• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Sistem Usahatani Lahan Kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam waktu setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani 2005). Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang penting dalam mendukung proses kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi, karena semua makhluk hidup baik hewan maupun tumbuhan memerlukan lahan untuk dapat tumbuh dan berkembang.

Menurut Sitorus (2003) sumberdaya lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang (space) atau tempat. Sebagai suatu ruang, lahan berfungsi sebagai habitat berbagai mahkluk hidup yang memiliki keterbatasan dalam mendukung kehidupan dan menampung berbagai limbah yang dihasilkan. Jika lahan yang tersedia tidak ditata dan dimanfaatkan secara terencana, efektif dan efisien sesuai dengan fungsi lahan tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup.

Berdasarkan topografi atau kelas kemiringan lahan, Djaenuddin dan Sudjadi (1987) mengemukakan terdapat sekitar 133.79 juta hektar lahan kering yang

tersebar di pulau-pulau utama diluar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas dan Penyebaran Lahan Kering dengan Berbagai Kelas Kemiringan Pada Empat Pulau Utama di Indonesia

Luas (juta ha)

Lahan kering menurut kelas kemiringan Pulau Jumlah Daratan Rawa Lahan Kering 0-3% 3-8% 8-15% >15% Sumatera 47,3 8,5 38,8 10,9 5,2 2,6 20,1 Kalimantan 54,0 8,7 45,3 5,1 6,1 4,1 30,0 Sulawesi 19,2 0,2 19,0 1,9 1,3 1,1 14,7 Irian Jaya 42,2 11,5 30,7 4,9 3,0 1,0 21,8 Jumlah 162,7 28,9 133,8 22,8 15,6 8,8 86,6

Sumber: Diolah dari Djaenuddin dan Sudjadi (1987)

Apabila diasumsikan hanya lahan dengan kemiringan < 15% yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan, berarti sekitar 47,23 juta hektar atau 35,3 persen dan lahan kering yang tersedia untuk pengembangan tanaman pangan. Sementara itu Lembaga Penelitian Tanah (1969) mengemukakan terdapat sekitar 72,2 juta hektar lahan dan 5 jenis tanah utama di Indonesia (organosol, podsolik, aluvial, podsol dan latosol) dengan kemiringan kurang dan 15 persen pada 4 pulau utama di luar Jawa seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas dan Penyebaran Lima Jenis Tanah Utama dengan Kemiringan Lereng Kurang dari 15 Persen pada Empat Pulau Utama di Luar Jawa

Luas (juta hektar) Jenis

Tanah Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian

Jaya Jumlah Organosol 14,2 6,2 ~*) 6,7 27,1 Podsolik 9,6 10,9 1,4 5,1 27 Aluvial 2,4 4,3 0,8 6,8 14,3 Podsol 0,8 2,5 - - 3,3 Latosol 0.5 - - - 0,5 Jumlah 27,5 23,9 2,2 18,6 72,2 *) Tidak tercatat

Berdasarkan Tabel 2 di luar organosol yang termasuk kategori lahan basah, maka terdapat sekitar 45,1 juta hektar lahan dengan kemiringan kurang dan 15 persen, sedikit berada dibawah perkiraan pada Tabel 1. Hasil survei yang dilakukan oleh IBRD tahun 1974 yang dikutip oleh Collier (1979) menunjukkan bahwa dari seluruh areal kepulauan di Indonesia (tidak termasuk Irian Jaya) terdapat 59,3 juta hektar lahan yang mempunyai potensi pertanian dalam berbagai tipe medan dan tanah. Lahan seluas 59,3 juta hektar tersebut baru 17,5 juta hektar (sekitar 30 persen dan jumlah lahan yang berpotensi) yang telah diusahakan atau ditanami.

Mengikuti data atau perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa potensi lahan untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih cukup besar. Akan tetapi angka luas areal yang berpotensi untuk dikembangkan tersebut masih bersifat eksploratif dan sangat kasar sehingga hanya merupakan indikasi yang masih memerlukan penelitian.-penelitian lebih lanjut (Sitorus, 1989).

Pada Tabel 2 terlihat bahwa dari ketiga jenis tanah utama tipikal lahan kering yang kemiringannya kurang dari 15 persen (podsolik, aluvial, podsol dan latosol), jenis tanah podsolik adalah yang terluas yaitu 27 juta hektar. Tanah podsol pada umumnya mempunyai tingkat produktivitas yang sangat rendah. Oleh karena itu sebaiknya tidak dijadikan areal pertanian, melainkan tetap dibiarkan sebagai hutan (Sitorus, 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa tanah podsol sering dijumpai diatas bahan induk pasir kuarsa yang miskin unsur hara (misalnya podsol di Kalimantan Tengah).

Menurut Sitorus (1989), tanah latosol umumnya juga miskin unsur hara, bereaksi masam sampai agak masam, dan mengandung kadar bahan organik yang rendah. Akan tetapi tanah tersebut mempunyai keadaan fisik yang lebih baik dari podsolik, sehingga relatif lebih mudah untuk meningkatkan produktivitasnya, oleh karena itu tanah latosol bersama-sama dengan tanah aluvial yang relatif lebih subur pada umumnya telah diusahakan oleh petani, sehingga ketersediaannya untuk pengembangan transmigrasi sangat terbatas.

Menurut Effendi (1984), hasil survei tanah menunjukkan bahwa 90 persen dari lahan kering yang belum dimanfaatkan merupakan jenis tanah dengan tingkat

kesuburan yang rendah yaitu Podsolik Merah Kuning (PMK). Lahan kering ini dikenal dengan lahan kering beriklim basah yang mempunyai curah hujan lebih tinggi dari 2000 mm/tahun dan tidak mengalami musim kemarau yang jelas. Lahan kering beriklim basah yang terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua) pada umumnya mempunyai jenis tanah PMK dengan pH rendah, kandungan hara rendah, topografi bergelombang, lapisan tanah atas tipis dan peka terhadap erosi.

Pola usahatani yang dapat dikembangkan pada lahan kering sangat tergantung pada jenis tanah, iklim dan topografinya. Pada lahan kering beriklim basah dengan kemiringan sampai 8 persen dapat diusahakan tanaman pangan sebagai tanaman utama. Pada lahan dengan kemiringan lebih dari 8 persen perlu dilakukan penanaman secara kontur atau dibuat teras dan tidak lagi digunakan tanaman pangan sebagai tanaman utama, melainkan digunakan untuk tanaman tahunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan tanaman tahunan lainnya, sehingga konservasi tanah dan air dapat dilaksanakan sebaik-baiknya (Effendi, 1984).

Berdasarkan uraian diatas hanya Podsolik yang lebih besar potensinya untuk dikembangkan bagi perluasan areal pertanian lahan kering. Menurut Sitorus (1989) tanah podsolik mempunyai sifat fisik-kimia seperti pH rendah (masam), miskin unsur hara, yang pada umumnya terdapat pada berbagai jenis bahan induk seperti tufa masam, batuan pasir (sandstones) atau endapan kuarsa, dan peka terhadap erosi. Untuk mencegah terjadinya degradasi yang diakibatkan oleh erosi dan untuk mempertahankan produktivitas lahan, maka perlu dilakukan pemilihan jenis pola usaha tani/pola tanam yang tepat, serta tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai sehingga erosi yang terjadi lebih kecil dan erosi yang dapat dibiarkan. Selanjutnya dikemukakan oleh Mulyani dan Suhardjo (1994) bahwa dalam pengelolaan lahan kering marginal terutama pada lahan berlereng harus diiringi dengan tindakan konservasi tanah dan air. Penambahan bahan organik mutlak diperlukan.

Lahan kering di dataran rendah pada umumnya telah banyak digunakan terutama untuk perkebunan (24,7 juta ha), Hutan Tanaman Industri/ hutan produksi terbatas (27,8 juta ha), tegalan/ ladang/ huma (13,3 juta ha), lahan yang tidak diusahakan (10,6 juta ha) (BPS, 2003). Pola pemanfaatan lahan kering

dataran rendah dan dataran tinggi umumnya berbeda dalam jenis komoditas sesuai dengan persyaratan tumbuh masing-masing dan kondisi iklim. Jenis tanaman pangan dan perkebunan di dataran tinggi lebih terbatas, sebaliknya tanaman hortikultura lebih dominan.

Lahan kering merupakan salah satu ciri lahan, yang apabila diusahakan untuk pertanian, pengairannya hanya mengandalkan dari curah hujan untuk kelembaban tanahnya. Kondisi lahan kering mengalami periode masa kering dapat berupa kering musiman atau kering dalam satu waktu periode tertentu saja dan selanjutnya mengalami periode hujan atau basah (Barrow, 1991). Lahan kering disamping mengandalkan curah hujan untuk kelembaban tanah, juga dicirikan dengan terbatasnya kandungan unsur hara (miskin unsur hara). Ciri pertanian lahan kering diantaranya adalah jenis tanaman yang diusahakan tidak memerlukan air yang banyak, pengairannya dari air hujan dan kebutuhan airnya tergantung pada kapasitas lapang (Knapp, 1979).

Ketersediaan air di lahan kering merupakan masalah utama untuk pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Pada musim kemarau, tanaman kekurangan air, sedangkan pada musim hujan terjadi aliran permukaan dan erosi yang besar karena sedikitnya air yang dapat diinfiltrasikan ke dalam tanah. Gejala ini berkaitan dengan buruknya sifat fisika tanah, seperti tekstur kasar pada lapisan atas dan padatnya lapisan bawah. Rendahnya bahan organik pada lahan kering, menyebabkan tanah tidak gembur sehingga perakaran terganggu. Selain itu pada lapisan padat gerakan air ke dalam tanah menjadi lambat seperti terlihat dari rendahnya laju permeabilitas tanah. Dengan demikian tanah akan cepat jenuh sehingga aliran permukaan menjadi besar (Sitorus, 2002)

Karakteristik lahan kering di Indonesia mempunyai sifat sebagai tanah masam (pH<5,0) dan sekitar 69 % dari luasan lahan kering bersifat masam (Hidayat dan Mulyani 2005). Menurut Rosjid dan Subagyo (2005) lahan kering di luar Jawa terutama di Sumatera Selatan yang digunakan untuk lahan transmigrasi didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kuning (PMK), bekas hutan sekunder serta padang alang-alang. Lahan tersebut merupakan lahan bermasalah dengan kesuburan tanah yang rendah. Agar usahatani yang

diusahakan dapat menjamin kehidupan petani dalam jangka panjang, lahan tersebut harus diusahakan sesuai dengan pola usahatani terpadu.

Pola usahatani yang terbaik adalah yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan aslinya. Bila lingkungan aslinya hutan maka cabang usaha utama yang ideal adalah usahatani perkebunan. Untuk daerah lahan kering jenis PMK adalah salahsatu tanaman yang cocok adalah tanaman karet. Tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan di tanah yang kurang subur dan dapat memberikan penghasilan harian bagi petani. Pada pertanaman karet sebelum menghasilkan, dimungkinkan penanaman tanaman sela pangan maupun tanaman pakan. Setelah kanopi menutup tanaman karet tidak terlalu membutuhkan pengelolaan yang intensif sehingga sudah menjadi kebiasaan petani di Sumatera Selatan untuk mengusahakan cabang usaha tanaman pangan dan ternak sebagai usahatani pendukung di samping karet sebagai cabang usaha utama.

Pengembangan usahatani pada lahan kering yang cenderung bersifat masam di Indonesia dihadapkan pada berbagai kendala. Menurut Hakim et al. (1994) kendala utama dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian adalah rendahnya kandungan bahan organik tanah dengan daya pegang air yang rendah, sehingga air tanah tidak tersedia bagi tanaman. Adanya berbagai faktor pembatas pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah dan tidak tersedianya air sepanjang tahun merupakan kendala utama rendahnya produktivitas lahan. Kebutuhan air pada lahan kering umumnya setara dengan laju evapotranspirasi potensial (pada kondisi air tanah tersedia), yang nilainya di Indonesia berkisar 2,7 - 7,0 mm/ hari.

Secara praktis berbagai pakar menetapkan kebutuhan air pada lahan kering adalah 75 - 100 mm/ bulan dengan asumsi bahwa laju evapotranspirasi hanya 2,5 - 3,0 mm/ hari (FAO, 1981). Kemudian oleh Oldeman et al. (1980), disetarakan dengan curah hujan 100-200 mm per bulan setelah mempertimbangkan peluang kejadian hujan dan tidak semua curah hujan efektif digunakan. Periode bulan-bulan yang mempunyai curah hujan lebih besar dari 100 mm per bulannya merupakan periode air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering. Selain itu, suhu yang tinggi dan ketidak merataan curah hujan serta kerentanan tanah terhadap erosi telah menambah kompleksitas permasalahan. Untuk meningkatkan produktivitas lahan

kering masam, selain dengan pengapuran dan pemupukan juga dapat dilakukan dengan optimalisasi pola tanam, yang dapat mengurangi aliran permukaan/ erosi, dan evaporasi tanah oleh adanya penutupan tanaman dan sisa hasil panen yang dapat berfungsi sebagai mulsa dan menambah bahan organik tanah (Syam, 2003).

Ciri pengelolaan yang penting adalah pembukaan lahan biasanya hanya dilakukan dengan cara tebas bakar, pembersihan lahan dengan cara pembersihan dan pengangkutan sisa-sisa tanaman, kondisi tanah relatif terbuka sepanjang tahun, terbatasnya penggunaan pupuk dan bibit unggul serta belum diterapkan teknik-teknik konservasi. Perpaduan ciri biofisik dan cara-cara pengelolaan lahan kering tersebut mengakibatkan sistem pertanian lahan kering sangat peka terhadap kerusakan lingkungan.

Ciri utama lahan kering lainnya yang menonjol dalam sistem usahatani lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktivitas lahan, tingginya variabilitas kesuburan tanah dan jenis tanaman yang ditanam serta variabilitas kondisi sosial ekonomi dan budaya usahatani yang dilaksanakan sangat tergantung pada curah hujan (Semaoen et al., 1991). Dengan melihat ciri- ciri lahan kering yang diantaranya adalah bersifat masam dan tingkat kesuburan yang rendah, maka lahan kering dapat dikategorikan pada lahan marginal (Mastur, 2002).

Di Indonesia lahan marginal dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar, yaitu: (1) lahan dengan tanah mineral masam dan kesuburan rendah atau biasa dikenal sebagai lahan bertanah masam, (2) lahan basah yang biasanya dapat memiliki satu atau beberapa tipe tanah antara lain adalah tanah gambut, tanah aluvial berpirit (sulfat masam), tanah salin, tanah-tanah hidromorfik (gley), dan (3) lahan pada wilayah beriklim kering. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka lahan kering pada umumnya dapat dikategorikan sebagai lahan yang bersifat masam dan marginal.

Di Indonesia lahan kering terdapat di daerah beriklim basah, seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan sebagian Sulawesi dan di daerah beriklim kering seperti di sebagian Sulawesi, NTB dan NTT. Curah hujan yang tinggi di pulau- pulau yang terdapat di Kawasan Barat Indonesia menyebabkan terjadinya erosi

yang intensif yang akan mempercepat terjadinya kerusakan tanah. Sebaliknya, di Kawasan Timur Indonesia, kondisi curah hujan yang terbatas akan membatasi pertumbuhan tanaman, bahkan seringkali menyebabkan kegagalan panen. Di samping itu, kondisi curah hujan yang terkonsentrasi pada suatu waktu dan kondisi tanah yang peka erosi menyebabkan erosi yang sangat besar pada musim penghujan dan kekeringan yang parah pada musim kemarau di wilayah bagian timur Indonesia (Nugroho, 2002).

Pengembangan usahatani di lahan kering di Indonesia saat ini ternyata telah diikuti oleh semakin besarnya luas kerusakan lahan yang ada. Kondisi demikian disebabkan belum diterapkannya teknik-teknik konservasi tanah secara tepat dan benar, khususnya lahan kering yang diusahakan di daerah hulu dengan kemiringan lereng yang cukup besar. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penanggulangan kerusakan lahan yang terjadi pada pertanian lahan kering merupakan salah satu prioritas dalam pengembangan kegiatan pertanian lahan kering dimasa mendatang.

Pembangunan pertanian lahan kering di masa mendatang perlu diarahkan untuk melestarikan kondisi biofisik lahan, meningkatkan produktifitas dan mampu memberikan pendapatan yang cukup tinggi serta berkelanjutan bagi petani. Oleh karena itu pengembangan pertanian tersebut selain berorientasi pada agribisnis juga harus dibarengi dengan penggunaan teknologi yang berfungsi untuk mengoptimalkan produktifitas lahan dan meminimalkan tingkat kerusakan lahan.

Sistem pertanian lahan kering di masa mendatang perlu dikembangkan dengan sistem pertanian konservasi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) sistem usahatani yang dilakukan pada lahan tersebut harmoni secara ekologi, yang artinya sistem produksi dilakukan dengan tidak menyebabkan kerusakan secara ekologi atau tidak merusak/mengganggu keseimbangan ekosistem, (2) produksi yang dihasilkan cukup tinggi dengan menggunakan teknologi tepat guna, (3) produksi yang dihasilkan memberikan pendapatan dan kesejahteraan secara ekonomi, (4) sistem produksi yang dilakukan dapat diterima dan dilakukan oleh petani dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia sesuai dengan perkembangan teknologi, (5) kerusakan akibat sistem produksi yang dilakukan dapat diminimumkan, dan kerusakan tersebut juga dapat diimbangi oleh proses

pemulihan sumberdaya lahan secara alami, sehingga tingkat produksi yang tinggi, pendapatan dan kesejahteraan petani dapat dipertahankan serta ditingkatkan secara berkelanjutan (Nugroho, 2002).

Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, mempertahankan dan meningkatkan produktifitas pertanian serta meminimumkan terjadinya kerusakan lahan, kegiatan usahatani yang dilakukan harus direncanakan secara hati-hati dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekologi suatu wilayah. Menurut Dudung (1991) sistem budidaya pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan sistem talun, tegal pekarangan, budidaya lorong, agroforestri, usaha tani konservasi terpadu dan penanaman tanaman pionir.

Sistem talun, yaitu suatu cara bercocok tanam dari berbagai jenis tanaman, mulai dari tanaman yang paling rendah, merambat, pohon yang tingginya sedang sampai pohon yang mahkotanya tinggi, yang diatur sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan tanah tertutup rapat dan hasilnya dapat dipanen secara terus menerus. Sistem tegal pekarangan, yaitu suatu pengelolaan lahan dengan budidaya tanaman untuk mencukupi kebutuhan pangan dengan menanam tanaman semusim tanpa meninggalkan tanaman tahunan/ keras, yang dapat memberikan hasil tanaman tahunan yang ditanam sepanjang guludan dan disebagian bidang tanah. Sistem budidaya lorong (alley cropping), yaitu sistem pertanaman dalam lorong yang dibatasi oleh tanaman pagar/ tegakan berupa tanaman pupuk hijau yang ditanam menurut garis kontur. Tanaman dalam lorong dapat berupa tanaman pangan, hortikultur maupun tanaman perkebunan.

Sistem agroforestri, yaitu sistem pengelolaan lahan secara optimal dengan cara menanam kayu-kayuan yang dikombinasikan dengan tanaman pangan (tanaman semusim dan tahunan) dengan atau tanpa ternak. Tanaman ditanam secara bersama-sama atau berurutan pada unit-unit lahan yang sama akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada jika hanya ditanam tanaman pertanian saja atau tanaman kehutanan saja. Usahatani konservasi terpadu, yaitu suatu cara pengelolaan lahan usahatani yang menggunakan kombinasi tanaman pangan dengan tanaman tahunan (tanaman buah-buahan) agar permukaan tanah tertutup terus sepanjang tahun. Penanaman tanaman pioner, yaitu suatu cara untuk memulihkan/merehabilitasi tanah dengan menggunakan tanaman pioner pada

lahan kering yang keadaan tanahnya tergolong kritis dan tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk usaha pertanian yang intensif.

Berbagai hasil penelitian pemanfaatan lahan kering di Indonesia telah banyak dipublikasikan oleh kalangan peneliti terutama dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian dan lembaga penelitian / pengabdian masyarakat di Perguruan Tinggi. Menurut Semaoen et al. (1991), ciri utama yang menonjol di lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktivitas lahan, tingginya keragaman kesuburan tanah dan macam sepesies tanaman yang ditanam serta aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dudung (1991) berpendapat bahwa keadaan lahan kering umumnya adalah lahan tadah hujan yang lebih peka terhadap erosi, dimana adopsi teknologi maju masih rendah, ketersediaan modal sangat terbatas dan infrastruktur tidak sebaik didaerah sawah. Perbaikan lahan melalui prakondisi terbukti mutlak diperlukan agar lahan siap ditanami oleh transmigran sewaktu mereka datang. Kunci perbaikan lahan adalah perbaikan drainase, pengapuran (dolomit), penanaman tanaman penutup tanah kacang- kacangan dan pengelolaan bahan organik setempat (Ismunandar et al., 1997).

Menurut Abdurrachman et al. (1997), petani lahan kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya tergantung pada hasil tanaman pangan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Tadjuddin (1997) terhadap petani transmigran dibeberapa lokasi dalam kawasan SKP-G Timpeh yang menyatakan bahwa kontribusi tanaman semusim (pangan) terhadap tingkat pendapatan total transmigran di lokasi tersebut hanya 25,79 persen atau seperempat bagian saja. Oleh karena itu menurut Abdurrachman et al. (1997) pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki petani.

Dokumen terkait