DAFTAR LAMPIRAN
2.2 Potensi dan Permasalahan Wilayah Pesisir dan Laut 1 Sumberdaya Dapat Pulih (Renewable Resources)
Dunia yang kini berada dalam pertumbuhan ekonomi yang pesat, perlu mengimbangi diri dengan melakukan konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang masih tersisa. Perlindungan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut secara berkelanjutan kini menjadi issue penting yang mendapat
perhatian besar para ilmuwan seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin pesat (Joseph dan Balchand, 2000).
Wilayah pesisir dan laut memiliki ekosistem alami yang perlu dijaga
kelestariannya, di antaranya adalah mangrove, terumbu karang (coral reefs),
padang lamun (seagrass beds) dan estuaria. Sumberdaya pesisir dan laut
merupakan penghasil beragam produk dan jasa bernilai ekonomi tinggi, baik bagi
generasi sekarang maupun yang akan datang (Turner et al., 1998). Pengalaman
selama ini menunjukkan, bahwa konservasi terhadap berbagai ekosistem alami yang dilakukan secara terpadu bukan saja menguntungkan secara ekologi tapi juga secara ekonomi dan sosial (Clark, 1998).
Ekosistem pesisir dan laut di daerah tropis mempunyai potensi besar dalam menunjang produksi perikanan. Tingginya produktivitas perairan pada ekosistem
ini mengakibatkan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun
dan estuaria merupakan habitat penting bagi berbagai jenis ikan. Ekosistem ini
berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery
ground) dan sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground)
(Supriharyono, 2002).
Sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, ekosistem mangrove
berlokasi di daerah antara level pasang-naik tertinggi sampai level di sekitar atau
di atas permukaan air laut. Bell dan Cruz-Trinidad (1996) mengatakan, bahwa
Ekosistem mangrove menghasilkan produk dan jasa yang bisa dieksplotasi secara
ekonomi. Ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekologi penting, yakni dalam
hal penyediaan material organik sebagai bahan nutrisi bagi udang/ikan yang masih
muda, retensi sedimen oleh sistem perakaran mangrove, pencegahan erosi,
perlindungan garis pantai dan penyedia habitat bagi banyak spesies akuatik di dataran lumpur dan perakarannya.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang unik. Ekosistem ini dijumpai di daerah tropik, di perairan yang cukup dangkal (kedalaman kurang dari 30 m) dan suhu di atas 20ºC. Menurut Widiati (2000), ekosistem terumbu karang berperan penting sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan biota laut yang bernilai ekonomi tinggi; juga sebagai pelindung pantai dari hantaman gelombang, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya abrasi. Agar bisa tumbuh dengan baik, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, suhu perairan yang hangat, gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar dan terbebas dari proses
sedimentasi (Dahuri et al., 2004).
Seperti terumbu karang, ekosistem padang lamun juga dijumpai hanya di laut dangkal. Tumbuhan lamun dinilai unik bila dibandingkan dengan tumbuhan
laut lainnya, karena perakarannya yang ekstensif dengan sistem rhizome. Daunnya
yang tumbuh lebat bermanfaat untuk mendukung tingginya produktivitas ekosistem (Supriharyono, 2002). Ekosistem padang lamun berperan penting
dalam memerangkap (trapped) sedimen, menstabilkan substrat dasar dan
menjernihkan air. Pola distribusi padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi
alam dan aktivitas manusia (Cunha et al., 2005). Ekosistem padang lamun
menyediakan habitat penting bagi berbagai jenis biota laut, sekaligus merupakan sumber makanan langsung bagi kebanyakan hewan.
Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan kadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dengan air tawar di daerah estuaria menghasilkan komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang beragam (Supriharyono, 2002). Karakteristik kadar garam, suhu dan sedimen di daerah estuaria memberikan konsekuensi pada karakteristik spesies organisme yang hidup di daerah itu. Hewan yang hidup di dalam ekosistem estuaria terdiri dari jenis hewan
laut (kemampuan mentolerir perubahan kadar garam terbatas), hewan air tawar (tidak mampu mentolerir perubahan kadar garam), dan hewan air payau (tidak ditemukan hidup di air laut maupun air tawar) (Widiati, 2000).
Tingginya produktivitas primer di wilayah pesisir dan laut seperti pada
ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuaria memungkinkan
tingginya produktivitas sekunder (produksi perikanan) di wilayah tersebut.
Sampai saat ini, perikanan tangkap berskala kecil (small scale fisheries) yang
diusahakan oleh masyarakat (artisanal) mendominasi jenis perikanan tangkap di
Indonesia. Perikanan rakyat ini biasanya berlokasi di pantai utara Jawa, Selat Malaka, Selat Bali dan Selat Makassar (Supriharyono, 2002). Tingginya aktivitas penangkapan ikan di lokasi-lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya
overfishing beberapa jenis ikan demersal yang berlanjut dengan terjadinya permasalahan sosial.
2.2.2 Sumberdaya Tak Dapat Pulih (Non-renewable Resources)
Sumberdaya tak dapat pulih di wilayah pesisir dan laut terdiri dari sumberdaya mineral dan geologi. Sumberdaya mineral terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis; misalnya minyak, gas dan batu bara), kelas B (mineral vital; misalnya emas, timah dan nikel) dan kelas C (mineral industri; misalnya granit dan pasir). Potensi sumberdaya mineral di wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan penghasil devisa utama dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Cadangan minyak dan gas Indonesia tersebar di 60 cekungan (basins), yang
sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan laut seperti Kepulauan Natuna,
Selat Malaka, pantai selatan Jawa, Selat Makasar dan Celah Timor (Dahuri et al.,
2004). Logam mulia (emas) sekunder diperkirakan terdapat di daerah Selat Sunda (sekitar perairan Lampung), perairan Kalimantan Selatan dan di daerah perairan Maluku Utara serta Sulawesi Utara.
Sumberdaya geologi yang telah dieksploitasi adalah bahan baku industri dan bahan bangunan; antara lain pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi. Pemanfaatan sumberdaya geologi di wilayah pesisir dan laut diupayakan agar tetap memperhatikan konsep keberlanjutan sehingga bisa menjamin ketersediaan sumberdaya tersebut selama mungkin.
2.2.3 Pencemaran
Pencemaran wilayah pesisir dan laut terjadi karena adanya konsentrasi permukiman, pertanian, pariwisata dan industri. Berbagai aktivitas tersebut sering menimbulkan gangguan baik secara langsung maupun tidak terhadap ekosistem pesisir dan laut melalui limbah yang dihasilkannya. Penduduk pesisir memberikan 90% sumbangan pencemaran di wilayah ini, berupa bahan-bahan pencemar dari
daratan (land-based pollutants) seperti limbah rumah tangga, limbah industri dan
bahan-bahan toksik lainnya (Joseph dan Balchand, 2000).
Menurut Supriharyono (2002), ada tiga tipe bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di lingkungan laut; yaitu tipe patogenik,
estetik dan ekomorfik. Bahan pencemar tipe patogenik (pathogenic pollutants)
adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bahan
pencemar tipe estetik (aesthetic pollutants) yaitu bahan pencemar yang
menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak nyaman untuk indera
mata, telinga dan hidung. Bahan pencemar tipe ekomorfik (ecomorphic
pollutants) adalah bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik lingkungan.
Dilihat dari asal bahan pencemarnya, diketahui ada dua macam bahan pencemar (limbah) yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah domestik
adalah limbah yang berasal dari aktivitas masyarakat urban yang biasanya
mengandung sampah padat (berupa tinja) dan cair yang berasal dari sampah rumah tangga. Limbah domestik memiliki lima karakteristik, yaitu mengandung bakteri, parasit dan kemungkinan virus dalam jumlah banyak; serta mengandung
bahan organik dan padatan tersuspensi sehingga nilai biological oxygen demand
(BOD)-nya tinggi. Selain itu juga mengandung padatan (organik dan anorganik) yang mengendap di dasar perairan; memiliki kandungan unsur hara (terutama fosfor dan nitrogen) yang tinggi; serta mengandung bahan-bahan terapung (organik dan anorganik) di permukaan air atau berada dalam bentuk tersuspensi.
Dalam beberapa kasus, limbah industri sulit larut dalam air. Limbah industri cenderung mengapung di permukaan air. Beberapa jenis limbah industri ada yang secara langsung meracuni kehidupan perairan seperti sianida, fenol dan sodium pentaklorofenat. Ada juga yang tidak secara langsung meracuni kehidupan
perairan, tetapi merubah kualitas lingkungan dengan turunnya oksigen terlarut untuk perombakan bahan-bahan organik. Beberapa jenis limbah mungkin mengalami bioakumulasi sehingga permasalahannya menjadi sangat lama.
Limbah industri merupakan land-based pollutants yang telah terbukti
menimbulkan kerusakan lingkungan laut secara signifikan (MacDonald, 2005). Limbah industri berpotensi menyebabkan terjadinya eutrofikasi, sebuah fenomena
di mana perairan menerima kelebihan nutrient dan ditandai oleh adanya algal
blooms (red tides). Berbagai jenis logam berat yang terdapat di dalam limbah industri (misalnya arsen, kadmium, kobalt, kromium, merkuri dan seng)
berpotensi menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan kronis pada manusia.
2.2.4 Degradasi dan Deplesi Sumberdaya Alam
Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang kini tenga h mengalami
permasalahan berat yang mengancam daya lenting (resilience) ekosistem tersebut
(Turner et al., 1998). Permasalahan tersebut terutama menyangkut trade-off
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu antara kepentingan ekonomi dan preservasi ekologi. Worm (1998) mengatakan, bahwa pada umumnya permasalahan yang dihadapi wilayah ini berupa pencemaran, reklamasi pantai
serta pembangunan perkotaan dan infrastruktur terkait lainnya. Ekspansi coastal
aquaculture secara massive telah menimbulkan dampak sosial ekonomi dan
biofisik yang besar. Kondisi itu terkait dengan hilangnya lahan basah pantai, tingginya tingkat keasaman, salinisasi air tanah dan lahan pertanian serta hilangnya produk dan jasa yang dihasilkan oleh ekosistem alami (Chua, 1992).
Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, terdapat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya pesisir dan laut) demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Setelah lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004, kecenderungan tersebut justru nampak semakin besar. Nelson dan Geoghegan (2002), bahkan mengatakan bahwa para pengambil keputusan di negara-negara sedang berkembang selalu dihadapkan pada persoalan klasik eksploitasi sumberdaya secara berlebih manakala pertumbuhan ekonomi atau konservasi ekologi menjadi pilihan. Persepsi yang mengatakan bahwa sumberdaya
alam dapat dijadikan andalan bagi peningkatan PAD, sering menimbulkan fenomena pengurasan sehingga timbul bahaya lingkungan yang mengakibatkan biaya sosial yang tinggi. UU No. 32 Tahun 2004 pada hakekatnya memberikan peluang kepada daerah untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam yang ada bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan jaminan keseimbangan fungsi lingkungan.
Menurut Fauzi dan Anna (2005) degradasi dan deplesi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut lebih banyak bersifat antropogenik (disebabkan oleh manusia) baik berupa aktivitas produksi (penangkapan/eksploitasi) maupun aktivitas non-produksi (pencemaran limbah domestik dan industri). Degradasi mengacu pada terjadinya penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat
diperbarui (renewable resourcres). Deplesi mengacu pada terjadinya
pengurangan cadangan sumberdaya alam tak dapat diperbarui (non-renewable
resources). Depresiasi digunakan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam (pengukuran tingkat degradasi dan deplesi yang dirupiahkan).
2.3 Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut