• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada saat ini kadie telah berkembang menjadi beberapa desa bahkan ada yang merupakan gabungan dari potongan-potongan kadie, contoh Desa Te’e Moane di Pulau Tomia wilayahnya berada dalam wilayah Kawati Tongano dan Waha. Dengan demikian tahapan pertama dalam merekonstruksi kearifan masyarakat harus dimulai dengan pemetaan wilayah kadie untuk tujuan mengetahui bentang wilayah dan batas kadie serta mengangkat pengetahuan masyarakat tentang potensi wilayah baik sosial maupun sumberdaya alam. Pemetaan dapat menjadi media untuk menyebarluaskan tujuan dan manfaat pengelolaan dengan sistem tradisional. Pencapaian misi komunikasi ini penting mengingat struktur masyarakat yang saat ini sudah merupakan percampuran generasi tua dengan pengetahuan tradisional dan generasi baru.

5.6.2 Peningkatan Pemahaman Pemerintah

Tahapan setelah pemetaan adalah outreach dan awarenes pengetahuan tradisional tentang wilayah kepada pihak pemerintah. Kegiatan ini penting untuk meningkatkan pemahaman dan menghindarkan salah pengertian mengingat peran pemerintah sangat penting dalam proses pemulihan sistem tradisional.

Tabel 7 : Perbandingan Prinsip Pengelolaan

Aspek Pengelolaan Sistem Formal Sistem Tradisional Analisis Persamaan Analisis perbedaan

Regulasi Pengaturan melalui SK Dirjen PHKA tentang znasi, Perda Kabupaten dan Perdes DPL

Pengaturan melalui hukum adat yang dikeluarkan sara

Prinsip pengaturan pemanfaatan

Sistem formal pengambilan keputusan pengaturan berada di luar komunitas, kecuali perdes DPL yang

Kelembagaan Balai Taman Nasinal Wakatobi, Pemerintah Daerah Wakatobi

Sara Kadie Pengelolaan terlebagakan Lembaga pengelola berada

diluar kuasa komunitas pada sisitem formal tetapi pada sistem tradisional lembaga pengelola merupakan bagian dari komunitas.

Wilayah kelola Pengaturan zonasi dalam skala luas mengatur seluruh wilayah kepulauan Wakatobi

Pengaturan ruang dalam unit kecil yakni tiap kelompok wilayah adat kadie, berdasarkan wilayah adat, zona penggunaan alat tangkap.

Prinsip pengaturan pemanfaatan

Pengaturan wilayah dalam unit kuasa tiap kelompok adat yang memiliki kewenangan mengatur sendiri.

Memiliki zona inti (larang tangkap), zona perlindungan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, zona khusus pulau

Memiliki zona pemanfaatan da zona perlindungan (wehai, monea

nu sara dan pemali)

Pengaturan wilayah tangkap (1) Nelayan/kelompok nelayan memiliki hak kelola atas wilayah tertentu atas nama adat. (2) zona pemanfaatan yang hanya dikhususkan pada nelayan lokal kampung dalam wilayah adat kampung pada Pesisir kampung merupakan

fishing right nelayan kadie, tetapi

nelayan luar diperbolehkan dengan pembatasan alat tangkap

Memiliki zona pemanfaatan khusus kelompok pada jenis alat tangkap ompo, katondo.

sistem tradisional sehingga ada perlindungan untuk nelayan dalam kampung yang memiliki kemampuan sarana perikanan terbatas, sedangkan pada zona pemanfaatan lokal TNW yang dimaksud denga nelayan lokal adalah nelayan lokal seluruh Wakatobi.

Memiliki zona pemanfaatan khusus dengan sistem huma atau

loma untuk pengguna alat tangkap

polo (bubu)

Alat tangkap Pelarangan alat tangkap yang merusak seperti bom, bius, dan kegiatan perusakan ekosistem

Pelarangan penggunaan tuba, pandita (tidak pada semua wilayah adat), bom dan penggunaan alat bantu

penangapan yang tertutup seperti karung.

Pelarangan penggunaan peralataan tangkap yang merusak

Alat bantu penangkapan seperti wadah pengumpul diatur

Penggunaan alat tangkap berdasarkan zonasi

Penggunaan alat tangkap berdasarkan zona kelompok pengguna alat

Pengatura alat tangkap berdasarkan zonasi (wilayah)

Pada sistem formal pengaturan berlaku umum dalam satuan wilayah seluruh Wakatobi, dalam sisitem tradisional berlaku setiap satuan wilayah adat dan kelompok pengguna misalnya penggunaan alat apapun disekitar alat tangkap

Pemanfaatan biota laut Tidak membolehkan pengambilan biota yang dilindungi undang- undang.

Ikan napoleon, barakuda, kurapu dan ikan putih disebut ikan nu sara sehingga nelayan tidak menangkap ikan tersebut sebagai target.

Pembatasan pengambilan biota laut tertentu

Pembatasan pengambilan biota mengacu pada alat dan alat bantu penangkapan

Pengambilan biota laut tidak diperkenankan menggunakan wadah tertutup seperti karung

Sanksi Sanksi peringatan dan hukum Sanksi sosial dan hoko da o Terdapat sanksi berdasarkan hukum terhadap pelaku pelanggaran

Sanksi sosial yang

diberlakukan masyarakat atas pelaku

5.6.3 Musyawarah Kadie dan Antar Kadie

Musyawarah kadie dilakukan untuk menyamakan presepsi antara masyarakat yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah administrasi pemerintahan desa yang berbeda-beda. Kemungkinan adanya nilai baru seperti ego desa bisa saja terjadi mengingat kuatnya kepentingan ekonomi dan politik aktor lokal dari masing-masing desa. Dengan demikian musyawarah kadie efektif untuk menyepakati nilai-nilai yang akan direvitalisasi dan pelembagaan yang tidak tumpang tindih dengan peran lembaga desa atau tidak mengganggu posisi politik pejabat-pejabat desa.

Hasil musyawarah kadie akan menguatkan peta wilayah, narasi kearifan yang dituangkan dalam bentuk profil kearifan tradisional kadie. Kesepakatan kadie kemudian ditindak lanjuti dengan musyawarah antara wakil-wakil kadie yang akan berguna engidentifikasi dari awal persoalan-persoalan batas wilayah dan pembuatan agenda strategi perjuangan bersama.

5.6.4 Musyawarah Kolaboratif

Pada level ini wakil kelompok masyarakat adat dan pemerintah duduk bersama untuk membangun persepsi yang sama mengenai persoalan substansi kolaborasi sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suadi (2005) sebagai pendekatan ruang pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan. Melihat proses yang dikonstruksi dalam penelitian ini, model kolaborasi yang akan dibangun adalah kolanorasi sistem bukan kolaborasi aktor-aktor yang berada dalam kawasan. Kolaborasi sistem adalah penyelenggaraan pengelolaan kawasan yang mengakomodir sistem tradisional masyarakat lokal yang karena latar belakang historis dikenal pemilik property right atas kawasan berupa hak ulayat sesuai sistem adatnya.

Musyawarah kolaborasi pada level ini penting mengingat masih adanya kesenjangan pengelolaan pada wilayah atol (pasi) Kaledupa dan Kapota dimana sebagian wilayah kelola tradisional sistem huma tersebut masuk dalam wilayah ZPB, wilayah Kadie Mandati yakni sebagian Karang Sousu menjadi ZPr dan sebagian

Karang Matahora menjadi ZPB. Hasil yang diharapkan dalam tahapan ini adalah kesepakatan konservasi yang dapat meliputi :

a. Peengelolaan dalam wilayah kadie dilakukan dengan sistem adat kadie. b. Pembagian peran kelompok masyarakat adat dan pemerintah dalam

pengelolaan wilayah tangkap tradisional yang dimanfaatkan masyarakat lintas kadie seperti di atol Kaledupa, Kapota, Moromaho sehubungan dengan karang atol tersebut sebagian menjadi ZPB dan ZPr.

c. Legitimasi pengelolaan berdasarkan adat kadie oleh pemerintah.

Melihat faktanya bahwa sebagian besar wilayah adat kadie adalah ZPL maka secara operasional pengaturan adat atas wilayah tersebut seharusnya dapat dilakukan. Teori-teori desentralisasi dan perundang-undangan seperti UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau keci, Undang-Undang Perikanan dan zonasi TNW sendiri merupakan justifikasi terhadap pengaturan dengan kearifan adat.

5.6.5 Proses Legalitas

Status hukum kesepakatan pengelolaan dengan kearifan adat dalam kerangka kolaborasi pengelolaan TNW sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah agar menjadi kepatuhan bagi semua pihak termasuk pihak-pihak pengguna sumberdaya seperti nelayan luar dan pengusaha.

5.6.7 Strategi Pengelolaan

Strategi pengelolaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional. Kolaborasi sistem yang dicapai melalui perpaduan sistem hukum adat dan hukum negara ialah apabila sumber daya tidak diatur dalam adat maka hukum negara dapat mengisi pengaturannya. Sebaliknya pada wilayah yang memiliki kearifan adat maka hukum adat yang mengaturnya. Apabila sistem formal dan sistem tradisional sama-sama dapat berfungsi maka pada operasionalnya mengutamakan hukum adat karena kearifan

lokal tersebut sesuai pengetahuan, kondisi, pengalaman dan sejarah masyarakat (Uluk et al 2001).

Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa Kepulauan Wakatobi menjadi taman nasional sekaligus kabupaten dan secara historis merupkan wilayah adat dari kadie-kadie, pada saat ini secara kelembagaan pengurus kawasan adalah TNW dan Pemkab Wakatobi. Sedangkan peranan kelembagaan adat pudar seiring melemahnya peran lembaga sara kadie. Tetapi dalam praktek hidup sehari-hari sumber daya milik kadie seperti tanah, hutan dan laut tetap dianggap milik sara merupakan justifikasi pemilikan bersama masyarakat desa atau gabungan desa bekas wilayah kadie.

Pada beberapa kasus pengurus atau penegak prinsip-prinsip sumberdaya milik sara adalah pemerintah desa atau gabungan pemerintah desa bekas kadie atas nama sara. Model pembuatan keputusan untuk kasus semacam itu adalah musyawarah bersama diwakili kepala desa, kepala kampung dan tokoh-tokoh masyarakat. Contohnya isu alih fungsi tanah adat untuk bangunan pemerintah pada bekas kadie Liya maka 5 kepala desa menfasilitasi pertemuan musyawarah adat yang dihadiri tokoh-tokoh adat dan masyarakat untuk membahasnya.

Tempat musyawarah balai adat kadie yang disebut baruga, tempat yang pada masa sara kadie digunakan hanya untuk musyawarah sara. Kebiasaan representasi diri (dari pemerintah desa) dan tokoh-tokoh masyarakat sebagai sara seperti ini terjadi setelah secara kelembagaan sara kadie bubar tahun sekitar 1970. Keputusan musyawarah bersama tersebut disebut peraturan adat.

Untuk mengetahui kondisi kelembagaan dalam kawasan TNW saat ini dapat dilihat dalam tabel 8 yang menguraikan peran penting tiga komponen institusi yang memiliki kewenangan dalam kawasan TNW saat ini yaitu Pemkab, TNW dan sara kadie. Batas yurisdiksi kadie, Pemkab (melalui desa) dan TNW (melaui SPTN) sebagai berbeda-beda baik wilayah maupun kewenangan.

Tabel 8 : Analisis Kelembagaan Lokal

Aspek Kelembagaan Kadie Pemerintah daerah

(Desa) TNW (SPTN)

Batas yurisdiksi

Wilayah

1 kadie sekarang

terdiri dari desa dengan wilayah mulai dari darat, daerah coastal dan pulau- pulau pendukung dan daerah coastalnya.

Wilayah desa terdiri

dari darat dan pesisir 1 STPN mengelola pulau utama meliputi daerah coastal, laut dalam dan karang atol Wilayah desa terdiri

dari wilayah darat saja

Kewenangan Menentukan aturan, mengeluarkan izin, menegakan sanksi Menjalankan peraturan daerah, instruksi atasan, membuat perdes bersama BPD Pengawasan, monitoring, penegakan hukum Property right

Apa Sumberdaya milik komunal

Sumberdaya milik negara dan milik mperorangan

Sumberdaya milik negara

Siapa Secara formal dimiliki sara Pemerintah dan perorangan Pemerintah mewakili negara Rule of game

Siapa sara Pemerintah desa SPTN

Peran

Berwenang membuat hukum adat pengelolaan sumberdaya alam, patuh pada sara kerajaan Layanan administrasi kegiatan warga, membuat perdes, menjalankan peraturan daerah dan instruksi atasan

Menjalankan

peraturan pengelolaan TNW

Kadie yang saat ini terdiri dari beberapa desa memiliki kewenangan membuat aturan dan menegakkannya, sama dengan desa tetapi batas kewenangan desa hanya dalam wilayah desanya. Artinya jika desa tersebut hanya merupakan salah satu dari beberapa desa yang merupakan bekas wilayah kadie maka aturan desa tentu tidak berpengaruh pada desa lainnya. Kesulitannya adalah sangat mungkin akan terdapat aturan yang berbeda-beda untuk sumberdaya alam yang dimiliki bersama kelompok adat kadie akibat pembuat aturan adalah desa yang berbeda-beda.

Baik kadie, desa dan SPTN sebagai unit pengelola wilayah terkecil memiliki kewajiban menjalankan aturan dari instansi di atasnya, tetapi hal yang membedakan adalah SPTN tidak memiliki wewenang membuat aturan sebagaimana kadie dan desa. Selain gap yurisdiksi, secara nyata terdapat 3 pihak yang memiliki peranan dalam pengelolaan dengan tugas dan kewenangan-kewenangan yang berbeda. Gap ini tidak dapat diselesaikan dalam tingkat desa atau kadie. Kasepakatan yang harus dibangun pada level kabupaten adalah antara kadie (mewakili wilayah adat dan gabungan desa dalam wilayah kadie) dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, BTNW/PHKA atau Menteri Kehutanan sebagai pihak yang membuat keputusan penetapan taman nasional. Isi kesepakatan adalah tentang prinsip pengelolan TNW yang diadopsi dari sistem formal dan sistem tradisional.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai “Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Taman Nasional Wakatobi” dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Dalam sistem tradisional sumberdaya laut adalah milik bersama (communal property right). Secara formal menjadi milik sara kadie, dengan kewenangan desentralistik dari sara kesultanan mengatur pemanfaatan sumberdaya laut berdasarkan pendekatan pembagian ruang yakni ruang pemanfaatan, perlindungan baik berdasarkan penetapan sara maupun sistus keramat. Terdapat juga lokasi pemanfaatan terbatas dengan pembatasan alat tangkap dan pemanfaatan melalui izin pada sara. Selain itu pengaturan berdasarkan alat tangkap terdiri dari alat tangkap yang hanya dapat digunakan nelayan lokal dan alat tangkap yang boleh digunakan nelayan luar, dimaksudkan untuk melindungi nelayan kampung yang memiliki peralatan terbatas dari persaingan dan konflik ruang. Yang dimaksud nelayan luar dalam sistem tradisional adalah nelayan luar kadie. Meskipun sumberdaya adalah milik bersama, sara kadie dapat memberikan kuasa pengelolaan kepada kelompok masyarakat atau individu atas wilayah laut tertentu untuk alat tangkap ompo dan katondo, dimana lokasi tersebut tidak dapat digunakan nelayan lain sampai pengelolanya menyerahkan kembali kepada sara.

b. Dalam sistem zonasi TNW, wilayah ulayat kadie Liya, mandati, Wanci, Kapota umumnya menjadi ZPL yang berarti hanya dapat dimanfaatkan nelayan lokal (Wakatobi), selain itu sebagian kecil (1,7 % ) karang di wilayah ulayat tersebut merupakan ZPr dan ZPB (1,2%). Lokasi ZPr berada di pantai Kampung Sousu Pulau Wangi-Wangi bagian timur secara

tradisional juga dimanfaatkan terbatas yakni nelayan luar tidak dapat menggunakan alat tangkap yang dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak, dimasudkan sebagai lokasi cadangan perikanan warga kampung Sousu saat ombak musim timur tiba. Sedangkan ZPB berada di sekitar lagun Kampung Bontu Matahora dimana lokasi tersebut menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Matahora dan juga dilindungi secara adat. c. Perbedaan utama pengelolaan sistem formal dan sistem tradisional adalah

lembaga pengelola, kewenangan dan luas wilayah. Dalam sistem formal Balai TNW memiliki kewenangan menjalankan hukum yang dibuat pemerintah pusat dengan wilayah mencakup seluruh kawasan sedangkan dalam sistem tradisional sara kadie berwenang membuat dan menjalankan peraturan adat dan wilayah yurisdiksinya lebih kecil, hanya sebatas wliayah kadie. Wilayah Karang Kaledupa, Kapota dalam sistem tardisional dikelola dengan sistem huma. Pemilik huma memiliki kuasa po adati yi pasi (adat istiadat di karang atol) yang dapat menentukan pengaturan wilayah tangkap, izin, penggunaan alat bagi pengguna sumberdaya (resources use).

d. Strategi pengelolaan TNW yang tepat adalah kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional yakni memasukkan prinsip-prinsip pengelolaan tradisional masyarakat adat ke dalam prinsip-prinsip pengelolaan formal TNW. Bentuknya pengelolaan kolaborasi adalah pembagian ruang yurisdiksi yakni wilayah adat kadie dikelola dengan kelembagaan adat dan diluar itu diberlakukan pengelolaan dengan sistem formal. Lokasi huma yang berimpit dengan ZPB Karang Kaledupa dan ZPr Karang Kapota dikelola dengan memfungsikan secara bersama sistem huma dan sistem formal. Pelanggaran pengelolaan yang bersifat pidana seperti destruktif fishing, pencurian, pencemaran, diselesaikan dengan hukum formal TNW dan sengketa perdata seperti pelanggaran dan perebutan wilayah tangkap diselesaikan dengan hukum adat. Meskipun wilayah ulayat dikelola

dengan adat tetapi secara keseluruhan baik wilayah ulayat kadie maupun luar ulayat kadie tetap dalam prespektif TNW, artinya peraturan TNW melegitimasi peraturan adat yang mengatur wilayah ulayat kadie.

Dokumen terkait