• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk kepentingan penelitian, istilah-istilah dijelaskan sebagai berikut: Ruang

♣ Wadah yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatu- an wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (UU No.24 tahun 1992). Wilayah

♣ Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek adminis- tratif dan/ atau aspek fungsional (UU No.24 Tahun 1992).

Wilayah perkotaan

♣ Suatu pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan (Inmendagri No.14 Tahun 1988), yang juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat dari kebudayaan dimana materi- materi peradaban berkembang (Potter 1965).

♣ Suatu bentukan transformasi dari wild nature, berdasarkan proses alam dan kultural, guna melayani kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993). Kota bukan hanya suatu artifak teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup dalam- nya berfikir, bekerja, bermimpi dan mempunyai perasaan. Dalam merancang kota harus didasari oleh proses yang normal dari alam dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi, perasaan, dan makna kota. Lahan atau Ruang Terbangun

♣ Bagian lahan kota yang ditutupi atau tertutup oleh bangunan atau struktur tertutup lainnya yang bersifat permanen (lahan pertokoan dan perumahan). Lahan atau Ruang Terbuka

♣ Bagian dari lahan kota, baik yang alami maupun binaan (man made), yang tidak tertutup oleh bangunan atau struktur beratap permanen seperti sungai, jalur lalu lintas, lapangan parkir.

Lahan bervegetasi atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota

♣ Bagian dari lahan terbuka kota yang ditumbuhi oleh tanaman atau tumbuhan, secara alami atau budidaya, untuk berbagai kepentingan lingkungan per- kotaan, seperti hutan kota, jalur hijau, pekarangan, lahan pertanian.

Lingkungan

♣ Suatu ruang yang mengandung makhluk hidup (biotis) dan benda mati (abiotis) serta tatanan (sistem) interaksinya secara menyeluruh (holistik)1). Tatanan yang terbentuk oleh interaksi antara makhluk hidup dengan ling- kungan hidupnya dalam ruang ini disebut ekosistem.

Nilai dan manfaat lingkungan RTH wilayah perkotaan

♣ Fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh suatu bentuk RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk perbaikan keadaan lingkungan kehidupan perkota- an, karena keberadaan tanaman secara fisik dan/ataupun jasa lingkungan yang dihasilkannya.

Fungsi ekonomi RTH wilayah perkotaan

♣ Fungsi dan manfaat RTH yang secara langsung dapat diperhitungkan de- ngan nilai ekonomi pasar (Rp.) seperti nilai jual dari tanaman atau bagian- bagian tanaman (kayu, bunga, dan daun), dan juga yang dapat digunakan untuk tempat berusaha bagi warga kota.

Fungsi biofisik RTH wilayah perkotaan

♣ Fungsi dan manfaat RTH yang mencakup fungsi ekologis dan perlindungan fisik terutama karena adanya hubungan timbal-balik antara RTH dan/atau keberadaan RTH dengan lingkungan sekitarnya (Contoh: habitat burung, konservasi air dan tanah; untuk pengendalian pencemaran).

Fungsi arsitektural RTH wilayah perkotaan

♣ Fungsi dan manfaat arsitektural yang dihasilkan RTH, terutama yang terkait dengan pengertian habitability, comfortability dan estetika, terhadap warga dan estetika lingkungan kota. Contohnya adalah bentuk atau struktur RTH yang efisien, mudah dikenal, identitas kawasan), indah; serta kenyamanan . Fungsi sosial RTH wilayah perkotaan

♣ Fungsi dan manfaat RTH, secara langsung dan tidak langsung, untuk pening- katan kualitas kehidupan masyarakat perkotaan. Contohnya adalah RTH se- bagai suatu tempat peningkatan pengetahuan dan kesehatan, bersosial-isasi, dan berekreasi, dan bertemunya anggota dari suatu komuniti.

1

Bentuk RTH mengelompok

♣ Bentuk spasial utama RTH yang secara fisik berbentuk non-linear, kompak, zonal atau areal, yang dibagi dengan: (a) Kawasan yaitu bentuk yang relatif luas (> 1 ha), seperti lapangan bola, alun-alun kota, kebun raya, (b) Simpul yaitu bentuk mengelompok yang relatif sempit (< 1 ha), seperti taman-taman kota, traffic islands, dan pocket park

Bentuk RTH jalur

♣ Bentuk spasial utama RTH yaitu berbentuk koridor, linear, memanjang. Bentuk RTH jalur ini dibagi menjadi empat berdasarkan peruntukan dan fungsi dari tiap peruntukkannya dalam kota, yaitu (a) Jalur hijau jalan raya, (b) Jalur hijau lintas kereta, (c) Jalur hijau tepi sungai, (d) jalur hijau tepi kota Pengguna RTH kota

♣ Setiap penduduk atau warga masyarakat dengan beragam status sosial ekonomi yang bertempat tinggal di suatu kota, yang menggunakan dan/atau merasakan manfaat keberadaan RTH secara langsung dan tidak langsung. RTH milik publik

RTH yang dimiliki dan dikelola oleh dan untuk kepentingan publik dan pening- katan kualitas lingkungan kota

RTH milik privat

RTH yang bukan dimiliki dan tidak dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor . Kota berwawasan lingkungan

♣ Kota yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah perkotaannya.

Kota berkelanjutan

♣ Suatu sistem perkotaan yang memperhatikan kelestariannya, melalui pertim- bangan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi wilayah perkotaan.

Masyarakat peduli lingkungan (Eco society)

masyarakat yang peduli terhadap berbagai anugerah alam; satu bentuk ma- syarakat yang menahan nafsunya terhadap konsumsi yang berlebihan dan berusaha menggunakan sumberdaya seefisien mungkin, serta meminimum- kan beban lingkungan. Sasaran adalah kehidupan dan kegiatan manusia yang seirama dengan kondisi lingkungan dan juga memprioritaskan kepe- dulian terhadap lingkungan dalam suatu pemerintahan kota (Aoshima dalam Inoguchi et al. 1999).

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota

2.1.1. Pengertian

Kota, dalam Inmendagri No.14 tahun 1988, didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta pemukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri perkotaan. Perkotaan dinyatakan sebagai suatu kumpulan pusat-pusat permukiman yang berperan didalam suatu wilayah pengembangan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, suatu bentuk ciri atau watak kehidupan kota.

Kota, secara fisik, merupakan pemukiman terpusat dengan rumah-rumah mengelompok yang penduduknya bukan bermata pencaharian dalam bidang pertanian, dilengkapi adanya prasarana perkotaan seperti rumah sakit, sekolah, pasar, taman, dan sebagainya (Jayadinata 1986). Hal yang khas dari suatu kota yaitu mandiri yang berarti penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal disana tetapi mencari nafkah dan berekreasi juga dilakukan di dalam kota. Menurut Catanese (1992), kota merupakan salah satu model lingkungan yang bersifat ekologis dengan pengertian bahwa kota mencerminkan suatu adaptasi yang sangat rumit yaitu upaya organismanya untuk beradaptasi terhadap suatu bentuk lingkungan. Sepuluh kriteria untuk merumuskan sebuah kota (Catanese 1992), yaitu: (1) berukuran dan berpenduduk besar di masa dan tempat itu, (2) bersifat permanen, (3) memiliki kepadatan yang tinggi, (4) memiliki struktur dan pola dasar seperti jalan dan ruang kota, (5) merupakan suatu tempat masyarakat tinggal dan bekerja, (6) memiliki sejumlah fungsi kota, (7) adanya heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat, (8) merupakan pusat ekonomi pada waktu dan tempat itu yang mengakomodasi daerah pertanian di pinggiran kota dan melakukan pengolahannya untuk pemasaran yang lebih luas, (9) merupakan pusat pelayanan bagi daerah sekitarnya, dan (10) merupakan pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada waktu dan tempat itu.

Kota, menurut Simonds (1983) adalah suatu bentukan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Karena itu, faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi perubahan lanskap

perkotaan juga berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota. Areal pada suatu kota, dinyatakannya, sebagai sesuatu yang sangat utama karena nilainya dan karena itu tiap rencana yang dibuat haruslah efisien secara ekonomi maupun visual. Kota, menurut Potter (1965) juga merupakan cerminan kebudayaan dan peradaban setempat karena kota merupakan juga pusat kebudayaan dimana materi-materi suatu peradaban berkembang.

Kota sebetulnya suatu bentukan transformasi, berdasarkan proses alam dan budaya, yaitu dari bentukan wild nature dan yang diubah untuk melayani kebutuhan dan keinginan manusia (Spirn 1993). Kota bukan hanya suatu artifak teknologi atau seni, tetapi merupakan satu tempat dimana kekuatan alami terasa dan jutaan manusia yang hidup didalamnya berfikir, bekerja, bermimpi dan mem- punyai perasaan. Karena itu, perancangan kota harus didasari oleh proses alam yang normal dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi, perasaan, dan makna kota itu.

2.1.2. Sejarah Perkembangan Kota

Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang pan- jang dan kompleks. Semua kota, umumnya, dibangun dengan suatu bentuk perencanaan berdasarkan kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek ke- ragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak dan rancang bangunnya (Tim IPB 1993). Berdasarkan sejarah perkembangan peradaban, tata permukiman dan kota yang sangat sederhana di mulai dari kehidupan komunal dalam gua atau diatas pohon yang dilanjutkan dengan pola pemukiman komunal yang menetap dengan model ladang berpindah atau permukiman yang bersifat nomadik (Rapoport 1969). Sekitar 4 000 tahun yang lalu, manusia diperkirakan telah menerapkan sistem bercocok tanam dengan irigasi alami, yang dinyatakan sebagai permulaan dari pembentukan permukiman yang tetap. Dalam kurun waktu ini, persyaratan terjadinya suatu revolusi sistem perkotaan akhirnya dipenuhi yang ditandai dengan terjadinya surplus persediaan pangan, ditemukannya kenderaan seder- hana serta cara mengolah logam untuk pembuatan peralatan yang dibutuhkan dalam kehidupan ekonomi masyarakat (Anwar 1994; Rapoport 1969). Menurut Jayadinata (1986), kota-kota pertama mulai berkembang di areal-areal yang subur di Afrika dan Asia Barat Daya yaitu Aphroditopolis dan Hierakonpolis di lembah Nil, Mohenjodaro di lembah Indus, Susa dan Uhr di lembah Euphrat.

Kota pada dasarnya berfungsi untuk memberikan pelayanan berbagai jasa, yaitu sebagai lokasi untuk menempatkan fasilitas pergudangan, aktivitas per- dagangan, industri dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini yaitu pentingnya lokasi untuk pertumbuhan suatu kota. Menurut Potter (1965), pada awalnya pangan, air, transportasi, serta proteksi merupakan penentu dari lokasi suatu kota. Sepanjang sejarahnya dijumpai juga kota-kota yang bertumbuh disekitar pusat pasar (downtown), yang terpusat karena faktor dan sarana religi, morfologi dan amenity (Anwar 1994 dan Jayadinata 1986). Kecenderungan munculnya bebe- rapa negara, yang dimulai pada tahun 1400, telah mendorong terjadinya pem- bukaan kota yang menjadi pusat pemerintahan. Pembangunan ibukota negara dilakukan dengan dirancang dan dilengkapi dengan berbagai prasarana kota yang diperlukan dalam rangka memperluas tugas dan kewajiban pemerintah serta menjaga wibawa aparatnya.

Adanya spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dimilikinya, terutama aspek ekonomi, telah meng- ubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota. Kota-kota ini selanjutnya dirancang dan dibangun dalam upaya mencapai tujuan tertentu seperti untuk kepentingan industri (Bekasi), wisata (Ubud), perdagangan (New York), pengembangan iptek (Tsukuba), pendidikan (Yogyakarta) dan lainnya. Spesialisasi pembangunan kota-kota modern saat ini, dilakukan terutama untuk mencapai efisiensi perkotaan yang tinggi, identitas kota, serta city image (Lynch 1995, Tim IPB 1993).

Gerakan memasukkan unsur-unsur alami yang relatif lebih banyak dan fungsional serta yang berorientasi kepentingan seluruh warga kota dalam suatu kawasan kota awalnya dimulai dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas keindahan dan kenyamanan kota, namun saat ini juga untuk meningkatkan kapasitas lingkungan. Menggunakan teknik irigasi untuk menghijaukan bagian dari kawasan kota (The Hanging Garden of Babylon) di kawasan padang pasir yang terik merupakan awal perkembangannya, yang dilanjutkan dengan muncul- nya konsep utopia tentang pembentukan kota yang ideal menurut Thomas More pada tahun 1516. Konsep kota ideal ini timbul karena terjadinya pertambahan fasilitas fisik bagi para warga kota baru yang bermigrasi karena terjadinya perubahan pola ekonomi yang awalnya berbasiskan sektor pertanian ke ekonomi industri yang telah berdampak negatif bagi kualitas lingkungan perkotaan (Potter 1965).

Kota-kota pertama yang dibangun untuk mengatasi degradasi lingkungan ini yaitu di Inggris. Negara ini, menurut Jayadinata (1986) dan Crowe (1981), merupakan negara yang penduduknya menyukai kehidupan yang dekat dengan suasana pedesaan sehingga perbaikan lingkungan berjalan dengan baik. Ada tiga tahap perkembangan rencana perbaikan lingkungan kota-kota Inggris yaitu tahap pertama adalah melalui terbentuknya garden village, tahap kedua dengan garden city (seperti Lechworth yaitu Kota Taman yang direncana oleh Ebenezer Howard), dan tahap ketiga dengan kota berciri pedesaan (Jayadinata 1986). Selanjutnya kota-kota berkonsep sama juga dibangun di Amerika Serikat (Green- dale, Radburn), di Australia (Canberra), Singapore dan di Indonesia (Bogor).

City beautiful movement merupakan suatu gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1893, yang merupakan cikal bakal dari perbaikan komunitas dan rencana kota. Perbaikan kota-kota tersebut juga didukung oleh para desainer taman/lanskap seperti F.L.Olmsted dan para pengikutnya, dengan mengintro- duksikan taman-taman umum di tiap kota (public city parks). Pada awal abad 19, sumbangan Amerika Serikat terhadap peningkatan kualitas lingkungan kota yaitu dengan memperkenalkan city park system, yang mengakomodasikan fungsi- fungsi kota dalam satu rangkaian pertamanan kotanya. Sistem ini telah dipakai di banyak kota, antara lain Singapore dan juga kota-kota di Eropa. Pada dekade terakhir, pemasukan unsur-unsur alami kedalam kota, sebagai bagian dari unsur pembentuk kota telah merupakan suatu gerakan yang didukung pemerintah kota terutama yang terkait dengan fungsi alami yang dimilikinya.

Tetapi konsep ini tidak begitu berkembang terutama karena dinamika keadaan ekonomi suatu wilayah. Pada akhir abad 20, perkembangan kota cen- derung merusak lingkungan terutama sumberdaya lahan akibat keterbatasan suplainya. Walaupun pada tahun 1970an timbul gagasan untuk menggunakan konsep konservasi dalam perencanaan penggunaan lahan dalam suatu kota untuk mempertinggi kualitas dan kapasitas lingkungannya, tetapi menurut Hahn dan Simonis (1991), kota tetap memberikan gambaran yang kurang memberi tempat untuk sesuatu yang sifatnya organik, tradisi kultural bahkan sering terjadi perusakan terhadap identitas suatu tempat. Perkembangan simbiotik terhadap human-environment relationship kurang terlihat dalam ruang-ruang kota saat ini yang antara lain dapat diketahui dari semakin berkurangnya ruang-ruang publik dan ruang yang berkesan ramah (Hahn dan Simonis 1991, Mc Harg 1992, Simonds 1983).

2.1.3. Ruang dan Penataannya Dalam Wilayah Perkotaan

Tata ruang kota penting dalam usaha untuk efisiensi sumberdaya kota dan juga efektifitas penggunaannya, baik sumberdaya alam maupun lainnya. Pada awal perencanaan, penataan ruang kota di Inggris terkait dengan usaha untuk memecahkan berbagai permasalahan sosial (seperti kemiskinan, buruknya kese- hatan, pengangguran, tempat tinggal yang kurang layak) dengan menata kembali ruang-ruang kota (Jayadinata 1986). Pelopornya adalah R. Owen, Cadburry, E. Howard dan Geddes. Tetapi saat ini, penataan ruang kota terkait dengan berbagai permasalahan utama perkotaan yang akan dipecahkan untuk mencapai tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan warganya dan keberlanjutan dari lingkungan dan kawasan perkotaan (Anwar 1994).

Ruang-ruang kota yang ditata secara terkait dan berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan dalam perencanaannya. Walaupun pada awalnya, pada tata ruang tradisional, terkait dengan permasalahan sosial budaya dan juga ketersediaan air dan pangan (Jayadinata 1986, Potter 1965, Rapoport 1969, Nurisyah 1996, Tuan 1977) tetapi perkembangan selanjutnya lebih diten- tukan oleh faktor ekonomi (Dicken dan Lloyd 1990). Tata guna lahan, sistem transportasi dan sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam pe- nentuan tata ruang kota saat ini (Anwar 1994, Dicken dan Lloyd 1991). Walau- pun demikian, penataan ruang kota juga dilakukan dengan melihat suatu bentu- kan lanskap sebagai unsur amenity kota seperti pada kota San Fransisco dan Rio de Janeiro (Anwar 1994, Tuan 1977).

a. Pengertian ruang

Tergantung pada kepentingan serta tujuan pemanfaatannya, ruang dapat didefinisikan secara berbeda dan dengan wujud (fisik dan psikis) yang juga berbeda. Ruang umumnya terkait dengan pengalaman seseo- rang (Tuan 1977), dan secara fisik terkait dengan use volume (Simonds 1983). Ruang memiliki kualitas dan dapat mengakomodasikan fungsi- fungsi yang diinginkan pada ruang tersebut (Simonds 1983).

Ruang, dinyatakan oleh Tuan (1977) berpreposisi antroposentris, dimana hampir semua yang terkait dengan dimensi ruang, umumnya, ber- hubungan dengan manusia. Dinyatakannya bahwa besaran, arah, citra dan nilai suatu ruang selalu terkait dengan pengalaman dan pengetahuan, hubungan personal, serta orientasi dan ukuran fisik manusia.

b. Ruang dalam pengertian ekonomi

Ruang dan keberadaannya disuatu lokasi dapat dinilai dari aspek ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan ruang sebagai barang atau good. Ruang terbuka hijau (RTH), seperti juga taman kota, diklasifikasi sebagai barang publik atau public good (Gold 1977, Mc Pherson 1992, Bergstrom 1990). Ciri mendasar dari barang publik yaitu pemakaiannya oleh seseorang tidak mengurangi ketersediaannya bagi orang lain, jadi tak ada persaingan dalam mengkonsumsinya, atau opportunity cost barang publik adalah nol (Bergstrom 1990).

Dari tinjauan ekonomi, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk menilai aspek lokasi dari suatu ruang terutama dalam wilayah perkotaan. Ketiganya menggambarkan nilai lahan yang dimiliki tiap bagian kota (per- dagangan, industri dan pemukiman) yang didasarkan pada locational rent yang diturunkan dari model von Thunen (Dicken dan Lloyd 1991). Ketiga teori ini, yaitu (1) teori konsentrik dari E.W. Burgess, (2) teori sektor dari H. Hoyt, dan (3) Multiple Nuclei Concept dari R.D. McKenzie dapat dilihat pada Gambar 2, dan Gambar 3 memperlihatkan oportunitas tata ruang kota. Pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa semakin besar dan semakin kompleks kegiatan suatu kota maka tata ruangnya tidak hanya terpusat pada satu titik, dan pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai lahan di kawasan perdagangan mempunyai nilai rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan kota lainnya.

Gambar 2. Tiga model diagramatik tata ruang kota

1. High-Rent Residential 2. Intermediate-Rent

Residential 3. Low-Rent Residential 4. Education and Recreation 5. Transportation 6. Industrial 1. Central Business District

2. Wholesale, light manufacturing 3. Low-Rent Residential 4. Medium-Class Reseidential 5. High-Class Residential 6. Heavy Manufacturing

7. Outlying Business District 1.Central

Business District 2.Deteriorating

Gambar 3. Oportunitas tata ruang kota

Dalam kaitannya dengan bentukan sumberdaya alam dan jasa ling- kungan, maka amenity rent dan institutional rent serta beberapa rents dan biaya-biaya lain yang “melekat” dengan sifat dan karakter sumberdaya ini perlu diketahui untuk kelangsungan ketersediaan suplainya (Dicken dan Lloyd 1990).

c. Ruang dalam pengertian ekologis

Ruang yang habitable, dalam pengertian aman, nyaman, dan memu- askan, antara berbagai mahkluk yang menghuni dengan elemen pem- bentuk ruangnya merupakan ruang dalam pengertian ekologis (Forman dan Godron 1986, Mc Harg 1995, Simonds 1983, Tuan 1977). Kehilangan atau gangguan pada elemen dan/atau unsur pembentuknya akan menye- babkan perubahan bentuk dan ukuran ruang, secara kuantitas dan kualitas, dapat mengubah stabilitas dan keragaman jenis yang telah dimiliki oleh ruang atau habitat ini.

Teori mengenai island biogeography yang dikenalkani oleh Charles Darwin merupakan salah satu teori yang dapat digunakan dalam meng- analisis aspek keruangan secara ekologis karena ekosistem, spesies, dan individu biota yang beranekaragam menghuni permukaan bumi dengan pola persebaran tertentu (Forman dan Godron 1986). Dari penemuannya, diketahui bahwa (1) luas pulau, (2) derajat keterisolasian, dan (3) umur geologis, mempengaruhi keragaman spesies di satu lokasi. Secara diag- ramatis, bentuk ruang berdimensi ekologis dapat dilihat pada Gambar 4.

1. Center of the city

2.Commercial

3. Industrial 4. Residential 5. Agricultural

Gambar 4. Ukuran dan bentuk ruang ekologis (Sumber: Forman dan Godron 1986)

d. Ruang dalam pengertian arsitektural

Catanese (1992) mengemukakan bahwa dalam membuat rencana ruang suatu kota tidak hanya memperhatikan fungsinya saja tetapi juga keindahan yang dihasilkannya. Keindahan ruang ini dapat terjadi secara alami dan dapat juga dibuat oleh manusia (Tuan 1977). Keindahan juga dimiliki oleh sumberdaya alam di wilayah kota (seperti bangun arsitektur alami dari pepohonan, sungai dan lanskap), yang umumnya lebih kompleks dan beragam dibandingkan dengan arsitektur yang dibangun manusia (Dawson, Mc Collum, dan Tatum 1997).

Rassmussen dan Tuan (1977) menyatakan bahwa arsitektur kota se- harusnya dapat mempengaruhi perasaan warga kota melalui pandangan, sentuhan dan juga pendengaran. Ruang yang terbentuk dari penataan arsitektur kota ini, menurut Tuan (1977), merupakan lingkungan yang dapat mempengaruhi manusia yang hidup didalamnya. Dampak yang diharapkan dari pembentukan ruang arsitektural ini yaitu terjadinya penyempurnaan perasaan dan persepsi manusia terhadap lingkungannya, bersifat sebagai guru dan sering bermakna simbolistik, dan dapat lebih memperjelas peranan dan hubungan sosial yang terkait dengan kondisi lingkungan.

Kesadaran estetis ini terkait dengan interaksi antara apa yang di- rasakan, bagaimana merasakannya, dan reaksi pengguna terhadapnya. Pengalaman estetis yang dihasilkan didasarkan pada harapan dan pada kemampuan lingkungan untuk memberikan seperangkat harapan-harapan melalui kesadaran perasaan manusia. Diketahui ada dua arah yang mem- pengaruhi reaksi individu terhadap pengalaman dan kepuasan yaitu kearah keteraturan dan logis, serta kearah kompleksitas dan mengagumkan.

Ukuran

Bentuk

kecil intermediate besar

Faktor yang mempengaruhi arahan ini yaitu budaya, kebutuhan pribadi dan lingkungan sebelumnya.

Menurut Lynch (1982), kualitas visual merupakan nilai penentu ruang dalam suatu cityscape, walaupun ukuran, waktu dan kompleksitas kota mempengaruhinya. Kualitas visual ini diukur berdasarkan empat faktor utamanya yaitu (1) legibilitas (kemudahan untuk dikenal), (2) dapat mem- bentuk suatu kesan tertentu, (3) memberi bentuk identitas tersendiri, dan (4) kemampuan untuk dikenang.

e. Ruang dalam pengertian sosial

Menurut Hester (1984), sosial merupakan aspek yang terkait dengan manusia dalam kelompok atau masyarakatnya. Ruang dalam pengertian ruang sosial didefinisikan sebagai ruang yang dapat mengakomodasikan atau yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan untuk bersosial dari penggunanya. Ruang sosial ini terkait dengan kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat yang dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah, lahan pertanian dan bangun arsitektur lainnya (Rapoport 1977, Tuan 1977). Bentuk-bentuk ruang sosial ini umumnya digunakan untuk berbagai kegiat- an yang bersifat dan untuk kepentingan kelompok seperti bekerja, ber- santai, pertemuan politik, proyek pendidikan, jalur lalu lintas dan lainnya (Hester 1984, Rapoport 1977, Tuan 1977).

Environmental design, menurut Hester (1984), merupakan salah satu bentuk produk desain yang dapat mengusahakan terjadinya perubahan sosial pengguna lingkungan tersebut misalnya mengurangi perkelahian,

Dokumen terkait