• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan wisata di Desa Karimunjawa. Pengembangan wisata di Karimunjawa akan diidentifikasi apakah menerapkan ekowisata atau pariwisata. Penetapan kebijakan pengembangan wisata dipengaruhi juga oleh penetapan zonasi Taman Nasional Karimunjawa.

Zona Pemanfaatan Wisata Bahari Taman Nasional Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa

Sejarah penetapan Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dimulai dari penetapan laut Karimunjawa sebagai kawasan Cagar Alam pada tanggal 9 April 1986 melalui SK Menhut NO 123/Kpts-II/1986 seluas 111.625 ha yang meliputi 110.117,30 ha kawasan perairan dan 1.507,70 ha kawasan darat. Sehubungan dengan tingginya tingkat kepentingan berbagai sektor maka dilakukan perubahan fungsi dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional Karimunjawa melalui SK Menhutbun No 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999. Pada tahun 2001, seluruh kawasan perairan di TN Karimunjawa ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.74/Kpts- II/2001.

Pada awal penetapannya, TNKJ dibagi ke dalm 4 zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan terakkhir zona penyangga (SK Dirjen PHKA No127/Kpts/DJVI/1989). Pada tahun 2005, pengaturan mengenai zona ini diperbarui. Hal ini dilakukan karena zonasi dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi riil di lapangan seperti kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh karena itu, pada tahun 2005, ditetapkan zonasi baru melalui SK Dirjen PHKA No:79/IV/Set-3/2005 bertanggal 30 Juni 2005, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan pariwisata, zona budidaya, zona rehabilitasi, serta zona pemukiman dan zona pemanfaatan perikanan tradisional.

Evaluasi zonasi kembali dilakukan pada tahun 2009. Evaluasi ini menghasilkan revisi zonasi tahun 2005. Revisi ini dilakukan untuk mengakomodir pulau-pulau kecil yang ada di dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Evaluasi ini menghasilkan 7 zona baru melalui Keputusan SK Dirjen PHKA No: 28/IV-Set/2012. Ketujuh zona tersebut adalah zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, dan zona religi.

Zona Pemanfaatan Wisata Bahari

Wilayah Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) meliputi wilayah darat dan laut. Wilayah daratan meliputi ekosistem hutan hujan tropis seluas 1.285,50 ha dan ekosistem hutan mangrove seluas 222,20 ha. Wilayah laut TNKJ mencapai 110.117,30 ha. Wilayah laut TNKJ dibagi lagi menjadi zona perlindungan bahari (2.599,77 ha), zona pemanfaatan wisata bahari (2.733,73 ha), dan zona budidaya bahari (1.370,73 ha).

Terjadi perubahan besaran wilayah yang dijadikan zonasi pemanfaatan wisata. Selain itu, terjadi perubahan nama dari zona pemanfaatan pariwisata menjadi zona pemanfaatan wisata bahari. Perbandingan antara zonasi tahun 2005 dan zonasi tahun 2012 tentang pemanfaatan wisata dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Perbandingan zonasi pemanfaatan wisata tahun 2005 dan 2012 Tahun Nama Zonasi Cakupan Wilayah Peruntukan 2005 Zona Pemanfaatan Pariwisata (1.226,52 ha) Perairan P. Menjangan Besar, P. Menjangan Kecil, P. Menyawakan, P. Kembar, P. Tengah, sebelah Timur P. Kumbang, P. Bengkoang, Indonor dan Karang Kapal

Zona yang di

kengembangkan untuk aktivitas pariwisata alam dan rekreasi yang

berwawasan lingkungan, penelitian, dan

pengembangan yang menunjang pemanfaatan, pendidikan, dan atau kegiatan penunjang budidaya. 2012 Zona Pemanfaatan Wisata Bahari (2.733,73 ha) Perairan Pulau (PP) Menjangan Besar, PP Menjangan Kecil, PP Menyawakan, PP Kembar, PP Tengah, PP Kumbang, PP Bengkoang bagian selatan, Indonoor dan PP Cemara Besar bagian utara, Perairan Tanjung gelam, PP Cemara Kecil bagian utara, PP Katang, Perairan Krakal Besar bagian selatan, Perairan Krakal Kecil, dan PP Cilik.

Zona yang dikembangkan untuk kepentingan

kegiatan wisata alam baik bahari maupun wisata alam lainnya, rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya.

Perbedaan zonasi tahun 2012 dengan zonasi tahun 2005 adalah adanya pemisahan antara pemanfaatan wisata darat dan bahari. Hal ini menjadi bukti bahwa pengelolaan wisata bahari sudah menjdai prioritas penting dari Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ). Dari tahun ke tahun, pemanfaatan wisata semakin tinggi. Pemanfaatan wisata tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi karena sektor wisata menyumbang pendapatan tambahan yang cukup tinggi selain dari sektor perikanan tradisional.

Berdasarkan pengamatan penulis, masyarakat sudah memiliki kesadaran untuk merawat wilayah-wilayah yang menjadi area wisata. Hal ini karena mereka sadar ada potensi keuntungan ekonomi yang akan dihasilkan dari sektor wisata. Atraksi wisata yang ditawarkan meliputi snorkeling, memancing, menyelam, dan

sunset seeing. Pengelolaan jasa wisata sendiri disediakan oleh stakeholder di luar BTNKJ.

Aturan Pemanfaatan Wisata Bahari

Pemanfaatan wisata, terutama berbasis pada alam, diikat oleh peraturan- peraturan, baik perundangan maupun peraturan adat lokal setempat. Aturan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, sampai Peraturan Menteri. Beberapa aturan yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Peraturan perundangan mengenai pemanfaatan wisata

No Sumber Penjelasan

1. UU No. 10 Tahun 2009

Pasal (6) dan (7), Peraturan tentang

Pembangunan Kepariwisataan: Pembangunan Kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan

kepariwisataan meliputi: (a) Industri Pariwisata, (b) Destinasi Pariwisata, (c) Pemasaran, dan (d) Kelembagaan Kepariwisataan.

2. Permen Budpar No:

KM.67/UM.001 /MKP/2004

Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-Pulau Kecil

3. Permen No. 4 Tahun 2012

Peraturan mengenai Penyediaan Jasa Wisata dan Sarana Wisata.

4. Perdirjen PHKA No. 01/-Set/2012

Pedoman Penyusunan Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam, Rencana Karya Lima Tahun, dan rencana Karya Tahunan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam

5. Perdirjen PHKA No.6/IV-Set/2012

Pedoman Pengawasan dan Evaluasi Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

Peraturan-peraturan perundangan pada umumnya mengatur tentang penyelenggaraan kegiatan wisata. Kegiatan wisata itu dapat berupa sarana wisata dan jasa wisata. Jenis wisata di Karimunjawa mengandalkan potensi alam sehingga penyelenggaraan wisata, mulai dari penyediaan sarana dan jasa sampai pada pembangunan infrastruktur harus memperhatikan keseimbangan alam dan

keberlanjutannya. Selain itu, keberadaan TNKJ menjadi faktor penting dalam upaya pelestarian alam. Oleh karena itu, penyelenggaraan wisata di Karimunjawa diawasi dengan ketat.

Selain peraturan perundang-undangan, penyelenggaraan wisata di Karimunjawa juga diatur oleh kebijakan-kebijakan lokal yang disepakati bersama. Sebagai contoh, wisatawan yang ingin menikmati wisata snorkeling tidak akan dibawa ke spot terumbu karang yang masih hidup. Pada umumnya, mereka akan dibawa ke lokasi dimana terumbu karang memang sudah rusak.

“... tamu-tamu seng snorkling ra bakal diwe’i spot karang urip si mas, soale tamu ki sering ngadek nek karang, jadi ngrusak karang.

Tamu ki penting foto sih mas, ora ngerti terumbu karang apik karo

elek,” (ARM, Agen Wisata)

“... tamu-tamu yang snorkeling ga akan diberi spot karang hidup sih mas, soalnya tamu sering berdiri di atas karang, jadi merusakn karang. Bagi tamu, yang penting foto sih mas, tidak tahu terumbu

karang baik dan jelek,” (ARM, Agen Wisata).

Kebijakan-kebijakan tersebut disepakati bersama, baik oleh antar nelayan maupun antara nelayan dengan Balai Taman Nasional (BTN). Nelayan-nelayan yang ikut dalam kegiatan wisata biasanya tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI).

Persepsi terhadap TN Karimunjawa

Taman Nasional (TN) Karimunjawa menjadi salah satu stakeholder penting dalam upaya pengelolaan lingkungan di Desa Karimunjawa. Selain peran utamanya sebagai institusi khusus pengelola alam, TN Karimunjawa memegang peranan penting dalam upaya promosi wisata bahari dan darat Karimunjawa. Meskipun peranan pentingnya diakui oleh banyak masyarakat, tidak sedikit juga yang menentang kehadiran TN Karimunjawa. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa peraturan yang dari Taman Nasional yang tidak sesuai dengan keinginan warga, salah satunya adalah penerapan tiket masuk kawasan Taman Nasional Karimunjawa.

Menurut penuturan kepala seksi II TN Karimunjawa, sekitar bulan November-Desember 2014 terjadi konflik antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dengan masyarakat setempat. Konflik ini dilatarbelakangi oleh penerapan tiket masuk kawasan bagi pengunjung. Pengunjung lokal dikenai tarif Rp 15.000,00 sedangkan wisatawan asing harus membayar Rp 150.000,00. Penerapan tarif ini dikhawatirkan masyarakat akan menurunkan kunjungan wisatawan ke Karimunjawa.

Beragam persepsi mengenai Balai TN Karimunjawa muncul dari nelayan. Nelayan yang banyak bergerak di bidang wisata cenderung tidak memiliki hubungan ddekat dengan BTN Karimunjawa. Mereka menganggap BTN Karimunjawa menghambat dan bahkan menghalangi bisnis wisata mereka. Seperti diungkapkan oleh ADY.

“...mas, BTN ki sok-sok berkuasa. Laut kui ora mereka seng nggawe si mas, kok mereka sak enake dewe narik tiket. Duit tiket juga ora jelas dinggo opo. Nek magnrove mungkin masuk akal karena mereka

seng gawe, lha laut kan ora to mas?”

(ADY, nelayan, tour leader)

“...mas, BTN ini sok berkuasa. Laut bukan mereka yang buat mas, kok mereka seenaknya sendiri mungut tiket. Uang tiket juga tidak jelas

dipakai untuk apa. Kalau mangrove mungkin masuk akal karena mereka yang buat, laut kan bukan?

(ADY, nelayan, tour leader)

Sebagian besar nelayan yang bergerak di bidang wisata menganggap BTN sebagai penghambat. Hal ini karena peraturan-peraturan yang BTN terapkan cenderung melarang eksploitasi, terutama eksploitasi spesies yang dilindungi seperti terumbu karang. Akan tetapi tidak semua nelayan berpikir demikian. Salah satunya addalah mbah SBR.

“Semenjak pengelolaan laut diberikan pada Perikanan, nelayan banyak yang yang nakal om. Kalau dulu dipegang BTN, nelayan masih takut karena BTN bertindak tegas. ... iya om, kemarin sempat demo masyarakat pada BTN. Gara – gara tiket itu sih om. Masyarakat

belum tau saja kalau peraturan-peraturan dari BTN itu tujuannya untuk melindungi lingkungan dan laut Kerimun om. Pegawai-pegawai

BTN itu kan disini paling 5-10 tahun, kalau penduduk sini kan akan disini terus. Tapi susah om dinasehati, susah kalau mau diatur.”

(SBR, nelayan)

Wisata Karimunjawa

Pariwisata sebagai Industri

Pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang dari satu tempat ke tempat yang lain di luar tempat dia atau mereka tinggal secara sengaja dengan tujuan untuk bersenang-senang (Yoeti 2006). Orang tersebut semata-mata sebagai konsumen dan uang yang dibelanjakannya tidak diperoleh dari tempat yang dia atau mereka tuju. Perjalanan wisata perlu (tourism) dibedakan dengan perjalanan biasa (travel).

Dewasa ini, wisata menjadi sektor ekonomi alternatif dengan pertumbuhan pesat (Yoeti 2006). Pertumbuhan pariwisata dipegnaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertumbuhan Demografi, Kemajuan Teknologi, Perubahan Politik dan Keamanan, Kebutuhan akan Prestis dan Status, serta Keinginan terhadap Pariwisata Ramah Lingkungan (Yoeti 2006). Pertumbuhan pariwisata juga dirasakan di Desa Karimunjawa, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Pertumbuhan pariwisata ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pengunjung tiap tahun. Tren peningkatan pengunjung Karimunjawa dapat dilihat pada gambar 3

Gambar 3 Data pengunjung Karimunjawa tahun 2004-2014

Kunjungan puncak terjadi pada tahun 2012 dengan 25.157 pengunjung. Jumlah ini terdiri dari pengunjung rekreasi, penelitian, dan lain-lain. Lebih dari 90 persen pengunjung merupakan wisatawan. Meskipun terjadi penurunan pengunjung pada tahun 2013 dan 2014, jumlah pengunjung per tahun tetap di atas 15.000 orang. Penurunan pengunjung mungkin disebabkan oleh peraturan zonasi baru yang diterapkan oleh Taman Nasional Karimunjawa pada tahun 2012. Peraturan zonasi baru ini sekaligus memberi wilayah lebih banyak untuk zona perlindungan dan pembatasan pengunjung wisata demi meminimalkan kerusakan alam.

Pariwisata sebagai industri dapat dipandang dari permintaan wisata dan penawaran wisata. Permintaan wisata dapat meningkat karena beberapa faktor, antara lain; Tersedianya waktu luang, kebutuhan akan hiburan, prestis, kelebihan tabungan, serta keamanan yang terjamin. Sedangkan peningkatan penawaran wisata mengikuti dan memengaruhi permintaan. Penawaran wisata meliputi, antara lain; destinasi, pembangunan fasilitas, penginapan, sarana transportasi, dan kemajuan teknologi. Pariwisata bukan hanya sekedar kunjungan ke suatu destinasi, melebihi itu, pariwisata merupakan perjalanan yang dilakukan secara sengaja yang meliputi aktivitas multidimensi, multibidang, dan berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda (Cooper et al 1998). Tren wisata di Karimunjawa menunjukan gejala dimana wisata menjadi industri.

Pertama, terjadi peningkatan penawaran wisata seperti pembangunan homestay, penyediaan jasa paket wisata, dan penyediaan jasa angkutan penyebrangan. Kedua, adanya perubahan orientasi ekonomi baik stakeholder internal maupun stakeholder eksternal. Nelayan lokal mulai berpindah profesi dari sekedar nelayan tangkap berubah menjadi nelayan tangkap yang merangkap nelayan wisata. Ketiga, pembangunan tidak hanya fokus kepada destinasi wisata, tapi juga sarana pendukung seperti penginapan, sarana teknologi komunikasi, perbankan, dan juga pembuatan souvenir. Keempat, penawaran wisata tidak lagi dibatasi oleh media cetak, tapi sudah menyentuh media hybrid yang mampu mengatasi kekurangan jarak dan waktu.

9.180 4.368 2.441 4.005 9.280 12.559 16.722 25.157 15.160 16.527 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Ekowisata

Ekowisata (ecotourism) merupakan bentuk lain dari pariwisata. Berbeda dengan pariwisata (mass tourism), ekowisata merupakan wisata yang berkelanjutan. Lebih lanjut, UNWTO (2007) dalam Yoeti (2000) menerapkan 3 pilar sebagai fondasi wisata berkelanjutan. Tiga pilar itu adalah Keberlanjutan Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial-Budaya. Dapat disimpulkan bahwa ekowisata adalah perjalanan ke lokasi alami secara bertanggungjawab, memperhatikan konservasi lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, dimana obyek wisatanya fokus pada ekosistem tertentu dan budaya tradisional. Contoh ekosistem tertentu yang menajdi obyek ekowisata adalah ekosistem pulau Komodo di Taman Nasional Komodo.

Secara umum, wisata yang ada di kawasan Taman Nasional atau kawasan konservasi dan perlindungan merupakan ekowisata. Wisata dalam kawasan konservasi diatur juga dalam pembagian zonasi, seperti zona Pemanfaatan Wisata Bahari di Taman Nasional Karimunjawa. Penentuan apakah wisata di Karimunjawa termasuk dalam ekowisata (ecotourism) atau hanya sebatas pariwisata biasa (mass tourism) masihh menjadi perdebatan. Mengacu pada berbagai definisi tentang ekowisata, wisata di Taman Nasional Karimunjawa belum dapat dikategorikan ke dalam ekowisata. Merujuk pada 3 pilar wisata berkelanjutan, wisata di Taman Nasional Karimunjawa dapat dianalisis sebagai berikut.

Pertama, pilar Keberlanjutan Lingkungan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) dan World Conservation Society (WCS) pada tahun 2011, kunjungan wisatawan memberikan dampak terhadap kebersihan lingkungan. Selain itu, terjadi kerusakan ekosistem, terutama ekosistem terumbu karang. Setidaknya, rata-rata 10 persen terumbu karang mengalami kerusakan patah dan bagian lain menghasilkan pertumbuhan alga yang meningkat dan hilangnya jaringan pada karang. Padahal, wisata bahari yang menjadi daya tarik utama wisata Karimunjawa berbasis pada keindahan terumbu karang.

Meskipun BTNKJ melakukan konservasi terumbu karang, kerusakan akibat aktivitas wisatawan tetap terasa. Sebagai contoh, pulau Menjangan Kecil yang menjadi destinasi utama wisata snorkling mengalami penurunan tutupan karang dari 81 persen pada tahun 2008-2010 menjadi 67 persen pada tahun 2011-2013 (Ke dalaman 3 meter). Penurunan tutupan karang juga terjadi di pulau Gosong Tengah. Pada tahun 2008-2010, tutupan karang mencapai 60 persen. Jumlah ini turun 4 persen pada tahun 2011-2013. Berdasarkan pengamatan langsung, rata- rata wisatawan, khususnya wisatawan dalam negeri tidak mengerti tata cara berenang yang baik ketika snorkling. Masih banyak wisatawan yang berdiri di atas karang ketika berisitirahat. Aktivitas ini mengganggu bahkan merusak terumbu karang. Rusaknya terumbu karang oleh aktivitas nelayan ditegaskan oleh salah satu tour leader, ARM.

“...awak dewe gak nggawa tamu nek spot-spot terumbu karang urip mas, ben karang seng seh urip, seng iseh apik, ora

kabeh rusak. Tamu ki sering ngadeg nek nduwur karang si mas..”

“...kita memang bawa tamu ke spot-spot dimana terumbu karangnya tidak terlalu hidup, hal ini untuk menjaga karang- karang yang masih hidup, yang masih bagus mas, supaya tidak

semuanya rusak. Para tamu umumnya sering berdiri di atas karang..”

(ARM, tour leader)

Kedua, pilar Ekonomi. Pilar ekonomi dari keberadaan ekowisata adalah adanya sumbangan dana dari penyelenggaraan wisata ke dalam kas negara. Keuntungan ekonomi dari penyelenggaraan wisata dapat digunakan untuk anggaran dana konservasi Taman Nasional Karimunjawa. Pemasukan sektor ini dapat dilihat dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada tahun 2014, BTNKJ menerima pendapatan sampai Rp 87.097.500,-. Jumlah ini meningkat 2 kali lipat dari tahun 2013 yang hanya Rp 41.832.500,- (BTNKJ 2014). Jumlah tersebut berasal dari sumbangan 9 obyek pungutan yang dilakukan di Balai TN Karimunjawa, yaitu: Wisatawan Nusantara, Wisatawan Mancanegara, Video Komersial, Penelitian, Selam, Berkemah, Snorkling, Tracking Mangrove, dan Jasa Wisata Alam. Tanpa menghitung obyek pungutan video komersial dan penelitian, total sumbangan aktivitas wisata bagi penerimaan PNBP adalah Rp 56.247.500,-. Manfaat ekonomi dari aktivitas wisata di Balai TN Karimunjawa melalui sektor PNBP dari tahun 2009-2014 dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4 Penerimaan PNBP Balai TN Karimunjawa (rupiah) Tahun 2009-2014

Gambar 5 Penerimaan PNBP khusus sektor wisata (rupiah) tahun 2009-2014 21.510.000 20.547.500 24.417.500 30.657.500 41.832.500 87.097.500 0 20.000.000 40.000.000 60.000.000 80.000.000 100.000.000 2009 2010 2011 2012 2013 2014 16.920.000 16.827.500 15.047.500 28.527.500 36.447.500 56.247.500 0 10.000.000 20.000.000 30.000.000 40.000.000 50.000.000 60.000.000 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Rata-rata tiap tahun penerimaan dari PNBB sektor wisata mencapai Rp 28.336.250,- per tahun. Artinya, tiap tahun, BTNKJ menerima lebih dari Rp 2 juta per bulan. Penerimaan ini terbilang kecil jika dibandingkan anggaran yang harus dikeluarkan untuk konservasi. Selain itu, penerimaan sektor pajak juga masih kecil karena keengganan pelaku wisata seperti pemilik homestay untuk membayar pajak. Dampak ekonomi dari keberadaan wisata masih belum banyak dirasakan.

Ketiga, pilar Sosial-Budaya Masyarakat. Sosial budaya masyarakat berkaitan erat dengan kesejahteraan yang diterima oleh masyarakat setempat akibat dari adanya kegiatan penyelenggaraan wisata. Berdasarkan pengamatan secara langsung oleh penulis, adanya penyelenggaran wisata memberi alternatif pekerjaan kepada nelayan dan juga penduduk setempat. Selain membuka pekerjaan sebagai nelayan wisata (tour guide, tour leader,dan nahkoda kapal), penyelenggaraan wisata memberi alternatif sumber pendapatan lain seperti membuka warung makan, penjualan souvenir, dan pekerjaan yang terkait dengan jasa angkutan penyebrangan. Adanya alternatif pekerjaan ini secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini diamini oleh salah satu warga.

“... saya hampir setiap minggu ada saja yang pesen kapal saya mas. Kapal saya cukup besar, bisa menampung sampai 20 orang. Jadi kalau ada tamu datang, TL suka sewa kapal saya. Tapi ya itu

mas, pulsa habis banyak karena banyak nelpon teman-teman nanyain carteran tamu,”

(BD, warga)

Meskipun demikian, secara sosial-budaya, terkait dengan adat istiadat setempat, masuknya wisata berdampak negatif terhadap pergaulan remaja. Cara berpakaian para wisatawan, terutama wisatawan mancanegara memberi dampak negatif terhadap gaya berpakaian remaja di Desa Karimunjawa. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekowisata yang mempertahankan kekhasan budaya masyarakat setempat. Efek negatif tersebut ditegaskan oleh beberapa orang.

“... ya kamu lihat sendiri mas, kamu kalau lihat bule pahanya mulus begitu kamu kegoda tidak? Saya sudah sering sampaikan kepada para tour leader, mbok ya tolong itu tamu-

tamunya diberikan informasi yang benar, dinasehatin supaya kalau sedang jalan di kampung, pakaian harus tertutup. Saya ya mas, rada sedih melihat anak-anak sekarang. Saya kan juga guru,

ngajar di MTs sini, sekitar bulan lalu saya nangkap basah murid sedang berbuat mesum. Memang benar kalau adanya hape dan internet itu memengaruhi, tapi yang sehari-hari mereka lihat kan

paha mulus tamu itu mas...” (MSN, Guru)

“Nek dampak eleke, yo kui si mas, bocah-bocah saiki gaule sak senenge, akeh seng mblending sakdurunge kawin. Winganane aku ndungu ana cah sekolah kepergok mesum neng sekolah mas.

Tamu-tamu ki nek teko, apalagi nek pas neng pantai, pakaiane serba kurang mas, hehe, kui ditiru, dianggep tren, gaya masa

kini..”

(SH, Ketua RT)

“Kalau dampak buruknya, ya itu sih mas, anak-anak sekarang pergaulan bebas, banyak yang hamil di luar nikah.

Beberapa waktu lalu saya dengar juga ada sepasang pelajar kepergok mesum di sekolah. Para tamu kalau datang, apalagi kalau sedang di pantai kan pakaiannya serba kurang ya mas, hehe,

itu ditiru, dianggap tren, gaya masa kini...” (SH, Ketua RT)

Selain tiga pilar tersebut, suatu wisata dapat disebut sebagai ekowisata berdasarkan destinasi wisata yang menjadi daya tarik utama. Sekilas, wisata di Desa Karimunjawa berbasis pada alam, khususnya wisata bahari. Namun demikian, ketika ditelusuri lebih detail, jasa wisata yang ditawarkan oleh Desa Karimunjawa tidak memiliki kekhasan tertentu seperti ekosistem pulau Komodo di TN Komodo. Jasa wisata yang ditawarkan bersifat umum seperti snorkling, menyelam, sunset seeing, memancing, banana boat, dan wisata pulau. Satu destinasi khusus yang ditawarkan adalah penangkaran hiu di pulau Menjangan Besar. Selain itu, jumlah kunjungan wisatawan di Desa Karimunjawa tidak dapat dibatasi seperti di Raja Ampat. Tingginya kunjungan wisatawan dapat menyebabkan carrying capacity tidak lagi seimbang.

Pengembangan Wisata Bahari

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wisata bahari di Desa Karimunjawa dapat dilihat dari pengembangan wilayah yang digunakan untuk aktivitas wisata. Pengembangan wilayah pada dasarnya diatur oleh Balai TN Karimunjawa sebagai pemegang otoritas TN Karimunjawa. Hal ini dikarenakan wilayah kepulauan Karimunjawa termasuk dalam area TN Karimunjawa. Pengembangan wisata Karimunjawa diawali dengan penetapan ruang wisata alam. Penetapan ruang wisata ini dinamai zona pemanfaatan.

Zona pemanfaatan TN Karimunjawa dibagi menjadi dua, yaitu ruang wisata alam intensif, meliputi Pulau utama (Kemujan dan Karimunjawa) dan ruang wisata alam terbatas, meliputi pulau-pulau kecil. Penetapan dua wilayah ini dimaksudkan untuk tujuan berikut:

(1) Membangun citra kawasan;

(2) Memicu pengembangan pasar yang lebih variatif;

(3) Memberikan alternatif pendapatan kepada masyarakat; dan (4) Memperoleh akses menuju ruang wisata dengan lebih mudah.

Kebijakan ini dikeluarkan untuk mewujudkan keterpaduan dan keterkaitan pengembangan antar ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang. Pemberdayaan

masyarakat menjadi bagian penting juga dalam hal pengembangan ruang wisata, dalam hal ini, kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Dokumen terkait