• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip 3 Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Kewajiban terkait AMDAL atau UKL-UPL

Aktivitas pembangunan yang dilakukan dalam berbagai bentuk usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan dianalisis sejak awal perencanaan sehingga langkah pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak postif dapat disiapkan sedini mungkin. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunan Hidup dan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menetapkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL dan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL, jenis kegiatan budidaya tanaman perkebunan tahuanan dengan atau tanpa pengolahannya dengan luas ≥ 3 000 ha wajib memiliki AMDAL. Selain itu, AMDAL juga merupakan prasyarat untuk memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP).

Perkebunan BAME memiliki AMDAL perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit PT.Inti Gerak Maju di Kecamatan Kelumpang Selatan (IGM 1), Kecamatan Kelumpang Hulu dan Kelumpang tengah (IGM II), Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalsel. Penyusunan AMDAL dilaksanakan pada tahun 1997 oleh tenaga ahli yang multidisiplin terdiri dari ketua tim, ahli kimia- fisika, biologi, sosekbud, tanah dan agronomi, ahli kualitas air, dan biologi. Kerangka acuan ANDAL disahkan oleh Menteri Pertanian RI tanggal 5 Juni 1997

nomor 255/BA-5/VI/1997 dan dokumen ANDAL, RKL dan RPL disahkan dengan nomor 15/ANDAL/RKL-RPL/BA/IV/98 tanggal 30 April 1998.

Untuk mengelola dan memantau lingkungan pada kegiatan operasi yang telah berjalan, perusahaan menyusun laporan pelaksanaan AMDAL berupa laporan RKL dan RPL yang dilaporkan secara rutin setiap 6 bulan kepada BLHD Kabupaten Kotabaru, BLHD Provinsi Kalimantan Selatan dan KLH Jakarta. Tabel 21 menyajikan ringkasan hasil evaluasi kewajiban terkait AMDAL/UKL-UPL perkebunan BAME.

Tabel 21 Hasil evaluasi kewajiban terkait AMDAL/UKL-UPL Perkebunan BAME

Indikator ISPO Kondisi Perkebunan BAME Kriteria 3.2

1. Memiliki dokumen AMDAL bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang mempunyai lahan > 3.000 ha.

Memiliki dokumen AMDAL atas nama PT. Inti Gerak Maju. KA- ANDAL disahkan oleh Menteri Pertanian tanggal 5 Juni 1997 nomor 225/BA-5/VI/1997, sedangkan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL disahkan dengan

nomor 15/ANDAL/RKL-

RPL/BA/IV/98 tanggal 30 April 1998.

2. Memiliki dokumen UKL/UPL bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang mempunyai lahan < 3.000 ha.

Tidak memiliki dokumen UKL- UPL karena memiliki luas lahan > 3.000 Ha.

3. Tersedia rekaman terkait pelaksanaan penerapan hasil AMDAL, UKL/UPL termasuk laporan kepada instansi yang berwenang.

Rekaman berbentuk laporan berkala setiap 6 bulan sekali dan bukti penyerahan laporan kepada BLHD Kabupaten Kotabaru, BLHD Provinsi Kalsel dan KLH Jakarta.

Sumber: Diolah dari PTTN Perkebunan BAME (2013)

Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran

Kebakaran di tempat kerja dapat membawa konsekuensi yang berdampak merugikan banyak pihak baik bagi pengusaha, tenaga kerja maupun masyarakat. Atas dasar hokum Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, diwajibkan menjaga keselamatan kerja di lokasi dilakukannya usaha perkebunan. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya perlindungan terhadap tenaga kerja dan orang lain dengan tujuan sumberdaya manusia selalu dalam keadaan selamat dan sehat dan agar setiap sumber produksi dipakai dan digunakan secara aman dan efisien. Upaya perlindungan yang dimaksud yaitu memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja untuk mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, mencegah dan mengurangi bahaya peledakan, memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang

berbahaya, memberi pertolongan pada kecelakaan dan memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen K3, kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha dan atau pengurus yang memuat keseluruhan visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan keselamatan dan kesehatankerja, kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan atau operasional. Adapun prosedur dan instruksi kerja yang telah dimiliki perusahaan untuk mencegah, menanggulangi dan memulihkan kebakaran tercantum pada: 1. SOP Penanganan Keadaan Darurat SOP/SMK3/SMART/LH-09;

2. SOP Pencegahan, Penanggulangan dan Pemulihan Keadaan Darurat PT-TN- BAME/SOP/26;

3. IK Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) IK/BAME/KTD/01; 4. SOP Alat Pemadam Api Ringan (APAR) SOP/SMK3/LH-24; dan 5. SOP Hydrant SOP/SMK3/SMART/LH-25.

Perkebunan BAME menunjukan komitmen terhadap keselamatan kerja yang diwujudkan dalam memiliki organisasi keselamatan dan kesehatan kerja yang bernama Panitia Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3) dan menempatkannya pada posisi yang dapat menentukan keputusan perusahaan dan menetapkan personal. Hal tersebut diatur dalam Kebakaran di lokasi Selain itu, P2K3 juga mempunyai tanggung jawab, wewenang dan kewajiban yang jelas dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketua P2K3 merupakan pembina Tim Tanggap Darurat di lokasi kerja dan Tim Tanggap Darurat diketuai oleh Wakil Ketua P2K3. Adapun sumberdaya manusia yang mampu menangani kebakaran lahan yaitu Tim Pemadam Kebakaran Lahan Perkebunan BAME yang dipimpin oleh Bapak Burhanuddin H. dan terdiri dari 7 regu, yakni regu flapper/pemukul, regu kampak, regu pompa punggung, regu air, regu sekop, regu garuk dan regu alat berat. Dengan adanya unit penanggulangan kebakaran yang dimiliki oleh perusahaan maka kewajiban membentuk unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RINo.KEP.186/MEN/1999 telah dipenuhi.

Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran dimonitor kondisinya setiap 6 bulan sekali agar tetap layak kondisinya bilamana terjadi kebakaran dapat berfungsi dengan baik. Peralatan pemadam kebakaran diinventarisasi dalam dokumen daftar alat kesiagaan tanggap darurat. Alat yang paling mudah digunakan dan digunakan oleh satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran adalah Alat Pemadam Api Ringan (APAR). APAR yang dimiliki perusahaan sebanyak 25 buah dan diletakkan di luar bangunan serta terdapat petunjuk penggunaan APAR yang mudah dibaca oleh pengguna sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No:PER.04/MEN/1980 tentang Syarat-Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan APAR. Lokasi pemasangan APAR tercantum pada Peta Letak APAR dan Potensi Bahaya Perkebunan BAME.

Seluruh karyawan diwajibkan mengikuti pelatihan dan evaluasi keadaan darurat meliputi:

1. Memahami sumber bahaya di tempat kerja;

2. Menetapkan langkah pencegahan pada lokasi yang berpotensi menimbulkan keadaan darurat;

3. Memahami cara mengoperasikan peralatan tanggap darurat; 4. Memahami kapan harus melaporkan keadaan darurat; dan

5. Memahami letak titik evakuasi yang paling aman serta penanganan P3K. Pelatihan dan evaluasi keadaan darurat dilakukan tercatat pada 30 Juli 2010, 13 Desember 2011, dan 8 Februari 2013. Pelatihan dan evaluasi keadaan darurat Pada Tahun 2012 tidak dilakukan pelatihan dan evaluasi keadaan darurat. Rekaman pelatihan dan evaluasi yang disimpan berupa skenario simulasi, dokuemetasi kegiatan, daftar kehadiran, dan notulensi. Menurut SOP Penanganan Keadaan Darurat SOP/SMK3/SMART/LH-09, pelatihan dan evaluasi keadaan darurat dilakukan sekutang-kurangnya 1 tahun sekali namun tidak dilakukan pelatihan dan evaluasi pada tahun 2012. Selain itu juga dilakukan sosialisasi larangan membakar sampah setiap 1 tahun sekali kepada karyawan tercatat 12 April 2010, 18 Februari 2012, 15 Januari 2013.

ISPO mewajibkan setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pemantauan dan pencegahan kebakaran serta melaporkan hasilnya secara berkala minimal enam bulan sekali kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan instansi terkait. Menurut hasil wawancara kepada pekerja dan masyarakat setempat, tidak pernah terjadi kebakaran di perkebunan BAME selama perusahaan beroperasi. Namun perkebunan BAME belum memberikan laporan berkala mengenai hal tersebut kepada pihat terkait. Tabel 22 menyajikan ringkasan hasil evaluasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran perkebunan BAME.

Tabel 22 Hasil evaluasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran Perkebunan BAME

Indikator ISPO Kondisi Perkebunan BAME Kriteria 3.3

1. Tersedia Petunjuk Teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

 SOP Penanganan Keadaan Darurat

SOP/SMK3/SMART/LH-09

 SOP Pencegahan,

Penanggulangan dan Pemulihan Keadaan Darurat PT-TN-BAME/SOP/26

 IK Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) IK/BAME/ KTD/01

 SOP Alat Pemadam Api Ringan

SOP/SMK3/SMART/LH-24 berisi tentang persyaratan teknis APAR, penempatan APAR, dan penggunaan APAR.

 SOP Hydrant SOP/SMK3/ SMART/LH-25 berisi persyaratan teknis untuk.

Tabel 22 Hasil evaluasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran Perkebunan BAME (Lanjutan)

Indikator ISPO Kondisi Perkebunan BAME hydran dan selang, penggunaan hydran dan perawatan instalasi hydran

2. Tersedianya SDM yang mampu mencegah dan menangani kebakaran..

Memiliki Tim Pemadam Kebakaran Lahan Perkebunan BAME yang telah di training 3. Tersedia sarana dan prasarana

pengendalian/penanggulangan kebakaran

Memiliki 25 buah APAR dan alat pemadam lainnya tersebar di seluruh unit kerja Perkebunan BAME dan kondisinya dimonitor kelayakannya setiap 6 bulan sekali Tersedianya organisasi dan sistem

tanggap darurat.

Memiliki Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dan Tim Pemadam Kebakaran Lahan Perkebunan BAME

4. Tersedia rekaman pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pemantauan kebakaran dan pelaporannya .

Perkebunan BAME melakukan simulasi Kebakaran Unit Kerja BAME tercatat dilakukan pada 30 Juli 2010, 13 Des 2011, dan 8 Feb 2013. Rekaman terdiri dari skenario simulasi, dokuemtasi kegiatan, daftar kehadiran, dan notulensi. Kemudian melakukan sosialisasi larangan membakar sampah setiap satu tahun sekali kepada para karyawan; 12 April 2010, 18 Februari 2012, 15 Januari 2013. Namun, karena belum pernah terjadi kebakaran sejak perkebunan beroperasi maka tidak pernak melakukan pelaporan kepada pihak berwajib.

Sumber: Diolah dari PTTN Perkebunan BAME (2013)

Pelestarian Biodiversitas

Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan variasi bentuk kehidupan dalam spesies tertentu, ekosistem, bioma, atau planet. Biodiversitas mencakup keragaman dalam spesies (keanekaragaman genetik), antara spesies (keanekaragaman jenis) dan ekosistem. Biodiversitas memainkan peran penting dalam menjaga produktivitas ekosistem, stabilitas, keberlanjutan dan jasa ekosistem lainnya yang penting untuk kesejahteraan manusia (Dafeng 2013). Hilangnya keanekaragaman hayati telah menjadi masalah serius di berbagai tempat di seluruh dunia. Banyak faktor berkontribusi pada hilangnya biodiversitas

yaitu konversi hutan menjadi lahan perkebunan atau areal komersil lainnya, beban nutrisi yang berlebihan, polusi udara dan air, eksploitasi berlebihan dalam penggunaan berkelanjutan sumber daya alam, dan spesies invasif.

Perkebunan BAME berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati pada areal perkebunan yang tidak ditanami. Agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik- baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan aktivitas perkebunan. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya, dan ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.

Perkebunan BAME berkomitmen untuk melindungi dan melarang perburuan terhadap semua jenis satwa liar yang termasuk ke dalam kriteria langka dan terancam punah di kawasan perkebunan. Status spesies-spesies langka, terancam, atau hampir punah dan habitat dengan nilai konservasi tinggi yang berada di dalam perkebunan atau yang dapat terkena dampak oleh manajemen kebun diidentifikasi dan konservasinya diperhatikan dalam rencana dan operasi manajamen. SOP identifikasi perlindungan flora dan fauna di lingkungan perkebunan termasuk pada SOP Identifikasi HCV SOP/SMA/IDENTHCV. Identifikasi dilakukan oleh tim penilai NKT terdiri dari staf Departement Lingkungan Hidup PT Tapian Nadenggan yang memiliki keahlian di bidang ekologi habitat, ekologi satwa liar dan sosial ekonomi yang kemudian menghasilkan Laporan Identifikasi dan Rencana Pengelolaan NKT tahun 2011 direview oleh Ir. H. Nyoto Santoso, MS.

Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Oleh karena itu, perusahaan tidak membuka areal berhutan seluas 64, 10 Ha dan menjadikannya sebagai areal konservasi. Hanya spesies yang masuk dalam daftar Red List IUCN sebagai Critically Endangered (CR) yang termasuk dalam penentuan spesies hampir punah atau kriteria NKT 1.2. Spesies yang berada di Perkebunan BAME tidak ada yang termasuk dalam kriteria 1.2. Namun, Perkebunan BAME juga melindungi beberapa spesies karena memiliki status dilindungi berdasarkan Untuk taksa tersebut, setiap individu sangat penting sebagai pendiri/penerus generasi, dan oleh karena itu kelangsungan hidupnya merupakan beban dan tanggungjawab yang besar bagi seluruh lapisan masyarakat dalam melakukan setiap tindakan di areal perkebunan. Spesies yang dilindungi pada areal berhutan disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Daftar spesies dilindungi pada areal Perkebunan BAME

Nama Daerah Nama Botani Status

Elang cokelat Butastur liventer PP No.7 Tahun 1999* Biawak Varanus sp Appendix II – CITES** Ular sanca Python reticulatus Appendix II – CITES**

Bekantan Nasalis larvatus PP No.7 Th 1999* Monyer ekor

panjang

Macaca fascicularis Appendix II – CITES** Macan akar Felis bengalensis PP No.7 Th 1999*

Keterangan: *Status dilindungi

**Status terancam punah bila populasi tidak dikontrol

Sumber: PTTN Perkebunan BAME (2013)

Setiap spesies memiliki pola hidup yang unik dan kekuatan pertumbuhan habitat alaminya yang dikenal sebagai potensi biotik. Kondisi iklim yang lebih baik akan mendukung potensi biotik spesies sedangkan perubahan iklim yang signifikan akan menyebabkan perubahan struktur populasi sehingga menjadi lingkungan yang berbahaya dan merugikan bagi spesies. Oleh karena itu,nbiodiversitas berperan penting dalam kesuksesan sebuah ekosistem dan juga dalam konservasi sumber daya alam (Patel 2014).

Sebagai indikator bahwa jenis-jenis fauna tersebut masih terdapat di areal perkebunan, perkebunan BAME melakukan upaya pemantauan. Pemantauan dilakukan oleh PIC NKT dibantu oleh petugas HCV masing-masing umit secara rutin (seminggu sekali) pada setiap jalur pemantauan yang telah ditentukan. Pemilihan lokasi jalur pemantauan spesies terancam punah ditentukan berdasarkan besarnya peluang perjumpaan di lokasi tersebut. Hasil pemantauan secara umum selama periode Januari-Desember 2012 ditemukan 6 jenis satwa dilindungi yang keberadaannya masih dijumpai di areal perkebunan. Perkebunan BAME juga memiliki peta penyebaran satwa liat langka dan dilindungi.

Selain itu, kebijakan perusahaan dalam pelestarian biodiversitas yaitu melakukan sosialisasi dan pelatihan secara berkesinambungan tentang perlindungan satwa liar langka dan terancam punah beserta habitatnya kepada karyawan, masyarakat, kontraktor maupun stakeholder terkait lainnya di sekitar perkebunan. Sosialisasi dan pelatihan ini termasuk bagian dari sosialisasi HCV/NKT yang diadakan perusahaan pada 4 Oktober 2011, dan 10 April 2013. Adapun tujuan dari sosialisasi yaitu sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan untuk ikut mendukung konservasi sumberdaya alam hayati dan juga mendukung kehidupan masyarakat pada umumnya. Rekaman sosialisasi dan pelatihan yang tersimpan berupa daftar hadir, notulensi dan dokumentasi konsultasi public HCV di gedung BATZ pada 4 Oktober 2011, sosialisasi HCV pada karyawan di kantor divisi 1 dan 2 pada tanggal 10 April 2013 dan sosialisasi HCV kepada masyarakat Desa Langadai. Tabel 24 menyajikan ringkasan hasil evaluasi pelestarian biodiversitas perkebunan BAME.

Tabel 24 Hasil evaluasi pelestarian biodiversitas Perkebunan BAME Indikator ISPO Kondisi Perkebunan BAME Kriteria 3.4

1. Tersedia SOP identifikasi Perlindungan Flora dan Fauna di lingkungan

Memiliki SOP Identifikasi HCV SOP/SMA/IDENTHCV dan SOP

perkebunan. Penanganan Orang Utan

SOP/SPO/SMART/LH-17 2. Memiliki daftar flora dan fauna di

kebun dan sekitar kebun, sebelum dan sesudah dimulainya usaha perkebunan.

Daftar flora dan fauna sebelum kegiatan tercantum pada laporan KA ANDAL dan daftar flora dan fauna sesudah dimulainya usaha perkebunan tercantum pada laporan identifikasi dan rencana pengelolaan nilai konservasi tinggi (NKT) tahun 2011.

3. Tersedia rekaman sosialisasi Memiliki daftar hadir, notulensi dan dokumentasi konsultasi public HCV di gedung BATZ pada 4 Oktober 2011, sosialisasi HCV pada karyawan di kantor divisi 1 dan 2 pada tanggal 10 April 2013 dan sosialisasi HCV kepada masyarakat Desa Langadai.

Pelindungan Kawasan yang Mempunyai Nilai Konservasi Tinggi

Konsep HCVF (High Conservation Value Forest) atau Hutan Bernilai Konservasi Tinggi muncul pada tahun 1999 sebagai ‘Prinsip ke 9’ dari standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan oleh Majelis Pengurus Hutan (Forest Stewardship Council/FSC). Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV atau disebut juga Nilai Konservasi Tinggi (NKT) adalah bahwa wilayah- wilayah dimana dijumpai atribut yang mempunyai nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, konsep HCV mensyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Dalam hal ini, pendekatan HCV berupaya membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang. Konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan produksi, dengan cepat konsep ini menjadi populer dan digunakan dalam berbagai konteks yang lain. Di sektor sumber daya terbaharui, HCV digunakan sebagai alat perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan perkebunan (HCV Toolkit Indonesia 2008).

Perusahaan mengidentifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi yang dan mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa dengan tidak membuka untuk perkebunan kelapa sawit. Adapun

prosedur yang mengatur tentang identifikasi NKT yaitu SOP Identifikasi HCV SOP/SMA/IDENTHCV. Identifikasi dilakukan oleh tim penilai Nilai Konservasi Tinggi (NKT) terdiri dari staf Departement Lingkungan Hidup PT Tapian Nadenggan yang memiliki keahlian di bidang ekologi habitat, ekologi satwa liar dan sosial ekonomi yang kemudian menghasilkan Laporan Identifikasi dan Rencana Pengelolaan NKT tahun 2011 direview oleh Ir. H. Nyoto Santoso, MS.

Secara umum areal NKT di areal perkebunan berada di ekosistem riparian dan ekosistem rawa pasang surut. Kondisi tutupan lahan di areal perkebunan berupa semak beluar, hutan sekunder dan tanaman kelapa sawit. Berdasarkan laporan Identifikasi Laporan Identifikasi dan Rencana Pengelolaan NKT tahun 2011,teridentifikasi adanya keberadaan NKT 1.1, NKT 1.2, NKT 4.1 dan NKT 4.3 dan peta penyebarannya seperti yang disajikan pada Tabel 25 dan Gambar 7.

Tabel 25 Keberadaan NKT di Perkebunan BAME Nomor

NKT Kriteria NKT Keberadaan Bukti Objektif

Luasan (ha) 1 Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting 1.1 Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung bagi keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung

Ada Terdapat kawasan perlindungan setempat berupa sungai dan sempadannya

177.95

dan/atau area konservasi

1.2 Spesies hampir punah Tidak - -

1.3 Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi spesies yang terancam, penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu bertahan hidup (Viable Population)

Ada Terdapat kawasan berhutan yang

merupakan habitat dan tempat berkembang biak bekantan.

64.10

1.4 Kawasan yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan sepesies yang digunakan secara

temporer

Tidak - -

2 Kawasan Bentang Alam yang Penting Bagi

Dinamika Ekologi Secara Alami

- -

2.1 Kawasan bentang alam luas yang memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi secara alami

Tabel 25 Keberadaan NKT di Perkebunan BAME (Lanjutan) Nomor

NKT Kriteria NKT Keberadaan Bukti Objektif

Luasan (ha) 2.2 Kawasan alam yang berisi

dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus

(berkesinambungan)

Tidak - -

3 Kawasan yang

mempunyai ekosistem langka atau terancam punah Tidak - - 4 Kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami - -

4.1 Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan pengendali banjir bagi masyarakat hilir

Ada Terdapat kawasan ekosistem pasang surut dan sempadan sungai

329.37

4.2 Kawasan yang penting bagi pengendalian erosi dan sedimentasi

Tidak - -

4.3 Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah meluasnya kebakaran hutan dan sekat alam

Ada Terdapat kawasan rawa pasang surut

151.42

5 Kawasan yang mempunyai fungsi

penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar

masyarakat lokal

Tidak - -

6 Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal

Tidak - -

Total Luas (ha) 393.47 Sumber: Laporan Identifikasi dan Rencana Pengelolaan NKT Perkebunan BAME (2011)

Upaya pengelolaan untuk NKT1.1, NKT 1.3 dan 4.1 di areal perkebunan merupakan satu wilayah yaitu areal sempadan sungai dan rawa pasang surut. Kegiatan pengelolaan di areal sempadan sungai (riparian) memiliki tujuan untuk melindungi areal sempadan sungai dari beberapa ancaman yang dapat mengganggu atau merusak kualitas aliran sungai. Beberapa ancaman yang terdapat di kawasan ini antara lain:

1. Penggunaan agrochemical yang akan mencemari perairan; 2. Kegiatan penangkapan ikan dengan cara peracunan;

3. Kegiatan yang menyebabkan sedimentasi sungai yang tinggi;

4. Kegiatan lain yang dapat mengganggu aliran sungai seperti aplikasi limbah cair; dan

5. Kegiatan perambahan oleh karyawan maupun masyarakat.

Perkebunan BAME melindungi areal sempadan sungai sejauh 50 meter di kiri dan kanan badan sungai sesuai dengan yang disebutkan pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai. Hal ini dilakukan sebagai upaya perlindungan sungai dan pencegahan pencemaran sungai. Perusahaan juga menerapkan Best Management Practices (BMP) dengan cara tidak melakukan aplikasi bahan kimia (agrochemical) untuk mengendalikan gunma di areal sempadan sungai. Selain itu, vegetasi vertifer grass (akar wangi), guatemala grass (gelagah), bamboo ditanami di areal sempadan sungai untuk menahan erosi. Papan amaran, papan larangan semprot dan tanda batas juga dipasang di areal ini.