• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia

1 PENDAHULUAN

2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan perairan ZEE Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia. Para nelayan sudah dari dahulu memanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, juga sudah banyak dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang berwenang, bahkan sebelum UU No. 31 Tahun 1985 dan UU No.34 Tahun 2004 tentang Perikanan itu sendiri dibuat dan diundangkan. Menurut Monintja (2006), UU No. 34 tersebut telah mewajibkan Indonesia untuk mengelola perikanan Indonesia secara sungguh-sungguh. Landasan hukum untuk mengelola perikanan tersebut apabila dirancang dan diimplementasikan dengan baik, akan membebaskan Indonesia dari kategori unregulated fishing dan status open access yang merupakan ancaman terhadap keberlanjutan usaha penangkapan ikan di Indonesia (Monintja, 2006).

Kebijakan lainnya yang juga terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah Undang-undang Pemerintah Daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005, terutama yang berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Permasalahan yang muncul dewasa ini yang sering menimbulkan konflik seperti misalnya ditangkapnya nelayan- nelayan dari daerah lain yang melakukan penangkapan ikan di wilayah lain dan bukan di daerahnya sendiri. Contohnya adalah seperti nelayan purse seine dari Pekalongan yang menangkap ikan di daerah lain (misalnya di perairan Masalembo dan Matasiri), namun dengan diundangkannya UU Pemerintah Daerah, maka nelayan-nelayan dari Pekalongan tersebut mengalami kesulitan dan juga terjadi konflik dengan nelayan setempat. Pemahaman dan penerapan yang tidak tepat seringkali yang menimbulkan konflik antara nelayan pendatang dan

12 nelayan setempat, sehingga perlu adanya sosialisasi tentang peraturan perundangan tersebut. (Imron, 2000).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ikan-ikan yang didaratkan di beberapa Pelabuhan Perikanan (PP) maupun di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) seperti misalnya di Pekalongan, Indramayu, Brondong, Sibolga, Bitung dan masih banyak lagi PP maupun PPI lainnya, tidak sepenuhnya ikan hasil tangkapan tersebut merupakan hasil tangkapan di wilayah perairan setempat, tetapi juga merupakan ikan hasil tangkapan dari daerah lain. Bahkan sekitar 50 % dari jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan dari daerah lain. Nelayan-nelayan dari Pekalongan, Indramayu dan Cirebon selain menangkap ikan di wilayah perairannya sendiri, juga menangkap ikan di perairan Karimun Jawa, perairan Matasiri dan Masalembo dan bahkan sampai ke perairan Kalimantan, ke perairan Sumatera dan perairan Laut Cina Selatan (Imron, 2000).

Seringkali didapati juga nelayan-nelayan dari Serang, Labuhan, Indramayu dan Cirebon, berbondong-bondong dan berkonvoi menyeberangi Selat Sunda untuk sementara pindah tempat (pindah fishing base-nya) ke Provinsi Lampung. Ini dilakukan bila di daerah asalnya sedang tidak musim ikan atau terjadi musim paceklik yang panjang, bahkan tidak jarang juga mereka akhirnya menetap di daerah baru tersebut.

Contoh kasus lainnya misalnya adalah banyaknya nelayan dari Sibolga yang sekarang ini memanfaatkan perairan di Selatan Jawa dan mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Cilacap. Bahkan dewasa ini kolam pelabuhan perikanan di Cilacap ini telah dipadati oleh kapal-kapal ikan milik nelayan dari Sibolga tersebut. Nelayan dari Cilacap sendiri masih lebih senang merapatkan kapalnya di pangkalan pendaratan ikan yang lama di PPI Sentolo Kawat atau PPI lainnya yang berdekatan dengan tempat tinggalnya, meskipun sebenarnya mereka sudah dihimbau dan diminta pindah ke pelabuhan perikanan Cilacap.

Setelah kapal-kapal ikan dari Sibolga banyak merapat dan memadati kolam pelabuhan perikanan Cilacap, nelayan setempat melakukan protes dan bahkan sampai melakukan pembakaran terhadap kapal ikan dari Sibolga. Untungnya persoalannya dapat diatasi dan dapat didamaikan, meskipun pada suatu saat tidak tertutup kemungkinan dapat timbul konflik yang baru lagi.

Pada masa yang lalu, hal ini tidak menjadikan permasalahan yang berarti, karena nelayan dari daerah setempat tidak menganggap nelayan dari luar wilayahnya mencuri ikan di daerahnya.

13 Namun sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah dan karena pemahaman yang keliru, maka hal ini sering menjadikan konflik antar nelayan setempat dan nelayan pendatang, dan bila hal ini tidak segera ditangani dengan benar, tentunya akan dapat menimbulkan masalah yang lebih serius dikemudian hari dan bahkan dapat menimbulkan keretakan atau disintegrasi bangsa Indonesia.

Dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah, yang implementasinya akan dituangkan dalam peraturan pemerintah, hendaknya tidak menjadikan masalah-masalah baru yang dapat merusak keutuhan dan kesatuan bangsa yang dewasa ini terasa semakin mahal harganya. Peraturan pemerintah yang akan dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang wilayah pengelolaan, pemanfaatan dan pengaturan “shared stock” sumberdaya ikan di perairan Indonesia, diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan yang mungkin ditimbulkan oleh pemahaman yang keliru tentang UU Otonomi Pemerintah Daerah tersebut, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pengkaplingan wilayah laut, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep Wawasan Nusantara.

Pendekatan pemikiran yang digunakan untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan shared stock dan pengelolaannya adalah dengan membuat konsepsi atau pemikiran dan langkah-langkah yang sebaiknya diambil pemerintah melalui kajian penentuan

shared stock sumberdaya ikan di Indonesia dengan pendekatan secara menyeluruh dan terpadu (integrated and comprehensive approach). Artinya, dalam penentukan shared stock sumberdaya di perairan Indonesia sebaiknya memperhatikan seluruh kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pendekatannya dapat dilakukan dengan mempergunakan dan menerapkan beberapa pengkajian stok dengan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi stok sumberdaya seperti misalnya dengan menggunakan Metode Surplus Produksi baik dengan Schaefer maupun Fox, Metode “swept area” dari Gulland, Metode Penandaan (Tagging), Metode Akustik Perikanan, Metode Semi-Kuantitatif dan lain sebagainya sekaligus dilakukan melalui pendekatan dengan menggunakan penginderaan jarak jauh, pengukuran parameter oseanografi, usaha penangkapan ikan, serta didukung dengan kelembagaan yang tepat, dimana semua komponen tersebut dapat saling dikait dan dipadukan, sehingga menghasilkan suatu informasi yang tepat (Imron, 2000).

Sebelum menentukan pengelolaan dan pemanfaatan stok sumberdaya ikan di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI, yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah tentang kondisi biologi

14 dan ekologi. Kondisi biologi dan ekologi disini adalah tentang kondisi sumberdaya ikan, yang dikaitkan dengan berapa besarnya stok sumberdaya ikan (stock assessment), serta berapa banyak yang boleh ditangkap atau dimanfaatkan (total allowable catch) dan alokasi stok sumberdaya ikan (shared stock) tersebut bagi wilayah daerah otonom.

Untuk mengkaji aspek pengelolaan dan pemanfaatan stok sumberdaya ikan berkaitan dengan diterapkannya UU Pemerintah Daerah dilakukan dengan menggunakan berbagai kebijakan dengan membuat evaluasi kebijakan melalui analisis rancangan dan konsepsi. Analisis ini dipergunakan secara deskriptif untuk mengkaji beberapa kebijakan yang telah dibuat dan cara bagaimana sasaran-sasaran dari kebijakan tersebut dibuat dalam upayanya agar tercapai tujuan kebijakan dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Bila dilihat dari stok sumberdaya ikan yang berada di suatu wilayah perairan tertentu atau yang keberadaan stok sumberdaya ikan pada musim-musim tertentu untuk jenis-jenis ikan yang bermigrasi, maka untuk pengaturan shared stock harus memenuhi beberapa kriteria yang relevan (Imron, 2000) untuk dipertimbangkan.

Proses pengelolaan sumberdaya perikanan sangat membutuhkan berbagai informasi sebagai dasar untuk menetapkan berbagai informasi sebagai dasar untuk menetapkan berbagai rencana dan aturan yang harus dibuat untuk menata kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Pertama, perlunya pengetahuan tentang informasi dasar yang sangat diperlukan tentang proses biologi dan ekonomi yang menyangkut setiap jenis kegiatan perikanan. Proses biologi yang perlu dikaji meliputi informasi tentang populasi spesies ikan tertentu atau kelompok spesies ikan dan dinamikanya, parameter habitat, dan lingkungan yang mempengaruhinya, reproduksi, pertumbuhan, dan mortalitasnya. Proses ekonomi yang perlu dikaji dengan sejumlah metode terutama untuk menentukan pemanfaatan sumberdaya ikan, investasi permodalan yang diperlukan dan keluaran berupa hasil dan pendapatan usaha. Kedua, untuk menanggulangi penipisan stok ikan perlu menyusun teori untuk bisa menetapkan tingkat penipisan stok ikan dan menetapkan tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya yang diinginkan. Ketiga, rancangan kelembagaan dan regulasi untuk mempertegas hak pemanfaatan sumberdaya dan mengendalikan eksploitasi sumberdaya ikan dan pemasarannya. Walaupun tidak mudah, perlu diupayakan mengkaji ketiga faktor kajian tersebut dan mengaplikasikannya dalam menyusun suatu rencana pengelolaan sumberdaya perikanan.