• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan

Terminologi penggunaan lahan dan tutupan lahan adalah dua hal berbeda yang mendapatkan perhatian dalam studi perubahan penggunaan dan tutupan lahan. Tutupan lahan merupakan kondisi biofisik dari permukaan dan lapisan tipis di bawah permukaan bumi (Turner, et al. 1995). Penggunaan lahan merupakan suatu keadaan dan intensitas manipulasi dari atribut biofisik suatu lahan (tutupan

lahan). Manipulasi lahan diterjemahkan sebagai “untuk apa suatu lahan lahan dikelola” (Turner, et al. 1995). Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan pengelolaan lahan oleh manusia (Turner dan Meyer 1994).

Skole (1994) menjelaskan secara lebih luas dengan menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan pengelolaan dari suatu tipe tutupan lahan, dalam arti bahwa terdapat suatu aktivitas pengelolaan oleh manusia dalam kerangka menghasilkan suatu produksi yang ditentukan oleh kompleksitas faktor sosial ekonominya. Penjelasan yang rinci menyatakan bahwa penggunaan lahan melibatkan fungsi dan kegunaan pengelolaan suatu lahan oleh populasi manusia lokal dan dapat didefinisikan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan lahan, memanfaatkan sumberdayanya atau melakukan penggarapan atas lahan tersebut (FAO 1995).

Dalam menganalisis perubahan lahan adalah penting memberi penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan. Perlu dicatat bahwa pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung pada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam (Briassoulis 1999).

Perubahan penggunaan maupun tutupan lahan melibatkan 2 unsur penting, yaitu: (a) konversi, yaitu perubahan dari satu jenis penggunaan/tutupan ke jenis penggunaan/tutupan lainnya; dan (b) modifikasi, yaitu penggunaan atau perubahan pada lahan tertentu tanpa mengubah secara keseluruhan dari fungsi atau jenis lahan tersebut, seperti mempertinggi intensitas pemanfaatan atau perubahan dari hutan alami menjadi tempat rekreasi (tanpa mengubah kondisi tutupan). Pada perubahan tutupan lahan, biasanya merupakan hasil dari proses alami, seperti variasi iklim, erupsi vulkanik, perubahan jalur sungai atau kedalaman laut, dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan merupakan akibat dari kegiatan mengkonversi tutupan lahan atau mengubahnya menjadi kondisi lain secara kualitatif; kegiatan memodifikasi atau mengubah kondisi tanpa

mengkonversi secara keseluruhan atau kegiatan mempertahankan kondisi suatu tutupan lahan dari unsur-unsur peubah alaminya (Turner dan Meyer, 1994). Jones dan Clark (1997) menyatakan bahwa terdapat 4 tipologi kualitatif dari perubahan penggunaan lahan, yaitu: intensifikasi, ekstensifikasi, marjinalisasi, dan pengabaian.

Faktor-faktor pendorong perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio- fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan ketersediaan sumberdaya alam. Faktor sosial-ekonomi melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Faktor bio-fisik biasanya tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia.

Dampak perubahan penggunaan lahan secara luas dikategorikan dalam dua hal, yaitu dampak ekologi dan dampak sosial-ekonomi. Dampak yang disebutkan pertama sering lebih mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang kedua. Salah satu alasannya adalah bahwa dampak dampak sosial ekonomi lebih halus, jangka panjang, dan tidak begitu nyata (Briassoulis 1999). Akan tetapi perlu dicatat bahwa dampak ekologi dan sosial-ekonomi tersebut memiliki hubungan yang sangat dekat: dampak ekologi mempengaruhi dampak sosial ekonomi dan kembali mempengaruhi dampak ekologi (feedback).

Analisis perubahan penggunaan lahan telah memperoleh perhatian luas dari beragam disiplin ilmu yang melahirkan berbagai pendekatan teoritis. Menurut Briassoulis (1999) bahwa secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 tradisi kategori teori yaitu: Ekonomi Kota dan Wilayah serta Ilmu Wilayah (Urban and Regional Economics and Regional Science); Sosiologi dan Politik Ekonomi (Sociological and Political Economy); dan Ekologi-Masyarakat (Nature-Society

atau Man-Environment atau Human-Nature). Kategori ketiga, yang digunakan sebagai dasar dari penelitian ini, adalah kategori yang sangat terbuka dan bersifat multidisiplin karena: pertama, ilmu sosial yang digunakan sebagai dasar dapat didefinisikan secara sempit maupun longgar; dan kedua, beberapa teori dalam kategori pertama dan kedua yang berhubungan dengan penjelasan perilaku manusia dapat digunakan sebagai bagian dari analisisnya (Briassoulis 1999). Konstruksi dan metodologi yang digunakan ditarik dari beragam disiplin ilmu untuk menjelaskan hubungan antara manusia dan sistem ekologinya, terutama tentang keseimbangan penggunaan lahan dan manusia.

Salah satu teori dari kategori ekologi-masyarakat telah dikembangkan oleh Cocosis (1991) yang menyebutnya dengan istilah teori keseimbangan ekologi (ecological equilibrium), memfokuskan perhatian atas suatu lahan atau wilayah pada empat faktor, yaitu penduduk, sumberdaya, teknologi, dan kelembagaan yang secara konstan berada dalam keadaan keseimbangan dinamik. Pada konsep ini, perubahan penggunaan lahan merupakan hasil dari perubahan dan distribusi penduduk, inovasi teknologi dan restrukturisasi ekonomi, kebijakan dan organisasi sosial. Secara matematis, elemen dasar teori keseimbangan ekologi ini dapat ditulis sebagai I=PAT yang menghubungkan antara dampak ekologi (I =

Impact) dengan penduduk (P = Population), kesejahteraan (A = Affluence), dan teknologi (T = Technology).

Beberapa pengembangan dari teori ini dapat dilihat seperti dalam model dinamis dunia yang melibatkan interaksi unsur-unsur penduduk, produksi, polusi, dan sumberdaya (Forrester, 1971). Manning (1988) telah mengajukan kerangka analisis yang lebih detil dengan menjelaskan interaksi antara faktor-faktor bio- fisik dan sosial-ekonomi dari penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan. Pengembangan model matematis dampak ekologi yang dikhususkan pada dampak penggunaan lahan telah digunakan dalam studi yang dilakukan oleh Turner et al. (1990), Brouwer et al. (1991), dan Heilig (1996).

Proses penataan ruang wilayah akan sangat terkait dengan perencanaan penggunaan lahan. Hal ini karena perencanaan penggunaan lahan adalah salah satu alat pertimbangan untuk memberikan rekomendasi pada proses pemanfaatan ruang wilayah. Perencanaan penggunaan lahan adalah proses yang dimulai dari

inventarisasi kondisi lahan, penilaian terhadap faktor pembentuk tanah, memprediksi potensi pemanfaatannya, serta penilaian terhadap kesesuaian atau kemampuan dan nilai lahan (land value) dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatasnya. Analisis ini menghasilkan daya dukung lahan (kualitas lahan). Selanjutnya daya dukung lahan ini diprediksi ke depan dengan mempertimbangkan aspek pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan ekonomi, sosial dan pengembangan wilayah, yang pada akhirnya dapat merekomendasikan kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan pemanfaatan ruang.

Sitorus (2004) mengatakan pentingnya upaya perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Perencanaan penggunaan lahan ini sangat penting utuk mengetahui optimasi daya dukung dan manfaat lahan setelah melalui proses inventarisasi dan penilaian keadaan/kondisi lahan (status), potensi, dan pembatas- pembatas suatu daerah tertentu dan sumberdayanya yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan (ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukan suatu proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat dijadikan sebagai masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang. Menurut Sitorus (2003) manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya. Prinsip memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah dimasa yang akan datang adalah prinsip perencanaan tata ruang.

Ketersediaan sumberdaya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas. Artinya berbagai unsur pembentuk lahan dan unsur pembentuk kesuburan tanah ini mempunyai keterbatasan baik kualitasnya maupun potensinya. Tingkat produktivitas sumberdaya lahan yang tersedia maupun kualitas lahan di masing- masing lokasi juga berbeda. Bila pemanfaatan sumberdaya lahan ini tidak diatur dan direncanakan dengan baik, maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumberdaya lahan, dan lebih jauh akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan yang akan terjadi justru kerusakan lingkungan (baik

renewable maupun yang non-renewable) yang justru akan menjadi pembiayaan yang lebih besar.

Sebaliknya, bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan yang ada dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah kemudian dilakukan prediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang, maka akan tercapai sinergi antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. Pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan sumberdaya alam, buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah yang terus berlanjut secara berkesinambungan (Djakapermana dan Djumantri, 2002).

Dokumen terkait