• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi pengembangan pola pemuliaan merupakan proses berlanjut dimulai dari perencanaan awal, kemudian pelaksanaan strategi diantaranya mencakup penentuan tujuan pemuliaan, kegiatan recording, pendugaan nilai pemuliaan, optimalisasi struktur pemuliaan, dan evaluasi untuk mengetahui hasil yang dicapai. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan berikutnya (Groen 2000). Keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh kejelasan tujuan pemulian serta peran peternak yang terlibat dalam kegiatan pemuliaan (Philippson & Rage 2002; Croston & Pollot 1985; Olivier et al. 2002; Kosgey, 2004).

Phillipson dan Rege (2002), mengemukakan bahwa dalam membuat program pemuliaan harus dipertimbangkan kebijakan pembangunan pertanian, sistem produksi, pasar, lingkungan, bangsa ternak, prasarana (infrastruktur) serta peran serta peternak. Selanjutnya dinyatakan dalam pengembangan program pemuliaan harus mencakup komponen: breeding strategis, recording dan data

processing, metode reproduksi, analisis parameter genetik dan pendugaan nilai pemuliaan, seleksi dan perkawinan, monitoring kemajuan genetik, kebijakan pembangunan pertanian dan pasar, nilai-nilai sosial dan budaya, sistem produksi, karakteristik populasi, dan infrastruktur.

Berdasarkan kerangka di atas komponen yang harus diperhatikan dalam pengembangan program pemuliaan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal yaitu faktor-faktor yang langsung terlibat dalam pola

pemuliaan dan faktor eksternal yaitu faktor pendukung dalam pola pemuliaan. Faktor internal antara lain sumber daya manusia, sumber daya ternak, tujuan pemuliaan, parameter genetik, seleksi, dan perkawinan, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah sarana dan prasarana (infrastruktur), kebijakan pemerintah, pasar, dan sosial budaya.

Sumber daya manusia,peternak yang tergabung dalam model Margawati,

H. Osih maupun Jogya Grup sebagian besar termasuk dalam usia produktif dengan pengalaman beternak lebih dari 10 tahun. Banyaknya peternak usia produktif serta berpengalaman yang aktif dalam usaha pembibitan ternak akan berpengaruh terhadap pengembangan ternak domba khususnya di kabupaten Garut. Peternak model Jogya Grup sebagian besar (52%) berpendidikan cukup yaitu SMP keatas sedangkan model Margawati dan model H. Osih masih berpendidikan rendah. Berdasarkan tingkat pendidikan model Jogya Grup dapat dipilih untuk dikembangkan, peternak pada model ini selain berpendidikan cukup juga memiliki pengetahuan, motivasi tinggi, dan partisipasi baik dalam kegiatan pemuliaan.

Sumber daya ternak. Domba yang dipelihara di kelompok H. Osih, Jogya

Grup dan Lesan Putra adalah domba priangan tipe tangkas. Induk dan jantan yang digunakan untuk bibit hasil seleksi cukup ketat, yaitu jantan 20% terbaik dan betina 70% terbaik. Berdasarkan hasil pendugaan nilai pemuliaan, persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot lahir di atas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah 41.67% ; 46.99%; dan 44.39%, pada kelompok Margawati, 42.86%; 41.18%; dan 33.09% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 61%; 50.92%; dan 39.41%. Persentase ternak yang memiliki nilai pemuliaan bobot sapih diatas rata-rata untuk pejantan, induk dan anak masing-masing adalah, 37.5%; 36.28%; dan 30.94% pada kelompok Margawati, 5%; 32.56%; dan 33.33% kelompok H. Osih serta pada kelompok Lesan masing-masing 50% ; 48.72% ; dan 36.11%

Tujuan pemuliaan, salah satu komponen yang sangat penting merupakan

langkah awal dalam kegiatan program pemuliaan adalah menetapkan tujuan pemuliaan (breeding objective). Gibson (2005) mengemukakan bahwa tujuan pemuliaan merupakan keseluruhan sasaran dalam peningkatan mutu genetik ternak, tujuan tersebut harus dapat meningkatkan pendapatan atau meningkatkan efisiensi ekonomi atau mengurangi resiko ekonomi. Tujuan pemuliaan pada tingkat makro harus sejalan dengan kebijakan pembangunan

pertanian, pasar, sistem produksi serta hasil (out put) yang diinginkan sesuai dengan kondisi lingkungan dan sumber daya setempat, pada tingkat mikro tujuan pemuliaan meningkatkan sifat-sifat produksi yang mempunyai nilai ekonomi penting. Tujuan pemuliaan harus dibuat pada tingkat nasional, daerah atau lokal dan peternak harus dilibatkan (Groen 2000; Olivier et al. 2002).

Sebagai UPTD tujuan pemuliaan di Margawati selain menghasilkan domba- domba unggul juga melestarikan plasma nuftah domba Priangan, namun akibat adanya kebijakan otonomi daerah yang mewajibkan Margawati untuk menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) tujuan pemuliaan hampir tidak tercapai, Margawati lebih menitik beratkan untuk dapat memenuhi kewajiban PAD sehingga pemeliharaan domba lebih mengarah komersial. Pada pola H. Osih tujuan pemuliaan jelas yaitu untuk menghasilkan domba tangkas unggul dengan bobot badan tinggi sekurang kurangnya 60 kg, sedangkan untuk kelompok Jogya Grup tujuan pemuliannya selain untuk menghasilkan domba tangkas juga menghasilkan domba potong.

Parameter genetik, peningkatan mutu genetik ternak dapat dilakukan

melalui seleksi dan persilangan. Program seleksi akan efektif bila diketahui nilai parameter genetik terutama nilai heritabilitas, korelasi genetik dan nilai pemuliaan sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting (Martojo 1990).

Salah satu kelemahan dalam kegiatan pemuliaan domba di Jawa Barat tidak ada recording. Kegiatan recording di Margawati, masih terbatas hanya mencatat bobot lahir, bobot sapih, tipe kelahiran, paritas, serta pejantan dan induk. Kegiatan recording di Margawati hanya dilakukan di inti sedangkan di kelompok plasma tidak dilakukan. Untuk pola H. Osih maupun Jogya Grup catatan tertulis belum ada, namun silsilah induk dan jantan terutama untuk domba juara diketahui peternak. Berdasarkan hasil observasi sebagian besar peternak tidak tahu pentingnya recording. Akibat tidak ada recording, pendugaan parameter genetik dan nilai pemuliaan di kelompok H. Osih dan Jogya grup tidak bisa dilakukan. Penilaian ternak lebih didasarkan pada penampilan fenotip dan silsilah yang diketahui peternak. Pada Margawati dan Lesan Putra recording

sudah dilakukan namun parameter yang dicatat masih terbatas yaitu hanya bobot lahir dan bobot sapih.

Seleksi dan perkawinan, dua aktivitas penting dalam pengembangan

pemuliaan adalah seleksi dan memperbanyak serta menyebarkan hasil seleksi (Kosgey 2004). Seleksi di kelompok peternak H. Osih dan Jogja Grup diarahkan

untuk mendapatkan domba tangkas unggul. Seleksi masih berdasarkan penampilan fenotip, sifat-sifat yang diseleksi lebih banyak sifat kualitatif, diantaranya pola warna, bentuk tanduk, bentuk telinga, dan bentuk badan. Sifat kuantitatif yang paling diperhatikan adalah bobot lahir, bobot sapih, dan bobot umur satu tahun. Silsilah juga menjadi pertimbangan seleksi, untuk jantan lebih disukai berasal dari kelahiran tunggal. Seleksi pada kelompok Margawati dilakukan di inti (UPTD BPPTD Margawati), berdasarkan pada bobot sapih. Jantan diambil 10% terbaik sedang betina 90% terbaik.

Sarana dan Prasarana (Infrastruktur), sarana dan prasarana merupakan

salah satu elemen penting dalam keberhasilan program pemuliaan ternak, termasuk kedalam sarana dan prasarana diantaranya adalah fasilitas untuk pembibitan dan penyebaran bibit, peralatan dan metode untuk recording, pengelolaan data dan evaluasi ternak, ketersediaan dana serta tenaga ahli.

Berkaitan dengan tenaga ahli, tenaga penyuluh dan petugas kesehatan hewan merupakan prasyarat penting untuk keberhasilan program pemuliaan. Penyuluh atau mantri hewan dapat membantu peternak diataranya dalam memilih bibit unggul, mengarahkan dalam menjual ternak serta memelihara kesehatan ternak, namun tenaga tersebut masih merupakan masalah di Indonesia.

Sarana dan prasarana yang dimiliki H. Osih, paling minim dibandingkan dengan sarana dan prasarana kelompok lainnya. Lokasi anggota kelompok peternak terpencar di sekitar daerah perkebunan, sarana jalan jelek, transportasi dan sarana komunikasi terbatas menyebabkan sulitnya koordinasi antar peternak maupun antara peternak dengan inti. Kandang dan sarana produksi lainnya masih sederhana.

Sosial budaya, ternak domba memiliki peran penting baik secara ekonomis maupun sosial bagi petani. Domba sebagai penghasil daging, penghasil pupuk sumber pendapatan tunai bahkan sebagai tabungan dan status sosial. Budaya masyarakat secara turun temurun terbiasa memelihara domba merupakan salah satu kekuatan dalam pengembangan usaha ternak domba. Adanya kontes domba baik yang diselenggarakan oleh Dinas Peternakan atau organisasi HPDKI merupakan faktor pendorong bagi peternak untuk meningkatkan kualitas dombanya baik melalui tatalaksana pemeliharaan maupun pembibitan.

Pasar, pemasaran ternak dan hasil ternak merupakan salah satu faktor

(Gatenby 1986). Pasar untuk ternak domba masih heterogen antara lain untuk kebutuhan daging, kebutuhan qurban dan hobi (domba tangkas). Untuk kebutuhan tersebut diperlukan domba yang berbeda. Beragamnya ternak yang dibutuhkan diperlukan ternak yang multiguna dengan demikian tujuan pemuliaanpun harus beragam.

Masalah dalam pemasaran domba diantaranya kurangnya fasilitas seperti pasar ternak dan kebijakan pemerintah dalam mengatur pemasaran ternak. Harga ternak sangat bervariasi bergantung pada kondisi ternak, untuk daging variasinya tidak terlalu tinggi tapi untuk qurban dan domba tangkas variasinya cukup tinggi. Cara menjual ternak umumnya dilakukan langsung dari peternak ke konsumen atau melalui bandar. Penjualan ternak melalui bandar sering merugikan peternak, bandar membeli dari peternak dengan harga murah sementara menjualnya dengan harga tinggi. Masalah lain adalah sebagian konsumen terutama pedagang sate dan penjual daging domba menginginkan domba dengan berat hidup tidak lebih dari 25 kg. Kebutuhan domba tertinggi biasanya terjadi pada hari raya qurban, umumnya diperlukan domba jantan umur di atas satu tahun dengan bobot badan yang tidak terlalu tinggi. Kedua hal ini merupakan dilema bagi pemulia, disatu sisi tujuan pemuliaan meningkatkan produktivitas ternak melalui peningkatan mutu genetik tetapi disisi lain dibatasi oleh permintaan konsumen, migrasi ternak yang tinggi yaitu penjualan ternak bibit keluar daerah menyebabkan terkurasnya bibit unggul di penangkar bibit, oleh karena itu sasaran pemuliaan harus selalu berorientasi pasar, memenuhi kebutuhan pangan dengan harga yang sesuai dengan kemampuan konsumen.

Kelompok Margawati, H. Osih dan Jogya Grup tidak terlalu bermasalah dalam pemasaran ternak, inti berperan dalam kegiatan pemasaran. Ternak yang dijual pada kelompok H. Osih dan Jogya Grup adalah ternak bakalan domba tangkas, domba tangkas dewasa dan domba tangkas afkir untuk dijadikan daging. Penjualan bibit dilakukan atas pertimbangan inti, sedangkan untuk domba afkir bisa dilakukan langsung oleh peternak anggota. Penjualan ternak di kelompok Margawati dilakukan langsung oleh peternak anggota setelah bagi hasil dan ternak yang baik dipilih untuk ternak pengganti di Margawati.

Kebijakan pemerintah, program pemuliaan ternak merupakan kegiatan

jangka panjang untuk menghasilkan pangan asal ternak serta hasil produk ternak lainnya sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, oleh karena itu program

pemuliaan ternak harus merupakan bagian yang terintegrasi dari kebijakan pembangunan pertanian nasional.

Kebijakan pemerintah dalam perbibitan diarahkan melalui tiga alternatif yaitu pemurnian, persilangan dan penciptaan bibit baru. Visi perbibitan peternakan adalah tersedianya berbagai jenis bibit ternak dalam jumlah dan mutu yang memadai serta mudah diperoleh. Strategi pengembangan industri bibit antara lain meliputi :

- Pengembangan usaha melalui pembibitan ternak rakyat (Village Breeding Centre) yang merupakan andalan dalam meningkatkan kemampuan penyediaan bibit ternak di pedesaan. Pengusahaan ini dilakukan oleh petani peternak anggota kelompok penangkar yang terkonsentrasi disuatu kawasan.

- Menumbuh kembangkan kemitraan usaha antara penghasil bibit unggul dengan kelompok petani di lokasi pengembangan dalam memproduksi dan pemanfaatan bibit unggul.

- Pengembangan SDM melalui, pengembangan kemampuan penguasaan teknologi dan pengetahuan, kewirausahaan, dan team work.

- Pengembangan teknologi, antara lain meliputi : menumbuhkembangkan penelitian dan pengembangan oleh pihak swasta bekerjasama dengan pemerintah (Litbang dan Perguruan Tinggi), perbanyakan varietas unggul sebagai bibit dasar dilakukan di UPT atau swasta yang memenuhi syarat, memanfaatkan varietas unggul.

- Pengembangan kelembagaan meliputi memperbaiki kinerja UPT Pembibitan ke arah komersialisasi dan privatisasi, mengembangkan kelembagaan penangkar bibit ternak rakyat (VBC). Adanya kebijakan pemerintah diharapkan peran Margawati sebagai UPTD akan dapat berperan maksimal dalam penyediaan bibit unggul domba priangan demikian pula kelompok-kelompok penangkar bibit ternak rakyat seperti kelompok H. Osih, Jogya Grup dan Lesan Putra akan mendapat perhatian pula terutama dari segi permodalan dan pembinaan teknologi. Sejalan dengan pendapat Kosgey (2004) bila peternak terorganisasi kegiatan

Village Breeding Centre (VBC) akan dapat berjalan dengan baik dengan biaya yang relatif murah.

Urutan faktor-faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan ditentukan berdasarkan vektor prioritas hasil proses hirarki analisis, disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Vektor prioritas faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan

Faktor Vektor Prioritas

Pasar 0.21

Tujuan pemuliaan 0.17

Sumber daya ternak 0.14

Parameter genetik 0.12

Seleksi dan perkawinan 0.09

Sumber daya manusia 0.07

Infrastruktur 0.07

Kebijakan Pemerintah 0.07

Sosial budaya 0.06

Tabel 17 memperlihatkan bahwa pasar menduduki urutan pertama yang harus dipertimbangkan, urutan ke dua dan ke tiga masing-masing adalah tujuan pemuliaan dan sumber daya ternak. Parameter genetik menduduki urutan ke empat dan urutan berikutnya adalah seleksi dan perkawinan, sumber daya manusia, kebijakan pemerintah, infrastruktur dan sosial budaya. Groen (2000) mengemukakan bahwa tujuan pemuliaan diantaranya menghasilkan generasi ternak yang mampu berproduksi lebih efisien pada kondisi ekonomi dan sosial mendatang, sehingga sasaran pemuliaan harus mencakup perhitungan ekonomis untuk sifat-sifat yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak. Program pemuliaan berkelanjutan harus berorientasi pasar yang menguntungkan.

Program pemuliaan akan berhasil bila kondisi sosial budaya peternak dipertimbangkan dalam tujuan pemuliaan. Kegagalan program perbaikan mutu genetik ternak di negara-negara berkembang umumnya karena direncanakan oleh pemerintah tanpa melibatkan dan mempertimbangkan apa yang diperlukan oleh peternak (Wollny et al. 2002). Program pemuliaan yang berhasil adalah yang dilakukan oleh kelompok peternak dengan mendapat dukungan pemerintah. Perlu dikembangkan ternak yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi peternak (Ramsay et al. 2000).

Perbandingan ke tiga pola pemuliaan berkenaan dengan setiap faktor yang menentukan pola pemuliaan berkelanjutan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Vektor prioritas kelompok peternak pada masing-masing faktor yang menentukan dalam pola pemuliaan berkelanjutan

Pola pemuliaan Faktor

Margawati Jogya Grup H. Osih

Sumber daya manusia 0.49 0.31 0.20

Sumber daya ternak 0.14 0.43 0.43

Tujuan pemuliaan 0.20 0.49 0.31

Parameter genetik 0.41 0.33 0.26

Seleksi dan perkawinan 0.14 0.53 0.33

Infrastruktur 0.53 0.33 0.14

Sosial budaya 0.14 0.43 0.43

Pasar 0.16 0.54 0.30

Kebijakan Pemerintah 0.54 0.30 0.16

Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa pola Margawati unggul dalam sumber daya manusia, infrastruktur dan parameter genetik dibandingkan dengan model lainnya. Sebagai pusat pembibitan milik pemerintah dilengkapi dengan infrastruktur yang cukup diantaranya fasilitas kandang, kebun rumput serta prasarana lainnya, sumber daya manusia terdiri atas sarjana dan tenaga teknisi dari D3 dan SNAKMA. Kebijakan pemerintah sangat menentukan pada pola Margawati, dengan dilaksanakannya otonomi daerah UPTD-BPPTD Margawati diharuskan menyumbang terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Jawa Barat, sebagai konsekuensinya Margawati harus juga melaksanakan usaha komersil, akibatnya tujuan Margawati sebagai pusat pembibitan sulit dicapai.

Tujuan pemuliaan dengan skor tertinggi terdapat pada pola Jogya Grup kemudian berturut-turut, H. Osih dan Margawati. Pada kelompok Jogya Grup tujuan pemuliaan selain menghasilkan domba tangkas juga menghasilkan domba daging dan selalu memperhatikan permintaan pasar. Pada model H. Osih tujuan pemuliaan jelas yaitu menghasilkan domba tangkas dengan pola warna bulu hitam atau baracak.

Salah satu usaha pokok dalam kegiatan agribisnis kelompok Jogya Grup adalah menjual domba baik bibit domba tangkas maupun pedaging, oleh karena itu pemasaran bagi kelompok ini tidak menjadi masalah. H. Osih merupakan penghasil bibit domba tangkas cukup terkenal, sehingga pemasaran ternak tidak

menghadapi masalah bahkan jumlah permintaan bibit lebih banyak dari yang bisa dihasilkan. Keunggulan lain yang dimiliki model H. Osih dan Jogya Grup dibandingkan dengan model Margawati adalah sumber daya ternak dan sosial budaya. Domba yang dipelihara di Jogya grup dan H. Osih adalah bibit unggul domba tangkas hasil seleksi yang cukup ketat.

Berdasarkan Tabel 18, pola Margawati lebih unggul dalam faktor eksternal atau faktor-faktor pendukung untuk keberhasilan pola pemuliaan antara lain sumber daya manusia, kebijakan pemerintah dan infrastruktur. Pola Jogya Grup dan H. Osih unggul dalam faktor-faktor internal yang langsung berperan dalam pola pemuliaan atara lain sumber daya ternak, tujuan pemuliaan, seleksi dan perkawinan serta pemasaran. Untuk mengetahui pola terbaik dari tiga pola ditentukan berdasarkan hasil perkalian vektor prioritas pada Tabel 17 dengan vektor prioritas pada Tabel 18 (Saaty 1993), hasilnya disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Skor prioritas model pola pemuliaan

Model Pola Pemuliaan Skor Prioritas

Margawati 0.27

Jogya Grup 0.43

H. Osih 0.30

Pada Tabel 19 tampak bahwa skor tertinggi adalah pola Jogya Grup, kemudian berturut-turut pola H. Osih dan pola Margawati. Berdasarkan skor tersebut maka pola Jogya Grup merupakan pola terbaik untuk dikembangkan menjadi model pola pemuliaan yang berkelanjutan. Hasil ini sejalan dengan Kosgey (2000), program yang optimal bukan hanya berhasil dalam meningkatkan mutu genetik ternak tetapi sesuai dengan sarana yang ada serta adanya keterlibatan peternak, serta program pemuliaan berkelanjutan harus berorientasi pasar.

Dokumen terkait