• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pengembangan Transmigrasi Umum Lahan Kering

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 15 tahun 1997 yang diperbaharui dengan UU No. 29 tahun 2009 tentang ketransmigrasian, menyatakan tujuan program transmigrasi adalah meningkatkan kesejahteraan

transmigran dan masyarkat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Sasaran utamanya adalah: (1) pemerataan penduduk di seluruh wilayah Indonesia melalui usaha pemindahan penduduk dari daerah yang berpenduduk padat seperti pulau Jawa, pulau Madura dan Bali ke daerah yang berpenduduk masih jarang, (2) mengembangkan wilayah-wilayah yang potensial yang masih terbelakang melalui pemaduan sumberdaya alami yang potensial di daerah tersebut dengan sumberdaya manusia sehingga diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, (3) mempercepat tercapainya kehidupan yang layak bagi penduduk, baik penduduk setempat maupun transmigran melalui peningkatan pendapatan yang lebih besar dari kebutuhannya sehingga dapat mendorong perkembangan pemukiman lebih maju dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian wilayah, (4) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah di seluruh Indonesia, dan (5) meningkatkan ketahanan nasional.

Pembangunan permukiman transmigrasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah belum sepenuhnya optimal, yang mampu menopang perkembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada (Anharudin et al., 2003). Pembangunan Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) memang dirancang agar secara ekonomi dapat menopang pertumbuhan kawasan di sekitarnya dan memberikan kontribusi terhadap wilayah lain melalui distribusi barang dan jasa. Namun dalam realitasnya banyak UPT atau kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu menopang perkembangan wilayah, bahkan banyak lokasi transmigrasi yang dibangun justru berada pada posisi terpencil (Danarti, 2003). Dengan demikian pembangunan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu mempercepat proses pembangunan wilayah dengan mendorong terbentuknya pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dimasa depan, prinsip yang dipegang dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota (RTRWK) dan memungkinkan bagi pengembangan spasial secara menyeluruh (Priyono, 2003).

Program transmigrasi telah terbukti mampu meminimalisir permasalahan kependudukan. Pulau-pulau yang kepadatan penduduknya sangat tinggi seperti Jawa, Madura dan Bali, lambat-laun kepadatan penduduk mulai turun dan daya

dukungnya untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk mulai meningkat. Pulau- pulau yang potensi sumberdaya alamnya melimpah, namun potensi sumberdaya manusianya kurang, telah berkembang dan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya setelah diterapkannya program transmigrasi (Pasaribu, 2004).

Pembangunan transmigrasi ke depan masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung maupun tidak langsung.

Komponen-komponen yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan kawasan transmigrasi adalah: (1) komponen optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan, misalnya potensi pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, (2) komponen pemanfaatan lingkungan hidup yang harus memperhatikan upaya-upaya pencegahan kecenderungan pada kerusakan alam, dan (3) komponen sarana, prasarana utama dan penunjang untuk permukiman dan usaha pertanian, untuk mendorong peningkatan nilai tambah ekonomi dari komoditi yang dihasilkan dari ekstraksi sumberdaya alam. Hal ini karena secara hirarki dalam setiap wilayah pengembangan kawasan transmigrasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi pasal 16 ayat (1), (2), (3), beberapa satuan kawasan pengembangan mempunyai daya tampung sekurang-kurangnya 9.000 kepala keluarga. Setiap SKP terdiri dari beberapa SP dan mempunyai daya tampung 1.800 sampai 2000 kepala keluarga. Setiap SP mempunyai daya tampung 300 sampai dengan 500 kepala keluarga.

Pengembangan transmigrasi pola diversifikasi pertanian (tanaman pangan) adalah pola utama bagi daerah baru dan dikembangkan melalui transmigrasi umum (Departemen Transmigrasi, 1992a). Kegiatan usaha pokok pertanian

tanaman pangan, pada umumnya mempunyai tingkat kelayakan ekonomis relatif rendah, sehingga harus dilakukan usaha diversifikasi pertanian yang sedapat mungkin diarahkan bagi usahatani terpadu. Usahatani tersebut meliputi komoditas utama tanaman pangan, yang dikaitkan dengan pengembangan hortikultur, perikanan, peternakan dan sebagainya.

Menurut Effendi (1984) pada kondisi lahan dengan jenis tanah podsolik merah kuning dengan topografi sampai bergelombang hanya mungkin bilamana tanaman tahunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa dijadikan tanaman pokok dalam jangka panjang, mengingat: 1) bahaya erosi cukup besar kaau mayoritas lahan ditanami tanaman pangan yang umumnya berupa tanaman semusim dan setahun, 2) kelestarian lingkungan dalam arti konservasi tanah dan air hanya dapat dijamin kalau mayoritas lahan ditutupi oleh tanaman tahunan atau adanya vegetasi penutup secara permanen, 3) tanaman pangan pada prinsipnya membutuhkan intensitas kerja yang tinggi; ada variasi penggunaan tenaga kerja secara tajam tergantung pada kegiatan atau musim,tingkat kemampuan petani juga terbatas dalam mengelola tanaman pangan mengakibatkan terbatasnya tingkat penghasilan petani. Bertitik tolak pada dasar pemikiran di atas, maka harus dicari jalan keluar bagaimana petani harus mengusahakan lahannya sehingga dapat dicapai pendapatan minimum US $ 1.500/KK/tahun (Effendi, 1984 dan Lubis, 1984)..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tersebut dapat dicapai dengan pengelolaan budidaya tanaman karet seluas 1 ha, tanaman pangan 0,5 ha dan 0,25 ha lahan pekarangan dengan menggunakan teknologi yang telah dihasilkan oleh Balai-Balai Penelitian. Ternyata bahwa pendapatan minimum US $ 1.500/KK/tahun ini dapat dicapai antara tahun ke 12-13 yang dihasilkan dari tanaman karet maupun tanaman pangan. Pencapaian jumlah ini akan lebih cepat apabila ternak sapi dapat dimasukkan kedalam pola usahataninya. Untuk lahan karet seluas 2,0 ha dengan pola petani yang sudah disempurnakan, pendapatan tersebut baru bisa dicapai pada tahun ke-14 (Effendi, 1984).

Penetapan usaha pokok ditujukan untuk memberi kemudahan bagi pengaturan pembinaan, meskipun tetap memberikan kebebasan kepada setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mempunyai tambahan usaha lain (Departemen Transmigrasi, 1992b). Menurut Peraturan Menteri Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor : PER.115/MEN/1992 tentang Pedoman Induk Penyelenggaraan Transmigrasi, penyelenggaraan transmigrasi pada dasarnya terkait erat dengan program investasi dalam rangka kegiatan produksi dan jasa tertentu. Dikembangkannya pola kegiatan usaha pokok transmigrasi dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah upaya pembangunan transmigrasi melalui model investasi atau pola pengembangan permukiman transmigrasi. Jenis kegiatan usaha pokok ditetapkan berdasarkan hasil optimalisasi pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan. Kegiatan usaha pokok yang berlaku bagi setiap permukiman transmigrasi adalah merupakan kegiatan usaha dominan. Kegiatan usaha pokok permukiman transmigrasi dibagi atas sektor ekonomi primer, sekunder dan tersier.

Melihat kondisi lahan kering yang mempunyai karakteristik sebagai lahan marjinal dan bersifat masam serta cenderung mudah terdegradasi apabila pengelolaannya kurang tepat, maka pemanfaatannya untuk usaha-usaha pertanian di kawasan transmigrasi lahan kering diperlukan suatu strategi. Menurut Mastur (2002), strategi yang dipilih dalam pemanfaatan lahan kering marjinal yang ideal, haruslah mempertimbangkan sumberdaya lokal terutama kondisi sosial, budaya dan ekonomi petani, ketersediaan teknologi, ketersediaan dana, serta akses dan peluang pasar. Strategi-strategi pemanfaatan lahan-lahan marjinal tersebut diantaranya adalah untuk berbagai komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai berikut:

1. Komoditas pertanian, padi, palawija dan sayuran merupakan kebutuhan pokok masyarakat transmigran. Ketiga komoditas ini sangat berarti sebagai sumber pangan pokok. Lahan-lahan marjinal bertanah gambut, sulfat masam dan berdrainase buruk, sangat cocok untuk padi. Pengelolaan tanah gambut dan sulfat masam untuk tanaman padi relatif beresiko kecil terhadap kerusakan lingkungan, karena adaptasi tanaman padi yang sangat baik terhadap lingkungan basah (tergenang). Pada tanah bermasam tadah hujan dan beriklim kering, padi yang ditanam adalah jenis padi gogo.

2. Komoditas perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, coklat, dan lada sangat sesuai pada lahan marjinal berlahan masam. Kelapa, kelapa sawit dan rami merupakan tanaman perkebunan yang cocok pada beberapa jenis tanah

gambut. Dibandingkan dengan tanaman pangan, seharusnya komoditas- komoditas perkebunan perlu dikembangkan di lokasi-lokasi transmigrasi khususnya di lahan kering, karena secara agronomis tidak memerlukan teknologi yang rumit. Pengembangan tanaman pangan pada tanah kering marjinal menghasilkan produktifitas yang rendah jika tanpa diberi input, seperti kapur dan pupuk dan ini harganya cukup mahal.

3. Komoditas kehutanan, mempertahankan lahan-lahan marjinal yang secara alamiah bervegetasi hutan alam primer merupakan tindakan yang sangat baik bagi lingkungan. Tetapi pada kenyataannya kebutuhan ekonomi masyarakat dan pemerintah lebih dominan untuk mendorong penebangan hutan untuk dimanfaatkan kayunya. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan kering marjinal dapat diarahkan dengan mengusahakan pola-pola Hutan Tanaman Industri (HTI) yang komoditas tanaman kehutanan dipilih dan disesuaikan dengan hasil klasifikasi kesesuaian lahan dan perhitungan kelayakan usaha.

Pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering dilakukan dengan pengembangan komoditi pertanian unggulan dengan kriteria komoditi yang akan dikembangkan yakni: (1) mendukung kebijakan pengembangan pertanian secara regional dan nasional, (2) memiliki kesesuaian lahan dengan kawasan pengembangan, (3) memiliki kelayakan ekonomi dan finansial khususnya bagi masyarakat, (4) tersedia teknologi budidaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat, (5) memiliki permintaan yang tinggi baik pasar lokal, regional, maupun nasional, dan (6) mendukung kelestarian sumberdaya lahan.

Dokumen terkait