• Tidak ada hasil yang ditemukan

V MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN

5.2 Model Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan

5.2.8 Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis terhadap tiga skenario, hasil optimasi dan perubahan kinerja model menurut skenario yang ditetapkan, maka kebijakan yang direkomendasikan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan lingkungan

Periode Periode

berikut:

a. Pengelolaan sumber dampak.

Kebijakan ini diarahkan untuk menjamin kelestarian fungsi ekosistem pesisir dan laut Teluk Banten. Pengelolaan sumber dampak yang dilakukan secara terpadu dimaksudkan untuk mengefektifkan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten, sehingga tujuan keberlanjutan yang direncanakan dapat dicapai dengan baik. Aktivitas antropogenik di lahan atas (pertanian, industri, permukiman dan pertambangan) berpotensi menimbulkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merusak ekosistem pesisir dan laut (berupa bahan pencemar dan sedimen). Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif aktivitas antropogenik di lahan atas di antaranya sebagai berikut: 1. Pengurangan secara bertahap pemakaian berbagai jenis bahan kimia yang

biasa digunakan untuk mengendalikan hama/penyakit dan untuk meningkatkan produksi pertanian serta mensubstitusinya dengan bahan alami yang lebih ramah lingkungan.

2. Pencegahan erosi melalui teknik pertanian yang dilakukan secara bertanggungjawab sehingga dapat mengurangi volume sedimen yang

terbawa aliran permukaan (run-off).

3. Pengelolaan limbah domestik melalui pemanfaatan septic tank dan

penerapan gaya hidup sehat dengan tidak melakukan mandi cuci kakus (MCK) langsung di sungai (terutama untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah).

4. Penerapan teknik produksi bersih (cleaner production) secara konsisten

untuk menekan volume/konsentrasi limbah industri/pertambangan hingga berada di bawah ambang batas yang ditetapkan.

Aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan laut lepas (penambangan pasir laut dan ekstraksi sumberdaya laut lainnya) juga berpotensi menimbulkan dampak yang sama atau bahkan lebih hebat lagi. Penghentian total (moratorium) aktivitas penambangan pasir laut merupakan opsi kebijakan yang tidak dapat dihindarkan lagi, mengingat aktivitas tersebut terbukti telah

maupun sosial. Langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan dalam rangka moratorium aktivitas penambangan pasir laut di perairan Teluk Banten diuraikan sebagai berikut:

1. Pencabutan izin penambangan pasir laut oleh Pemerintah Kabupaten dengan dukungan bukti-bukti ilmiah berupa kerugian baik dari aspek biofisik, sosial maupun ekonomi yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding dengan potensi manfaat yang mungkin diperoleh.

2. Pengembalian fungsi kawasan perairan Teluk Banten kepada peruntukan semula, yakni sebagai zona penangkapan ikan tradisional dan zona

pemanfaatan bersyarat, misalnya untuk kegiatan marine ecotourism.

3. Penegakan hukum secara konsisten dan pemberian sanksi kepada pihak- pihak yang melakukan pelanggaran sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

b. Insentif investasi.

Kebijakan ini diperlukan selain untuk menekan tingginya biaya investasi di berbagai kegiatan ekonomi sektor kelautan, juga untuk merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi baru di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Beberapa insentif investasi yang dapat diimplementasikan di antaranya:

1. Penyederhanaan perizinan investasi. Mekanisme ini dapat ditempuh misalnya melalui sistem pelayanan terpadu di bawah satu atap.

2. Keringanan pembayaran bea masuk dan bea masuk tambahan untuk barang modal yang terkait dengan peningkatan produksi sektor kelautan.

3. Keringanan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) untuk impor barang modal/mesin yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan produk ekspor. 4. Penangguhan pembayaran PPN dan pajak penghasilan (PPh) untuk

menggalakkan ekspor produksi sektor kelautan.

5. Penurunan suku bunga kredit investasi bagi investor di sektor kelautan.

6. Tax holiday untuk beberapa usaha sektor kelautan yang jangka waktu

tanamnya lama dan resiko kerugiannya tinggi.

terkena dampak eksternal merupakan kebijakan yang cukup menarik. c. Pengembangan industri.

Perlu dibangun sebuah grand strategy pengembangan industri nasional yang

didukung oleh aspek hukum yang jelas dan dituangkan secara nyata dalam program pembangunan di daerah, khususnya di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten. Dalam implementasinya, perlu ditegaskan secara spesifik jenis industri yang dikembangkan adalah industri yang memiliki prospek pasar yang baik, nilai tambah yang tinggi, dan bersifat ramah lingkungan

(environmentally friendly). Dengan menggunakan kriteria ini, diperlukan prioritas kebijakan untuk melakukan pergeseran jenis industri di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dari jenis-jenis industri konvensional menuju ke

arah jenis industri dimaksud. Industri berbasis teknologi tinggi (hi-tech based

industry) merupakan alternatif jenis industri yang dapat dipertimbangkan untuk kepentingan tersebut.

d. Perlindungan fisik habitat.

Kebijakan ini dapat dilakukan melalui pengamanan kawasan ekosistem

mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta koordinasi lintas sektoral. Langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh di antaranya melalui peningkatan kesadaran masyarakat akan nilai penting ekosistem pesisir (langkah ini harus disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraan); peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan perlindungan ekosistem

(dalam rangka penanaman social responsibility); serta internalisasi biaya

eksternal dalam valuasi ekonomi sumberdaya untuk mendukung proses pengambilan keputusan (selama ini sumberdaya pesisir dan laut selalu dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis-jenis kegiatan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek, misalnya industri).

e. Pemberdayaan masyarakat.

Kebijakan ini diimplementasikan melalui penataan sistem sosial-ekonomi dan pemberdayaan mental secara terpadu. Langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh melalui penataan sistem sosial-ekonomi di antaranya sebagai berikut:

1. Peningkatan daya beli masyarakat pesisir secara bertahap sesuai dengan

standard minimal UNDP sehingga masyarakat pesisir tidak lagi menjadi

kelompok marginal yang selalu bergantung pada kelompok lain.

2. Pengembangan sistem perkreditan tanpa agunan dan berbunga rendah untuk mendorong pengembangan usaha masyarakat agar tidak selalu bergantung pada sumberdaya alam pesisir.

3. Pemberian kesempatan yang adil bagi semua kelompok masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, sehingga dapat membantu meningkatkan potensi perekonomian dan mendorong masyarakat untuk aktif melindungi lingkungan.

Langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh melalui pemberdayaan mental di antaranya sebagai berikut:

1. Peningkatan taraf pendidikan masyarakat pesisir dari rata-rata lulus SD menjadi lulus SMP dalam kurun waktu 10 tahun pertama dan lulus SMA dalam kurun waktu 10 tahun kedua pada periode pengelolaan. Langkah ini selain berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir secara luas, juga pada peningkatan kapasitas perekonomian secara menyeluruh.

2. Peningkatan ketrampilan masyarakat pesisir di berbagai bidang keahlian vokasional. Langkah ini selain berpotensi mendatangkan kesejahteraan secara ekonomi, juga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada sumberdaya alam pesisir yang semakin terbatas ketersediaannya.

3. Peningkatan fungsi kelembagaan dalam rangka peningkatan peran dan

posisi tawar (bargaining position) masyarakat pesisir. Langkah ini dinilai

penting mengingat masyarakat pesisir selama ini selalu identik dengan

kelompok marginal yang lemah, sehingga selalu tersisihkan dalam setiap

pengambilan keputusan yang sarat dengan konflik kepentingan. f. Optimasi pemanfaatan ruang.

Kebijakan ini diarahkan menuju terciptanya kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah yang merupakan syarat paling mendasar bagi terciptanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan fungsi

mendukung terciptanya pemanfaatan ruang darat yang optimal diuraikan sebagai berikut:

1. Pengaturan secara konsisten pengembangan kawasan industri berskala besar dan kawasan permukiman di pesisir barat Teluk Banten agar tetap memperhatikan kaidah-kaidah perencanaan pemanfaatan ruang berkelanjutan. Memperhatikan kenyataan bahwa pengembangan kawasan industri dan permukiman di pesisir barat Teluk Banten saat ini cenderung

mengikuti skenario business as usual dan dengan tujuan agar

pengembangan tersebut mencapai hasil optimal, seyogyanya laju pengembangan kawasan industri dapat ditekan rata-rata 62,18% per tahun dan laju pengembangan kawasan permukiman dapat ditekan rata-rata 3,35% per tahun hingga pada akhir periode pengelolaan (tahun 2027) total

luas kawasan industri terbangun mencapai 54,15 km2 (5.415 ha) dan total

luas kawasan permukiman terbangun mencapai 92,97 km2 (9.297 ha).

2. Pengaturan secara konsisten agar konversi lahan sawah dan tambak (terutama di pesisir barat Teluk Banten) ma sih tetap mampu menjadikan

kedua jenis lahan basah (wetlands) tersebut sebagai sumber pangan untuk

mendukung kehidupan masyarakat. Memperhatikan kenyataan bahwa konversi lahan sawah dan tambak (terutama di pesisir barat Teluk Banten)

saat ini cenderung mengikuti skenario business as usual dan dengan tujuan

agar konversi tersebut tidak mengganggu ketersediaan pangan bagi masyarakat, seyogyanya laju konversi lahan sawah dapat ditekan rata-rata 65,19% per tahun dan laju konversi tambak dapat ditekan rata-rata 42,45% per tahun, hingga pada akhir periode pengelolaan (tahun 2027) masih

tersisa lahan sawah seluas 42,49 km2 (4.249 ha) dan lahan tambak seluas

20,80 km2 (2.080 ha).

Adapun langkah-langkah strategis untuk mendukung terciptanya pemanfaatan ruang laut yang optimal dilakukan sejalan dengan implementasi kebijakan pengelolaan sumber dampak, khususnya yang berasal dari wilayah hilir (laut lepas). Kebijakan ini seyogyanya diawali dari pencabutan izin penambangan pasir laut oleh Pemerintah Kabupaten, dilanjutkan dengan pengembalian zona

ikan tradisional dan zona pemanfaatan bersyarat) dan penegakan hukum secara konsisten kepada setiap pelanggar aturan.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. New urbanism merupakan skenario paling implementatif pada pengelolaan

lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan. Skenario ini mampu meningkatkan kinerja sektor industri dan investasi secara bersama - sama dengan sektor lainnya. Nilai investasi optimal yang dapat dicapai sebesar USD 580.432.136,37; sedangkan jumlah industri optimal yang dapat dibangun mencapai 828 perusahaan. Peningkatan kinerja sektor industri dan investasi diikuti oleh peningkatan luas lahan industri terbangun. Hasil optimasi dapat menekan peningkatan luas lahan industri terbangun hingga mencapai 5.415 ha. Peningkatan jumlah penduduk juga diikuti oleh peningkatan luas lahan permukiman terbangun. Hasil optimasi dapat menekan peningkatan luas lahan permukiman terbangun hingga mencapai 9.297 ha. Pada sisi lain, peningkatan industri juga diikuti oleh peningkatan produksi limbah. Hasil optimasi dapat

menekan produksi limbah hingga mencapai 312.118.075,34 m3. Penghentian

total (moratorium) aktivitas penambangan pasir laut mampu mempertahankan kandungan pasir laut mendekati posisi yang sama dengan posisi pada awal

periode pengelolaan (134.159.315,68 m3) serta mampu menekan tingkat

kerusakan habitat secara nyata. Peningkatan daya dukung secara optimal

(mencapai 45.975 fish/1.000m3) mampu meningkatkan produksi kelautan

(mencapai 79.744,41 ton untuk ikan laut, 31.856,50 ton untuk ikan tambak dan 140.773,60 ton untuk rumput laut). Kondisi ini memberikan dampak positif berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir hingga mencapai USD 9.285,40. Pengelolaan konflik kepentingan secara baik berhasil mengeliminasi

konflik di kalangan masyarakat hingga zero conflict dapat dicapai relatif lebih

cepat (tidak tersisa lagi konflik mulai tahun 2024).

b. Model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten yang dirancang dengan mengintegrasikan kebijakan yang tepat, melalui

fisik habitat, pengelolaan sumber dampak dan pemberdayaan masyarakat, merupakan model yang implementatif dalam kaitannya dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan pemanfaatan sumb erdaya alam secara berkelanjutan. Pengembangan industri dan insentif investasi berhasil menciptakan banyak peluang kerja (mencapai 189.282 jiwa). Perlindungan fisik habitat dan pengelolaan sumber dampak berhasil memberikan perlindungan fungsi ekosistem secara optimal (penutupan karang dan lamun dapat dipertahankan pada luasan 250 ha dan 370 ha; sedangkan penutupan

mangrove dapat ditingkatkan hingga mencapai luasan 292 ha). Pemberdayaan masyarakat memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan.

5.1 Saran

Untuk mengetahui kinerja sistem secara lebih dalam, perlu dirancang model pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten dalam konteks yang lebih mikro (melibatkan komponen submodel secara lebih terbatas tetapi

dengan tinjauan yang lebih detail). Dengan model yang lebih mikro, alternatif

Adnan, Q. 1980. Fluktuasi dan sebaran Chaetoceros di perairan Teluk Jakarta dan sekitarnya. Dalam: Nontji, A dan A. Djamali [Editor]. Teluk Jakarta: Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi dan Geologi Tahun 1975-1979. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. Jakarta. pp.187-198.

Aguero, M., A. Cruz-Trinidad., E. Gonzales, and F. Bell. 1996. The integrated functional coefficients method for coastal resources valuation. Valuation of Tropical Coastal Resources: Theory and Application of Linear Programming 25: 1-8.

Aguero, M. and X. Flores, 1996. Valuation concept and techniques with applications to coastal resources. Tropical Coastal Resources: Theory and Application of Linear Programming 25: 9-15.

Akil, S. 2001. Penataan ruang propinsi Banten dalam rangka otonomi daerah. Penataan Ruang Dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah. Studi Kasus Propinsi Banten. BKTRN. Jakarta.

Ambarwulan, W. and T.W. Hobma. 2004. Bio-optical model for mapping spatial distribution of total suspended matter from satellite imagery. 3rd FIG Regional Conference Jakarta, Indonesia, October 3-7.

Anderson, V. and L. Johnson. 1997. Systems Thinking Basics. From Concepts to

Causal Loops. Pegasus Communications, Inc. Cambridge.

Bapedal Propinsi Banten dan PKSPL IPB, 2004. Laporan Akhir “Penyusunan Rencana Induk (Grand Design) Pengelolaan Lingkungan Hidup Pesisir dan Laut Propinsi Banten” Tahun Anggaran 2004. Buku 1: Profil Lingkungan Pesisir dan Laut. Bogor: PKSPL IPB.

Barlas, Y. 1996. Formal aspects of Model Validity and Validation System Dynamics. System Dinamics Review 12(3): 183-210.

Bell, F. and A. Cruz-Trinidad. 1996. Options for mangrove management in the Gulf of Guayaquil, Ecuador. Valuation of Tropical Coastal Resources: Theory and Application of Linear Programming 25: 9-31.

Bellinger, G. 2004. Archetypes interaction structures of the universe. http://www.systems-thinking.org/arch/arch.htm. 24 jul 2006

Bappeda dan BPS Kabupaten Serang. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang Tahun 2002-2004. Bappeda dan BPS Kabupaten Serang Serang.

2004/2005. BPS Kabupaten Serang. Serang.

BPS Kabupaten Serang, 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Serang 2004. BPS Kabupaten Serang. Serang.

Bappeda dan BPS Provinsi Banten. 2004. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Banten Tahun 2003. Bappeda dan BPS Provinsi Banten. Serang.

BPS Provinsi Banten. 2005. Luas Lahan di Banten Menurut Penggunaannya Tahun 2004. BPS Provinsi Banten. Serang.

Chua, T.E. 1992. Coastal aquaculture development and the environment : the role of coastal area management. Marine Pollution Bulletin 25 (1-4): 98-103. Clark, J.R. 1998. Coastal zone management for the new century. Ocean & Coastal

Management 37(2): 191.

Cornelissen, A.M.G., J. van den Berg., W.J. Koops., M. Grossman, and H.M.J. Udo. 2001. Assessment of the contribution of sustainability indicators to sustainable development: a novel approach using fuzzy set theory. Agriculture, Ecosystems & Environment 86:173-185.

Cunha, A.H., R.P. Santos, A.P. Gaspar, and M.F. Bairros. 2005. Seagrass landscape-scale changes in response to disturbance created by the dynamics of barrier-islands: a case study from Ria Formosa (Southern Portugal). Estuarine, Coastal and Shelf Science 64(4): 636-644.

Dahuri, R. 1999. Penggunaan model dinamik dalam perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Jurnal Ekonomi Lingkungan 9: 1-16. Dahuri, R. 2000. Pembangunan kawasan pesisir dan lautan: tinjauan aspek

ekologis dan ekonomi. Jur nal Ekonomi Lingkungan 2: 13-33.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Banten dan PUSPICS Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada. 2002. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Serang. Serang.

Douven, W.J.A.M. 1999. Human pressure on marine ecosystems in the Teluk Banten coastal zone: present situation and future prospects. Teluk Banten Research Program Report Series 3: 1-38.

coastal zone management in Banten Bay. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resource Management 3: 1.

Ekins, P. and S. Simon, 2001. Estimating sustainability gaps: methods and preliminary applications for the UK and the Netherlands. Ecological Economics 37: 5-22.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor.

Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Field, B.C. and M.K. Field. 2002. Environmental Economics an Introduction (3ed). McGraw-Hill Higher Education. New York.

Fraser, E.D.G., A. J. Dougill, W. E. Mabee, M. Reed and P. McAlpine, 2006. Bottom up and top down: analysis of participatory processes for sustainability indicator identification as a pathway to community

empowerment and sustainable environmental management. Journal of

Environmental Management 78 (2): 114-127.

French, P.W. 2004. The changing nature of, and approaches to, UK coastal management at the start of the twenty-first century. The Geographical Journal (170).

Giles, P.T. 2002. Historical coastline adjustment at MacVanes Pond Inlet, Eastern Prince Edward Island. The Canadian Geographer (46).

Glimmerveen, M. 2001. Modelling interactions between natural and socio- economic systems: the catch and trade of live fish for food in Teluk Banten, West Java, Indonesia. Teluk Banten Research Program Report Series 5: 1- 45.

Goodman, M.R. 1980. Study Notes in System Dynamics.The MIT Press. Cambridge.

Haeruman, H. 2001. Konsep dan model penataan ruang daerah Banten dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah. Penataan Ruang dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Wilayah. Studi Kasus Propinsi Banten. BKTRN. Jakarta.

Hallegraeff, G.M. 1995. Harmful algal blooms: a global overview. Dalam: Hallegraeff, G.M., D.M. Anderson, A.D. Cambella, and H.O.Enevoldsen [Editor]. Manual on Harmful Marine Microalgae. Manuals and Guides No. 33. Intergovernmental Oceanographic Comission (of UNESCO) pp. 1-22.

Holder, S. 2003. An introduction to coastal zone management, 2nd edition. Journal of the American Planning Association (69).

Johnson, A.K.L. and R.A. Cramb. 1996. Integrated land evaluation to generate risk-efficient land-use options in a coastal catchment. Agricultural Systems 50: 287-305.

Jorge, M.A. 1997. Developing capacity for coastal management in the absence of the government: a case study in the Dominican Republic. Ocean & Coastal Management 36: 47-72.

Joseph, K.A. and A.N. Balchand. 2000. The application of coastal regulation

zones in coastal management-appraisal of Indian experience. Ocean & Coastal Management 43: 515-526.

Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Serang dan PT. Bernala Nirwana. 2004. Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Pesisir Laut Pantai Utara dan Dampak Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Laut (Laporan Akhir). Serang.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Harmonisasi Tata Ruang, Sumberdaya Alam dan Penggunaan Lahan. Jakarta.

Khanna, P., P.R. Babu, and M.S. George. 1999. Carrying-capacity as a basis for sustainable development. A case study of national capital region in India. Progress in Planning 52: 101-163.

Kim, D.H. and V. Anderson. 1998. Systems Archetype Basics. From Story to Structure. Pegasus Communications, Inc. Waltham.

Kirkwood, C.W. 1998. System dynamics methods: a quick introduction.

http://www.public.asu.edu/~kirkwood/sysdyn/SDIntro/SDIntro.htm. 24 Jul

2006

Klaus, R., D.A. Jones, J. Turner, N. Simoes, and D Vousden. 2003. Integrated marine and coastal management: a strategy for the conservation and sustainable use of marine biological resources in the Socotra Archipelago, Yemen. Journal of Arid Environments 54 (1): 71-80.

Kompas. 2007. Lima Ribu Hektar untuk Zona Ekonomi Khusus. Pelabuhan Bojonegara Cilegon Dioperasikan. Kompas 20 Februari 2007.

Kusumastanto, T., S. Koeshendrajana, A. Fahrudin, and L. Adrianto. 1998. Cost benefit analysis of babitat conservation in the Malacca Straits. Malacca

Straits Demonstration Project. Bogor: Center for Coastal and Marine

Resources Studies. Bogor Agricultural University. Bogor.

policy, bad human. Journal of International Affairs (59).

Mantra, I.B., 1985. Pengantar Studi Demografi. Nur Cahaya. Yogyakarta.

Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta.

Masalu, D.C.P. 2000. Coastal and marine resource use conflicts and sustainable development in Tanzania. Ocean & Coastal Management 43 (6): 475-494. Meulen, F. van der and H.A. Udo de Haes. 1996. Nature conservation and

integrated coastal zone management in Europe: present and future. Landscape and Urban Planning 34: 401-410.

Nelson, G.C. and J. Geoghegan. 2002. Deforestation and land-use change: sparse data environments. Agricultural Economics 27: 201-216.

Odum, E.P. 1995. Fundamentals of Ecology (3th edition). W.B. Saunders.

Philadelphia.

Onishi, A. 2001. The world economy to 2015. Policy simulations on sustainable development. Journal of Policy Modeling 23: 217-234.

Ottosson, S. and E. Bjorg. 2003. Research on dynamic systems -some considerations. Technovation 24: 863-869.

PT. BAT, 2003. Laporan Akhir Pelaksanaan Survey Geofisika Laut di Perairan Banten Kabupaten Serang. Unit Survey Primkopal Hidros.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.

Setiono,L.[Penerjemah]; Peniwati, K. [Editor]. Terjemahan dari: Decision

Making for Leaders. The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Serang. 2000. Peta Rupabumi Digital Indonesia (Edisi I). Lembar 1109-633, 1109-634, 1109-643, 1110-311, 1110-312, 1110-321. Bakosurtanal. Bogor. Color, scale 1:25,000.

Sinar Harapan. 2004. Soal matinya ikan di Teluk Jakarta: Pemerintah harus cepat

ambil tindakan. Sinar Harapan, 14 Mei 2004.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0405/14/sh04.htm. 26 Nov 2004 Sterner, T. 2003. Policy Instruments for Environmental and Natural Resource

Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Teluk Banten. 1999. Peta Lingkungan Pantai Indonesia. Lembar LPI 1110-09. Bakosurtanal dan Dishidros. Bogor. Color, scale 1:50,000.

Tol, R.S.J., R.J.T. Klein, H.M.A. Jansen, and H. Verbruggen. 1996. Some economic considerations on the importance of proactive integrated coastal zone management. Ocean & Coastal Management 32: 39-55.

Turner, R.K., I. Lorenzoni, N. Beaumont, I.J. Bateman, I.H. Langford, and A.I. McDonald, 1998. Coastal management for sustainable development: analysing environmental and socio-economic changes on the UK coast. The Geographical Journal (164).

Van Lier, H.N. 1998. The role of land-use planning in sustainable rural system. Landscape and Urban Planning 41: 83-91.

Verheye, W.H. 1997. Land use planning and national soils policies. Agricultural Systems 53: 161-174.

WCED. 1987. Our Common Future. Oxford University Press. Oxford.

Widiati, A. 2000. Pengembangan wilayah pesisir: sebuah kajian eksploratif. Dalam: Suhandojo, Mukti, S,H., dan Tukiyat [Editor]: Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. BPPT. Jakarta. pp. 305-321.

Worm, K.1998. Coastal zone planning in Denmark. Ocean & Coastal Management 37: 253-268.

Pengelolaan lingkungan

wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan (1,000) Kebijakan pemerintah (0,277) Sarana dan prasarana (0,084) Pemasaran (0,065) Modal (0,116) Sumberdaya alam (0,187) Sumberdaya manusia (0,271) LSM (0,122) Koperasi (0,055) Nelayan (0,203) Pemerintah (0,140) Reduksi pencemaran (0,196) Minimasi Konflik (0,147) Peningkatan PAD (0,265) Peningkatan daya saing (0,176) Perluasan lapangan kerja (0,215) Industri (0,538) Wisata (0,471) Masyarakat (0,374)

Lampiran 1. Hasil akhir perhitungan bobot kriteria pada penentuan kebijakan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut Teluk Banten berkelanjutan

Pedagang (0,042) Pengusaha (0,032) Perbankan (0,032)

pada opsi sustainable management (USD) Komponen Tahun 0 1 2 3 4 5 Benefit: a. Standing stock 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 b. Perikanan 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 c. Kehidupan liar 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 d. Biodiversitas 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 e. Physical value 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 f. Existence value 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 Total benefit 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 Discount rate (DR 10%) 1,0000 0,9091 0,8264 0,7513 0,6830 0,6209 Present value 0,0000 1.283.308,36 1.166.643,97 1.060.585,42 964.168,57 876.522,32 Cost: a. Investment cost 54.261,15 b. Standing stock 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 c. Perikanan 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 d. Kehidupan liar 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 Total cost 54.261,15 223.858,95 223.858,95 223.858,95 223.858,95 223.858,95 Discount rate (DR 10%) 1,0000 0,9091 0,8264 0,7513 0,6830 0,6209 Present value 54.261,15 203.508,14 185.007,40 168.188,54 152.898,67 138.999,66 Net benefit (PV) -54.261,15 1.079.800,23 981.636,57 892.396,88 811.269,89 737.522,66

Net Present Value 4.956.640,85

lanjutan lampiran 2 Tahun 6 7 8 9 10 11 12 13 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 0,5645 0,5132 0,4665 0,4241 0,3855 0,3505 0,3186 0,2897 796.815,99 724.400,47 658.536,67 598.659,54 544.256,93 494.773,82 449.795,82 408.898,18 54.261,15 54.261,15 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 278.120,10 223.858,95 223.858,95 223.858,95 223.858,95 223.858,95 278.120,10 223.858,95 0,5645 0,5132 0,4665 0,4241 0,3855 0,3505 0,3186 0,2897 156.988,09 114.876,05 104.431,31 94.935,94 86.308,73 78.461,66 88.618,44 64.843,42 639.827,90 609.524,43 554.105,36 503.723,60 457.948,20 416.312,17 361.177,38 344.054,76

lanjutan lampiran 2 Tahun 14 15 16 17 18 19 20 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 47.025,00 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 433.838,40 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 2.342,70 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 4.275,00 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 206.984,10 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 717.174,00 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 1.411.639,20 0,2633 0,2394 0,2176 0,1978 0,1799 0,1635 0,1486 371.728,56 337.931,01 307.212,01 279.283,65 253.896,51 230.814,63 209.831,17 54.261,15 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 29.335,05 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 194.355,75 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 168,15 223.858,95 223.858,95 223.858,95 223.858,95 278.120,10 223.858,95 223.858,95 0,2633 0,2394 0,2176 0,1978 0,1799 0,1635 0,1486 58.949,03 53.589,39 48.717,94 44.289,04 50.022,50 36.602,78 33.275,21 312.779,53 284.341,62 258.494,07 234.994,61 203.874,01 194.211,85 176.555,96

Lampiran 3. Cost-benefit analysis pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir dan laut Teluk Banten

pada opsi sylvofishery (milkfish) management (USD)

Komponen Tahun 0 1 2 3 4 5 Benefit: a. Milkfish sylvofishery 12.769,71 12.769,71 12.769,71 12.769,71 12.769,71 b. Standing stock 37.620,00 37.620,00 37.620,00 37.620,00 37.620,00 c. Perikanan 347.070,15 347.070,15 347.070,15 347.070,15 347.070,15 d. Kehidupan liar 1.875,30 1.875,30 1.875,30 1.875,30 1.875,30 e. Biodiversitas 3.420,00 3.420,00 3.420,00 3.420,00 3.420,00 f. Physical value 165.590,70 165.590,70 165.590,70 165.590,70 165.590,70 g. Existence value 573.739,20 573.739,20 573.739,20 573.739,20 573.739,20