• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Model Kebijakan Publik untuk Pembangunan

Berdasarkan hasil-hasil yang didapat dari penelitian ini, secara hipotetik, dikembangkan model simulasi sederhana yang bersifat deskriptif untuk meng- gambarkan konsepsi model pembangunan dan pengelolaan RTH kota penelitian yang mengakomodasikan hasil utama penelitian, yaitu model konsepsi pengem- bangan RTH yang berorientasi pada kenyamanan dan kelestarian lingkungan

kota serta pada saat yang bersamaan juga mengakomodasikan kebutuhan dan keinginan warga kotanya .

Konsepsi model kebijakan publik ini merupakan alternatif kerangka pembangunan dan pengelolaan RTH pada lahan di wilayah perkotaan, yang menjadi syarat perlu dan syarat cukup untuk berbagai lahan perkotaan yang me- miliki kriteria seperti pada kota penelitian. Kebijakan yang menjadi syarat perlu, yaitu bila kebijakan publik untuk RTH ini cenderung dapat mengendalikan ter- jadinya proses yang cepat dari penurunan kualitas lingkungan wilayah per- kotaan; dan kebijakan yang menjadi syarat cukup, yaitu bila kebijakan ini dapat menjamin terjadinya interaksi antara masyarakat dengan rencana pembangunan dan pengelolaan RTH. Penggabungan kedua model ini, sehingga didapatkan model integratifnya yang merupakan pengembangan konsep masyarakat sadar lingkungan (eco society concept), maka model integratif yang terbentuk ini akan merupakan bahan acuan kriteria konsepsi kebijakan publik yang melandasi pola pembangunan dan pengelolaan untuk kelestarian RTH kota.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota 5.1.1. Ketersediaan Total

Berdasarkan hasil pengukuran planimetrik pada peta RUTRK tahun 2005 (Nurdin 1999), data penelitian Savitri (1991) serta verifikasi beberapa tempat di lapangan diketahui luas RTH dalam Kota Bogor adalah sebesar 4

975.35 ha atau ∀∀42 % dari luas wilayah kota ini. Berdasarkan persyaratan luas RTH kota dalam Inmendagri No. 14 tahun 1988, dimana luas RTH untuk

satu kota adalah minimal 40% dari luas wilayahnya, maka besaran nilai tersebut sudah masuk dalam kategori luasan RTH yang memadai untuk

suatu kota.

Namun, untuk mendapatkan kualitas lingkungan kota yang lebih tepat dan baik guna mendukung sistem keberlanjutan kota, melalui ketersediaan

dan kualitas RTH, maka besaran nilai untuk ketersediaan RTH ini harus dianalisis dan dikoreksi lagi melalui perhitungan spasial dan pengamatan

kondisi lapangan (ground check) terhadap kondisi kepekaan atau daya dukung sumberdaya alam pembentuk lanskap atau bentang alam kotanya dan juga pengukuran terhadap kualitas lingkungan (terutama kualitas udara

dan air) pada beberapa lokasi rawan pencemaran dalam kota. Hal ini mengingat kondisi fisik, arsitektural, dan sosial (nilai kesejarahan) kota Bogor yang memiliki karakter yang khas, yaitu:

(a) cukup luasnya areal dalam kota yang memiliki lanskap atau bentang alam yang berbukit bahkan pada hampir 50% areal bantaran sungai dengan tebing-tebing dengan kemiringan yang

terjal (>25%) sudah hampir tidak tertutupi oleh vegetasi lagi sehingga berpotensi untuk terjadinya bahaya longsor dan juga

mengurangi keindahan alaminya,

(b) tingginya curah hujan (3500-4000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan ±265 hari) disertai dengan jenis tanah dominan dalam kota

yang agak peka terhadap erosi (jenis tanah latosol) yang berpotensi untuk terjadi-nya erosi terutama pada areal berkemiringan yang banyak terdapat dalam kota (Gambar 14), (c) kualitas lingkungan udara pada beberapa areal dalam kota yang cen-derung terus tercemar seperti pada areal dengan kepadatan

tinggi dari transportasi angkutan kota (terutama untuk angkutan kota sehari-hari dan kenderaan wisata),

(d) cukup banyaknya areal yang memiliki landscape scenic amenity yang perlu dilindungi melalui penghijauan untuk mendukung

terwujudnya konsep “Kota dalam Taman”, dan (e) nilai historik kota (kota kolonial, kota tropisch indies) yang memiliki nilai arsitektural romantisme berdasarkan dominansi dari

keberadaan dan ragam jenis pohon tropikal tertentu (seperti damar, palem raja, flam-boyan, kenari, mahoni, asem) dan lapangan rumput serta berbagai bangunan dan struktur kolonial

yang perlu dilestarikan untuk kepen-tingan nilai kesejarahan (situs sejarah dalam bentuk lanskap kota atau bagian kota) dan

kepariwisataan (Gambar 15).

(a: kondisi eksisting beberapa tebing terjal dan tepi sungai di kota penelitian)

(b: contoh perlakuan RTH untuk lahan berkemiringan, digambar Damayanti, 2000)

Gambar 15. Jenis RTH kota penciri suasana Tropisch Indies yang perlu dilestarikan guna mendukung kualitas lingkungan dan kesejarahan kota

5.1.2. Ketersediaan RTH Kota Berdasarkan Bentuk

Bentuk suatu RTH, secara ekologis maupun arsitektural dan sosial, terkait dengan fungsi dan lokasi penempatannya (Forman dan Godron 1986; Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977). Karena itu, RTH dalam suatu kota haruslah memiliki bentuk tertentu untuk dapat menyatakan fungsinya pada suatu posisi ruang tertentu guna mendapatkan manfaat tertingginya, yang dapat dinyatakan sebagai RTH fungsional.

RTH dalam kota penelitian ini memiliki keragaman bentuk yang tinggi, dimulai dari bentuk yang fungsional sesuai dengan persyaratan fungsinya dan tata ruang perkotaan sampai dengan RTH yang tidak fungsional. Pada

Lampiran 3 Tabel 3.a. dapat dilihat enam bentuk utama RTH fungsional yang dijumpai dalam Kota Bogor serta prakiraan luas areal tiap bentuk

utama ini.

Dari enam bentuk utama RTH yang diamati, untuk selanjutnya dinilai oleh masyarakat perkotaan ini, terlihat bahwa RTH berbentuk jalur (linear, koridor) mendominasi bentuk-bentuk penghijauan dalam wilayah Kota Bogor, yaitu sejumlah 89.32%, dan subbentuk jalur terluas adalah jalur hijau tepi kota (urban green belt) yaitu sejumlah 84.80%. Luasan lahan dari bentuk RTH lainnya, mengelompok dan jalur, hanya mencapai jumlah < 10.00%. Jalur hijau tepi sungai, yang seharusnya merupakan lahan potensial untuk pengembangan dan pelestarian RTH yang bermanfaat mendukung fungsi lingkungan alami untuk wilayah perkotaan, tidak memiliki luasan RTH yang cukup memadai yaitu hanya berjumlah 1.04%.

(a) RTH bentuk kawasan

RTH mengelompok berbentuk kawasan (RTH kawasan) merupakan RTH yang relatif memadai luasannya dan menduduki peringkat kedua (7.97 %) dalam jumlah luas RTH kota setelah jalur hijau tepi kota (urban green belt). Bentuk RTH ini umumnya merupakan areal rekreasi publik (seperti Kebun Raya dan Istana Presiden, Taman Ade Irma Suryani, Lapangan Sempur), lahan-lahan untuk kebun percobaan milik lembaga-lembaga penelitian pertanian dan kehutanan, areal kawasan lindung (areal lindung

pada tebing-tebing sungai dan perbukitan lainnya), dan areal pemakaman. Walaupun masih cukup luasannya dalam skala wilayah kota, beberapa RTH kawasan ini juga telah mulai berkurang luasnya terutama karena kegiatan pembangunan kota seperti pelebaran jalan atau kon-versi lahan untuk manfaat ekonomi (menjadi pusat jajanan, pembangunan kios).

Bentuk RTH kawasan ini, pada awal perkembangan kota, merupakan suatu bentuk RTH kebanggaan dan pembentuk karakter kota penelitian ini (Gambar 15). Seperti juga yang banyak dilakukan pada kota-kota besar dunia (New York dengan Central Park, London dengan Hyde Park, Jakarta dengan Taman Medan Merdeka atau Taman Monas), RTH berbentuk kawasan ini (mengelompok dan relatif luas arealnya) merupakan suatu bentuk lahan yang ideal dan potensial untuk mendukung perbaikan kualitas lingkungan kota. Semakin luas lahan RTH kawasan ini maka akan semakin efektif dalam perbaikan kualitas lingkungan terutama bila dikembangkan pada pusat-pusat kota yang umumnya memiliki kepadatan bangunan yang tinggi atau lantai hijau yang rendah/sedikit. Disamping itu, lahan dengan RTH kawasan yang relatif luas juga dapat mengakomodasikan fungsi- fungsi RTH lainnya terutama fungsi sosial (rekreasi, edukasi) sehingga ketersediaannya dan kelestariannya perlu untuk dipertahankan.

Bila terjadi penurunan jumlah dan luas RTH kawasan untuk kota penelitian ini, maka tidak saja akan menurunkan nilai kesejarahan kota yang merupakan aset budaya dan aset wisata kota, juga akan menurunkan manfaat lingkungan lain (arsitektural dan terutama biofisik) yang dihasilkan oleh RTH yang luas ini.

(b) RTH bentuk simpul

RTH simpul berfungsi utama arsitektural yaitu untuk mengarahkan dan menata estetika ruang kota, serta sebagai bentukan ruang pengikat sistem per-tamanan kota (Nurdin 1999; Simonds 1994; Waluyo 1990). Menurut Waluyo (1990), taman-taman (bentuk RTH simpul) yang terdapat disekitar permukiman “lama” dibagian kota Bogor awal yaitu yang dibangun pada periode masa atau pada akhir kolonial tahun 1940-1950, merupakan taman-taman yang mengikuti pola taman-taman di Eropa saat itu yaitu taman-taman pasif (tidak digunakan untuk kegiatan aktif a.l. olah

raga, jadi hanya untuk dinikmati secara visual) yang hanya berfungsi sebagai “pengikat” antar kawasan permukiman.

RTH berbentuk simpul (contoh adalah taman-taman kota, pocket parks, traffic islands) walaupun tidak memiliki jumlah luasan yang tinggi tetapi keber-adaannya cukup nyata dalam mendukung ide untuk menjadikan kota ini sebagai “Kota dalam Taman”. Untuk memperkuat karakter Bogor sebagai “Kota dalam Taman” maka kualitas RTH simpul atau taman-taman kota ini dianjurkan untuk di dilestarikan dan redesign mengikuti pola awal sehingga nilai sosial kesejarahan-nya dapat menjadi tema kota dan mendukung kualitas estetika lingkungan kota.

(c) Jalur hijau tepi jalan

Di dalam kota penelitian, jalur jalan raya merupakan salah satu sarana transportasi kota yang utama, dimana panjang jalan seluruhnya di kota ini adalah ±± 71 000 km, yang terdiri dari jalan negara ±± 16 000 km (22.86%), jalan propinsi ±± 7 000 km (9.86%), dan jalan kotamadya ±± 47 000 km (66.20%). Karena (a) merupakan jalur transportasi utama yang tetap keberadaannya di suatu lokasi, dan (b) luas jalur jalan kepemilikan Pemda yang relatif tinggi (66.20%) maka penghijauan yang intensif pada tepi jalan raya akan dapat mendukung program perbaikan kualitas lingkungan sehingga perlu untuk dikelola dengan baik untuk pelestarian ketersediaannya dan manfaat lingkungannya.

Jalur hijau jalan raya, dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya memiliki peringkat luasan ketiga (atau hanya 3.23% dari luas RTH total kota) setelah jalur hijau tepi kota (84.80%) dan RTH kawasan (7.97%). Jalur hijau jalan raya ini merupakan RTH pembentuk ruang kegiatan transportasi yang ditata dengan mengakomodasikan fungsi arsitektural (penyangga, keteduhan, keteraturan, keindahan, pengarah, identitas, pembentuk karakter), dan fungsi biofisik (biofilter yang mereduksi bahan pencemar udara dan kebisingan, kenyamanan dan kesegaran).

Untuk kasus kota Bogor, jalur hijau jalan raya ini juga merupakan salah satu ruang terbuka pembentuk karakter alami kota terutama karena keberadaan pohon-pohon besar yang membentuk jalur hijaunya dengan posisi radial dalam ruang kota (lihat Gambar 9a dan Gambar 10). Pada jalur lingkar kebun raya maka keberadaan jalur pedestrian juga merupakan nilai tambah bagi jalur hijau tepi jalan ini. Sesuai dengan fungsinya sebagai

kota wisata dan peristirahatan maka sebagian besar pohon tepi jalan yang telah berumur puluhan tahun, yang merupakan elemen utama pembentuk RTH tepi jalan ini dan aset sumberdaya alam kota, masih tetap dipertahankan dan dilestarikan keberadaannya. Menurut Schmid (1979), semakin banyak suatu kota memiliki pohon-pohon tua yang ter-pelihara dengan baik maka semakin tinggi nilai dari kota tersebut.

Keunikan RTH tepi jalan sebagai elemen alami kota kolonial (Tropisch Indies) yang masih tetap dipertahankan pada beberapa bagian utama kota (jalur hijau jalan raya sekitar istana presiden dan sebagian besar lingkar kebun raya, jalan Ahmad Yani), cenderung akan dapat menjamin fungsi, keberadaan serta kelestarian jalur hijau tepi jalan ini; tetapi hal yang sebaliknya akan cenderung terjadi bila terjadi perubahan tema kota.

Pada masa mendatang diharapkan jalur hijau tepi jalan akan tetap dipeli-hara guna mengendalikan peranan pentingnya dalam menjaga kenyamanan dan perlindungan wilayah (fungsi biofisik), keindahan dan keteraturan serta karakter kota (fungsi arsitektural), dan kebanggaan kota (fungsi sosial) yang cukup nyata mengingat relatif panjangnya jalur jalan dalam kota, terutama yang dimiliki atau yang berada dibawah pengelolaan Pemda (merupakan ruang milik publik). Keberadaan pohon-pohon besar dan tua tetap dipertahankan untuk aset dan nilai kota, dan diupayakan untuk merancang model pengelolaan yang tepat untuk mempertahankan keberadaan pohon-pohon ini.

(d) Jalur hijau lintas kereta

Jalur hijau lintas kereta menduduki peringkat luas yang terendah (0.25%), dibandingkan dengan bentuk RTH lainnya. Hanya terdapat satu jalur hijau lintas kereta di kota ini dan dari data pengamatan lapangan diketahui bahwa hampir seluruh bagian jalur lintas kereta ini tidak memiliki kualitas penghijauan yang memadai dan fungsional sehingga perlu redesign untuk mengoptimalkan fung-sinya sebagai jalur hijau penyangga. Untuk tidak mengganggu sistem transpor-tasi kereta api ini maka jalur hijau dialokasikan diluar areal DAWASJA (Daerah pengawasan jalan) atau ∀∀15 m dari daerah DAMAJA (Daerah manfaat jalan :jalan rel beserta bidang tanah atau bidang lain di kiri atau kanannya yang diper-gunakan untuk kontruksi jalan rel)

Adanya jalur hijau disamping lintasan kereta (bukan jenis tanaman yang tinggi/pohon) sangat penting mengingat fungsinya sebagai ruang penyangga/ pengaman antara kegiatan transportasi kereta dengan warga kota sehingga keberadaan RTH ini dapat menghindari terjadinya kecelakaan pada warga kota (fungsi sosial RTH), dan terutama bermanfaat untuk meredam kebisingan dan sebagai penjerab debu yang merupakan hasil kegiatan lalu lintas kereta api ini (fungsi biofisik). RTH ini juga menjadi penting untuk penyangga terjadinya van-dalisme yang sering terjadi di lintasan kereta kota penelitian ini.

(e) Jalur hijau tepi sungai

Diketahui bahwa lahan bervegetasi atau RTH ditepian sungai dapat berfungsi untuk mengurangi bahaya erosi, mencegah longsor tebing, menjaga kestabilan saluran dan kualitas air serta juga memiliki nilai-nilai lain yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia yaitu kepentingan estetik dan rekreasi alam.

Kota Bogor dilalui oleh 2 (dua) sungai utama dan 9 (sembilan) anak- anak sungai dengan panjang ±± 105.73 km, dan panjang jalur hijaunya ±± 76.7 km (73%) dengan ketebalan rata-rata ±± 3.0 m. (perhitungan planimetrik dan pengamatan lapangan). Walaupun luas areal untuk peruntukan RTH berbentuk jalur hijau di tepian sungai ini sangat potensial untuk penyumbang peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, tetapi tidak semua tepi atau bantaran sungai di kota penelitian tertutupi oleh vegetasi, atau bila ada sering tidak terstruktur dengan baik (tidak fungsional pada lahan kota yang terbatas dan juga relatif mahal). Ketersediaannya di kota penelitian relatif sangat kecil yaitu hanya 51.90 Ha atau 1.04% dari luas total RTH kota, atau ∀∀30% dari RTH jalur hijau tepi jalan. Gambar 16 memperlihatkan tiga model penutupan lahan yang umumnya dijum-pai pada beberapa bagian tepi sungai dalam kota, yaitu:

(a) penutupan lahan dengan tanaman pertanian (persawahan, lahan untuk tanaman palawija),

(b) penutupan lahan dengan tanaman yang tumbuh secara alami, dan (c) penutupan lahan dengan perumahan yang diseling dengan

Gambar 16. Contoh model penutupan lahan tepi sungai di kota penelitian

Sangat jarang dijumpai tepi sungai tertutupi penuh oleh lahan bervegetasi (kecuali areal kebun raya). Posisi sungai-sungai dan anak-anak sungainya yang membelah kota merupakan lahan potensial untuk memperbaiki kualitas lingkung-an dalam kota. Karena itu penghijauan jalur tepi atau bantaran sungai, melalui kegiatan konservasi, revegetasi, dan penambahan areal RTH, di kota penelitian disarankan untuk dilakukan dan ditingkatkan ketersediaannya berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

potensi areal bantaran yang tinggi untuk areal penghijauan kota (ber-dasarkan peraturan pemerintah maka lebar sempadan sungai adalah 50-100 m untuk dalam kota dan saat ini lebar areal hijau rata-rata kota penelitian adalah ∀∀3 m),

pelindung areal ekoton

kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang mendukung (curah hujan yang tinggi, jenis tanah latosol yang subur tetapi agak peka ter-hadap erosi, dan bentukan sungai yang memiliki banyak kelokan yang bernilai lingkungan yang tinggi (sinuositas),

penyangga alami (biofilter) untuk mencegah terjadinya bahaya untuk manusia (banjir bandang, palung berbahaya pada sungai Ciliwung dan Cisadane), dan

biofiltering terhadap penurunan kualitas air (yang berasal dari buangan sampah, padatan tanah akibat erosi, dan lainnya)

peluang untuk areal rekreasi alam.

(f) Jalur hijau tepi kota

Dari empat subbentuk jalur penghijauan ini maka jalur hijau tepi kota (juga dikenal dengan istilah sabuk hijau, urban greenbelt, urban forest belt)

menduduki peringkat tertinggi, yaitu 84.80% dari luas RTH total. Secara kuantitatif, luas jalur hijau tepi kota ∀∀5 (lima) kali lebih luas dibandingkan dengan bentuk RTH lain dan menutupi ∀∀35.60% luas lahan kota .

Berdasarkan pengamatan dan verifikasi di lapangan terlihat bahwa kota penelitian ini masih memiliki lebar dan keliling jalur hijau tepi kota yang relatif baik, walaupun pada beberapa lokasi cenderung menipis dan berubah menjadi bentuk jalur tepi jalan dan pekarangan rumah. Untuk kelestarian dan kenyaman-an lingkungan sistem perkotaan di kota penelitian ini maka ketersediaan dalam jumlah areal dan kualitas dari jalur hijau tepi kota ini perlu untuk dipertahankan dan dikembangkan mengingat semakin berkurang dan cenderung “tertekannya” keberadaan dan ketersediaan lahan-lahan untuk kepentingan lingkungan per-kotaan ini. Hal ini didukung oleh banyaknya kepentingan dari green belt atau forest belt ini yaitu sebagai pengendali perkembangan kota secara fisik, sumber pangan kota, sumber O2, dan penurun suhu kota (Bernatzky 1978; Bidwell 1974;

Carpenter et al. 1975; Gilpin 1996; dan Pribadi 1999). Disamping itu, fungsinya sebagai areal rekreasi publik (Brockman dan Meriem 1973; Gilpin 1996: Gunadi 1998; Simonds 1994) dan juga sebagai koridor pergerakan satwa liar seperti burung dan mamalia kecil (Pakpahan 1993).

Nilai sewa lahan yang relatif lebih rendah pada bagian tepi-tepi kota akan mendukung keberadaan RTH jalur tepi kota yang luas bila disertai dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik terhadap fungsi-fungsi RTH terutama terhadap fungsi lingkungan. Dari berbagai penelitian di beberapa kota Amerika diketahui bahwa, keberadaan greenbelt ini juga berperan dalam meningkatkan nilai jual lahan serta perumahan (Correll et al. 1978; Diamonds 1980; McPherson 1996; More et al. 1981) sehingga keberadaan greenbelt di Kota Bogor, minimal seperti yang telah ada saat ini, cukup potensial untuk dapat meningkatkan nilai perekonomian kota ini terutama jika dihubungkan dengan arahan Pemerintah Daerah untuk menjadikan Kota Bogor sebagai dormitory town dan juga untuk kepentingan kepariwisataan.

Saat ini, karena terjadinya perluasan Kota Bogor maka bentuk jalur hijau tepi kota ini cenderung berkurang karena adanya perluasan kota terutama oleh pembangunan permukiman, dan terjadinya konversi fungsi yaitu dari fungsi alami menjadi fungsi sosial atau rekreasi (seperti

pembukaan areal resort, padang golf) yang mengurangi fungsi utamanya sebagai areal biofisik dan sosial.

Tetapi keberadaan greenbelt Kabupaten Bogor yang terletak pada bagian barat dan utara kota, yang berbentuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan, atau areal permukiman dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang rendah membantu dalam mempertahankan ketebalan jalur hijau tepi kota ini, sehingga kenyamanan lingkungan dalam kota relatif dapat masih dapat dipertahankan.

Walaupun tidak atau belum diketahui secara pasti ketebalan fungsional suatu jalur hijau tepi kota (greenbelt), tetapi menurut Forman dan Godron (1978) bentuk RTH yang fungsional adalah bentuk yang relatif besar dalam ukuran memanjang maupun melebar, serta yang tidak terputus (bersambungan). Bila kelestarian dan kenyamanan lingkungan alami kota secara fisik ingin diper-tahankan maka green belt merupakan suatu alternatif bentuk RTH berfungsi ganda yang potensial dan harus dipertahankan ketersediaannya dalam kawasan Kota Bogor ini. Ketersediaan bentuk RTH jalur hiijau tepi kota atau green/forest belt ini juga dapat menjadi satu nilai tambah bagi kualitas lingkungan kota Bogor, karena banyak kota-kota besar Indonesia, akibat pembangunan dan pengem-bangan kota yang tidak terkendali, telah kehilangan lahan-lahan hijau sebagai pembatas alami kotanya.

5.1.3. Distribusi Ketersediaan RTH dalam Wilayah Kota

Distribusi RTH dalam suatu wilayah perkotaan penting artinya jika dilihat dari berbagai manfaat lingkungan yang dimilikinya. Distribusi RTH yang relatif merata secara spasial pada tiap bagian wilayah kota terutama bagian kota yang bermasalah dalam bahaya dan kualitas lingkungan (seperti pencemaran udara, terjal dan berpotensi longsor, erosi tebing sungai), kebutuhan per penduduk (seperti untuk pendukung kesehatan, kenyamanan, rekreasi alami), dan tiap satuan fungsional subwilayah/kawasan (perdagangan, permukiman, industri, dll) maka ketersediaan RTH ini akan bermanfaat dalam menjaga dan mengendalikan kualitas lingkungan di seluruh atau di bagian kota dan dalam melayani kepen-tingan sosial dan rekreasi warga kota. Untuk mendukung hal-hal ini maka analisis distribusi dan kebutuhan RTH per wilayah akan menjadi hal yang penting.

(a) Distribusi RTH Berdasarkan Wilayah Administratif

Distribusi RTH untuk tiap wilayah kecamatan di kota penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3 Tabel 3.b. Rasio luas RTH terhadap kota dan kecamat- an yang dinilai cukup tinggi, selain menggambarkan tingkat kenyamanan juga untuk mengendalikan dan menambah kualitas lingkungan dan keindahan alami kota.

Dari Lampiran 3 Tabel 3.b diketahui bahwa kota penelitian memiliki RTH total sebesar 41.99% yang sesuai berdasarkan peraturan perundangan, yaitu Inmendagri No.14 tahun 1988. Walaupun demikian, untuk mendapatkan manfaat yang efektif, perlu juga diketahui distribusi RTH sesuai dengan kerawanan fisik lahan, struktur ruang kota dan lokasi konsentrasi penduduk. Wilayah kecamatan yang memiliki lahan yang peka atau mudah longsor dan daerah resapan air merupakan contoh alokasi RTH yang harus ada, demikian juga kecamatan dengan konsentrasi kegiatan hunian dan rekreatif masyarakat. Secara fisik, alokasi RTH masih dipertahankan tetapi cenderung terjadi pengurangan luas RTH, dalam jumlah (konversi lahan) dan kualitasnya (konversi bentuk dan fungsi).

Tabel 3.b pada Lampiran 3 juga menggambarkan peringkat rasio RTH terhadap luas lahan kota dimana rasio tertinggi pada skala kota, dijumpai di Kecamatan Bogor Selatan (1:12.88) dan terendah di Bogor Tengah (1:1.37), dan peringkat tertinggi untuk skala kecamatan didapatkan di kecamatan Tanah Sareal dan terendah di Bogor Tengah. Terdapat kecenderungan bahwa:

(a) semakin menuju ke luar/tepi kota maka nilai rasio untuk lahan hijau ini terhadap lahan kota akan semakin tinggi.

(b) pada bagian pusat kota didominasi oleh RTH kawasan yaitu RTH yang mengelompok dan dalam ukuran yang relatif luas, dan pada bagian tepi kota didominasi oleh RTH berbentuk jalur hijau tepi kota.

Dokumen terkait