• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat tangkap yang umum digunakan dalam masyarakat dan memiliki peraturan penggunaan adalah ompo (sero), polo (bubu), katondo, buani (jala), lamba dan kulu-kulu. Peraturan tersebut berhubungan dengan penggunaan wilayah yang mengikat pemilik alat dan nelayan lain. Disamping itu terdapat kepercayaan- keparcayaan mulai dari pemilihan bahan, pembuatan, pemasangan yang berhubungan dengan waktu, sikap dan perilaku pemiliknya.

Penggunaan akar tuba pada beberapa tempat dilarang karena bahan tersebut mengeluarkan racun yang membunuh ikan tanpa seleksi. Selain membunuh ikan, racun tuba dianggap membunuh aneka kehidupan biota mikro (siu-siu). Sarana bantu penangkapan ikan yang juga tidak diperbolehkan adalah penggunaan karung. Menurut kepercayaan masyarakat penggunaan karung akan membuat isi laut (biota) menjadi panta (terdegradasi) baik kualitas maupun kuantitas. Alat yang biasa digunakan untuk menampung hasil tangkapan atau menampung kerang-kerangan yang dipungut saat meti-meti adalah keranjang. Perbandingan peraturan penggunaan alat tangkap dalam sistem tradisional maupun yang diatur dalam zonasi TNW serta peraturan darah Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada tabel 4.

5.3.2 Ompo dan Tampora

Ompo disebut secara umum sebagai sero, terbuat dari anyaman bambu dalam potongan bilah-bilah kecil seperti tirai, kira-kira memiliki lingkaran 2 cm tiap bilah.

Tabel 4 : Jenis dan Penggunaan Alat tangkap Nama Alat Wilayah

Penggunaan Sistem Formal Sistem Tradisional Zonasi Perda ompo (sero)/daerah pasang surut di daerah pesisir

pasang surut pesisir alat tangkap yang diperbolehkan dalam zona pemnfaatan umum dan zona pemanfaatan local

Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)

Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie

polo (bubu) pasang surut pesisir dan karang atol

hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata

Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)

Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie buani (jala buang)

pasang surut pesisir tidak disebutkan tidak disebutkan

Memiliki aturan penggunaan, penegakan oleh parika

Pada wilayah tertentu tidak dapat

digunakan kecuali musim ikan yang disebut lalo'a (musim boronang pada 12 - 13 bulan dilangit) pengait (kai- kai/puria), suku (penusuk), tombak hulu besi (sakajoro), pontu (tombak hulu bambu, sarampa (tombak mata 2 atau lebih), sipada

pasang surut pesisir peralatan meti-meti tidak disebutkan

peralatan meti-meti (siang dan menyuluh malam hari)

(parang ), jerat udang, kadepe (alat dari bambu untuk menyaring ikan)

alat pancing berbagai jenis

pesisir, karang atol dan laut dalam

hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata

Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)

Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo

Alat yang dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain

Jaring

pesisir, karang atol dan laut dalam

Jaring dasar, perahu pelingkar

jaring insang lingkar, gondrong, insang hanyut, insang tetap,

lingkar ikan hias Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo, katondo dan lokasi buani hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal,

zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata

Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)

Penggunaan alat tangkap ompo adalah pada daerah pasang surut berpasir atau daerah padang lamun yang terpasang menyerupai pagar dari bilah atau tirai bambu, diikatkan pada tiang-tiang pancang kayu (bale) yang tertancap pada dasar laut untuk menguatkan posisi tegak anyaman bilah bambu. Lokasi pemasangan ompo disebut tampora di atur sara. Pengelolaan tampora diberikan kepada masyarakat.

Ompo terbagi menjadi 4 bagian atau kamar dengan fungsi yang berbeda-beda. Ketinggian pagar bagian depan sebagai pintu masuk ikan diukur sebatas dada dari parika (pimpinan kelompok), pada bagian bunua besar yang berfungsi mengurung ikan dan pada bagian bunua kecil yang berfungsi membatasi ruang gerak ikan, ketinggian bilah bambu diukur sejajar mulut parika. Sedangkan pada bagian wutu (arti kata wutu adalah mengikat) berbentuk lingkaran berdiameter 1,5 – 2 meter dan berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan memiliki ketinggian bilah bambu satu jengkal melebihi tinggi badan parika. Panjang keliling ompo berkisar 250 – 300 meter. Bagian yang terbuka menghadap daratan (menganga) dengan jarak dari kaki kanan ke kiri sebagai pintu masuk ikan sekitar 90 meter. Makin ke arah laut (ke kamar bunua dan wutu) makin menyempit, sehingga ikan makin terkurung masuk.

Jika ditarik garis lurus dari kaki kiri dan kanan bagian mulut (depan) ompo sampai ke pantai, daerah tersebut disebut lansano. Zona lansano kegiatan penangkapan ikan tidak diperkenankan baik menggunakan jaring, pancing, bubu atau kegiatan lainnya yang ditujukan untuk menangkap ikan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya tunga-tunga (meti-meti) yaitu memungut kerang-kerangan atau hasil yang bukan merupakan target alat tangkap ompo. Bagian wutu dari alat ompo berada pada bagian laut yang tetap tergenang meskipun laut surut. Ompo dikerjakan dan dimiliki oleh kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang dipimpin seorang parika, seseorang yang memiliki keahlian teknis dan mistik yang biasanya diwarisi turun-temurun.

Parika bagi anggota kelompok adalah henangkara artinya seseorang yang diikuti (panutan). Parika dengan kemampuannya menentukan kapan waktunya memasang ompo, ukuran pemotongan bambu yang akan dibuat bilah-bilah kecil dan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaut. Bilah bambu dianyam

menggunakan tali hutan hao yang diperoleh dari hutan kampung. Tempat menganyam biasanya halaman bante atau oa (pantai, pantai pelabuhan sampan). Bantea adalah rumah milik kampung dipinggir pantai yang berfungsi sebagai tempat bercengkerama para nelayan, tempat menyulam jaring, menganyam bubu dan menyimpan peralatan seperti layar, dayung dan tokong. Bentuk bantea seperti rumah biasa pada umumnya yakni memiliki atap miring berbentuk segitiga. Yang membedakan adalah lantai bantea terbuat dari bilah bambu atau papan menyerupai bangku yang berhadap-hadapan karena bagian tengah yang kosong langsung berlantai tanah berguna sebagai tempat menganyam bubu, mengiris kopra dan tempat lalu lalang dalam bantea.

Pada masa menganyam ompo warga kampung atau orang-orang yang sedang berada dalam bantea sering ikut membantu. Oleh sebab itu ikan hasil panen pertama ketika ompo terpasang di laut tidak langsung dibagi oleh anggota kelompok pemiliknya tetapi dibagikan kepada masyarakat kampung yang membantu pembuatan, juga kepada pemangku adat, pimpinan kampung dan atau orang-orang tidak mampu. Ikan hasil tangkapan pertama disebut ika nu hao (ikan milik tali) maksudnya adalah ikan untuk mengganti jasa penggunaan tali utan hao pengikat bilah-bilah bambu ompo dimana tali tersebut diperoleh dari tumbuhan pada alam bebas (tanpa seorangpun menanamnya) yang ditemukan di wilayah kampung sehingga dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama.

Wilayah tempat memasang ompo dikuasakan oleh sara sebagai wilayah kelola kelompok pemilik ompo atau tampora. Adat akan melindungi pengelolaan wilayah tersebut dari pemanfaatan pihak lain.Jika dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, pemilik ompo tidak lagi menggunakan tampora maka pengelolaan dapat beralih ke tangan kelompok lain dengan lebih dulu memberitahu pengguna sebelumnya. Pemberian hak kelola oleh sara ditandai dengan prosesi pamanga te sara (jamuan makan untuk sara) dari ikan-ikan hasil tangkapan ompo. Prosesi jamuan makan dilakukan di sekitar laiga nu ompo (huma milik pemasang ompo) yang didirikan pada pantai (oa) terdekat dengan tempat pemasangan ompo.

Kewajiban pemilik ompo yang melekat pada pemberian hak kelola oleh sara adalah tanggung jawab menjaga adat (po’adati) yang melekat pada ompo misalnya larangan menangkap ikan oleh masyarakat umum pada zona lansano, menjaga wilayah dari kegiatan pencurian hasil laut oleh nelayan luar dan perusakan ekosistem. Anggota masyarakat lainnya tetap bisa mengakses wilayah sekitar ompo untuk mencari hasil laut dengan ketentuan po’adati dan tidak memasang alat yang sama secara berdekatan. Ukuran jauh atau dekat secara tradisional adalah mengikuti nama pantai atau nama lokasi. Misalnya jika seseorang telah diberikan hak untuk memasang ompo pada pesisir pantai Usuno maka orang lainnya hanya boleh memasang alat yang sama pada pesisir pantai lainnya.

Ompo dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yaitu perairan pesisir dan karang atol, dan dalam ZPU, tetapi melihat kondisi dimana ZPU berada di perairan laut dalam maka alat tangkap ini tidak dapat digunakan pada ZPU. Penggunaan alat ini dalam sistem tradisional hanya digunakan pada daerah pasang surut perairan pesisir pulau, tidak digunakan pada daerah karang atol meskipun bagian-bagian atol memiliki kesamaan fisik dengan pesisir. Hal ini menegaskan keterkaitan ompo dengan pengelolaan ruang adat di pesisir kampung. Pola penggunaan alat berhubungan dengan hak pengambilan hasil perikanan atas wilayah penggunaan alat maka dalam sistem tradisional alat tersebut tidak dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain.

5.3.3 Katondo

Katondo sama dengan fungsi ompo tetapi terbuat dari batu yang disusun seperti benteng dan wilayah pemasangan alat tersebut jauh dari pantai yakni dekat tubir atau yi wiwi (wilayah pasang surut yang sudah berdekatan dengan laut dalam). Ikan-ikan kecil (awu) yang terperangkap dalam ompo harus dilepaskan. Katondo juga sering disebut bala watu (ompo dari batu). Bahan yang digunakan yakni batu karang sehingga tergolong yang tidak ramah lingkungan.

5.3.4 Lamba

Lamba dalam kebudayaan masyarakat Wakatobi terbuat dari tali hutan yang sepanjang bentangannya digantungkan daun-daunan dengan fungsi membatasi pergerakan ikan. Penggunaannya dengan cara melingkari laut yang telah dipastikan sebagai tempat ikan berkerumun. Lalu kedua ujung tali digerak-gerakan sehingga ikan takut untuk keluar dari dalam lingkaran. Ika-ikan dalam lingkaran ditangkap dengan tombak. Saat ini lamba lokal sudah tidak ditemukan lagi, beberapa nelayan dari Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan nelayan Bajo Sapuka dari Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap jaring redi dan menyebutnya sebagai lamba.

Dalam Perda Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap, lamba termasuk alat tangkap yang dapat digunakan sedangkan jaring redi tidak diperkenankan. Jaring redi termasuk alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang dan dalam operasinya menangkap ikan tanpa seleksi. Dalam sistem tradisional lamba hanya dapat digunakan penduduk kadie dalam wilayah kadie sendiri, tetapi bahan, bentuk dan prinsip kerjanya berbeda dengan lamba yang dikenal saat ini. Lamba dalam sistem tradisional tidak digunakan dalam wilayah dimana sistem huma beroperasi.

5.3.5 Bubu

Bubu merupakan alat tangkap tradisional dengan beragam adat pembuatan dan penggunaan yang tidak bisa dilanggar pembuatnya, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran, pemotongan, pembuatan sampai pemasangan alat di laut. Bubu terbuat dari bambu yang dianyam seperti basket dengan mata paling kecil 2 jari dan paling besar 4 jari pemiliknya, dimaksudkan untuk menyeleksi ukuran ikan yang akan ditangkap. Bubu adalah alat tangkap utama pada sistem huma dan digunakan secara luas nelayan lokal di perairan pesisir kampung. Bubu juga menjadi indikator untuk membedakan nelayan lokal kadie dan bukan. Misalnya nelayan Bajo tidak memiliki tradisi pasang bubu.

Secara ekonomi bubu merupakan alat penangkap ikan untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual. Pengguna bubu adalah laki-laki, tetapi para janda yang

menanggung anak biasanya juga memiliki bubu. Untuk memasangnya di laut bubu milik para janda tersebut biasanya dititipkan pada nelayan para polo (pemasang bubu) laki-laki. Sebagai imbalannya pemilik bubu memberikan bekal makanan untuk nelayan tempatnya menitip. Dengan demikian fungsi sosial bubu adalah saling bantu- membantu sesama masyarakat terlebih kepada yang tidak mampu seperti para janda yang merawat anak sebatang kara (single parent). Sumbangsih alat tangkap bubu terhadap konservasi terletak pada desain alatnya yang dapat menyeleksi ukuran ikan sehingga memberi kesempatan ikan-ikan kecil untuk berkembang biak dan penggunaannya sangat tergantung pada terumbu karang tetapi alat harus diletakkan di dasar laut yang rata, berpasir atau lamun dan tidak boleh menyentuh terumbu karang.

Aspek pengaturan pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada alat ini adalah larangan bagi pengguna alat pancing dan jaring untuk melakukan kegiatan perikanan pada area depan bubu yang disebut sebagai mulut bubu, yakni pintu masuk ikan. Bubu juga tidak dapat dipasang pada laut disekitar ompo. Pengaturan pengelolaan perikanan seperti ini merupakan bentuk pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada kearifan alat tangkap. Hal mana merupakan bentuk hak pengambilan hasil perairan pada nelayan yang bermanfaat bagi konservasi sumber daya hayati sebagaimana dijelaskan Satria (2009b) yakni mengurangi konflik karena adanya kejelasan batas ruang kelola, peningkatan pendapatan nelayan, adanya tanggung jawab nelayan untuk menjaga kelestarian area kelolanya dengan tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan dan nelayan merasa menjadi subyek dari pengelolaan sumberdaya perikanan.

Bubu dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yakni di daerah pesisir dan karang atol dan ZPU, tetapi ZPU berada pada laut dalam dimana penggunaan bubu tidak dimungkinkan. Dalam sistem tradisional, bubu hanya dapat digunakan oleh nelayan lokal kampung pada wilayah kampungnya karena alat ini termasuk kategori alat yang memungkinkan penggunanya mengelola suatu tempat dalam waktu lama dan berarti pengguna selalu akan kembali ke tempat pemasangan bubu. Alat tersebut juga dapat digunakan pada karang atol sebagai alat tangkap utama

dalam sistem hum. Dalam sistem zonasi TNW sebagian karang atol menjadi ZPB yang terlindungi dari berbagai jenis pemanfaatan karena fungsinya yang menjadi zona penyangga atau melindungi sumber daya hayati yang akan mendukung zona inti (ZI) dan zona pemanfaatan.

5.3.6 Buani

Buani atau jala digunakan untuk menangkap ikan-ikan di pinggir pantai. Norma yang yang disepakati dan berkembang dalam komunitas nelayan pada alat tangkap ini adalah ketentuan yang berlaku pada tempat-tempat yang sudah menjadi kesepakatan untuk tidak dapat langsung menjala ikan meskipun pada saat tersebut ikan sudah berkumpul sebelum parika yang khusus bertanggung jawab atas wilayah tersebut memberikan aba-aba haa.

Jika dilihat dari segi pengelolaan wilayah sumberdaya maka hal tersebut akan melindungi nelayan dari persaingan wilayah tangkap. Pada tabel 6 tentang jenis alat tangkap berdasarkan zoanasi TNW buani tidak tercantum, demikian juga dalam peraturan daerah Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap.

5.4 Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi

Dokumen terkait