersuber dari data pustaka (library research).

Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Oleh karena itu Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuaasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(7)

ABSTRACT

The Indonesian Constitution has become the national principle; therefore, it is comprised of vision and objective of being in the framework of a state, and expressing the principles and the basic regulations which regulate the way of life of how to live in a nation, in a state, and in a society. One of the principal instruments in the national power is judiciary. This judiciary system should be kept independent and accountable so that it can minimize significantly the potential anarchism and corruption. The judicial committee also has the power to control and judges’ manners and to reveal their bad reputation.

The establishment of Judicial Committee was based on Article 24B of the third amendment of the Indonesian 1945 Constitution which stated that the Judicial Committee was independent and had the power to propose the term of office of the Supreme Court judges. The Judicial Committee also has the power to keep and maintain judges’ reputation, dignity, and manners. The establishment of Judicial Committee was closely related to the efforts to improve the mechanism of the governmental system in Indonesia. The aim of the establishment of Judicial Committee was to keep judges’ high and clean performance so that law enforcement can be maintained.

The research was normative and the data were gathered by using library research.

The external control on judges’ performance by Judicial Committee plays an important role and it is aimed to keep judges doing their duties and authorities seriously, based on and according to legal supervisions, truth, justice, and revering the ethical code of judges’ profession. Therefore, Judicial Committee as an external supervisory Committee on judges is included in the structure of the Indonesian judiciary in order that the people who are excluded from the legitimate structure of the Parliament System can be included in the process of nomination, job evaluation, and dismissal of judges. This is aimed to keep and maintain judges’ honor, dignity, and manners in order to realize the truth and justice which are based on God Almighty.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya

dengan rahmatnya , saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

yang berjudul Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca

Amandemen UUD 1945.

Tesis ini berjudul Tinjaun Kritis Kedudukan dan Kewenangan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945 yang merupakan salah satu syarat yang harus dpenuhi untuk menyelesaikan program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung

tampa bantuan, saran maupun petunjukn yang diberikan kepada penulis oleh

pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan

tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimah kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.dr.Syaril Pasaribu, DTM&H, Msc,(CTM),SP.A(K), selaku

Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

(9)

Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa pada

Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas

Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H, selaku Komisi Pembimbing Utama

penulis yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, M.H, selaku Komisi Pembimbing

Kedua Penulis yang juga banyak memberikan saran dan masukan dalam

penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution. S.H, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing

Ketiga Penulis yang telah memberikan bimbingan sampai akhir penuilisan

tesis ini.

7. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, S.H, M.H, selaku Komisi Penguji Penulis.

8. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.H, selaku Komisi Penguji Penulis.

9. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menyampaikan terimah kasih yang tak terhingga kepada

(10)

atas semua dukungan, semangat dan doa selama ini. Ucapan terimah kasih juga

kepada adinda Novita Manurung yang senantiasa member semangat untuk

menyelesaikan Tesis ini.

Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini

masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya

membangun guna penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mohon maaf kepada semua pihak apabila selama

mengikuti pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, dalam tutur kata dan sikap penulis ada yang tidak

berkenan di hati bapak, ibu dan rekan-rekan sekalian.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan

lahir dan batin kepada kita semua.

Medan, Juli 2011

Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Maurice Rogers

Tempat/Tgl Lahir : Duri, 23 September 1984

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pendidikan : - Sekolah Dasar St. Yosef, Duri-Riau

- Sekolah SMP St. Yosef, Duri-Riau

- SMAN 2 Mandau, Duri-Riau

- Fakultas Hukum Univ. HKBP Nommensen,

Medan

(12)

DAFTAR ISI

BAB II JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMANMEMBUTUHKAN ADANYA KOMISI YUDIAL ... 27

A. Kemandirian Lembaga Peradilan ... 27

B. Mafia Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum ... 38

C. Pembentukan Komisi Yudisial ... 43

BAB III KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL SEBAGAI SUATU LEMBAGA KOMISI NAMUN BUKAN LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN ... 58

A.Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ... 58

B. Dasar Hukum Komisi Yudisial di Indonesia ... 62

1. Dasar Hukum Pembentukan Komisi Yudisial ... 63

(13)

C. Model Pengawasan Perilaku Hakim yang Sesuai Bagi Negara Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman

yang Merdeka dan Bersifat Imparsial ... 67

1. Arti Penting Pengawasan Eksternal Lembaga Peradilan ... 67

2. Obyek Pengawasan Hakim ... 71

2.5 Pengawasan Internal dan Eksternal ... 82

D. Komisi Yudisial di Beberapa Negara dan Konsep Ideal Komisi Yudisial Ke Depan ... 85

BAB IV PRODUK KINERJA KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA ... 93

A. Beberapa Peristiwa Penting Pada Komisi Yudisial ... 93

1. Perseteruan Komisi Yudisial vs Mahkamah Agung ... 94

2. Putusan Terhadap Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Depok ... 98

3. Seleksi Ulang Hakim Agung ... 100

4. Hakim ”Bermasalah” ... 101

5. Judicial Review Undang-undang Komisi Yudisial ... 102

6. Rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindaklanjuti Mahkamah Agung ... 103

B. Penguatan peran komisi yudisial melalui jejaring ... 104

C. Produk Kinerja Komisi Yudisial Di Indonesia ... 110

1. Penerimaan Pengaduan Terkait Perilaku Hakim ... 110

2. Penanganan Pengaduan Terkait Perilaku Hakim ... 113

3. Pemantauan Persidangan ... 115

4. Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Haki(MKH) ... 121

(14)

DAFTAR SKEMA

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Putusan yang diteliti ... 106

Tabel 2 Pemantauan Sidang yang dilakukan Komisi Yudisial ... 118

Tabel 3 Sidang MKH yang Sudah Digelar ... 121

(16)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Pengaduan Masyarakat Yang Diregistrasi ... 111

Diagram 2 Penanganan Berkas laporan yang dapat ditindaklanjuti ... 113

Diagram 3 Jumlah Pemeriksaan Terhadap Hakim dan Pelapor/ Saksi ... 114

(17)

ABSTRAK

Konstitusi menjadi dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Salah satu instrument penting yang utama dalam sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya sehingga dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif. Untuk mengawasi tindak-tanduk hakim dalam kemandiriannya, maka lembaga negara yang kini mempunyai wewenang sebagai polisi untuk mengungkap segala perilaku hakim yang merusak penegakan hukum adalah Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pembentukan Komisi Yudisial terkait erat dengan usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dalam mekanisme sistem pemerintahan di Indonesia. Fungsi yang diberikan kepada Komisi Yuddisial bertujuan untuk membuat badan peradilan di Indonesia mempunyai kinerja yang tinggi dan bersih sehingga penegakan hukum dapat diselenggarakan.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersuber dari data pustaka (library research).

Pengawasan eksternal terhadap hakim oleh Komisi Yudisial memegang peranan yang sangat penting dan bertujuan agar para hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Oleh karena itu Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim, serta dimasukkan dalam struktur kekuaasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(18)

ABSTRACT

The Indonesian Constitution has become the national principle; therefore, it is comprised of vision and objective of being in the framework of a state, and expressing the principles and the basic regulations which regulate the way of life of how to live in a nation, in a state, and in a society. One of the principal instruments in the national power is judiciary. This judiciary system should be kept independent and accountable so that it can minimize significantly the potential anarchism and corruption. The judicial committee also has the power to control and judges’ manners and to reveal their bad reputation.

The establishment of Judicial Committee was based on Article 24B of the third amendment of the Indonesian 1945 Constitution which stated that the Judicial Committee was independent and had the power to propose the term of office of the Supreme Court judges. The Judicial Committee also has the power to keep and maintain judges’ reputation, dignity, and manners. The establishment of Judicial Committee was closely related to the efforts to improve the mechanism of the governmental system in Indonesia. The aim of the establishment of Judicial Committee was to keep judges’ high and clean performance so that law enforcement can be maintained.

The research was normative and the data were gathered by using library research.

The external control on judges’ performance by Judicial Committee plays an important role and it is aimed to keep judges doing their duties and authorities seriously, based on and according to legal supervisions, truth, justice, and revering the ethical code of judges’ profession. Therefore, Judicial Committee as an external supervisory Committee on judges is included in the structure of the Indonesian judiciary in order that the people who are excluded from the legitimate structure of the Parliament System can be included in the process of nomination, job evaluation, and dismissal of judges. This is aimed to keep and maintain judges’ honor, dignity, and manners in order to realize the truth and justice which are based on God Almighty.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam lintas sejarah ketatanegaraan Indonesia, gagasan untuk membentuk

lembaga sejenis Komisi Yudisial bukanlah hal baru.Dalam pembahasan RUU tentang

ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1968, sudah diusulkan ide

Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH).MPPH berfungsi memberikan

pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran dan usul yang

berkaitan dengan pengangkataan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan

atau hukuman jabatan bagi para hakim yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung

maupun oleh menteri kehakiman.Namun, dalam perjuangannya ide tersebut menemui

kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.1

Ide komisi yudisial kembali mendapatkan momentum menyusul adanya

desakan penyatuatapan kehakiman yang didaasarkan pada Tap MPR

No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional.Munculnya desakan agar

1

(20)

lembaga peradilan satu atap, makin memunculkan desakan agar komisi yudisial

segara direalisasikan.

Dibentuknya Komisi Yudisial pada perubahan ke-3 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan reaksi terhadap

kegagalan sistem peradilan yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih

baik. Usaha kearah peradilan yang lebih baik tersebut sebelumnya juga

dilakukan dengan menciptakan sistem satu atap (One Roof System) yaitu

memberikan kewenangan dibidang administrasi, keuangan dan organisasi kepada

Mahkamah Agung. Namun usaha inidipandang belum tentu mampu

menyelesaikan masalah yang ada dan bahkandipandang dapat menimbulkan

monopoli kekuasaan di lembaga tersebut2

2

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, 2003, h.23.

. Situasi dan kekhawatiran tersebut

mendorong terbentuknya gagasan ke arah pembentukan lembaga independen yang

berada di luar Mahkamah Agung yang dapat mengimbangi agar tidak terjadi

monopoli kekuasaan pada lembaga tersebut. Dalam rangka merealisasikan

gagasan tersebut dibentuklah Komisi Yudisial yang diharapkan dapat mengawasi

serta mengimbangi (checks and balances) pelaksana kekuasaan kehakiman

sehingga dapat mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik di masa mendatang.

Diaturnya Komisi Yudisial dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Negara

(21)

lembaga negara yang mendapat atribusi kekuasaan langsung dari Undang-Undang

Dasar. Sebagaimana diketahui sejak perubahan ke-3 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, tidak ada lagi pembagian lembaga negara

tertinggi dan lembaga tinggi negara. Semua lembaga negara adalah sederajat, yang

membedakan satu sama lain adalah kewenangannya. Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengenal istilah lembaga negara

utama (main) dan lembaga negara penunjang (supporting). Dengan demikian

kedudukan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi

adalah sama yaitu sama-sama mendapat kewenangan atribusi dari Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai lembaga negara yang

mandiri, Komisi Yudisial diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar untuk

mengawasi perilaku hakim, hakim agung dan hakim konstitusi.

Seperti dikemukakan di atas, dibentuknya Komisi Yudisial merupakan reaksi

terhadap kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan peradilan yang lebih baik.

Walaupun Komisi Yudisial dipandang sebagai salah satu cara untuk

memperbaiki sistem yang ada, namun lembaga ini tidak mempunyai kewenangan

dibidang kekuasaan yudisial. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa

kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

(22)

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Secara lebih tegas

dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial bukan lembaga yang menyelenggarakan

kekuasaan kehakiman, namun kekuasaannya terkait dengan kekuasaan tersebut.

Gagasan yang timbul dari pernyataan diatas ialah bahwa selama ini dalam

kekuasaan kehakiman tidak terdapat mekanisme pengaturan diri3

Kenyataanlain, dalam hal melaksanakan kewenangan dalam menegakkan

kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, pengawasan yang

dilakukan oleh MA tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Ada dua hal mendasar

yang menyebabkan kondisi di atas: Pertama, pendisplinan dan pemeriksaan hakim

bermasalah yang dilakukan oleh MA maupun Majelis Kehormatan Hakim (MKH)

baik proses maupun hasilnya tertutup (tidak transparan). Sehingga pada akhirnya

menimbulkan kecurugiaan masyarakat adanya kolusi. Selain itu semangat membela yang

mengakibatkan tidak adanya sistem saling awasi dan saling imbang (checks

andbalances). Konsekuensi yang ditimbulkan oleh ketiadaan checks and balances ini

ialah terjadinya judicial corruption yang merupakan salah satu penyumbang

didudukkannya Indonesia pada peringkat atas sebagai negara terkorup di dunia.

Keberadaan Komisi Yudisial diharapkan dapat mengawasi dan menjadi ”external

auditor” agar tercapai keinginan banyak pihak atas adanya obyektivitas dari

suatu fungsi pengawasan terhadap pemegang kekuasan kehakiman.

3

(23)

korps (esprit de corps), mengakibatkan pemeriksaan internal yang dilakukan MA dan

MKH diragukan untuk beratindak fair terhadap hakim yang diperiksa yang nota bene

adalah teman seprofesi. Kedua, tertutupnya pemeriksaan yang dilakukan oleh

pengawasan internal MA juga diperburuk dengan pemberian sanksi yang tidak tegas

terhadap oknum hakim yang terbukti bersalah.4

Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan Negara yang

satu sama yang lain dalam posisi setara melakukan kontroling (cheks and balances),

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak

asasi manusia. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya

struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis, profesional dan proporsional.Suatu

konsekwensi logis bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum

adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945.Karena kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah

satu prisip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini

mengkehendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak maupun

dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada

jaminan ketidakberpihakan (independensi) kekuasaan kehakiman

4

(24)

Secara khusus, hasil amandemen UUD 1945 telah membawa angin

perubahan dalam kehidupan tatanegara terutama dalam pelaksaaan kekuasaan

kehakiman pada cabang kekuasaan kehakiman, terdapat empat perubahan

penting.Pertama, apabila sebelumnya perubahan Undang-Undang Dasar 1945

jaminan kekuasan kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam penjelasannya,

maka setelah perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebut dalam batang tubuh.

Kedua, Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman tidak lagi menjadi

satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman, karena di sampingnya ada Mahkamah

Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya

lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu

Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martaba, serta perilaku hakim.Keempat, adanya wewenang kekuasaan

kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan

pengujian undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa wewenang lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Melalui pelaksaan program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan

lembaga penegak hukum lainnya dilakukan untu menciptakan transparansi dan

akuntabilitas dilingkungan peradilan antara lain melalui pembentukan lembaga

(25)

dibentuknya Komisi Yudisial berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.

Komisi Yudisial tidak berperan dalam proses peradilan, akan tetapi berperan sebagai

lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Sebagai salah satu contoh kasus yang ditangani Komisi Yudisial yang lagi

hangat di perbincangkan adalah kasus Antasari Azhar. Komisi Yudisial menengarai

adanya indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam penanganan perkara

mantan ketua KPK Antasari Azhar.Komisi Yudisial menilai, ada pengabaian

barang-barang bukti penting yang dilakukan hakim baik tingkat pertama, banding, maupun

kasasi.Pengabaian barang bukti menurut Suparman yang menjabat sebagai ketua

bidang pengawasan dan investigasi Komisi Yudisial, merupakan pelanggaran kode

etik dan perilaku hakim, khususnya prinsip profesionalitas serta kehati-hatian.5

Ada beberapa alasan pokok bagi terwujudnya Komisi Yudisial di dalam Negara Hukum6

1) Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluasluasnya dan bukan hanya monitoring internal saja;

:

2) Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujua utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah;

5

www.komisijudisial.go.id Kompas, Komisi Yudisial Temukan Pengabaian Barang Bukti, Jakarta. Hal 4, rabu 13 April 2011

6

(26)

3) Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal; baik yang menyangkut rekuitmen dan monitoring Hakim Agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;

4) Tejadinya konsistensi putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (komisi yudisial);

5) Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan Hakim Agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyain kepentingan politik.

Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuk Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangaka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa.Dengan kehormatan dan keluhuran martabat itu, kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartialjudiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus dapat diimbangi oleh prinsip akuntabilitaskekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika.Untuk itu diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakimitu sendiri.7

Pembentukan Komisi Yudisial merupakan salah satu wujud nyata dari

perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara.Pembentukan

Komisi Yudisial merupakan penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya

perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin oleh konstitusi.Selain

itupembentukan Komisi Yudisial dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian

ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan.

Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara diataur dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyatakan :

Ayat ( 1 ) : Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenag mengusulkan pengangkatan hakim Agung dan mempunyai wewenang lain

7

(27)

dalam rangka menjaga dan menegakkan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Ayat ( 2 ) : Anggota Komisi Yudial harus mempunyai pengetahuan fan pengalaman di bidang hukum serta memeliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;

Ayat (3) :Anggota Komisi Yudidisial diangkat dan diberhentikan oleh Presidendengan persetujuan DPR;

Ayat ( 4 ) : Susunan dan Kedudukan dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatu dengan UU.

Berdasarkan ketentuan UUD 1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal

mengenai Komisi Yudisial, yaitu:

1. Sifat lembaga Negara yang bernama Komisi Yudisial;

2. Kewenangan konstitusional Komisi Yudisial;

3. Persyaratan menjadi anggota Komisi Yudisial;

4. Lembaga negara yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Komisi Yudisial;dan

5. Pengaturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial.

Di tengah pengurangan kewenangan Komisi Yudisial selaku lembaga Negara

yang berkedudukan sebagai checks and balance.Eksistensi Komisi Yudisial sebagai

lembaga Negara menjadi semakin tumpul dan mandul ketika fungsi pengawasan

Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan

keluhuran martabat serta perilaku hakim, berdasarkan judicial review bertentangan

dengan putusan MK No.005/PUU/2006.

Permasalahan timbul ketika, kewenangan pengawasan terhadap kinerja hakim

(28)

bawahnya, yaitu peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara dan

peradilan militer termasuk perilaku hakim.Konflik, Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial pada akhirnya bermuara pada kontra produktif terhadap keberadaan dan

kelangsungan kehidupan ketatanegaraan.Terbukti konflik kedua lembaga negara

tersebut berujung pada saling lapor dan gugat-menggugat ke pihak kepolisian Negara.

Alhasil lahirlah judicial review MK terhadap UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi

Yudisial .

Dari perspektif hukum tata Negara, secara konstitusional UUD 1945 tidak lagi

mengenal lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi Negara. Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial mempunyai kedudukan yang sejajar

sebagai lembaga tinggi Negara.Dengan posisi kesesederajatan antara ketiga lembaga

atau badan yang berada dibawah kekuasaan kehakiman tersebut, maka komosi

yudisial dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pengawas secara

merdeka dan mandiri.Akan tetapi, fungsi pengawasan Komosi Yudisialuntuk

menjaga martabat dan kehormatan hakim dan terhadap perilaku hakim mengalami

perubahan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Agustus 2006.Putusan

MK No.005/PUU/2006 tanggal 23 Agustus 2006 antara lain sebagai berikut:

1. Komisi Yudisial tidak berwenang lagim mengawasi hakim

2. Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 22 tahun 2004 yang mengatur

kewenangan komosi yudisialuntuk pengawasan perilaku hakim dan

(29)

3. Hakim Mahkamah Konstitusi tidak termasuk obyek pengawasan

komosi yudisial

4. Komisi Yudisial tidak berhak lagi mengusulkan penjahtuhan sanksi

berupa pemberhentian hakim kepada Mahkamah Agung dan/

Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas dan

menelitinya dengan mengambil judul Tinjauan Kritis Kedudukan dan Kewenangan

Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis

membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan keberadaan Komisi Yudisial,

sebagai berikut:

1. Mengapa jajaran kekuasaan kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial?

2. Seluas mana kewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu lembaga “komisi”

namun bukan sebagai lembaga kehakiman?

(30)

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang mengapa jajaran kekuasaan

kehakiman membutuhkan adanya Komisi Yudisial.

2. Untuk mengetahui seluas manakewenangan Komisi Yudisial sebagai suatu

“lembaga komisi” (bukan lembaga kehakiman)

3. Untuk mengetahui sejauh mana produk kinerja Komisi Yudisial di Indonesia

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan

ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada

gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu

hukum, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan

konstitusinal Komosi Yudisialsebagai lembaganegara apakah sesuai dengan

gagasan pembentukan Komosi Yudisialdalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah

(31)

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan

penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan

dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan Komisi

Yudisial.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan,

penelitian yang mengangkat judul tentang “tinjauan kritis kedudukan dan

kewenangan komisi yudisial RI pasca amandemen UUD 1945” ini belum pernah

dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini

dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat di

pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran,

rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan

akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Secara konseptual teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam

penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Tinjauan Kritis

kedudukan dan kewenagan Komisi Yudisial RI Pasca Amandemen UUD 1945 adalah

(32)

grand theory yang didukung oleh teori konstitusi dan teori demokrasi atau kedaulatan

rakyat.

Paham negara hukum berakar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus

dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Menurut Franz Magnis-Suseno,8

Jika dirujuk kebelakang, paham negara hukum sebetulnya merupakan konsep

yang sudah lama menjadi discourse para ahli.Plato mengemukakan konsep

nomoiyang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara

hukum.Sedangkan Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan

dengan arti negara dalam perumusannya masih terkait pada polis.Bagi Aristoteles

yang memerintah dalam negara hukum bukanlah manusia, melainkan pikiran yang

adil dan kesusilaan yang menentukan baik buruknya suatu hukum.

terdapat dua unsur dalam paham negara hukum. Pertama, hubungan antara

memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, tetapi berdasarkan

norma yang objektif juga mengikat pihak yang memerintah. Kedua, norma yang

objektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal, melainkan dapat

dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.

9

Seorang sarjana dari jerman F.J Stahl mengemukakan empat unsur dari negara

hukum, yakni:

8

Franz Magnis-Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, hal,295.

9

M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1990, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

(33)

1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia

2. Adanya pembagian kekuasaan;

3. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan

4. Adanya peradilan administrasi.10

Konsep negara hukum di Eropa yang dikenal dengan Rule Of Law yang sangat

terkenal karena uraian A.V. Dicey dalam bukunya yang berjudul law and constitution

(1952). Dalam bukunya tersebut Dicey menyatakan bahwa unsur-unsur Rule of Law

mencakup:

1. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi mereka rakyat kebanyakan meupun pejabat.

3. Terjadinya hak asasi menusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.11

Jimly Asshiddqie12

1. Adanya jaminan persamaan dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama;

menyebutkan bahwa paling tidak ada sebelas prinsip pokok

yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yakni:

2. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; 3. Adanya atruran yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama;

4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu;

5. Adanya pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;

10

Hasan Zaini Z., 1974, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,hal. 155.

11

Miriam Budiarjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia:Pustaka Utama, hal.58.

12

(34)

6. Adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antara lembaga negara, baik secara vertical maupun horizontal;

7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;

8. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akiabat putusan atau kebijkan pemerintah;

9. Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan menghadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislative maupun eksekutif; dan

10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan pelaksaan prinsip-prinsip diatas.

11. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

Konstitusi menurut makna katanya berarti “ dasar susunan badan politik”

yang bernama negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan

suatu negara, yaitu berupa peraturan kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur

atau memerintah negara.13

K.C Wheare F.B.E seperti dikutip Juniarto mengatakan:

Istilah constitution pada umumnya dipergunakan untuk menunjuk kepada seluluruh peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan akan menggambarkan sistem ketatanegaraan tersebut terbagi dua golongan, yaitu peraturan berderajat legal (law) dan berderajat nonlegal (extralegal).14

Berdasarkan pendapat diatas, maka pada dasarnya peraturan-peraturan

(konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, berupa UUD

atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa usage, understanding, custums atau

convention.

13

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung : Armico. Hlm. 297

14

(35)

Berkaitan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu negara Lord Bryce15

1. Adanya keinginan aggota warga negara untuk menjamin hak-haknya yang mungkin terancam dan sekaligus membatasi tindakan-tindakan penguasa;

,

mencatat empat motif timbulnya konstitusi:

2. Adanya keinginan dari pihak yang diperintah atau yang memerintah dengan harapan untuk memjamin rakyatnya dengan menentukan bebtuk suatu sistem ketatanegaraan tertentu;

3. Adanya keinginan dari pembentuk negara yang baru untuk menjamin tata cara penyelenggaaraan ketatanegaraan;

4. Adanya keinginan untuk menjamin kerjasama yang efektif antar negara bagian.

Berdasarkan pendapat Lord Bryce tersebut, maka paham konstitusi memiliki

makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi).Tidak

berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme).Konskuensi logis dari diterimanya

paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar, berarti bahwa

dalam pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan

pemerintah menurut UUD, presiden berhak mengajukan undang-undang kepada

lembaga perwakilan rakyat.Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk

menjalankan undang-undang.Dengan prinsip ini Presiden hanya mengeluarkan

peraturan, kalau ini mempunyai landasan pada UUD, atau merupakan penerusan dari

padanya.16

15

Ibid. hlm. 40-41

16

(36)

Paham konstitusionalisme menurut C.H Mellwain17

1. hukum yang menjadi “pembatas” bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan;

dalam bukunya yang

berjudul Ancient and Modern, menghendaki eksistensi dua elemen penting sekaligus:

2. akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed).

Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan

kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan di dalam hukum dan

pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada

aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki. Istilah ini

dikenal dengan pengakuan akan kedaulatan rakyat.

Dengan demikian dapat dikenali, bahwa konstitualisme, minimal mencakup

dua hal yang sangat esensial18

1. Konsep negara hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang berarti

pula bahwa hukum harus mengontrol dan mengendalikan; , yaitu:

2. Konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan

warga negara di bawah jaminan konstitusi sekaligus adanya pembatasan

kekuasaan negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari konstitusi.

17

Jika diperinci lebih jauh, dua hal tersebut menghasilkan gagasan-gagasan lanjutan seperti kedaulatan rakyat (demokrasi), konstitusi sebagai hukum dasar, pemerintahan berdasarkan undang-undang, prosedur yang terlembaga bagi akuntabilitas pemerintah, dan last but not least jaminan perlindungan HAM warga negara. A. Ahsin Thohari, “Jalan Terjal Konstitusionalisme Indonesia,”

Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No.1.Juli 2004, hlm. 158 18

(37)

Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat

yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah. Kemudian

secara prinsipil, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menginzinkan

rakyatnya untuk mengambil bagian penting dalam proses pemerintahan. Demokrasi

adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di

tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat

berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan rakyat.

Menyikapi hal ini Sri Soemantri mengutip pendapat E.Barkermengatakan :

Dilihat dari kata-katanya demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meskipun kelihatan sederhana, akan tetapi sampain sekarang adalah sukar untuk membeikan batasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan pengertian demokrasi tersebut telah dan akan mengalami perkembangan.19

Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan

bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan

dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan

negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan kata

lain bahwa, negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang

diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauanrakyat.

Menurut Moh. Mahfud MD20

19

Sri Soemantri, Perbandingan Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971.hlm.23

, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai

sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah

20

(38)

menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas

kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk

menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.

Setidaknya ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu

gagasan kehidupan yaitu kemerdekaan (freedom), persamaan, (equality), dan keadilan

(justice).Ide-ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol dan

hakekat dari nilai-nilai dasar demokrasi yaitu sungguh-sungguh mewakili atau

diangkat dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilai-nilai itu sendiri.21

2. Kerangka Konsepsional

Untuk menghindari perbedaan pengertian terhadap istilah yang dipergunakan

dalam penelitian ini, berikut ini adalah konsepsi dan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut.Khusus untuk pengertian kewenangan dalam penelitian ini di uraikan

dengan cukup rinci, sedangkan istilah-istilah lainnya hanya disebutkan definisi

operasionalnya karena diuraikan lebih jelas dalam pembahasan permasalahan yang

diangkat.

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini,

maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsp-konsep

di bawah ini:

21

(39)

A. Komisi

Komisi negara sering disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di

Amerika Serikat di kenal saebagai administrative agencies. Menurut Michael R

Asimow, komisi negara adalah: units of government created by statute to carry out

specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the

executive branch, but some important agencies are independent.22Komisi negara

independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan

karenanya berada di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, namun

justru mempunyai fungsi campur dari ketiganya.23Dalam bahasa Funk dan Seamon

komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative” dan

“quasi judicial”.24

Sesuai dengan defenisi komisi negara independen di atas, di Indonesia saat ini

ada 13 independent regulatory agencies.Evaluasi atas komisi negara di tanah air

paling tidak perlu menyoroti tiga hal, yaitu: (1) problema eksistensinya yang mulai

menginflasi; (2) efektifitas fungsi, (3) serta urgensi restrukturisasi komisi negara

tersebut.25

22

Michael R Asimow, Administrative Law (2002)hlm.1.

23

Jimly Asshiddigie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah dalam seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003

24

William F. Funk dan Richard H. Seamon, Administrative Law: Examples&Explanations (2001) hlm.23-24.

25

(40)

B. Kedudukan

Menurut Philipus M. Hadjhon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lain. Kedua,

kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi

utamanya.26

Dengan makna kedudukan dari dua sisi tersebut ketetapan MPR

No.VI/MPR/1973 junto Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 membedakan dua

kelompok Lembaga UUD 1945, yaitu lembaga tinggi negara, MPR dan lembaga

Tinggi Negara yang terdiri atas: Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung.

Namun berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Amandemen tidak lagi dikenal

pembagian dalam kelompok Lembaga Negara dan Lembaga Tinggi Negara pola

Ketetapan MPR No VI / MPR /1973 juntoKetetapan MPR No.III / MPR / 1978.27

Susunan Komisi Yudisial adalah stuktur organisasi Komisi Yudisial yang telah tersusun yang menyangkut siding paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi,

sekretariat jendral, biro-biro dan bagian-bagian.28

26

Philipus M. Hadjon, 1996, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Surabaya: Bina Ilmu,1992, h.x

)

Dalam hal ini juga menyangkut

fungsi, tugas, kewajiban, dan wewenag Komisi Yudisial.

27

Philipus M. Hadjon, 2004, Ibid

28

(41)

Kedudukan KomisiYudisial adalah kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan dan juga tempat kedudukan Komisi Yudisial.29Dalam konteks ini

yang menjadi pernyataan adalah apakah Komisi Yudisial termasuk dalam kekuasaan

kehakiman atau tidak dan apakah Komisi Yudisial termasuk ke dalam alat-alat

kelengkapan Negara dalam struktur ketatanegaraan atau tidak.Pelembagaan Komisi

Yudisial adalah perbuatan melembagakan atau mengorganiasasikan30

C. Kewenangan dan Tugas Komisi Yudisial

Komisi

Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan menyangkut sidang

paripurna, ketua/wakil ketua, sub-sub komisi, sekretariat jendral, biro-biro dan

bagian-bagian selain itu, juga menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenang

Komisi Yudisial.

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang berarti hak dan

kekuasaan untuk membuat keputusan yang memiliki akibat hukum setelah

dikeluarkan keputusan tersebut.31

29

Pengertian ini diadaptasi dari pengerian kata “kedudukan dalam ibid., hlm.278

Dalam pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945

digunakan istilah “wewenang” untuk menunjuk fungsi yang harus dilakukan oleh

komisi yudisial.Penggunaan istilah “wewenang” menurut Tim Penyusun Naska

Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung

30

Pengertian ini diadaptasi dari pengertian kata “lembaga”, “melembagakan”, “pelembagaan dalam ibid., hlm.653-654.

31

(42)

32

Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan

tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial.Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas

(plicthen)dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,

kurang tepat karena kata kewenangan biasanya diartikan sebagai hak-hak yang

dimiliki seseorang atau suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Sementara fungsi

Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menunjukkan hal-hal apa yang wajib dilakukan

oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.

33

G. Metode Penelitian

wewenang mengandung

makna kekuasaan (macht)yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada

pejabat dari organ.

1. Tipe atau jenis penelitian

Peneliti akan mengkaji pokok-pokok permasalahan sesuai dengan ruang

lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut di atas melalui

pendekatan yuridis-normatif.34

32

Tim Mahkamah Agung, 2003, Naska Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. Jakarta: Mahkamah Agung

Selain itu, penelitian juga akan menggunakan

pendekatan yuridis-historis dan yuridis-komparatif berdasarkan ruang lingkup dan

identifikasi masalah yang ada. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini sejauh

33

Bagir Manan, 2001, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta, hal.69-70.

34

(43)

mungkin dapat mengetahui sosok Komisi Yudisial dalam spektrum yang

seluas-luasnya dengan cara menggali informasi tentangnya dari berbagai sudut pandang.

2. Sumber data penelitian

1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan penelitian ini seperti:

2) Norma atau Kaidah Dasar, yaitu Pembentukan Undang-undang Dasar

1945;

3) Peraturan Dasar, yakni pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945

4) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan

Yudisial, khususnya keberadaan Komisi Yudisial, diantaranya:

- Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman;

- Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamh Agung;

- Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial;

- Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;

5) Bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) yang

digunakan adalah kajian pustaka yang bersumber dari karya ilmiah berupa

buku-buku teks, kamus hukum, artikel, majalah, jurnal ilmiah di bidang

hukum, komentar-komentar atas putusan MK, makalah yang berkaitan

(44)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai

bahan hukum baik, hukum primer, sekunder, maupun tertier melalui penelusuran

kepustakaan (library research).

4. Analisis Data

Dengan mengkaji hukum normatif, analisis bahan hukum hakekatnya kegiatan

untuk mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi

berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

dalam analisis data, yaitu:

a) Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

masalah eksistensi, kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan komisi

yudisial.

b) Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan

klasifikasi tertentu.

(45)

BAB II

JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MEMBUTUHKAN ADANYA KOMISI YUDIAL

A. KEMANDIRIAN LEMBAGA KEHAKIMAN

Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari dalam (from within)akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan, profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut.35

Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan

negara denokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia

barat.Seperti gagasan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani kuno (abad ke-6 s.d

ke-3 SM) yang dapat dirujuk pada negara (polis) Athena dan pikiran-pikiran

Aristoteles, Plato, dan sebagainya.Namun, gagasan demokrasi ini kemudian lenyap

dari dunia barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa Barat dikuasai oleh Nasrani

yang membangun pemerintahan oteriter dan menindas kebebasan rakyat.Di barat

pada waktu itu dikembangkan pemikiran bahwa kehidupan sosial dan spiritual

35

(46)

rakyatharus tunduk kepada Paus (gereja) dan pejabat agama, sedangkan kehidupan

politik harus tunduk kepada Raja.Kegelapan dunia Barat ini kemudian dipecahkan

oleh munculnya zaman Renaissance (1350-1600) yang minimbulkan minat pada

pemunculan kembali sastra dan budaya yunani kuno.Munculnya Renaissance itu

tidak lepas dari peristiwa Perang Salib yang berlangsung tidak kurang dari dua abad

(1099-1299). Di dalam perang yang panjang itu akulturasi antara Islam dan Barat

terjadi, sebab Islam pada awal-awal perang salib sedang berada di puncak

kejayaannya, telah memancing kesadaran bagi orang-orang Barat yang datang ke

negara-negara Islam sebagai konsekuensi dari perang yang saling memasuki wilayah

itu. Setelah berhubungan dengan orang-orang Islam timbullah gagasan di kalangan

orang Barat tentang perlunya kebebasan dan hak-hak rakyat serta penggalakan

pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang ketika itu berkembang di dunia

Islam.Gagasan-gagasan seperti itu cepat menyebar dan dalam waktu yang tidak

terlalu lama orang-orang Eropa Barat memasuki abad pemikiran (650-1850) yang

menuntut pendobrakan atau pemerdekaan bagi pikiran rakyat dari

pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh gereja.Pada gilirannya timbullah gagasan di bidang

politik bahwa manusia mempunyai hak yang tidak boleh diselewengkan oleh

pemerintah, dan absolutism dalam pemerintahan haruslah didobrak. Rasionalitas yang

mendasari perkembangan tersebut adalah perjanjian masyarakat (teori social contract)

(47)

perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan dan rakyatakan mematuhinya

selama hak-hak rakyat tidak diselewengkan.36

Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan

kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945.Pasal ini

menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence of The

Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan mengkehendaki

kekuasaan kehakiman :

1. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh para

pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak sesuai

dengan asas memberi kesempatan yang sama kepada setiap pihak (audi alteran

partem atau must give the same opportunity to each party). Memberi perlakuan

sama(equal treatment) kepada para pihak atau disebut juga equal dealing.

2. Juga harus benar-benar bebas dan merdeka dari pengaruh dan genggaman

eksekutif atau penguasa (independence from the executive power)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka

merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan

negara hukum.37

36

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, (Jakarta: Gramedia,1999) Hlm.270

Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya

37

(48)

diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan

dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana telah disebutkan diatas, kekuasaan

kehakiman merupakan instrument penting untuk menjamin hak-hak asasi manusia

dan mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting

dalam demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi

oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka

dapat dipastikan negara tersebut tidak demokatis. Kemerdekaan kekuasaan

kehakiman merujuk pada kemerdekaan dari campur tangan pemegang kekuasaan lain

dalam persoalan-persoalan kehakiman. Tujuan membebaskan dan memerdekaan

kekuasaan kehakiman (badan peradilan) dari pengaruh dan gemgaman penguasa

(eksekutif), agar terjamin pelaksanaan fungi dan kewenangan peradilan yang jujur dan

adil dan peradilan mampu berperan mengawasi pengadilan-pengadilan bawahan.Dan

pengadilan cenderung untuk menerima putusan-putusasnya terdahulu.

Kekuasaan kehakiman yang independen dipahami sebagai tidak adanya

pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekusaan

kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar

korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan

hukum yang berlaku. Supremasi hukum erat kaitannya dengan putusan pengadilan

yang mandiri, yang berisi keadilan hukum, yang memenuhi kepastian hukum.Untuk

itu diperlukan tegaknya pengadilan yang independen, yang merupakan kekuasaan

(49)

tercermin dari Mahkamah Agung, pengembang utama dan pertama eksistensi

supremasi hukum.38

Pemisahan secara tegas lembaga judikatif harus disertai dengan pemberian

kewenangan secara otonom yang berkaitan dengan kemandirian dalam bidang

kehakiman seperti fungsi judicial review, supervisi, konsultatif legislatif, dan

administrative kepada Mahkamah Agung selaku lembaga pengadilan negara tertinggi

dari semua lingkungan peradilan.39 Artinya, akan tidak ada lagi

ketegangan-ketegangan yang sering terjadi di antara dua badan dalam bidang dan fungsi

kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 10 Declaration of Human Rights mensyaratkan

independensi lembaga pengadilan adalah prasyarat terciptanya Rule of Law. Misi

utama lembaga yudikatif dalam negara hukum adalah menjaga dan memelihara

tegaknya supremasi hukum.40

Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan, lembaga yudikatif

dimungkinkan untuk melaksanakan pengadilan secara jujur, obyektif, tidak memihak,

dan adil.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan

sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh

keadilan.Yudikatif sering disebut sebagai landing of the last resort.Keistimewaaan

yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk

lembaga.Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang dan produk eksekutif, yang

38

Syamsuhadi, “Visi dan Misi Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Jakarta: 2000

39

Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

40

(50)

berupa kebijakan atau aturan-aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan

umum”.Sementara yudikatif mendasarkan putusannya pada “demi keadilan”. Bahkan

di Indonesia, pengadilan mendasarkan putusannya dengan kalimat “Demi Keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Karena sifatnya yang demikian hakim

acapkali diidentik-predikat sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”.Dengan

predikat seperti itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan

kewenangan yang dilakukan elit politik merupakan penyalagunaan atau penghianatan

atas kepercayaan rakyat sementara penyalagunaan fungsi dan kewenangan yang

dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya sebagai

“perpanjangan Tangan Tuhan”

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi

kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan

prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya

hukum dan keadilan.Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan

adanya tekanan, pengaruh dan campur tangan siapapun. Dalam bahasa putusan

Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan sangat melekat dalam dan

harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap

perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan

yag berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan

terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi,

(51)

mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau

tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari atau golongan

tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan lainnya. Kemerdekaan hakim sangat

berkaitan erat dengan pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Hakim

yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam

menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada

orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri

juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya.

Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yangpada orang lain dalam bidang

tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan

sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga

memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi

kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam

melaksanakan tugas justisialnya.41

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah

diartikan mengandung sifat mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan

keadilan.Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istemewa

hakim, melainkan hak yang melekat pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan

hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak

berpihak.Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi

41

(52)

peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi

personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif.42

Dengan demikian, independensi peradilan ini harus bersanding dengan

konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni

akuntabilitas publik. Independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang

tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusa penting konferensi

Internasional Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa “Independence does not

mean that judge is entiled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal

munculnya gagasan mengubah UUD RI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa

sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan

kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika

kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.43

Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat

dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan

hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural bagi kekuasaan

kehakiman agar dalam melaksanakan indepenensinya tidak melanggar hukum, dan

bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak

dapat bertindak “contra legem”. Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan

independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di

42

Ibid

43

(53)

mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak

ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain dapat dipahami

dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan.44

Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan

atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya

peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian atau

kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat

menjadi “tirani kekuasaan kehakiman”.Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan

yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau

pengawasan melalui media massa. Dengan demikian aspek akuntabilitas, integritas,

transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan rambu-rambu yang menjadi

pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.Dengan

demikian kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian

kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh

rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi dan

pengawasan.Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus

dilengkapi lagi dengan sikap implementasi dan profesional dalam bidangnya.Oleh

karena itu, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan

44

Gambar

Gambar 1: Hasil Derivasi Sistem Kehidupan Nasional dalam Buku Sistem Nasional, Prof. Dr
Tabel 1 Jumlah Putusan yang diteliti
Tabel 2 Pemantauan Sidang yang dilakukan Komisi Yudisial
Tabel 3 Sidang MKH yang Sudah Digelar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh negatif signifikan terhadap variabel kepuasan kerja karyawan pada Hotel Amed Café dan Bungalow yang berarti

Hasil analisis data dari tabel 5.4 diatasterlihat perbedaan yang signifikan dari rerata skala nyeri pasien sebelum dan sesudah terapi musik instrumental dan hasil

Kaitan Antara Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu, Serta Pola Asuh dengan Perilaku Keluarga Sadar Gizi dan Status Gizi Anak (Skripsi), Bogor: Departemen Gizi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh varibel motivasi dan disiplin kerja terhadap variabel kinerja karyawan pada Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju

masalah Saya punya banyak objek yang bisa diamati, (guru memperlihatkan beberapa objek pengamatan) Guru memandu peserta belajar live untuk bisa membuat pertanyaan berdasarkan benda

Dini, Sofia, Rindu, Oki, Iwa, Rendi, Bagas, Raisa, Temmy, dan Sheila.. berjalan bersama Bu Rahma

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dengan adanya perilaku makan yang baik, kebutuhan zat gizi tubuh akan terpenuhi, sehingga kon- sentrasi belajar