• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumber Daya Air

Air merupakan sumber daya alam yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi lainnya (Dinar et al., 2005). Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), pertanian, industri dan kegiatan ekonomi lainnya (Nittu, 2005). Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah administrasi. Aliran air selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga dimanfaatkan oleh penduduk yang berada di wilayah hilirnya yang secara administratif dan atau politik berbeda. Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air sangat erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut (Karyana, 2007).

Upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air berkelanjutan (Edwarsyah, 2008). Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumber daya air (SDA). Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah (Saiki, 2004). Sumber daya air (SDA) mempunyai sifat mengalir dan dinamis serta berinteraksi dengan sumber daya lain sehingga membentuk suatu sistem (Nuddin, 2007). Dengan demikian, pengelolaan SDA akan berdampak pada kondisi sumber daya lainnya dan sebaliknya. Pengelolaan SDA Terpadu mengisyaratkan pengelolaan SDA yang utuh dari hulu sampai hilir dengan basis daerah aliran sungai dalam satu pola pengelolaan SDA tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya (Sjarief, 2009). Oleh karena itu,

agar pengelolaan berbagai sumber daya tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara optimal, maka diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu antar lembaga dan antar wilayah serta berkelanjutan.

Kompleksitas dan banyaknya pihak yang terlibat dan berkepntingan dalam pengelolaan SDA dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah.

Gambar 3 Kompeksitas pengelolaan SDA

Sumber daya air alamiah berada di dalam wilayah hidrologis yang disebut daerah aliran sungai (DAS). Ketersediaan SDA dalam setiap DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan hidrogeologi setempat sehingga mengakibatkan adanya DAS dengan ketersediaan air yang melimpah dan DAS yang sangat kekurangan air. Sumber daya air memiliki tiga fungsi yaitu fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Mereka tidak berdiri sendiri-sendiri akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya sehingga dapat dirumuskan bahwa SDA mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi. Hal ini konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya sektor industri yang memerlukan ketersediaan air baku, mengurangi kemiskinan serta mengubah pola produksi dan konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat, peningkatan kualitas hidup dan kesehatan lingkungan keairan. Dimensi lingkungan meliputi upaya pengurangan dan

Departemen PU Departemen Kehutanan Swasta dan Masyarakat Stakeholders lain Pemerintah Daerah dan Pusat Departemen ESDM SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN : SUNGAI SUMBERDAYA LAHAN: Hutan (Catchement Area), Sawah dan Industri IRIGASI Kebutuhan Pertanian Lain PLTA Kebutuhan industri Kebutuhan Air Baku

SUMBER AIR MINUM

Eksploitasi Alih fungsi Lahn untuk investasi dan peningkatan PAD

K ete rh ub un ga n su m be rd ay a ai r da n la ha n Departemen PU Departemen Kehutanan Swasta dan Masyarakat Stakeholders lain Pemerintah Daerah dan Pusat Departemen ESDM SUMBERDAYA AIR PERMUKAAN : SUNGAI SUMBERDAYA LAHAN: Hutan (Catchement Area), Sawah dan Industri IRIGASI Kebutuhan Pertanian Lain PLTA Kebutuhan industri Kebutuhan Air Baku

SUMBER AIR MINUM

Eksploitasi Alih fungsi Lahn untuk investasi dan peningkatan PAD

K ete rh ub un ga n su m be rd ay a ai r da n la ha n

pencegahan terhadap polusi, pengolahan limbah serta konservasi. Pembangunan dalam pengelolaan SDA yang ditopang oleh ketiga aspek tersebut harus bersinergi satu sama lain. Guna mencapai ketiga aspek diatas maka strategi pembangunan harus memenuhi persyaratan diantaranya sistem politik yang menjamin secara efektif partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Sistem ekonomi dan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan manfaat secara berkesinambungan. Sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap permasalahan yang timbul karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan.

Sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan (sustainable water resources management systems) merupakan sistem pengelolaan SDA yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat (sosial dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya (Pasandaran, Zuliasri dan Sugiharto, 2002). Pembangunan di bidang SDA pada dasarnya adalah upaya untuk memberikan akses secara adil kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan air agar mampu berkehidupan yang sehat, bersih dan produktif (Burke, 2006). Pasokan air untuk mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya sesuai dengan yang dibutuhkan (Katiandagho, 2007).

Pola pengelolaan SDA merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi SDA, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Pengelolaannya disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah administrasi yang bersangkutan. Pola pengelolaan SDA memuat tujuan dan dasar pertimbangannya, skenario kondisi wilayah sungai pada masa yang akan datang, strategi pengelolaannya dan kebijakan operasional untuk melaksanakan strategi pengelolaan SDA (Sjarief, 2009). Penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha, baik koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah maupun badan usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan SDA, tetapi berperan juga dalam proses

perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan, pemantauan serta pengawasan atas pengelolaan SDA.

Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk yang menjadi dasar bagi penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air oleh setiap sektor dan wilayah administrasi. Rencana induk tersebut memuat pokok-pokok program tersebut yang meliputi upaya fisik dan nonfisik, termasuk prakiraan kelayakan serta desain dasar upaya fisik. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah (Sjarief, 2009).

Upaya mewujudkan asas keseimbangan dan asas keadilan dalam pengelolaan SDA, dapat dilakukan dengan menyatukan beberapa DAS dalam satu wilayah pengelolaan yang disebut wilayah sungai. Hal ini dilakukan agar wilayah tersebut mampu mencukupi kebutuhan SDA bagi wilayahnya. Penyatuan beberapa DAS kedalam wilayah sungai tetap mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pengelolaannya. Namun demikian dalam perkembangannya pengelolaan wilayah sungai semakin rumit dengan semakin banyaknya institusi yang terlibat dalam dalam segmen-segmen yang terpisah mengikuti kewenangan kementerian/lembaga yang membentuknya.

Secara umum, pengelolaan SDA pada daerah aliran sungai dapat dikelompokan pada tiga pendekatan yang menekankan pada: (1) Konservasi; (2) Pengelolaan secara hidrologis; dan (3) Pengelolaan dalam perspektif otonomi daerah. Menurut pendekatan yang pertama, pengelolaan sumber daya air khususnya catchment area merupakan konservasi sumber daya hutan yang bertujuan menciptakan kondisi hidrologis (tangkapan, pengaliran dan penggunaan air sungai) yang optimal. Pengelolaan menurut sistem pertama ini melibatkan berbagai kepentingan dan lintas pemerintahan, baik secara horizontal (antar pemerintahan setingkat) maupun vertikal (antar tingkatan pemerintahan). Menurut

pendekatan kedua, pengelolaan DAS harus dikelola melalui pendekatan hidrologis. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem sumber daya air merupakan suatu sistem yang mencakup subsistem daerah tangkapan air

air. Menurut pendekatan ketiga yaitu perspektif otonomi daerah, pengelolaan DAS bertumpu pada batas-batas pemerintah otonom, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pengelolaan DAS dengan persepektif ketiga ini menekankan kewenangan pada pemerintah daerah sebagai pemerintah yang otonom untuk mengelola urusan diluar urusan pemerintah pusat. Ketiga bentuk pengelolaan DAS tersebut memiliki perbedaan dan membawa implikasi seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai

Pendekatan Letak Perbedaan Implikasi Teknis dan Organisasi

Konservasi Menekankan pemeliharaan sumber daya hutan di hulu dan sepanjang aliran sungai

Rehabilitasi di hulu dan sepanjang DAS. Pengelolaan catchment area

menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan

Hidrologis Menekankan pengelolaan DAS (river basin)

Pengelolaan secara utuh (intregated water resources management) menjadi kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum

Otonomi Daerah

Menekankan kewenangan pemerintah daerah tempat DAS berada sesuai dengan batas-batas administratif

Pengelolaan wilayah DAS menjadi urusan pemerintah daerah.

Pengelolaan terbagi-bagi, tidak utuh

Selanjutnya secara global telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan sumber daya air dari semula hanya mencakup sektor air (hydrocentric), yang memandang air sebagai sumber daya yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum, menjadi pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air dengan pendekatan baru ini dikenal sebagai pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources

management IWRM). Pendekatan ini mendorong pengembangan dan

pengelolaan air, lahan dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara adil, dengan tetap memelihara keberlanjutan ekosistem yang vital (Dublin principle).

Hooper (2003) mengidentifikasikan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara dalam memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan hidup manusia dan lingkungan ternyata lebih merupakan krisis pengelolaan (governance) dibandingkan dengan krisis air. Diperlukan adanya pengelolaan yang efektif, memiliki kapasitas yang memadai, dan mampu menangani berbagai tantangan permasalahan air. Water governance meletakkan IWRM pada

pengelolaan daerah aliran atau wilayah sungai, dan peranserta masyarakat dan pemangku kepentingan akan sumber daya air. Perubahan pengelolaan ini menyiratkan perlunya kebijakan baru, strategi baru, peraturan serta kelembagaan baru untuk dapat melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan prinsip IWRM.

Selanjutnya Sjarief (2009) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya air adalah substansi yang kompleks dan padat konfik sehingga memerlukan perubahan lembaga dan menata ulang peran para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam masyarakat. Pemangku kepentingan perlu mewujudkan pengelolaan yang adil, efektif, efisien dan berkelanjutan sehingga perubahan kinerja perlu dilakukan. Kemitraan dari semua pihak yang berkepentingan dan kelompok yang terpengaruh adalah mekanisme yang perlu dalam proses pengelolaan sumber daya air terpadu untuk mewujudkan keadilan sosial, efisiensi dan keberlanjutan.

1. People support what the help create, orang-orang akan mendukung apa yang ikut yang mereka rumuskan.

2. When more people are heard fewer asset are wasted. Kalau lebih banyak mendengar saran dan masukan, maka wasted akan menjadi lebih sedikit.

Lembaga pengelola wilayah sungai atau bisa disebut river basin organization (RBO) memiliki peluang yang baik untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air (Napitupulu, 2005). IWRM mensyaratkan perlunya satu sungai dikelola kedalam satu kesatuan sistim yang utuh dari hulu hingga muara yang tidak dapat dipilah-pilah oleh batas administrasi pemerintahan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 7 tentang Sumber Daya Air, bahwa air mempunyai fungsi sosial, lingkungan maupun ekonomi. Oleh karena itu dalam operasionalisasinya konsep IWRM harus dilaksanakan berdasarkan tiga pilar utama yaitu berwawasasn lingkungan, berkeadilan sosial dan pendanaan yang berkesinambungan dalam sistem pengelolaan yang terintegrasi, sebagaimana pada Gambar 4.

Gambar 4 Sistem pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Dalam mewujudkan ketiga pilar tersebut diperlukan pembagian kewenangan dan keterkaitan yang erat baik antara unit-unit pengelola yang terlibat maupun koordinasi dan komunikasi antara unit pengelola dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk wadah koordinasi yang efektif dengan menempatkan wakil-wakil dari seluruh pemangku kepentingan. Sementara, pemerintah berperan menjembatani program – progam pembangunan serta mensosialisasikan kebijakan atau peratuan baru kepada pemda kabupaten/kota, serta memotivasi masyarakat untuk berperanserta baik dalam pelaksanaan pembangunan prasarana maupun pengelolaan sumber daya air.

Pengelolaan yang efektif tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa dukungan pendanaan yang berkesinambungan sehingga peran pemerintah daerah dan peran serta masyarakat menjadi sangat penting. Bilamana kerjasama dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dan pengelola dapat disinkronkan dan terintegrasi serta didukung dengan tersedianya tata cara yang jelas dalam pengaturan kelembagaan, manajemen pelaksanaan pengelolaan serta mekanisme pendanaannya maka dapat dicapai IWRM yang berkelanjutan, terintegrasi dan holistik.

Aspek Ekonomi Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan Aspek Ekologi Aspek Sosial KELEMBAGAAN PENDANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

Ketersediaan Air baku