• Tidak ada hasil yang ditemukan

V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN

5.1 Masukan Utama Model (Main Input) 1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan

5.1.3 Opsi Pengelolaan Sumberdaya

Untuk menentukan opsi pengelolaan sumberdaya alam yang paling layak dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, dibuat peringkat dari beberapa opsi pengelolaan yang ada dengan menggunakan teknik perbandingan indeks kinerja.

a. Opsi Pengelolaan Sumberdaya/Habitat Mangrove

Penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir

dan laut Teluk Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 48. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 49.

Tabel 48. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan sumberdaya/

habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten

No. Opsi pengelolaan Kriteria

NPV (USD) BCR 1. Sustainable management 4.956.640,85 5,96 2. Milkfish sylvofishery 3.066.800,88 2,74 3. Polyculture sylvofishery 3.118.918,91 2,76 4. Shrimp sylvofishery 3.263.940,88 2,80 Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 49. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan

sumberdaya/habitat mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi Peringkat NPV (USD) BCR 1. Sustainable management 161,6 217,5 195,1 1 2. Milkfish sylvofishery 100,0 100,0 100,0 4 3. Polyculture sylvofishery 101,7 100,7 101,1 3 4. Shrimp sylvofishery 106,4 102,2 103,9 2 Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 49 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1,2,3 dan 4 masing- masing adalah 195,1; 103,9; 101,1 dan 100,0. Berdasarkan nilai tersebut, maka

opsi pengelolaan 1 yaitu sustainable management menempati peringkat 1, disusul

menempati peringkat 3 dan milkfish sylvofishery menempati peringkat 4. Hasil ini

juga menunjukkan bahwa sustainable management merupakan opsi pengelolaan

sumberdaya/habitat mangrove yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah

pesisir dan laut Teluk Banten. Melalui opsi ini, konversi mangrove yang

berlangsung secara massive dinilai perlu segera dihentikan; bahkan penanaman

kembali lahan mangrove yang kini telah beralih fungsi perlu mendapatkan

prioritas.

b. Opsi Pengelolaan Shallow Water Resources

Penilaian opsi pengelolaan shallow water resources di wilayah pesisir dan

laut Teluk Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 50. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 51.

Tabel 50. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan shallow water

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR

1. Coral reef protected areas 1.659.268,64 1,35

2. Sustainable harvest 7.076.463,52 3,97

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 51. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan shallow

water resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi Peringkat

NPV (USD) BCR

1. Coral reef protected areas 100,0 100,0 100,0 2

2. Sustainable harvest 426,5 294,1 347,1 1

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 51 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1 dan 2 masing- masing adalah 347,1 dan 100,0. Berdasarkan nilai tersebut, maka opsi pengelolaan

1 yaitu sustainable harvest menempati peringkat 1, disusul oleh coral reef

protected areas yang menempati peringkat 2. Hasil ini juga menunjukkan bahwa sustainable harvest merupakan opsi pengelolaan shallow water resources yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten.

Melalui opsi ini, perlu dilakukan penataan kembali berbagai kegiatan budidaya

rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat agar tetap memenuhi standard

kelayakan ekologis yang telah ditetapkan dan peningkatan produktivitas secara berkesinambungan.

c. Opsi Pengelolaan BeachResources

Penilaian opsi pengelolaan beachresources di wilayah pesisir dan laut Teluk

Banten dilakukan menggunakan matriks awal yang disajikan pada Tabel 52. Hasil penilaian berupa matriks hasil transformasi pada Tabel 53.

Tabel 52. Matriks awal penilaian opsi pengelolaan beach resources

di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No. Opsi pengelolaan NPV (USD) BCR

1. Beach protected areas 4.286.609.192,48 7,30

2. Set back zone 4.896.186.866,75 6,54

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 53. Matriks hasil transformasi dan hasil penilaian opsi pengelolaan beach

resources di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

No Opsi pengelolaan Kriteria Nilai

opsi

Peringkat

NPV (USD) BCR

1. Beach protected areas 100,0 111,6 107,0 1

2. Set back zone 114,2 100,0 105,7 2

Bobot kriteria 0,4 0,6

Tabel 53 menunjukkan, bahwa nilai opsi pengelolaan 1 dan 2 masing- masing adalah 107,0 dan 105,7. Berdasarkan nilai tersebut, maka opsi pengelolaan

1 yaitu beach protected areas menempati peringkat 1, disusul oleh set back zone

yang menempati peringkat 2. Hasil ini juga menunjukkan bahwa beach protected

areas merupakan opsi pengelolaan beach resources yang dinilai paling layak dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Melalui opsi ini, perlu dilakukan berbagai langkah nyata untuk melindungi wilayah pantai, mengingat kecenderungan yang terjadi selama ini menunjukkan, bahwa berbagai proses baik yang bersifat alami maupun antropogenik seperti abrasi, akresi dan reklamasi

pantai, cenderung menimbulkan dampak yang merugikan baik dari aspek biofisik, ekonomi maupun sosial.

5.1.4 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang a. KebijakanPemanfaatan Ruang

Dengan mengacu pada UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, dipahami bahwa kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah merupakan syarat paling mendasar yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemeliharaan lingkungan yang baik. Untuk mengakomodasi kepentingan tersebut,

strategicinvestment planning yangdiimplementasikan dalam konteks sustainable

spatial planning merupakan opsi yang sangat mungkin untuk dilakukan

(Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).

Dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dilakukan dengan memperhatikan pola kemitraan

(partnership) antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam rangka

menciptakan sense of belonging dan sense of developing dari para stakeholders.

Disain pemanfaatan ruang wilayah dirancang dalam kerangka pemanfaatan ruang berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan geografik dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada dan mengurangi beban ekologik pada bagian wilayah yang

telah overburden. Untuk mengembangkan kebijakan yang bersifat conserving the

biodiversity, disain pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut Teluk Banten juga dirancang dengan memperhatikan beberapa aspek penting seperti koridor-koridor

ekologi, buffer zones, rural zones dan integrasi perencanaan antara daratan dan

lautan.

b. Pemanfaatan Ruang Darat (Existing Condition) dan Pergeseran Garis Pantai

Berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini, secara garis besar kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten dibedakan menjadi 2 bagian wilayah. Bagian pertama adalah kecamatan-kecamatan di wilayah timur Teluk Banten yang

merupakan rural area dengan lokasi permukiman penduduk tersebar dan

pemanfaatan ruang utama berupa sawah tadah hujan dan tambak (perikanan

menempati area yang relatif sempit di kawasan pantai. Bagian wilayah ini meliputi kecamatan-kecamatan Kasemen, Pontang, Tirtayasa dan Tanara. Di kecamatan Kasemen, terdapat Kota Banten Lama, sebuah situs purbakala yang secara keruangan sebenarnya hanya menempati wilayah yang kecil saja, tetapi mempunyai nilai sejarah yang tinggi.

Bagian kedua adalah kecamatan-kecamatan di wilayah barat Teluk Banten

yang juga masih merupakan rural area dengan lokasi permukiman penduduk

tersebar tetapi dengan pemanfaatan ruang utama berupa semak belukar/hutan dan tegalan/ladang. Bagian wilayah ini meliputi kecamatan-kecamatan Puloampel, Bojonegara dan Kramatwatu. Semak belukar terdapat di daerah perbukitan di sekeliling Gunung Gede (masuk dalam wilayah kecamatan Bojonegara dan Puloampel); sedangkan lahan hutan dijumpai di Kecamatan Bojonegara dan Kramatwatu.

Dari perspektif biofisik, kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh perkembangan dua kota utama di sebelah selatan teluk, yaitu

Serang dan Cilegon. Secara ekologis, Serang berlokasi di catchment area Sungai

Cibanten yang dicirikan oleh tingginya aktivitas permukiman dan pertanian. Melalui Sungai Cibanten, limbah domestik yang berasal dari Serang dan limbah pertanian dari daerah-daerah di sekitarnya dialirkan ke Teluk Banten. Cilegon

berlokasi di catchment area Sungai Cilengkong yang dicirikan oleh aktivitas

perindustrian dengan intensitas yang tinggi. Melalui Sungai Cilengkong, limbah industri yang berasal dari Cilegon dan daerah-daerah di sekitarnya juga dialirkan ke Teluk Banten. Selain Kota Serang dan Cilegon, di bagian timur Kabupaten Serang kini tengah berkembang Kragilan, sebuah pusat pertumbuhan baru yang semakin padat oleh aktivitas perindustrian dan permukiman. Secara ekologis,

Kragilan yang berlokasi di catchment area Sungai Ciujung mengalirkan limbah

industri dan domestik dari daerah-daerah di sekitarnya ke Teluk Banten melalui sungai tersebut.

Di antara keseluruhan pulau yang tersebar di wilayah perairan Teluk Banten, Pulau Panjang merupakan pulau terbesar yang dihuni oleh sekitar 2.500 penduduk dengan pemanfaatan lahan utama berupa pertanian/perkebunan. Di pulau-pulau lainnya, lahan yang ada digunakan sebagai wilayah perlindungan

alam. Kondisi pemanfaatan ruang darat di tujuh kecamatan pesisir Teluk Banten disajikan pada Gambar 10.

Di sepanjang pantai barat Teluk Banten, sejak tahun 1999 telah berlangsung aktivitas reklamasi pantai yang cukup intensif. Reklamasi pantai adalah aktivitas pengurugan laut untuk diubah menjadi daratan. Area reklamasi yang kini luasnya telah mencapai ±180 ha itu berlokasi di Desa Bojonegara, Argawana, Mangureja, dan Margagiri. Lahan hasil reklamasi digunakan untuk keperluan pembangunan

pelabuhan (harbour), jetty dan industri. Aktivitas reklamasi yang berlangsung

intensif berdampak pada terjadinya pergeseran garis pantai di Kecamatan

Bojonegara seperti diilustrasikan pada Gambar 11. Aktivitas reklamasi pantai di

Kecamatan Bojonegara merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan hidup komunitas padang lamun di sekitar pulau-pulau kecil seperti Pulau Tanjungbatu,

Pulau Cikantung dan Pulau Kamanisan.

Pergeseran garis pantai yang terjadi di pesisir Teluk Banten, tidak hanya disebabkan oleh aktivitas reklamasi saja, tetapi juga karena akresi dan abrasi. Akresi adalah bertambah luasnya daratan yang berbatasan dengan laut karena proses sedimentasi, baik oleh aktivitas sungai maupun air laut di sekitarnya. Di pesisir Teluk Banten, akresi dijumpai di daerah Tanjung Tengkurak, dimulai dari Desa Tengkurak memanjang ke arah utara, searah dengan aliran Sungai Ciujung sampai ke Tanjung Tengkurak. Pertambahan luas daratan yang terjadi karena

akresi sejak tahun 1942 sampai tahun 2002 diperkirakan mencapai 26 km2.

Abrasi adalah berkurangnya daratan yang berbatasan dengan laut sebagai akibat dari kegiatan air laut, ombak dan arus. Abrasi biasanya meninggalkan jejak

berupa garis pantai yang bergerigi dengan tebing berbentuk cliff berukuran rendah

(kurang dari 1 m) atau bentuk-bentuk lain sesuai dengan keadaan topografi pantai sebelum abrasi terjadi. Di pesisir Teluk Banten, abrasi dijumpai di daerah Tanjung Pontang dengan pengurangan hingga 2 km ke arah darat dengan luasan mencapai

5.857 km2 (sejak tahun 1942 sampai tahun 2002). Abrasi juga terjadi di bagian

utara Desa Lontar dengan pengurangan hingga 1 km ke arah darat (sejak tahun 1962 sampai tahun 2002). Abrasi yang terjadi di pantai timur Teluk Banten tidak

terlepas dari tingginya intensitas konversi mangrove menjadi tambak. Di lokasi

sekali. Pergeseran garis pantai akibat akresi di daerah Tanjung Tengkurak dan abrasi di daerah Tanjung Pontang dan Desa Lontar diilustrasikan pada Gambar 12.

c. Arahan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Darat

Pemanfaatan ruang darat di kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten akan mengalami perubahan mendasar di masa yang akan datang, terutama di wilayah barat, seiring dengan rencana Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Kabupaten Serang yang akan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pertumbuhan pembangunan berskala besar. Pusat pertumbuhan itu merupakan

perluasan dari urban area Cilegon-Serang, dan perluasan dari aksis pertumbuhan

kota Cilegon-Serang-Ciruas di sepanjang koridor tol Jakarta-Merak. Pusat pertumbuhan baru tersebut sekaligus juga merupakan pengembangan dari kawasan industri di Kecamatan Bojonegara, yang bermula dari lingkaran industri di sekitar Gunung Gede, dan perluasan kawasan industri Kragilan di sepanjang Sungai Ciujung di sebelah timur. Pesatnya perkembangan pemanfaatan ruang di wilayah barat, tidak serta merta diikuti oleh perkembangan yang sama di wilayah timur Teluk Banten. Lahan sawah tadah hujan dan tambak yang membentang luas di wilayah timur relatif belum tersentuh perubahan selain oleh perluasan

permukiman perdesaan (rural settlements) dalam skala kecil.

Kondisi perekonomian yang collapsed karena krisis ekonomi dan politik

pada tahun 1998, sempat menunda pelaksanaan sejumlah besar proyek pembangunan di wilayah barat Teluk Banten. Dua buah proyek pembangunan berskala besar yang sempat tertunda pelaksanaannya kala itu, kini telah mulai dilanjutkan kembali, bahkan dengan luasan wilayah yang jauh lebih besar. Kedua buah proyek itu adalah pembangunan Pelabuhan Internasional Bojonegara (PIB) di wilayah barat bagian utara sepanjang 4,2 km dan pembangunan sebuah

industrial estate seluas 1.300 ha di wilayah barat bagian selatan. Pemerintah Provinsi Banten telah menyiapkan lahan seluas 5.000 ha yang berlokasi di 3 kecamatan: Puloampel, Bojonegara dan Kramatwatu untuk pengembangan zona ekonomi khusus PIB (Kompas, 20 Februari 2007). Dalam rencana umum tata ruang Kabupaten Serang bahkan disebutkan, secara keseluruhan, pengembangan zona industri di wilayah barat Teluk Banten memerlukan lahan seluas 11.000 ha.

T E L U K B A N T E N L A U T J A W A P . K a li P . T a r a h a n P . K a m b i n g P . K u b u r P . D u a T g . P o n t a n g P . P a m u j a n K e c il P . P a m u j a n B e s a r P . P a n j a n g N LE G E N D A : P r o y e k s i : Tra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r an s v e rs e M e r c a t o r D a t um H or is o n t a l : W G S 8 4 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N G A N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a R u p a b u m i D i g i ta l I n d o n e s ia s k a l a 1 : 2 5 . 0 0 0 , t a h u n 1 9 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e r a n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A N G 6 2100 0 6 2100 0 6 3000 0 6 3000 0 6 3900 0 6 3900 0 6 48 00 0 6 48 00 0 6 5700 0 6 5700 0 9 3 2 4 0 0 0 9 3 2 4 0 0 0 9 3 3 3 0 0 0 93 3 3 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 9 3 5 1 0 0 0 9 3 5 1 0 0 0 P . T u n d a P . Sa lir a M u a r a U j u n g P E T A P E M A N F A A T A N R U A N G D A R A T K E C A M A T A N P E S I S I R T E LU K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 20 0 0 0 20 0 0 M e te r s P e r m u k im an S a w a h t a d ah h u ja n T a m b a k P e r ke b u n a n S e m a k b el u ka r T a n a h k o so n g S a w a h ir ig a s i T e g a la n R a w a M a n g r ov e K A B . S E R A N G K O T A C I L E G O N K A B . T A N G E R A N G

50 0 0 50 0Me t er s N La m u n LE G E N D A : P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e rs a l T r a n s v e rs e M e r c a t o r D a t u m H o r is o n t a l : W G S 8 4 P E T A P E R G E S E R A N G A R I S P A N T A I P E S IS I R B A R A T T E L U K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N G A N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a L i n g k u n g a n P a n ta i I n d o n e s ia s k a l a 1 : 5 0 . 0 0 0 , t a h u n 1 9 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e ra n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A N G 6 2100 0 6 2100 0 6 240 0 0 6 240 0 0 6 2700 0 6 2700 0 6 3000 0 6 3000 0 6 3300 0 6 3300 0 9 3 3 9 0 0 0 9 3 3 9 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 9 3 4 2 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 93 4 5 0 0 0 G a ri s p an ta i 2 0 0 4 G a ri s p an ta i 1 9 9 4 G a ri s p an ta i 1 9 8 5 K e c . P u l o a m p e l K e c . B o j o n e g a ra T g . K o p o T g . G o r e n j a n g T g . B a j u P . K u b u r P . K a m b in g T E L U K B A N T E N P . T a r a h a n P . P a n ja n g

N LE G E N D A : P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r an s v e rs e M e r c a t o r D a t um H or is o n t a l : W G S 8 4 P E T A P E R G E S E R A N G A R I S P A N T A I P E S IS I R T IM U R T E L U K B A N T E N K A B U P A T E N S E R A N G 2 0 0 7 P R O G R A M S T U D I P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A A L A M D A N L I N G K U N GA N I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R S u m b e r : P e t a L i n g k u n g a n P a n ta i I n d o n e s ia s k a l a 1 : 5 0 . 0 0 0 , t a h u n 19 9 9 A t la s S u m b e r d a y a P e s is i r d a n L a u t K a b u p a t e n S e r a n g , s k a la 1 : 2 0 0 . 0 0 0 t a h u n 2 0 0 2 K A B U P A T E N S E R A NG G a r is p a n t a i 2 0 0 4 G a r is p a n t a i 1 9 4 2 L A U T J A W A M u a r a U ju n g P r o y e k s i : T ra n s v e r s e M e rc a t o r S i s t e m G ri d : G r id U n i v e r s a l T r an s v e rs e M e r c a t o r D a t um H or is o n t a l : W G S 8 4 D e s a T e n g k u ra k D e s a L o n t a r T g . P o n t a n g K A B . T A N G E R A N G 6 4 0 0 0 0 6 4 0 0 0 0 6 4 5 0 0 0 6 4 5 0 0 0 6 5 0 0 0 0 6 5 0 0 0 0 6 5 5 0 0 0 6 5 5 0 0 0 9 3 3 5 0 0 0 93 3 5 0 0 0 9 3 4 0 0 0 0 93 4 0 0 0 0 9 3 4 5 0 0 0 93 4 5 0 0 0 10 0 0 0 10 0 0M e te r s M u a r a U ju n g D e s a T e n g k u ra k D e s a L o n t a r T g . P o n t a n g L A U T J A W A K A B . T A N G E R A N G

Pertumbuhan penduduk pesisir Teluk Banten yang cukup tinggi (rata-rata 2,5% per tahun) cenderung terkonsentrasi di dua kota utama Cilegon dan Serang dan di sepanjang aksis Cilegon-Serang dan Serang-Ciruas-Kragilan. Wilayah

pesisir yang lebih bersifat rural, terutama di bagian timur Teluk Banten,

cenderung menunjukkan tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih rendah. Rencana pengembangan zona industri berskala besar, yang disertai dengan pertumbuhan penduduk di wilayah barat Teluk Banten yang cukup tinggi akan diikuti oleh kebutuhan pengembangan zona permukiman berskala besar pula. Kondisi ini menuntut dilakukannya konversi lahan, terutama lahan pertanian (sawah) dan perikanan budidaya (tambak).

Semak belukar yang terdapat di daerah perbukitan di sekeliling Gunung Gede dan lahan hutan di wilayah Kecamatan Bojonegara dan Kramatwatu, merupakan zona perlindungan alam di wilayah barat Teluk Banten yang perlu

dipertahankan keberadaannya. Zona ini merupakan daerah tangkapan air (water

catchment area) yang penting di wilayah barat Teluk Banten. Gangguan yang

berpotensi merusak keberadaan zona ini berupa aktivitas penambangan batu dan pasir yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah perbukitan Gunung Gede dengan luasan mencapai 6,5 ha. Di wilayah timur, zona perlindungan alam yang ada

(berupa lahan mangrove) sudah cukup kritis kondisinya, bahkan di beberapa

lokasi seperti di sekitar Tanjung Pontang dan pantai utara Desa Lontar, lahan

mangrove sudah terkikis sama sekali sehingga mengakibatkan terjadinya abrasi.

Berdasarkan kondisi pemanfaatan ruang yang ada saat ini (existing

condition), kebutuhan pengembangan zona industri berskala besar serta dengan tetap memperhatikan esensi beberapa koridor ekologi penting, maka arahan kebijakan pemanfaatan ruang darat di kecamatan-kecamatan pesisir Teluk Banten disajikan pada Gambar 13.

d. Pemanfaatan Ruang Laut (Existing Condition)

Secara tradisional, wilayah perairan Teluk Banten telah lama dimanfaatkan oleh para nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan. Nelayan pesisir Teluk Banten melakukan penangkapan ikan terutama di wilayah perairan pada kedalaman kurang dari 10 m. Di wilayah ini, dasar perairan biasanya berupa pasir

berlumpur. Substrat tersebut berasal dari proses sedimentasi beberapa sungai yang bermuara di Teluk Banten.

Menurut jenis kapal, jenis alat tangkap yang digunakan dan data hasil tangkapan, secara garis besar terdapat 3 zona penangkapan ikan di wilayah perairan Teluk Banten (Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang dan PT. Bernala Nirwana, 2004):

a. Zona I.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth 0-5 m.

Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa perangkap pasang

surut (trap), sero (barrier net), sudu (push net), jaring lingkar (encircling

gillnet), jaring udang (bottom trammel net), jala lempar (cast net), pukat

pantai/bondet (beach seine) dan arad (bag net).

b. Zona II.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth 5-10 m.

Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa arad (bag net),

jaring rajungan (bottom gillnet), bubu rajungan (trap), jaring klitik (anchored

surface gillnet), jaring kakap (bottom gillnet), jaring udang (bottom trammel

net), bagan tancap (fixed lift net), pancing rawe (bottom long line) dan pancing

ulur (hand line).

c. Zona III.

Merupakan daerah penangkapan ikan yang berada pada garis isodepth lebih

dari 10 m. Pada zona ini, alat tangkap yang digunakan biasanya berupa jaring

klitik (anchored surface gillnet), jaring kakap (bottom gillnet), pancing rawe

(bottom long line), pancing ulur (hand line), bubu ikan (trap), bagan apung

(lift net), dogol (danish seine) dan payang (boat seine).

Di wilayah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 m, biasanya hanya nelayan dengan kapal dan alat tangkap berskala kecil yang melakukan aktivitas penangkapan. Biota perairan yang hidup di daerah ini di antaranya udang, rajungan, ikan dasar dan ikan pelagis kecil. Nelayan dengan kapal dan alat tangkap berskala menengah ke atas melakukan aktivitas penangkapan di wilayah perairan dengan kedalaman lebih dari 10 m. Biota perairan yang hidup di daerah ini di antaranya ikan dasar, ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Tiga zona

penangkapan ikan di wilayah perairan Teluk Banten diilustrasikan pada Gambar 14.

Selain dimanfaatkan untuk aktivitas penangkapan ikan, sejak tahun 1996 wilayah perairan Teluk Banten juga telah dimanfaatkan untuk aktivitas penambangan pasir laut. Beberapa perusahaan penambang pasir laut telah memiliki Kuasa Pertambangan (KP) dan telah melakukan eksploitasi. Pasir laut dari wilayah perairan Teluk Banten dimanfaatkan sebagai pasir urug pada beberapa proyek reklamasi pantai utara Jakarta dengan permintaan lebih dari

320.000.000 m3 dalam 10 tahun (PT BAT, 2003). Selama peride 1997-2003,

produksi pasir laut dari wilayah perairan Teluk Banten telah mencapai 17.081.000

m3 dengan rata-rata produksi per tahun mencapai 2.500.000-3.000.000 m3

(Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004). Lokasi beberapa KP di wilayah

perairan Teluk Banten diilustrasikan pada Gambar 15. Dari Gambar 15 diketahui

bahwa telah terjadi overlapping (tumpang tindih) di antara ketiga zona

penangkapan ikan dengan beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten yang apabila tidak diantisipasi sejak dini, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Luas dan kandungan pasir laut dari beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten disajikan pada Tabel 54.

Tabel 54. Luas dan volume kandungan pasir laut dari beberapa KP di wilayah perairan Teluk Banten

No. Kuasa Pertambangan Luas (ha) Kandungan (m3)

1. KP 1 dan 2 (KP PS dan PU) 8.687,00 dan 5.350,00 45.069.375,00

2. KP 3 (KP DU 925 / Jabar) 1.999,70 37.744.000,00 3. KP 3 (KP DU 948 / Jabar) 1.970,67 11.593.000,00 4. KP 3 (KP W F00313) 1.970,67 9.929.000,00 5. KP 4 (SBJ) 1.958,00 2.800.000,00 6. KP 5 (KWW1) 2.829,67 28.296.708,00 Total cadangan 135.432.083,00

Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang dan PT. Bernala Nirwana (2004)

e. Arahan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Laut

Perumusan kebijakan pemanfaatan ruang laut di wilayah pesisir Teluk

condition), zona pemanfaatan bersyarat dan zona perlindungan alam di wilayah tersebut.

Selain termasuk ke dalam zona pemanfaatan bersyarat yang keberadaannya diatur oleh Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 33/Men/2002, daerah penangkapan ikan tradisional di wilayah perairan Teluk Banten merupakan sumber penghasilan yang penting bagi nelayan, dan telah memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan perekonomian daerah pada umumnya. Daerah penangkapan ikan tradisional tersebut merupakan sumber utama perikanan dari kecamatan-kecamatan pesisir. Menurut Tabel 24, produksi perikanan kecamatan- kecamatan pesisir Teluk Banten tahun 2004 mencapai 7.454,40 ton, yang terdiri dari produksi perikanan tangkap sebesar 5.910,50 ton dan perikanan tambak sebesar 1.543,90 ton. Total nilai produksi perikanan mencapai Rp. 44.578.460.000,00 yang terdiri dari nilai produksi perikanan tangkap sebesar Rp. 25.606.660.000,00 dan nilai produksi perikanan tambak sebesar Rp.

18.971.800.000,00. Dari Tabel 24dapat diketahui bahwa perikanan laut memiliki

kontribusi besar terhadap produksi perikanan kecamatan-kecamatan pesisir. Produksi perikanan laut mencapai 79,29% dari produksi total dengan nilai produksi mencapai 57,44% dari nilai produksi total.

Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pesisir Teluk Banten merupakan mata pencaharian yang sudah dijalankan secara turun- temurun. Di antara para nelayan, sudah terjalin hubungan kekeluargaan yang baik yang direfleksikan dalam semangat kebersamaan, baik pada saat mempersiapkan aktivitas penangkapan, selama melakukan aktivitas penangkapan di laut, maupun pada saat penjualan hasil tangkapan. Kondisi ini menunjukkan, bahwa aktivitas penangkapan ikan tradisional di perairan Teluk Banten telah memberikan kontribusi yang besar bagi terciptanya hubungan sosial yang baik di antara para nelayan. Gangguan terhadap tingginya semangat kebersamaan justru terjadi pada tahun-tahun terakhir setelah beroperasinya beberapa perusahaan penambangan pasir laut yang dinilai merusak daerah penangkapan ikan tradisional sehingga menurunkan hasil tangkapan nelayan.

Dengan kearifan tradisional yang dimiliki, dan sebagai mata pencaharian yang sudah dijalankan secara turun-temurun, aktivitas penangkapan ikan

tradisional oleh nelayan pesisir Teluk Banten dilakukan secara ramah lingkungan dan jauh dari tindakan yang merusak. Kearifan tradisional telah melandasi kesadaran bahwa perusakan terhadap lingkungan dan sumberdaya laut sebagai sumber kehidupan akan menghancurkan masa depan para nelayan itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, daerah penangkapan ikan tradisional di perairan Teluk Banten perlu dipertahankan keberadaannya, bahkan dilindungi dengan peraturan yang ketat agar tidak rusak dan mampu memberikan pendapatan secara berkelanjutan bagi nelayan.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkannya, baik dampak sosial ekonomi maupun biofisik, beberapa KP pasir laut di wilayah perairan Teluk Banten dinilai perlu ditinjau kembali keberadaannya. Valuasi ekonomi makro tahunan penambangan pasir laut yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang bersama PT. Bernala Nirwana (2004), dengan mengambil contoh dari 1 perusahaan penambangan pasir laut, pemerintah Kabupaten Serang memperoleh pemasukan sebesar Rp. 2.194.103.000,00 per tahun (setara dengan sumbangan sebesar 0,027% terhadap PDRB dan 3,483%