• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Nafkah Nelayan

Struktur nafkah adalah komposisi pendapatan rumah tangga nelayan dari berbagai aktivitas nafkah yang dilakukan oleh seluruh anggota rumah tangga (Prasetya 2013). Komposisi pendapatan rumah tangga nelayan dapat dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu nelayan tangkap, wisata, dan sektor lain diluar nelayan tangkap dan wisata. Sektor wisata datang dari aktivitas nelayan wisata, meliputi tour guide, nahkoda kapal, dan penyewaan alat snorkeling serta alat selam. Selain itu beberapa anggota rumah tangga nelayan bekerja sebagai pedagang di wilayah- wilayah objek wisata. Bentuk keterlibatan nelayan tertinggi nelayan dalam industri wisata adalah sebagai tour leader. Tour leader bertugas untuk mengkoordinir kegiatan wisata, mulai dari menjaring calon wisatawan sampai eksekusi di lapang. Nelayan yang menjadi tour leader memiliki jaringan yang cukup luas dan mobilitas yang sangat tinggi.

Sejak meningkatnya intensitas penyediaan jasa wisata 5 tahun lalu, terjadi perubahan pola nafkah nelayan. Sebanyak 10 persen nelayan beralih profesi menjadi nelayan wisata sebagai pekerjaan utama dan nelayan tangkap sebagai pekerjaan sampingan. Sektor wisata menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi para nelayan ketika hasil tangkapan tidak memenuhi kebutuhan. Buktinya, sebanyak 62,5 persen nelayan menjadikan nelayan wisata sebagai profesi kedua setelah nelayan tangkap. Hanya 22,5 persen nelayan yang tidak memiliki pekerjaan lain selain nelayan tangkap. Hal ini memberikan penjelasan bahwa wisata menjadi fenomena baru sebagai sumber nafkah bagi nelayan Karimunjawa.

Tabel 17 Jumlah dan persentase nelayan menurut jenis pekerjaan Pekerjaan Utama

Kategori Nelayan Tangkap

Nelayan

Wisata Wiraswasta Lainnya

Tidak Ada Total Jumlah 36 4 0 0 0 40 Persentase 90% 10% 0% 0% 0% 100% Pekerjaan Tambahan Jumlah 3 25 1 2 9 40 Persentase 7,5% 62,5% 2,5% 5% 22,5% 100%

Pola Nafkah Berserak

Dalam kajian atau penelitian sebelumnya, nelayan diidentikan dengan petani. Hal ini didasarkan pada sifat usaha mereka yang berskala kecil dengan peralatan dan organisasi pasar yang sederhana (Firth 1946 dalam Satria 2000). Baik petani maupun nelayan, produksinya bersifat subsisten. Selain itu, nelayan dan petani identik dengan kemiskinan, dimana penguasaan aset, baik sumber daya modal maupun sumber daya sumber daya alam sangat kecil (Iqbal 2004).

Meskipun memiliki ciri yang sangat identik dengan petani, nelayan masih dapat dibedakan dari petani, baik melalui ciri individu maupun komunitas. Selain lingkungan tempat tinggal yang berbeda, karakteristik sumberdaya dapat menjadi faktor pembeda utama. Berbeda dengan petani, nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open access. Sumber daya ini mengharuskan nelayan menjelajah hingga ke wilayah yang jauh dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan hasil tangkap yang maksimal (Iqbal 2004). Kondisi ini menyebabkan nelayan memiliki mobilitas yang tinggi.

Keterbatasan akses baik terhadap modal maupun sumber daya alam serta penguasaan aset yang kecil menyebabkan nelayan sulit keluar dari kemiskinan. Tidak seperti petani yang dapat berbagi kepemilikan tanah, nelayan tidak memiliki aset yang jelas karena laut bersifat open access. Oleh karena itu, demi mempertahankan kehidupannya atau meningkatkan taraf hidupnya, rumah tangga nelayan melirik sektor lain di luar laut.

Pemenuhan kebutuhan ini biasanya dikerjakan oleh anggota rumah tangga lain selain dari kepala keluarga sebagai sumber nafkah utama. Biasanya, istri dan anak nelayan ikut serta dalam kegiatan produktif demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kepemilikan modal alam, modal ekonomi, ketersediaan sumber daya manusia dan modal sosial akan memengaruhi keberagaman bentuk strategi nafkah rumah tangga nelayan. Pola nafkah komunitas nelayan di Desa Karimunjawa pada akhirnya mengikuti kesempatan dan peluang pekerjaan yang tersedia (Iqbal 2004). Setidaknya, dapat ditemukan 2 macam serakan strategi nafkah di Desa Karimunjawa, yaitu serakan spasial dan serakan alokasi tenaga kerja.

Serakan Spasial (Migrasi)

Pada umumnya, nelayan Karimunjawa sangat bergantung pada laut sebagai sumber nafkah. Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Karimunjawa tidak lagi dilakukan hanya disekitar daerah tempat tinggal. Perpindahan sebagian atau seluruh anggota rumah tangga nelayan ke luar tempat tinggalnya biasa dilakukan oleh nelayan karena berbagai faktor seperti musim tangkap.

Sejak kegiatan wisata mengalami pertumbuhan di Desa Karimunjawa, nelayan Karimunjawa kurang berminat melakukan perpindahan (migrasi) ke tempat lain. Artinya, serakan spasial yang dilakukan sebagai salah satu bentuk pola nafkah berserak tidak lagi setinggi dulu. Berdasarkan survei yang sudah dilakukan penulis, hanya 17,5 persen nelayan yang melakukan migrasi penuh (Tabel 18). Sebaliknya, sebanyak 42,5 persen nelayan tidak melakukan migrasi sama sekali. Hal ini karena tersedianya sumber pendapatan lain selain dari aktivitas nelayan tangkap, yaitu wisata. Jika musim atau hasil tangkapan sedang tidak bagus, nelayan beralih menjadi penyedia jasa wisata. Sumber nafkah sudah dirasa cukup sehingga tidak perlu berpindah lokasi. Nelayan yang banyak melakukan pola nafkah serakan spasial biasanya tidak ikut serta dalam kegiatan penyedia jasa wisata.

Tabel 18 Jumlah dan persentase rumah tangga nelayan menurut kategori migrasi

Serakan Alokasi Tenaga Kerja Anggota Rumah Tangga

Sebanyak 47 persen dari rumah tangga nelayan memiliki minimal 2 orang anggota keluarga yang bekerja. Padahal, jumlah anggota keluarga rumah tangga nelayan mayoritas berjumlah minimal 4 orang. Jumlah anggota keluarga yang banyak seharusnya menjadi potensi bagi sumber nafkah rumah tangga. Pengerahan tenaga kerja dapat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Berdasarkan survei yang dilakukan penulis, hanya 15 persen rumah tangga yang melakukan optimalisasi tenaga kerja anggota rumah tangga secara penuh (Tabel 19). Sebanyak 42,5 persen rumah tangga nelayan sama sekali tidak melakukan optimalisasi tenaga kerja atau serakan alokasi tenaga kerja rumah tangga. Artinya, sumber nafkah dari kepala rumah tangga (nelayan) seorang dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Meskipun demikian, jumlah rumah tangga yang melakukan serakan alokasi tenaga kerja rumah tangga sebagian juga cukup tinggi, yaitu mencapai 42,5 persen. Jumlah yang lumayan tinggi ini berkaitan dengan peningkatan taraf hidup rumah tangga. Kebutuhan rumah tangga dapat dicukupi dari hasil pekerjaan kepala keluarga. Namun demikian, untuk meningkatkan standar taraf hidup, terutama perekonomian rumah tangga, anggota keluarga lain juga dilibatkan sebagai sumber nafkah.

Tabel 19 Jumlah dan persentase rumah tangga nelayan berdasarkan optimalisasi tenaga kerja anggota rumah tangga

Sumber pendapatan keluarga kini berserak diseluruh anggota keluarga, baik istri maupun anak. Istri atau ibu rumah tangga nelayan biasanya bekerja di sektor informal seperti berdagang di warung dekat rumah, berdagang di alun-alun kota Karimunjawa, dan bekerja di homestay atau penginapan. Warung yang dikelola oleh para istri nelayan menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sembako, peralatan mandi, makanan, dan alat-alat untuk mendukung sektor

Optimalisasi Tenaga Kerja

Anggota Rumah Tangga Jumlah

Persentase (%) Tidak Dilakukan 17 42.50 Dilakukan Sebagian 17 42.50 Dilakukan Penuh 6 15.00 Total 40 100.00

Migrasi Jumlah Persentase

(%)

Tidak dilakukan 17 42.50

Dilakukan Sebagian 16 40.00

Dilakukan Penuh 7 17.50

produksi (nelayan tangkap). Selain itu, beberapa tenaga kerja wanita (istri) menjual hasil tangkapan suami ke pasar atau restoran-restoran milik hotel dan homestay wisata Karimunjawa.

Sektor homestay dan perhotelan banyak menyerap tenaga kerja wanita di sektor informal. Biasanya, ibu-ibu rumah tangga bekerja sebagai tenaga kebersihan di homestay atau hotel wisata. Mereka biasanya masuk kerja sekitar pukul 10.00 WIB setelah menyelesaikan pekerjaan domestik. Mereka selesai sekitar pukul 15.00-16.00 WIB. Homestay dan hotel/resort lumayan banyak dan tersebar merata di sekitar rumah penduduk sehingga memudahkan mobilisasi tenaga kerja rumah tangga dari pekerjaan domestik ke pekerjaan informal tersebut.

Tingginya aktivitas wisata ikut memengaruhi peningkatan optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dalam rangka peningkatan taraf hidup rumah tangga. Hal ini dapat diamati melalui banyaknya pengerahan tenaga kerja wanita untuk bekerja di alun-alun kota Karimunjawa sebagai pedagang. Pedagang dapat dibedakan menjadi pedagang makanan dan pedagang souvenir. Pada malam hari, wisatawan menghabiskan waktunya di alun-alun Karimunjawa untuk sekedar bersantai setelah seharian melakukan tur wisata laut. Demi memenuhi tingginya potensi permintaan wisatawan ini, mereka menyediakan warung makan dan juga souvenir. Warung makan beragam jenisnya, tapi mayoritas yang ditawarkan adalah makanan dari sumber laut seperti cumi-cumi, ikan karang, kepiting, udang, dan lobster. Biasanya, makanan yang ditawarkan berupa olahan bakar. Untuk pedagang souvenir, barang yang ditawarkan adalah kaos, ikan kering, gantungan kunci, dan souvenir khas Karimunjawa berupa gelang dan kalung dari kayu Dewadaru dan Kalimosodo.

Selain ibu-ibu atau istri, rumah tangga nelayan juga memaksimalkan potensi tenaga kerja dari anak-anak. Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan produktif ini sudah memenuhi batasan umur 15 tahun keatas. Artinya, tidak ada anak-anak dibawah umur yang dilibatkan untuk mencari nafkah. Biasanya, mereka ikut membantu ayah menangkap ikan atau membantu berjualan di alun-alun kota Karimunjawa.

Jejaring Sosial

Menurut Dharmawan (2007), salah satu modal yang diperlukan untuk menerapkan strategi nafkah adalah modal sosial. Modal sosial yang dapat diamati dari komunitas nelayan Karimunjawa adalah adanya jejaring sosial yang dimiliki. Jejaring sosial sendiri merupakan ciri khas yang dapat ditemukan di komunitas atau masyarakat pedesaan, baik daerah pertanian maupun pesisir. Jejaring sosial dapat diamati melalui pertemanan maupun kekerabatan yang terjalin. Bahkan, jejaring sosial dapat ditemukan dalam ikatan tertentu seperti patron-klien.

Sebanyak 90 persen nelayan Karimunjawa memanfaatkan jejaring sosial, baik sebagian maupun penuh sebagai bentuk strategi nafkah (Tabel 20). Hanya 10 persen nelayan Karimunjawa yang tidak memanfaatkan jejaring sosial sebagai faktor pendukung. Bentuk jejaring sosial yang dimanfaatkan berupa sharing alat tangkap atau alat produksi, peminjaman modal usaha, pemasaran hasil produksi, serta informasi mengenai peluang terlibat dalam aktivitas wisata di Karimunjawa.

Tabel 20 Jumlah dan persentase rumah tangga nelayan menurut kategori jejaring sosial

Sebagian besar nelayan Karimunjawa tidak meminjam alat tangkap pada nelayan lain untuk aktivitas produktif mereka. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kepemilikan alat tangkap secara pribadi meningkat drastis. Hal ini dipengaruhi oleh semakin mudahnya akses sumber permodalan, baik dari perbankan maupun dari juragan. Juragan merupakan orang yang memberikan pinjaman uang atau alat tangkap berjangka dengan imbalan hasil tangkapan harus dijual kepada juragan yang bersangkutan. Sisi negatif dari sistem ini adalah nelayan tidak dapat menentukan harga jual sesuai harga pasar karena harga jual ditentukan oleh juragan. Nelayan tidak dapat mengelak karena sudah punya “ikatan” dengan juragan yang sudah berjasa memberikan pinjaman.

Uniknya, nelayan Karimunjawa masih banyak meminjam uang pada kerabat atau tetangga meskipun telah meminjam pada lembaga peminjaman atau bank atau kepada juragan. Sebagian besar uang yang dipinjam dari kerabat atau tetanga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, terutama konsumsi dan keperluan rumah tangga. Sedangkan peminjaman modal kepada juragan atau perbankan digunakan untuk mendukung aktivitas produksi.

Jejaring sosial juga banyak dimanfaatkan oleh nelayan dalam rangka penyelenggaraan aktivitas wisata di Karimunjawa. Sebanyak 75 persen nelayan Karimunjawa mengandalkan jejaring sosial untuk bekerja di sektor nelayan wisata. Jejaring sosial yang dimanfaatkan adalah peluang kerja dari pertemanan dan kekerabatan serta jaringan informasi. Faktor pentingnya jejaring pertemanan terhadap peluang mendapatkan sumber nafkah lain melalui sektor wisata diperkuat oleh pernyataan salah satu responden, bapak WRJ.

“... yo ngene iki om, bapak ora tau melu carteran, ora tau ditawani om

karo TL. TL gaono seng teko mrene om. Bapak iki jarang kumpul karo

TL...” (WRJ, Nelayan)

“Ya begini ini om, bapak nggak pernah ikut carteran, nggak pernah ditawari sama TL. TL nggak ada yang datang kesini om. Bapak jarang

bergaul dengan TL...” (WRJ, Nelayan)

Menurut Calchoun (1994) dalam Mardiyaningsih (2003), setidaknya ada 4 keragaman dalam jaringan sosial, yaitu; (a) keragaman tipe: terkait persahabatan, kedekatan tempat tinggal, dan tempat kerja; (b) keragaman bentuk ikatan menurut kekuatan; (c) keragaman bentuk ikatan menurut tingkat simetri: simetri atau tidak simetri; dan (d) keragaman jaringan menurut luas dan sempit. Analisa teori

Jejaring Sosial Jumlah Persentase (%)

Tidak Dilakukan 4 10.00

Dilakukan Sebagian 14 35.00

Dilakukan Penuh 22 55.00

Calchoun (1994) dalam Mardiyaningsih (2003) pada nelayan Karimunjawa adalah sebagai berikut;

(1) Keragaman Tipe, dalam komunitas nelayan, kedekatan tempat tinggal dan kekerabatan merupakan tipe paling cocok. Hubungan patriarkhi tidak banyak terlihat karena sistem kekerabatan masih sangat kuat. Selain itu, kerabat biasanya tinggal berdekatan. Intensitas komunikasi tinggi sehingga jejaring sosial lebih mudah terbentuk.

(2) Keragaman bentuk menurut ikatan kekuatan di Desa Karimunjawa tergolong tidak kuat. Nelayan hanya mengandalkan kedekatan kekerabatan dan tempat tinggal hanya untuk mengumpulkan informasi. Dalam proses mencari nafkah, nelayan cenderung bergerak secara individu.

(3) Keragaman bentuk ikatan menurut tingkat simetri asimetri, antara sesama nelayan masih bersifat simetri.

(4) Keragaman menurut ukuran luas dan sempit, nelayan yang hanya mengandalkan sektor nelayan tangkap tanpa sumber nafkah lain memiliki jejaring sosial yang lebih sempit dibandingkan dengan nelayan yang bekerja disektor selain nelayan tangkap seperti nelayan wisata dan pedagang.

Berdasarkan analisa tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunitas nelayan Karimunjawa masih memperlihatkan adanya kebersamaan namun memiliki kecenderungan luntur akibat persaingan memperebutkan sumber nafkah.

Pola Nafkah Ganda

Konsep pola nafkah ganda muncul dari komunitas petani berupa keragaman mata pencaharian berupa aktivitas pertanian dan non-pertanian (Hussein dan Nelson 1998 dalam Prameswari 2004). Ellis (2000) mendefinisikan mata pencaharian sebagai aktivitas, modal, dan akses yang menentukan pendapatan hidup oleh seseorang atau rumah tangga. Pendapatan yang diperoleh baik oleh individu maupun individu mewakili keluarga di Desa Karimunjawa sangat dipengaruhi oleh sumber daya alam berupa laut. Berbeda dengan komunitas petani yang cenderung memiliki siklus musim pasti untuk pertanian, kondisi alam (laut) bagi nelayan tidak pasti. Oleh karena itu, nelayan memiliki kecenderungan untuk melakukan pola nafkah ganda. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi terhadap kondisi alam yang tidak pasti.

Meningkatnya aktivitas penyelenggaraan wisata di Desa Karimunjawa menyediakan potensi sumber alternatif pendapatan lain selain sektor tangkap bagi nelayan. Modal manusia menjadi faktor penting. Keterampilan yang dimiliki nelayan masih terbatas karena tidak didukung pendidikan yang mumpuni. Oleh karena itu, nelayan melakukan perubahan aktivitas dan perubahan alat tangkap sebagai bentuk adaptasi mereka menyiasati peluang sumber nafkah ganda.

Perubahan Aktivitas

Perubahan aktivitas yang paling kentara dari nelayan adalah perubahan dari aktivitas nelayan tangkap menjadi aktivitas nelayan wisata. Aktivitas sebagai nelayan tangkap adalah menangkap ikan di laut pada pagi hari serta pulang pada

sore atau malam hari. Aktivitas ini dapat berlaku sebaliknya, berangkat pada malam hari dan pulang pada pagi atau siang hari. Aktivitas menangkap ikan yang dilakukan berupa memancing dan menembak. Kini, setelah kegiatan wisata ada di Desa Karimunjawa, aktivitas nelayan perlahan berubah.

Aktivitas nelayan lebih banyak dilakukan pada pagi hari sekitar jam 8 pagi sampai sore sekitar pukul 5 sore. Sebagai nelayan wisata, mereka tidak lagi menangkap ikan. Sebaliknya, mereka menemani para wisatawan yang berkunjung. Selain itu, mereka juga memandu wisatawan dalam aktivitas wisata seperti snorkeling. Nelayan mulai belajar mengenal teknologi seperti pengoperasioan smartphone dan kamera profesional. Selain itu, ada perubahan aktivitas di dalam laut. Jika sebelumnya nelayan lebih banyak melakukan aktivitas menembak di dalam laut, kini mereka menyediakan jasa foto dalam air bagi para wisatawan.

Meskipun demikian, ternyata hanya 30 persen nelayan yang secara kentara mengalami perubahan aktivitas (Tabel 21). Hal ini dikarenakan hanya sedikit nelayan yang menyewakan peralatan wisata seperti alat snorkeling dan penginapan. Perubahan aktivitas yang dapat teramati secara langsung adalah perubahan aktivitas pada taraf unit individu, yaitu perubahan dari nelayan tangkap menjadi nelayan wisata berupa tour guide (pemandu wisata).

Tabel 21 Jumlah dan persentase rumah tangga nelayan menurut kategori perubahan aktivitas

Perubahan Alat Tangkap

Selain melakukan perubahan aktivitas, nelayan juga melakukan perubahan fungsi alat tangkap utama, yaitu kapal. Perubahan fungsi tersebut adalah penyewaan kapal untuk keperluan wisata. Sebanyak 67,5 persen nelayan mengaku menyewakan perahu mereka untuk keperluan wisata. Secara keseluruhan, nelayan yang melakukan perubahan alat tangkap ada 55 persen (Tabel 22). Artinya, selain menjadi tour guide mereka juga menjadi nahkoda atas kapal mereka yang disewa untuk aktivitas wisata. Biasanya, mereka yang kapalnya disewa akan mengajak anggota keluarga atau kerabat untuk ikut serta mengantarkan wisatawan mengunjungi pulau-pulau kecil sekitar pulau utama Karimunjawa.

Perubahan Aktivitas Jumlah Persentase (%)

Tidak Dilakukan 28 70.00

Dilakukan Sebagian 12 30.00

Dilakukan Penuh 0 0.00

Tabel 22 Jumlah dan persentase rumah tangga nelayan menurut perubahan alat tangkap

Selain mengalami perubahan fungsi, kapal juga mengalami perubahan bentuk serta penambahan alat. Perubahan bentuk yang terjadi adalah adanya tenda di atas geladak kapal. Pemasangan tenda berfungsi untuk melindungi para wisatawan dari sengatan panas matahari. Penambahan alat yang dapat ditemukan di nelayan adalah tangga, baju apung, serta peralatan snorkeling. Baju apung dan peralatan snorkeling biasanya disewa atau disediakan langsung oleh tour leader yang menyewa kapal. Penambahan tangga murni berasal dari nelayan. Tangga ini berfungsi untuk naik-turun wisatawan ketika melakukan aktivitas wisata snorkeling dan menyelam. Untuk menyediakan tangga ini, nelayan mengeluarkan modal sendiri di luar modal aktivitas penangkapan ikan. Tangga merupakan salah satu ciri khas yang membedakan nelayan tangkap merangkap wisata dengan nelayan tangkap tanpa pola nafkah lain.

Ikhtisar

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, wisata berkembang dengan sangat pesat di Desa Karimunjawa. Tren berwisata di Karimunjawa tidak dapat lagi dikatakan sebagai ekowisata (ecotourism), tapi sudah tergolong dalam jenis pariwisata (mass tourism). Tingginya permintaan wisata di Desa Karimunjawa mendorong masyarakat, khususnya nelayan untuk beradaptasi. Permintaan akan wisata merupakan peluang untuk meningkatkan perekonomian. Secara umum, nelayan Karimunjawa mencukupi kebutuhan dari sektor nelayan tangkap. Wisata dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan tarah hidup atau taraf perekonomian rumah tangga.

Strategi nafkah serakan spasial jarang ditemui di Desa Karimunjawa. Hal ini karena nelayan tidak perlu lagi keluar desa untuk mencari nafkah ketika hasil tangkapan ikan tidak mencukupi kebutuhan. Kini, mereka bisa menemukan sumber nafkah lain di Desa mereka sendiri dengan cara menjadi penyedia jasa wisata. Serakan secara spasial justru dilakukan oleh orang-orang luar Karimunjawa sebagai pendatang. Serakan alokasi tenaga kerja anggota rumah tangga dapat ditemui di Desa Karimunjawa. Istri nelayan biasanya ikut menyumbang pendapatan dari bekerja di hotel atau homestay atau penginapan di Karimunjawa. Mereka bisa bekerja sebagai tenaga kebersihan atau tukang masak. Selain itu, para istri nelayan biasanya berdagang di area-area wisata, terutama di kawasan alun-alun Karimunjawa.

Perubahan Alat Tangkap Jumlah Persentase (%)

Tidak Dilakukan 18 45.00

Dilakukan Sebagian 0 0.00

Dilakukan Penuh 22 55.00

Nelayan Karimunjawa menerapkan strategi jejaring sosial untuk memenuhi tingginya pemintaan wisata di Karimunjawa. Jejaring sosial yang dilakukan berupa jaringan informasi, jaringan pertemanan, dan jaringan permodalan. Nelayan, terutama para tour guide mengandalkan informasi dari setiap TL. Oleh karena itu, mereka berusaha menjaga hubungan baik dengan TL maupun nelayan lain yang bekerja disektor wisata. Strategi nafkah yang sangat kentara diterapkan oleh nelayan Karimunjawa adalah pola nafkah ganda. Pola nafkah ganda ini terpecah menjadi perubahan aktivitas dan perubahan alat tangkap.

Perubahan aktivitas dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh nelayan. Mereka mulai belajar mengenal teknologi dan belajar untuk membangun komunikasi dengan wisatawan. Nelayan tidak lagi sekedar menyelam untuk menangkap ikan, tapi juga menyelam untuk memandu wisatawan. sedangkan perubahan alat tangkap dapat dilihat dari penambahan tangga serta tenda di kapal milik nelayan. Penambahan alat ini digunakan untuk memudahkan wisatawan ketika melakukan aktivitas wisata.

Dokumen terkait