• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat ini 1. Kebijakan Nasional

DAFTAR LAMPIRAN

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi

5.3. Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Karang Berkelanjutan Karang Berkelanjutan

5.3.1. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat ini 1. Kebijakan Nasional

Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat banyak bila secara ekonomis, politis, sosiologis dan kultural menguntungkan.

Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan berbagai upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasankawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah telah merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah laut yang diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)

Pengelolaan ekosistem terumbu karang di suatu KKLD adalah suatu proses untuk memotivasi kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi/lembaga terhadap pembangunan (manusia sehari-hari) yang berlangsung dalam suatu kawasan. Secara umum kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang KKLD bertujuan untuk mengkonservasi habitat, dan proses-proses ekologi, dan perlindungan nilai sumber daya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata, dan penelitian, pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

Pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan tidak terlepas dari kebijakan nasional melalui peraturan dan perundang-undangan lainnya. Adapun peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur disajikan pada Tabel 25 berikut.

Tabel 25. Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

1. Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan ekosistemnya 2. Pengembangan kelembagaan dan

SDM dibidang konservasi SDI

3. Pengawasan konservasi suumber daya ikan

Pemerintah, Masyarakat, dan penegak hukum

Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap peraturan perundanga Tabel 25 di atas menyangkut tema konservasi ekosistem dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara umum. Dua tema tersebut dijadikan sebagai indikator tentang keberpihakan suatu peraturan terhadap keberlanjutan sumberdaya alam secara umum dan ekosistem terumbu karang secara khusus. Hasilnya diuraikan di bawah ini.

Peraturan Perundangan Batas Yuridiksi Lembaga yang Berwenang

UU No 5 Tahun 1995 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya

1. Pelaksanaan kegiatan konservasi; 2. Pola dasar dan pengaturan cara

pemanfaatan konservasi sumberdaya; 3. Pembinaan konservasi berkaitan

penegakan hukum. Pemerintah, masyarakat dan penegak hukum UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jun to UU No. 45 Tahun 2009

1. Rencana pengelolaan SDI, jumlah penangkapan;

2. Penyusunan sistem informasi SDI; 3. Penelitian dan pengembangan SDI; 4. Pengawasan. Pemerintah LSM, PT penegak hukum UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Penyelengaraan pemerintahan; 3. Pengelolaan SDA; 4. Perencanaan RTRW. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

1. Pengaturan dan pembinaan penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

2. Perencanaan pemanfaatan,

pengendalian dan pengawasan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 3. Penyidikan

Pemerintah, masyarakat , POLRI dan PPNS

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada prinsipnya mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumberdaya alamnya. Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman nilainya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 ini belum secara tegas memberikan arahan kepada berbagai pihak terkait kebijakan pengelolaan konservasi ekosistem terumbu karang. Pada pasal 38 terkait penyerahan urusan dan pembantuan tugas dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya kepada pemerintah daerah masih sangat umum. Disamping itu UU No. 5 Tahun 1990 belum memberikan ruang publik untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Peran rakyat dalam pelaksanaan konservasi diarahkan oleh pemerintah, seperti yang termuat dalam pasal 37. Hal tersebut memberikan gambaran pengelolaannya masih bersifat sentralistik sebagaimana regim yang berkuasa ketika itu.

2. Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jun to Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jun to Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada menteri terkait menetapkan status bagian laut tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Pada pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan”. Dalam penjelasan pasal 13 dinyatakan bahwa terumbu karang termasuk dalam kawasan konservasi terkait kegiatan perikanan. Secara eksplisit keterpaduan pelaksanaan konservasi belum diatur dalam batang tubuh undang-undang ini. Secara umum undang-undang ini dalam pengelolaannya masih bersifat sentralistik. Walaupun dalam pasal 65 sudah termuat tentang

penyerahan urusan dan pembantuan umum tehadap pemerintah daerah tetapi tidak jelas rinciannya. Menurut Wiadnya et al. (2011) bahwa UU No. 31 Tahun 2004 bahwa pemerintah pusat telah berbagi wewenang dan tanggung jawab dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pembuatan Peraturan Daerah tentang KKLD yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa: ”Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut”. Selanjutnya pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan hayati laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya dalam ayat (4) dijelaskan bahwa daerah diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Namun sisi lain secara bersamaan undang-undang ini pendekatannya sangat formal dalam memahami batasan sumberdaya alam. Akibatnya sering terjadi konflik kepentingan dan kewenangan terkait pengelolaan sumberdaya alam diantara pemerintah daerah. Misalnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang merupakan daerah hilir, jika pengendaliannya semata teknosentris melalui restorasi terumbu karang, maka tidak menyelesaikan permasalahan secara mendasar, karena akar masalah di bagian hulu tidak dikendalikan. Sisi lain kawasan hilir dan hulu berada pada daerah administrasi kabupaten/kota yang berbeda. Dengan demikian regim otonomi daerah gagal memperbaiki pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ekstraktif. Kegagalan tersebut diantaranya disebabkan oleh (1) keterbatasan kapasitas SDM daerah sehingga belum efektif menjalankan mandat yang diberikan. Kondisi tersebut bisa berdampak pada biaya transaksi tinggi; (2)

dominannya kekuatan politik kepala daerah yang berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang berorientasi kepentingan jangan pendek.

4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada pasal 4 huruf (a) dinyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Selanjutnya pada pasal 28 ayat (3) pengusulan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas kawasan yang ditunjang dengan data dan informasi ilmiah. Dengan demikian UU No. 27 tahun 2007 ini memberi mandat hukum atau kewenangan kepada pemerintah daerah dan masyarakat sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta sumberdaya yang dikandungnya.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini memberi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal

8). Berdasarkan lingkup kewenanganya, pengelolaan Kawasan Konservasi

Peraiaran terdiri dari : (a) Kawasan Konservasi Perairan Nasional, (b) Kawasan Konservasi Perairan Propinsi, (c) Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1), yang meliputi jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang

dilindungi, apabila memenuhi kriteria: (a). terancam punah; (b). langka; (c). daerah penyebaran terbatas (endemic); (d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan (e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah. Peraturan dan Undang-Undang sebagaimana diuraikan di atas memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan kawasan konservasi di Indonesia termasuk KKLD Bintan Timur. 2. Kebijakan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) untuk mengelola sumberdaya di wilayah lautnya (pasal 18). Berdasarkan undang-undang ini Pemerintah Kabupaten Bintan membuat kebijakan tentang pengelolaan terumbu karang. Adapun kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Bintan terkait pengelolaan terumbu karang adalah sebagai berikut.

(i) Surat Keputusan Bupati Bintan Nomor 261/III/2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Bintan. KKLD ini terletak pada dua kawasan, yaitu (1) Kawasan pesisir Bintan Timur (kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir) seluas 116.000 ha, dan (2) Kawasan perairan laut di Kecamatan Tambelan dengan luas 365.905 ha . Dalam Surat Keputusan Bupati Bintan Nomor 261/VIII/2007 tersebut juga menetapkan pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan, yaitu wilayah pesisir Bintan Timur (Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir) diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari. Sementara kawasan perairan laut Kepulauan Tambelan diprioritaskan untuk mendukung perikanan berkelanjutan.

(ii) Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Terumbu Karang.

Adapun ruang lingkup pengaturan peraturan daerah ini meliputi perumusan kebijaksanaan mencakup perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi ekosistem

terumbu karang, kawasan konservasi laut daerah, peranserta masyarakat serta pengawasan dan pengendalian (Pasal 5). Selanjutnya pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah menunjuk Kawasan Konservasi Laut Daerah untuk melestarikan fungsi dan peranan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya dalam kehidupan di lautan dan daratan sesuai dengan kewenangannya. Dalam pasal 16 disebutkan bahwa Kawasan Konservasi Laut Daerah dikelola oleh satuan organisasi pengelola dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Peraturan daerah ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah desa untuk membuat peraturan tentang pengelolaan ekosistem terumbu karang pada skala desa sesuai dengan kewenangannya (pasal 18 ayat (1)). Disamping itu hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diakomodir dalam peraturan daerah ini (pasal 26).

Sebagai penerima mandat untuk melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Terumbu Karang tersebut di atas, maka Bupati Bintan sebagai Kepala Daerah Kabupaten Bintan mengeluarkan Peraturan Bupati sebagai berikut.

(i) Peraturan Bupati Bintan Nomor 13/II/2009 tentang Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Bintan Tahun 2009 – 2014. Peraturan Bupati ini memuat visi dan misi, serta strategi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan. Mengingat peraturan ini masih relatif baru, maka pelaksanaan di lapangan belum berjalan sepenuhnya.

(ii) Lembaga UPT KKLD dengan Peraturan Bupati Bintan Nomor 20 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bupati Bintan Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bintan. UPT KKLD yang dibentuk ini berada pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan sebagai pelaksanaan pasal 16 Perda Kabupaten Bintan Nomor 12 tahun 2008 tentang Pengelolaan terumbu Karang.

(iii) Peraturan Bupati Bintan Nomor 25 Tahun 2010 tentang Rencana Zonasi dan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang.

Peraturan Bupati Bintan ini memuat penzonaan KKLD (zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan dan lainnya) beserta titik koordinat masing-masing zona. Disamping itu juga memuat Prinsip-prinsip Rencana Pengelolaan KKLD. Mengingat Peraturan Bupati ini masih relatif baru, maka pelaksanaan peraturan masih dalam tahap sosialisasi.

Berdasarkan Peraturan Bupati Bintan Nomor 20 Tahun 2010 pasal 10 lembaga yang diberi tanggung jawab untuk mengelola Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan adalah UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. Selanjutnya dalam pasal 10 ayat 3 Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2010 tersebut di atas disebutkan bahwa susunan organisasi UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan terdiri dari: Kepala UPT; Sub Bagian Tata Usaha; Petugas Operasional bagian Potensi, Rehabilitasi, Penelitian dan Pengawasan serta Jabatan Fungsional. Mengingat karena keterbatasan sumberdaya manusia maka UPT KKLD Bintan baru memiliki dua orang personil, yaitu Kepala UPT dan Sub Bagian Tata Usaha, sedangkan bagian struktur lainnya belum mempunyai personil. Disamping itu, belum tersedianya ruang sekretariat yang memadai, sehingga menyebabkan kinerja UPT KKLD belum berjalan maksimal sesuai dengan amanat Perbup Bintan Nomor 20 tahun 2010 pasal 10 ayat 2. Keterbatasan sumberdaya manusia dan kemampuan keuangan daerah merupakan kendala dalam penyediaan ruang sekretariat yang memadai serta mengisi struktur organisasi UPT KKLD Kabupaten Bintan ini.

Berdasarkan penelaahan terhadap Perbup Bintan Nomor 20 Tahun 2010, terutama pasal 10 C ayat 3 menyangkut susunan organisasi UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan belum sepenuhnya mengacu pada Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah yang disusun DKP (2008). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk penyempurnaan struktur organisasi kelembagaan KKLD ini, sehingga efektifitas dan kinerja pengelolaan KKLD dimasa depan dapat ditingkatkan.

Sebagai implementasi kebijakan daerah dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur telah dilakukan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PBM) adalah masyarakat pesisir terorganisir dan diberdayakan dalam pengelolaan terumbu karang. Pelaksanaan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat ini melalui Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang terbentuk dan dilaksanakan oleh masyarakat. Saat ini telah tersusun RPTK pada 5 lima desa binaan Coremap dan juga telah terbentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL), Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) serta Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Disamping itu kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan pendapatan masyarakat juga telah dilakukan, seperti budidaya ikan dalam keramba jaring apung/keramba jaring tancap (KJA/KJT), pembuatan kerupuk ikan, dan lain sebagainya. Namun kegiatan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat belum berjalan optimal dan harus ditingkatkan dimasa mendatang.