• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang terbuka hijau (RTH) suatu kota adalah ruang-ruang terbuka (open spaces) di berbagai tempat wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi dalam mendukung kualitas ling- kungan wilayah perkotaan. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988, yang digunakan sebagai acuan pengelolaan RTH kota, menyatakan bahwa RTH adalah bagian dari areal ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya. Peruntukan lahan untuk RTH, menurut peraturan ini, adalah sebesar 40-60% dari luasan total lahan (kota, kawasan, halaman/ pekarangan) yang dimiliki.

Dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH kota untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan ada empat hal utama yang harus di- perhatikan yaitu (1) luas minimum yang diperlukan, (2) lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH, (3) bentuk yang dikembangkan (Gambar 5), dan (4) distribusinya dalam kota (Tim IPB 1993).

Dalam kaitannya dengan luas minimum, perhitungan yang dilakukan untuk mendekati nilai kebutuhan akan RTH kota atau bagian dari suatu kota yaitu melalui (1) standar RTH kota-kota Indonesia yang ditetapkan oleh Direktorat Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri dan Direktorat Tata Kota dan Daerah, Departemen Pekerjaan Umum, (2) Inmendagri No.14 Tahun 1988 yaitu 40% sampai 60% dari total wilayah harus dihijaukan, (2) jumlah serta distribusi penduduk di suatu kota (Simonds 1983), (3) suplai oksigen (Wisesa dalam Janala, 1995), (4) kepekaan sumberdaya alam dan lingkungan (Tim IPB 1993), (5) kenyamanan suhu (Brown dan Gillespie 1995, Sulystiantara dan Tashiro 1996), (6) ketersediaan air bersih (Sutisna, Ngadiono, Sudaryanto dan Fakuara 1987) dan (7) rekreasi (Departemen PU dalam Janala 1995).

Gambar 5. Pola RTH yang mengikuti pola tata ruang kota (Sumber: Tim IPB 1993)

Bentuk RTH beragam, dan dapat dikategorikan berdasarkan jenis vegetasi yang berada dalam RTH, fungsi, bentuk dan struktur fungsional, dan kepentingan khusus atau tertentu lainnya (Nurisyah 1996). Ditinjau dari tujuan pemanfaatan suatu RTH, berdasarkan ketentuan peraturan dalam Inmendagri No.14 Tahun 1988, ada tujuh tipe RTH kawasan perkotaan yaitu: (1) RTH yang berlokasi pasti karena adanya tujuan konservasi, (2) RTH untuk keindahan kota, (3) RTH karena adanya tuntutan dari fungsi kegiatan tertentu, seperti lingkungan sekitar pusat kegiatan olahraga yang dibiarkan hijau, (4) RTH untuk pengaturan lalu lintas, (5) RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan, (6) RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang, dan (7) RTH untuk halaman bangunan.

2.2.2. Fungsi dan Manfaat Lingkungan

Bernatzky (1978) menyatakan walaupun manusia sudah berada di jantung peradaban teknologi tetapi ia tetap memiliki ikatan yang kuat terhadap alam. Kota tanpa ruang bervegetasi, dinyatakannya, akan menyebabkan ketegangan mental bagi warganya. Menurut Crowe (1981), RTH haruslah merupakan suatu sistem ruang untuk mendapatkan kenyamanan bagi warga kotanya; seimbang dengan

Konsentris Terdistribusi Hierarkis

berbagai fasilitas pelayanan kota lainnya. RTH kota, tidak hanya sebagai pengisi ruang dalam kota tetapi juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan juga untuk berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar. RTH merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi terutama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang baik (Roslita 1997) dan dapat menjadikan kondisi ekologis kota yang lebih baik atau sesuai sehingga memudahkan adaptasi bagi manusia dan mahkluk hidup lainnya untuk berdiam dan hidup di dalamnya. Simonds (1983) menyata- kan bahwa RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bentuk peran ini antara lain sebagai ruang yang sehat, keindahan visual, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindah- an dan kehidupan satwa, ameliorasi iklim, dan sebagai unsur pendidikan.

Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) menyatakan tanaman sebagai penyusun RTH dapat juga berperan sebagai pelembut suasana keras yang dihasilkan oleh massa bangunan, menolong manusia mengatasi tekanan- tekanan akibat kebisingan, udara panas, pencemaran disekelilingnya, serta sebagai pembentuk kesatuan ruang. Keberadaan massa tanaman pembentuk RTH dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi sumberdaya alam dan ling- kungan (seperti air, udara, tanah, biota dan lainnya), penyangga serta pengendali iklim mikro kawasan kota (Stulpnagel et al. 1990), serta secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas estetik kota (Inmendagri 1988; Nurisyah 1996). Gold (1977) dan Schmid (1979) menambahkan adanya manfaat sosial dari suatu RTH, yaitu sebagai areal berekreasi dan edukasi warganya, kebanggaan kota dan artifak sejarah.

Fungsi dan manfaat suatu RTH dalam suatu kawasan perkotaan, ber- dasarkan Inmendagri No.14 Tahun 1988 adalah sebagai: (1) areal perlindungan bagi berlangsungnya fungsi ekosistem dan fungsi penyangga lingkungan, (2) sa- rana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan ling- kungan, (3) sarana rekreasi, (4) pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran di darat, laut dan udara, (5) sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran ling- kungan, (6) tempat perlindungan plasma nutfah, (7) sumber udara segar bagi lingkungan dan untuk memperbaiki iklim mikro terutama menurunkan suhu udara serta penyaring kecepatan angin dan cahaya matahari, pengatur presipitasi dan kelembaban, (8) pengatur tata air, dan (9) wadah kegiatan masyarakat di suatu

lingkungan, tempat untuk bersantai dan melakukan komunikasi sosial. Ditambahkan oleh Schmid (1979), bahwa RTH juga berfungsi untuk (1) mening- katkan kualitas visual/estetika alami, (2) waste water disposal, (3) artifak sejarah, dan juga (4) bernilai ekonomi.

2.2.3. Sistem RTH Kota

Eksistensi dan perencanaan dari ruang terbuka hijau (RTH) dalam suatu kota dipelopori oleh Ebenezer Howard dengan Kota Taman (Garden City)nya pada tahun 1946 (Lynch 1994). Konsep ini menggambarkan satu kota yang berkesan menyatu dengan alam dan hanya diperuntukkan bagi 30 000 jiwa. Aktivitas perkotaan utama terdapat di pusat kota dan yang selanjutnya semakin menuju ke bagian luar kota dikelilingi oleh daerah hijau yang berintensitas se- makin tinggi. Bagian terluarnya di kelilingi oleh greenbelt yang tidak hanya ber- fungsi sebagai pembatas kota tetapi juga areal berfungsi sosial. Menurut Crowe (1981), pada tahun 1800an konsep ini juga digunakan F. L. Olmstead untuk menciptakan penataan taman-taman kota Amerika Serikat yang disebut sebagai The Linked Park System. Dan, sejak tahun 1990an, juga diaplikasikan di Kota Singapura dengan istilah Park Connecting System (Kong dan Eng 1992).

Struktur, bentuk dan ukuran RTH merupakan hal yang penting dalam perencanaan suatu RTH, terutama sistem yang bekerja didalamnya (Lyle 1985). Menurut Bernatzky (1978), struktur RTH juga harus berfungsi sebagai ventilasi kota, dimana RTH ini harus bekerja sebagai pemasok udara segar dan bersih bagi kota. Struktur RTH ini diletakkan diantara serta mengelilingi struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi untuk menyegarkan dan menetralkan udara dalam perkotaan yang umumnya telah tercemar (Gambar 6).

Gambar 6. Skema RTH kota menurut Bernatzky (1978) Struktur

Ruang Terbuka Hijau Udara polusi dan pemanasan Suplai udara bersih

2.3. Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota

Dokumen terkait