• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.7 Pengelolaan

Perairan alami akan mengalami perkembangan status trofik dari oligotrofik menjadi eutrofik melalui proses eutrofikasi. Kegiatan manusia dapat mempercepat proses ini secara drastis melalui peningkatan masuknya unsur hara serta sedimen. Proses eutrofikasi yang sangat cepat akibat kegiatan manusia diidentifikasikan sebagai cultural eutrofication. Kondisi ini pula yang ditemukan di lokasi penelitian dimana situ-situ bekas galian pasir telah berstatus eutrofik. Mengingat umur Situ no 5 dan Situ no 6 yang masih muda yaitu 11 tahun dan 10 tahun, namun kegiatan penduduk di sekitar lokasi penambangan telah menyebabkan cultural eutrophication.

Sebagaimana situ-situ bekas galian pasir lainnya yang terdapat di Desa Cikahuripan, tidak ada upaya pengelolaan dalam bentuk apapun untuk menjaga kualitas air pada perairan tersebut. Cepatnya perubahan status trofik akibat cultural eutrophication bila dibiarkan lebih lanjut akan menyebabkan krisis ekosistem yang mengakibatkan daya guna situ bekas galian pasir sebagai ekosistem perairan akan cepat hilang. Perairan yang telah memiliki status eutrofik lebih sulit untuk dikelola dari pada perairan oligotrofik. Lebih mudah dan murah mencegah eutrofikasi dibandingkan dengan merestorasi perairan yang telah berstatus eutrofik sebagai akibat dari cultural eutrofication.

Unsur hara disebut sebagai elemen yang paling bertanggung jawab dalam proses eutrofikasi, karena keberadaannya yang berlebihan akan menstimulan pertumbuhan fitoplankton. Sperling et al. (2008) mengemukakan berberapa kesulitan dalam strategi pengelolaan perairan eutrofik di daerah tropis terutama masalah blooming fitoplankton akibat tingginya suhu serta masukan unsur hara yang konstan. Diperkirakan demikian pula yang akan dihadapi dalam pengelolaan situ bekas galian pasir dimana beban masukan unsur hara sangat besar dan konstan sedangkan suhu cukup ideal bagi perkembangan fitoplankton.

Situ no 5 dan Situ no 6 meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua situ tersebut telah mengalami proses cultural eutrofication dan memiliki status trofik yang sama yaitu eutrofik namun morfologi situ yang berbeda menyebabkan strategi pengelolaan pada kedua situ pun akan berbeda. Pengurangan unsur P baik yang akan memasuki perairan atau yang telah berada

dalam perairan dianggap cara yang efektif dalam mengkontrol eutofikasi (Barbieri dan Simona 2001). Karena unsur ini yang menjadi faktor kunci pertumbuhan fitoplankton dan keberadaanya dalam perairan bisa menumpuk sebab tidak mengalami proses seperti nitrifikasi. Selain itu pengurangan unsur nitrogen dari perairan dianggap jauh lebih sulit.

Mengontrol point source merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan di Situ no 5 dengan cara mengalihkan saluran pembuangan limbah rumah tangga untuk tidak berakhir di situ ini. Mempertahankan kualitas air kedua situ melalui pencegahan masukan unsur hara yang berlebihan melalui non point source cukup sulit untuk dilakukan di lokasi penelitian. Kesulitan ini disebabkan karena daerah tangkapan air di sekitar situ penelitian telah diperuntukkan bagi kegiatan pertanian sebagai cara pihak perusahaan penambang pasir untuk mengganti lahan pertanian yang hilang akibat penggalian. Unsur hara yang masuk melalui rembesan air tanah sulit untuk dikontrol dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada proses eutrofikasi bagi situ galian pasir (Kattner et al. 2000).

Secara hidromorfologi Situ no 6 memiliki kedalaman yang lebih dangkal dari Situ no 5 dan debit air yang keluar juga lebih besar sehingga memiliki retention time yang lebih singkat. Meskipun unsur hara yang tersedia tinggi namun tidak sempat menyebabkan peledakan populasi fitoplankton dan penumpukan unsur hara yang terjebak dalam perairan dapat dihindari. Dengan demikian pada situ no 6 memungkinkan untuk dilakukan usaha karamba jaring apung. Namun berhubung konsentrasi unsur hara sudah cukup tinggi maka diperlukan pengaturan jumlah ikan yang boleh dipelihara dalam karamba sebab akan berkaitan dengan banyaknya buangan sisa pakan yang dapat memperburuk kualitas air. Dilihat dari struktur komunitas fitoplankton, meskipun kodisi ekosistem masih labil, Situ no 6 yang didominasi Chlorophyceae mampu mendukung kehidupan ikan khususnya ikan pemakan plankton sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan berbasis pakan alami.

Pemanfaatan Situ no 5 sebagai area karamba jaring apung belum dapat direkomendasikan sebab morfologi situ tersebut dapat menyebabkan bahan organik sisa pakan dan metabolisme terjebak dalam air lebih lama, sehingga cenderung meningkatkan unsur hara yang memang sudah tinggi di perairan tersebut. Bila

dipaksakan memasang karamba jaring apung maka hanya akan memperburuk kualitas air dan menstimulan tumbuhnya fitoplankton yang tidak dapat dimanfaatkan. Dengan buruknya kualitas air dapat menyebabkan ikan yang dipelihara stress yang kemudian akan mempengaruhi produksi.

Situ no 5 sangat rentan pada terjadinya blooming fitoplankton, hasil penelitian menunjukkan situ ini telah didominasi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang umumnya tidak disukai oleh ikan. Bahkan pada tahun 2009 Situ no 5 telah didominansi oleh Mycrocystis (Octorina et al. 2009). Pengendalian fitoplankton pada Situ no 5 dapat dilakukan dengan meningkatkan grazing melalui pengayaan zooplankton herbivor. Mengacu pada pernyataan Abrantes et al. (2006) yang mengemukakan bahwa zooplankton dapat berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan fitoplankton melalui grazing. Selain pengayaan zooplankton introduksi ikan pemakan fitoplankton dapat dilakukan untuk mengkontrol biomassa fitoplankton. Berhubung keanekaragaman fitoplankton yang ditemukan di situ tersebut tergolong rendah, maka diperlukan introduksi ikan yang memiliki relung makanan luas atau ikan yang tidak selektif dalam memanfaatkan makanan. Introduksi ikan tidak akan membahayakan struktur komunitas ikan di situ tersebut sebab Situ no 5 adalah perairan buatan yang tidak memiliki ikan endemik. Bahkan introduksi ikan yang bernilai ekonomis dapat bermanfaat bagi penduduk kampung Awilarangan yang mengandalkan mata pencaharian melalui penggalian pasir liar. Meskipun kecil peluang Situ no 5 untuk dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya ikan, situ ini tetap dapat dimanfaatkan untuk wisata pemancingan sebab lokasinya yang lebih mudah dicapai jika dibandingkan Situ no 6.

Pengurangan jumlah unsur hara pada kedua situ dapat dilakukan dengan introduksi tanaman air. Diharapkan tanaman air tersebut dapat memanfaatkan unsur hara dan mengikat partikel-partikel tersuspensi juga mencegah sedimentasi. Sebagai pengontrol tumbuhan air, sebaiknya juga di introduksikan ikan herbivor seperti ikan koan.

Dokumen terkait