• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

1. Pengelolaan Jangka Pendek

Pengelolaan jangka pendek merupakan pengelolaan yang ditujukan untuk melestarikan keberadaan lanskap habitat musim dingin SMA di Kalimantan Selatan. Pengelolaan ini dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik core

dan edge habitat yang perlu dipertahankan dan diperbaiki agar fungsinya dapat dimaksimalkan. Terdapat beberapa persamaan karakter secara umum yang ditemukan pada kedua kawasan namun memiliki tingkat kepentingan yang berbeda sehingga diperlukan suatu rencana pengelolaan yang dapat dilakukan pada kedua kawasan. Upaya yang dilakukan untuk mengelola lanskap habitat musim dingin dalam jangka waktu pendek dan dapat dilakukan pada core

maupun edge habitat sebagai berikut.

a. Sosialisasi kepada petani dan peternak lebah madu tentang keberadaan SMA

Berdasarkan hasil karakteristik core dan edge habitat, jarak terdekat ke sawah dan semak belukar merupakan variabel lingkungan yang berada ditemukan pada masing-masing habitat. Keberadaan sawah dan semak belukar merupakan salah satu sumber penghasil nektar bagi ketersediaan pangan SMA. Ketersediaan pangan adalah salah satu faktor intrinsik dari suatu spesies untuk bermigrasi ke kawasan lainnya (Hutto 1985). Begitu pula dengan SMA yang bermigrasi ke Provinsi Kalimantan, untuk memperoleh makanan utamanya berupa larva lebah atau tawon (ARRCN 2012). Keberadaan lebah madu di alam terdapat pada habitat alaminya dan habitat buatan (peternakan lebah). Harmonis (2006) menyatakan bahwa habitat jenis lebah Apis dorsata yang memiliki habitat di alam liar semakin menyempit. Penyempitan ini dikarenakan adanya konversi lahan untuk kepentingan lain. Penyempitan habitat lebah madu di alam akan menyulitkan keberadaan SMA untuk

melanjutkan hidupnya ketika sedang bermigrasi ke habitat musim dinginnya. Solusi yang dapat diusulkan adalah dengan membuat budidaya lebah madu khususnya Apis cerana atau Apis mellifera. Sosialisasi ini penting dilakukan kepada para peternak lebah agar melakukan kegiatan budidaya lebah madu sehingga SMA dapat memanfaatkan kegiatan budidaya ini untuk memakan larva madu dikawasan budidaya lebah seperti pada kawasan konservasi Ninety Nine Peaks di Taiwan. Dengan diketahuinya keberadaan SMA oleh peternak lebah diharapkan konflik yang mengancam keberadaan SMA dapat dikurangi dan SMA pun dapat memperoleh sumber pakannya.

b. Konservasi landform agak datar hingga berbukit

Kemiringan lahan yang disukai SMA adalah kemiringan lahan dengan variasi 0-40% yang merupakan kelas kemiringan lahan agak datar hingga berbukit.Kemiringan lahan tersebut dijumpai baik pada core maupun edge habitat SMA di Kalbar. Walaupun tingkat kepentingan variabel lingkungan terhadap kemiringan lahan berbeda-beda, kemiringan lahan ini membentuk suatu variasi landform yang dapat membantu SMA untuk terbang.Variasi

landform ini mempengaruhi kondisi angin termal yang dimanfaatkan SMA untuk terbang dengan energi minimum (ARRCN 2012). Konservasi landform

dilakukan dengan cara menyesuaikan pembangunan provinsi dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Barat. RTRWP Kalbar telah mengklasifikasikan penggunaan wilayah sesuai dengan fungsinya, sebagai kawasan budidaya atau kawasan lindung. Sebaiknya pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat ini sesuai dengan rencana wilayahnya dan kawasan yang telah ditetapkan menjadi kawasan lindung tidak terganggu dengan aktifitas budidaya.

c. Restorasi Lanskap Koridor untuk Konektivitas Habitat SMA

Ekologi suatu lanskap terdiri atas empat prinsip, antara lain patch, edges (tepi), koridor, dan mosaik (Dramstad et al. 1996). Habitat SMA terdapat pada jangkauan area yang sangat luas. Tidak hanya mencakup skala kota atau provinsi bahkan mencakup skala regional yang terdiri dari beberapa negara. Keberadaan habitat musim dingin SMA disusun atas beberapa karakteristik penutupan lahan yang beragam diantaranya adalah perkebunan kelapa sawit (KU4e), lahan terbangun (KU4c dan KU8e), dan lahan terbuka (KU1c dan KU4e). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2011), Kalimantan Barat menempati posisi kelima area perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia dengan luas keseluruhan 540.835 ha. Hampir seluruh wilayah administrasi Kalbar merupakan kawasan yang dikembangkan sebagai kebun kelapa sawit. Core dan edge habitat SMA sebagian besar tersebar di utara Kalimantan Barat dimana luasan perkebunan kelapa sawit di dalamnya berkisar antara 1-100.000 ha. Dapat disimpulkan bahwa, Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki tingkat ancaman yang cukup tinggi terhadap konversi lahan (Gambar 26). Untuk menghadapi kerusakan habitat, perencanaan dan perancangan keterhubungan suatu lanskap perlu dilakukan dengan cara menyediakan koridor pergerakan satwa liar yang menghubungkan antar patch.

47

Gambar 26. Ilustrasi Kondisi Penutupan Lahan Antara Core dan Edge Habitat di Provinsi Kalimantan Barat (Sumber : www.flickr.com)

Patch didefinisikan sebagai area permukaan nonlinear yang memiliki perbedaan tampilan terhadap lingkungan disekitarnya (Forman dan Gordon 1986). Patches membentuk suatu derajat isolasi tertentu, efek dan tingkat keberlanjutannya tergantung atas kehadiran suatu spesies tertentu (Darmstad et al. 1996). Akibat adanya konversi penutupan lahan di Kalbar, keberadaan

patch ini cenderung terputus sehingga menimbulkan isolasi bagi satu jenis spesies saja. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu konektivitas antar patch.

Konektivitas telah dideskripsikan sebagai suatu perpanjangan pergerakan bagi flora dan fauna yang tidak hanya berbentuk linear (Hansson dalam Hilty et al. 2006).

Untuk membentuk suatu konektivitas antar patch, diperlukan suatu perencanaan koridor yang menghubungkan kedua patch yang telah terputus. Koridor ini berfungsi sebagai tempat sementara yang menyediakan pakan dan istirahat bagi SMA.Terdapat dua macam koridor penghubung antar patch,

yaitu koridor yang kontinu dan diskontinu. Bentuk koridor kontinu yang paling sering dijumpai dan dapat diaplikasikan adalah shelterbelts.

Shelterbelts adalah suatu area yang ditanami dengan pohon dan semak dalam suatu susunan barisan untuk memecah angin (Brandle 2011). Shelterbelts

berfungsi sebagai pelindung angin, pertanian dan peternakan, jalan raya dapat diaplikasikan dengan cara membentuk grid pada perkebunan kelapa sawit, serta keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati ini membantu menjaga kestabilan suatu rantai makanan dan mengontrol hama dan penyakit tanaman secara ekologis. Ilustrasi shelterbelts dapat dilihat pada Gambar 27. Selain itu juga, menurut Hannon dan Sisk (2009), lebah memiliki ketertarikan terhadap

hedgerows (jajaran asosiasi tanaman dalam suatu baris) karena ketersediaan sumber pakan yang ada pada suatu jajaran asosiasi tanaman memudahkan pergerakan lebah madu yang merupakan pakan utama SMA. Lebar minimum

shelterbelts yang direkomendasikan adalah 75-150 meter (Brandle 2011). Gambar potongan shelterbelts dapat dilihat pada Gambar 29.

Gambar 27. Shelterbelts Pada Lahan Pertanian di Nakashibetsu, Hokkaido Prefecture, Jepang (Sumber : Google Earth)

Gambar 28. Ilustrasi Pembuatan Stepping Stone di Kawasan Perkebunan Kelapa Sawit (Sumber :Dramstad et al. 2006; digambar ulang oleh : Oktaviana M.)

Bentuk koridor diskontinu yang dapat diaplikasikan pada perubahan penutupan lahan tertentu adalah stepping stone. Stepping stone merupakan gabungan dari beberapa patch kecil adalah suatu pusat konektivitas yang berukuran kecil antara koridor dan menyediakan pergerakan spesies di dalamnya (Dramstad et al. 1996). Pembuatan stepping stone dapat dilakukan dengan menganalisis keberadaan vegetasi yang merupakan pohon inang lebah madu, seperti Banggeris, Lomu/Jelemu,Nyawai, Meranti, Kapur, Keruing, Bangkirai, Rengas, Kapuk, Karet, Laban, Perupuk, Putat, Kejawi dan Panggang. Setelah diketahui lokasi yang merupakan habitat dari pohon inang tersebut, sebaiknya

lokasi tersebut dikonservasi dengan membentuk suatu “pijakan” seperti pulau

kecil yang kemudian terangkai sehingga dapat menhubungkan antar patch.“Pulau-

pulau” kecil inilah yang menjadi stepping stone bagi pergerakan SMA. Jarak antar stepping stone yang direkomendasikan berkisar antara 7,5 km antar patch-nya.

49

Ilustrasi pembuatan stepping stone tersaji pada Gambar 28. Dengan adanya integrasi antara pembuatan koridor pergerakan SMA dan pembuatan perkebunan kelapa sawit serta bentuk konversi lahan lainnya, perubahan suatu bentuk penutupan lahan bukanlah menjadi suatu ancaman bagi habitat musim dingin SMA.

Core dan edge habitat musim dingin SMA memiliki karakteristik yang berbeda. Kedua ragam habitat ini memerlukan pengelolaan khusus pada masing- masing karakteristiknya. Core habitat atau habitat inti adalah habitat yang lebih penting untuk dikelola karena habitat inilah yang menjadi tempat SMA tinggal selama bermigrasi.

Pengelolaan core habitat yang dapat dilakukan antara lain. a. Konservasi badan air

Badan air merupakan salah satu karakteristik penting yang menyusun habitat SMA karena air adalah kebutuhan yang sangat penting untuk SMA. Jarak Terdekat ke Badan Air (JTBA) muncul sebagai variabel lingkungan pada salah satu Komponen Utama (KU1c). Badan air ini dapat berupa sungai atau danau. Terdapat tujuh sungai yang berada pada core habitat, yaitu Sungai Terusan, Sungai Gatol, Sungai Sembelida, Sungai Menyeuke, Sungai Kapuas, Sungai Kubing, dan Sungai Guntung. Ketujuh sungai ini merupakan bagian dari empat DAS yang berbeda, yaitu DAS Sambas, DAS Mempawah, DAS Kapuas, dan DAS Pawan. Sebagian besar sungai ini berlokasi di hulu DAS-nya masing-masing. Badan air yang ada pada core habitat perlu dijaga keberadaannya dari kerusakan lingkungan. Konservasi badan air yang dilakukan adalah dengan cara menjaga kawasan hulu keempat DAS tersebut dan menetapkan beberapa regulasi khusus untuk menjaga keberadaan badan air tersebut.

b. Pelestarian kawasan hutan mangrove

Jarak Terdekat ke Hutan Mangrove (JTMG) merupakan salah satu variabel lingkungan yang menyusun Komponen Utama (KU1c) core habitat. Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi SMA karena hutan mangrove merupakan salah satu kawasan yang menyediakan sumber makanan bagi SMA berupa larva tawon atau lebah. Terdapat beberapa tanaman inang di hutan mangrove yang disukai oleh lebah, salah satunya adalah rambai laut (Sonneratia caseolaris) merupakan pohon inang untuk koloni di sekitar daerah pesisir terutama kawasan dengan tipe hutan mangrove (Harmonis et al. 2006). Kondisi hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Barat sekitar 34 ha yang masih merupakan hutan mangrove primer (BPKH Wilayah III Kalbar 2010). Untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan restorasi kawasan hempasan air laut dengan (Lewis III 2004). Contoh restorasi hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 30.

Ga mbar 29. I lust ra si P otongan She lt erbelts ( Dibu at ol eh : Ok taviana M if fa tul an i )

51

Gambar 30. Contoh Restorasi Mangrove di West Lake Park, Hollywood, USA(A). Awal Pembuatan, Juli 1989, (B) 28 Bulan Berikutnya, November 1991, (C) 50 bulan berikutnya, Januari 1996 (Sumber : Lewis III 2004)

Gambar 31. Susunan Penanaman Hutan Mangrove Berdasarkan Zona Pasang Surutnya (Sumber : Lewis III 2004)

Suatu hutan mangrove memiliki daya memperbaiki ekologinya sendiri dalam rentang waktu 15-30 tahun dengan syarat pasang surut air lautnya tidak terganggu dan kemungkinan penyebaran bibit mangrove tidak dibatasi bahkan dihalangi (Lewis III 2004). Untuk merestorasi ekologi hutan mangrove, diperlukan pemahamam terhadap ragam kondisi hidrologi dan iklim dalam ragam tipe mangrove. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat susunan hutan mangrove (Gambar 31). Lewis dan Marshall telah menyarankan lima langkah untuk merestorasi hutan mangrove, yaitu

1. Memahami autoekologi pada spesies mangrove di tapak

2. Memahami pola hidrologi yang mengontrol distribusi dan pertumbuhan tanaman mangrove

3. Menilai tingkat modifikasi lingkungan hutan mangrove sebelumnya yang bisa saja menghambat restorasi ekologi yang dapat direncanakan

4. Merancang program restorasi untuk mengembalikan tingkat hidrologi yang cocok

5. Mengumpulkan bibit yang dibutuhkan untuk menambah populasi dari mangrove yang akan direstorasi di kawasan tersebut.

c. Penetapan core habitat sebagai kawasan lindung

Luas core habitat di Provinsi Kalimantan Barat adalah 1.349,5 km2 sedangkan luas edge habitat sebesar 20.155,62 km2. Keberadaan core habitat di Pulau Kalimantan masih banyak yang belum masuk ke dalam kawasan lindung. Luas core habitat yang telah masuk ke dalam bagian kawasan lindung memiliki luas kurang dari 100km2. Core habitat merupakan habitat inti yang lebih sering dikunjungi oleh SMA sehingga tingkat gangguan lingkungan yang ada di core habitat perlu dikurangi. Salah satu cara untuk mengurangi gangguan lingkungan pada kawasan tersebut adalah dengan menetapkan core habitat sebagai kawasan lindung.

Selain core habitat, pengelolaan lanskap edge habitat juga perlu untuk dilakukan, antara lain.

a. Pelestarian hutan rawa gambut

Keberadaan hutan rawa gambut merupakan karakteristik penting yang menyusun edge habitat musim dingin SMA. Jarak Terdekat ke Hutan Rawa Gambut (JTHR) muncul sebagai Komponen Utama Enam (KU6e) pada edge habitat.Keberadaan hutan rawa gambut dikaitkan dengan ketersediaan makanan bagi SMA. Terdapat beberapa spesies pohon yang tumbuh di kawasan rawa gambut dan merupakan inang dari sarang lebah madu.Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem unik dan didalamnya terdapat keanekaragaman flora dan fauna yang khas (Wetlands International 2009). Oleh karena itu, pelestarian hutan rawa gambut perlu dilakukan, tidak hanya untuk keberlangsungan hidup dari SMA melainkan keanekaragaman hayati di dalamnya. Kondisi hutan rawa di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2009 secara umum sudah berupa hutan rawa sekunder atau bekas tebangan, yaitu seluas 1.582.922 ha dan hanya 1,74% atau seluas 28.007 ha yang masih merupakan hutan rawa primer (BPKH Wilayah III Kalbar 2010). Pelestarian hutan rawa gambut dapat dilakukan dengan cara biormediasi kawasan hutan rawa gambut dengan penanaman vegetasi yang tepat, pengaturan drainase, dan implementasi biofertilizer (Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor 2009).

b. Pelestarian hutan lahan kering

Persamaan karakteristik yang memiliki proporsi variasi dan pengaruh terbesar yang menunjukkan bahwa SMA cenderung memilih hutan lahan kering dengan elevasi lebih dari 300 meter di Kalimantan Selatan (Hasanah 2011). Hutan lahan kering di Kalimantan Barat adalah satu karakteristik penting yang menyusun edge habitat SMA di Kalimantan Barat yang merupakan variabel lingkungan Komponen Utama 12 (KU12) edge habitat di Kalbar. Hutan lahan kering didominasi oleh tegakan Dipterocarpaceae yang merupakan pohon inang dari sarang lebah madu yang berada di alam. Jenis vegetasi Dipterocarpaceae pada umumnya memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga banyak orang yang mencari untuk diperdagangkan. Implikasi yang terjadi sekarang ini adalah tingginya kasus illegal logging yang ada di

53

Provinsi Kalimantan Barat. Oleh karena itu, ragam vegetasi famili Dipterocarpaceae membutuhkan perlindungan dari aktivitas manusia.

c. Kolaborasi pengelolaan lanskap dengan provinsi Kalimantan Tengah dan Negara Malaysia

Provinsi Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia, sebelah selatan Laut Jawa dan Kalimantan Tengah, sebelah timur Kalimantan Timur, dan sebelah barat Laut Natuna dan Selat Karimata Pengelolaan Jangka Panjang. Beberapa kawasan edge habitat terpotong oleh batas administratif Provinsi Kalimantan Barat sehingga kawasan edge habitat ada yang berada di Negara Bagian Serawak, Malaysia dan Provinsi Kalimantan Tengah. Darmstad (1996) mengemukakan bahwa batas administrasi atau politik dari suatu kawasan lindung tidak boleh memotong batas alami ekologinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kolaborasi pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA dengan provinsi Kalimantan Tengah dan Negara Bagian Serawak, Malaysia agar habitat musim dingin SMA dapat terjaga.

Pengelolaan jangka panjang ditujukan pada penetapan kebijakan dan membangun kearifan lokal masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat sebagai habitat musim dingin SMA. Kebijakan ini dilakukan pada core dan edge habitatagar habitat musim dingin tersebut dapat terus berkelanjutan. Pengelolaan lanskap jangka panjang yang dapat dilakukan sebagai berikut.

a. Penetapan kawasan melalui aspek hukum

Core dan edge habitat musim dingin SMA perlu ditetapkan menjadi suatu kawasan lindung oleh pemerintah. Penetapan ini dilakukan agar pengelolaan kawasan dapat dilakukan secara keberlanjutan dan terus memberikan jasa lingkungan bagi Provinsi Kalimantan Barat.

b. Pendidikan konservasi kepada pihak pengelola lanskap

Salah satu prinsip dasar pelestarian alam adalah keterpaduan elemen masyarakat dan pemerintah (Hamiudin 2011). Salah satu cara untuk menjaga keterpaduan elemen masyarakat dan pemerintah yaitu dengan memberi pendidkan konservasi kepada pihak pengelola sehingga pihak pengelola dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas. Menurut Hamiudin (2011), tujuan dari dilakukannya pendidikan konservasi adalah membentuk jiwa konservasionis yang memiliki sikap sadar terhadap lingkungannya. Pihak pengelola lanskap yang menjadi sasaran pemberian pendidikan konservasi adalah masyarakat adat lokal dan pemerintah.

c. Pengembangan ekowisata berbasis burung pemangsa migran

Menurut Ceballos-Lascuráin diacu dalam Weaver (1996), ekowisata adalah perjalanan ke kawasan yang masih alami dengan tujuan yang spesifik seperti menambah ilmu pengetahuan dan menikmati pemandangan serta flora dan fauna, dan juga mengenal aktifitas budaya di dalamnya (dimasa sekarang dan lampau). Kegiatan ekowisata adalah salah satu bentuk pengelolaan

lanskap jangka panjang.Perolehan karakteristik habitat musim dingin SMA di Provinsi Kalimantan Barat dapatdijadikan suatu acuan untuk perencanaan ekowisata. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah jumlah pengunjung terbatas supaya sesuai dengan daya dukung, pola wisata ramah lingkungan, pola wisata ramah budaya dan nilai setempat, membantu secara langsung perekonomian masyarakat adat, dan modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata & WWF 2009). Supriyanto (2011) mengemukakan bahwa ada empat langkah dalam pengembangan ekowisata berbasi raptor, diantaranya adalah perencanaan, meliputi : pertimbangan tujuan konservasi jenis dan habitat burung migran atau burung non migran (desain tapak), mengecek akses, atraksi, dan akomodasi ekowisata, serta pendekatan berbasis habitat dan masyarakat; pemasaran, meliputi segmen pasar serta informasi dan rencana aksi pengelola; pelaksanaan, meliputi kepastian kontrol kualitas; dan monitoring serta evaluasi dalam pengendalian dampak dan pengawasan.

d. Kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat Kalimantan Barat

Kegiatan kampanye dan sosialisasi ini perlu dilakukan kepada masyarakat Kalimantan Barat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai keberadaan burung migran pada umumnya dan SMA pada khususnya. Kampanye dan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan aktivitas ini dengan badan pemerintahan atau organisasi-organisasi yang peduli dengan keanekaragaman hayati dan lingkungan.

e. Pemberian perlindungan kepada peternak penghasil lebah dan petani yang ikut serta melestarikan keberadaan SMA

Salah satu karakteristik yang menyusun habitat musim dingin SMA adalah penutupan lahan sawah dan lahan terbuka. Luas total penutupan lahan sawah di core dan edge habitat musim dingin habitat SMA yaitu 35.536 ha. Keberadaan lahan persawahan ini seringkali mengalami alih fungsi lahan.Keberadaan peternak penghasil lebah ini seringkali berada dekat dengan kawasan pertanian sehingga keberadaannya selalu berdekatan dengan lahan pertanian. Bentuk perlindungan kepada peternak lebah dan petani yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian insentif bantuan dalam pengembangan pertanian dan peternakan lebah.

Dokumen terkait