BAB II TINJAUAN PUSTAKA
E. Pengendalian Persediaan Obat
E. Pengendalian persediaan Obat
1. Defenisi dan Tujuan Pengendalian Persediaan
Pengendalian persediaan atau kata asingnya adalah Inventory Control, adalah fungsi managerial yang sangat penting karena persediaan/stok obat
akan memakan biaya yang melibatkan investasi yang besar dalam pos aktiva lancar. Karena itu perlu dikendalikan dengan efektif dan efisien (Seto, 2004).
Pengendalian persediaan ( inventory control) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi dan mengatur tingkat persediaan yang optimum agar dapat memenuhi kebutuhan bahan dalam jumlah, mutu, dan waktu yang tepat serta dengan jumlah biaya yang rendah (Aditama, 2000). Menurut Depkes RI (2008), pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan obat di unit-unit pelayanan.
Pengendalian persediaan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara persediaan dan permintaan. Oleh karena itu, hasil stock opname harus seimbang dengan permintaan yang didasarkan atas satu kesatuan waktu tertentu, misalnya satu bulan atau dua bulan atau kurang dari satu tahun (Aditama, 2000). Rangkuti (1996) menyebutkan bahwa sistem persediaan bertujuan untuk menetapkan dan menjamin tersedianya sumber daya yang tepat, dalam jumlah dan waktu yang tepat serta dapat meminimumkan biaya total melalui penentuan apa, berapa, dan kapan pesanan dilakukan secara optimal. Tujuan lain dari pengendalian persediaan adalah:
a. Menjaga jangan sampai kehabisan persediaan b. Agar pembentukan persediaan stabil
c. Menghindari pembelian kecil-kecilan d. Pemesanan yang ekonomis
Menurut Render dan Stair (2000), sistem pengendalian persediaan berhubungan erat dengan perencanaan persediaan. Sistem perencanaan dan pengendalian persediaan terdiri dari komponen-komponen dasar sebagai berikut.
Bagan 2.3
Sistem Perencanaan dan Pengendalian Persediaan (render dan Stair, 2000)
Tahap perencanaan (planning) memfokuskan kepada jenis persediaan yang akan diadakan serta cara memperoleh persediaan tersebut (apakah membuat atau membeli). Informasi ini kemudian digunakan untuk tahap selanjutnya, yaitu peramalan (forecasting) permintaan persediaan dan
Perencanaan Persediaan dan Cara Mempeoleh
Persediaan Peramalan terhadap Permintaan Persediaan Pengendalian Tingkat Persediaan
Umpan Balik terhadap Perencanaan dan
pengendalian (controlling) tingkat persediaan. Hasil dari pengendalian tersebut kemudian menjadi umpan balik (feedback) terhadap perencanaan dan peramalan berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukan.
2. Metode Pengendalian Persediaan
a. Analisis ABC
Penentuan kebijaksanaan pengawasan persediaan yang ketat dan agak longgar terhadap jenis-jenis bahan yang ada dalam persediaan, maka dapat digunakan metode analisis ABC. Metode ini menggambarkan Pareto Analisis, yang menekankan bahwa sebagian kecil dari jenis-jenis bahan yang terdapat dalam persediaan mempunyai nilai penggunaan yang cukup besar yang mencakup lebih daripada 60% dari seluruh bahan yang terdapat dalam persediaan (Assauri, 2004).
Metode ini adalah suatu analisa yang digunakan semata-mata untuk mengurutkan jumlah pemakaian, kemudian mengelompokkan jenis barang dalam suatu upaya mengetahui jenis pergerakan obat yang meliputi berbagai jenis, banyak jumlah serta pola kebutuhan yang berbeda-beda (Assauri, 2004).
Cara yang dilakukan untuk mengendalikan persediaan dilakukan dengan klasifikasi ABC atau klasifikasi Pareto. Cara membagi sediaan ke dalam tiga kelas didasarkan pada nilai penggunaan tahunan. Analisis ABC
menyoroti perbedaan antara efektivitas dan upaya. Penggunaan analisis ini memungkinkan teridentifikasinya barang yang benar-benar berpengaruh pada kinerja sediaan, sehingga manajemen yang efektif dapat berkonsentrasi pada barang yang itemnya sedikit tersebut tanpa mengabaikan yang lain (Johns dan Harding, 2001).
Menurut Seto (2004), sistem ABC, semua obat dalam persediaan digolongkan menjadi salah satu dari kategori:
a. Kelompok A mewakili 20% obat dalam persediaan dan 70% total penjualan.
b. Kelompok B mewakili 30% obat dalam persediaan dan 20% total penjualan.
c. Kelompok C mewakili 50% obat tapi hanya kira-kira 10% total penjualan.
Kelompok A merupakan obat yang cepat laku dan dalam beberapa kasus obat merupakan obat yang sangat mahal. Hanya ada sedikit kelompok A dalam persediaan apotik. Tetapi karena kelompok tersebut sangat tinggi permintaannya, merupakan obat yang berputar dengan cepat (atau karena obat itu sangat mahal), kelompok A merupakan mayoritas penjualan apotik. Kelompok A seharusnya dimonitor dengan hati-hati, angka pemesanan ulang dan EOQ-nya seharunya dihitung (Seto, 2004).
Kelompok B dan C merupakan agak lambat lakunya. Kelompok B mempunyai penjualan rata-rata dan perputaran inventaris. Kelompok C
adalah obat yang paling lambat lakunya, obat produk yang paling kurang diminta. Karena kelompok B dan C merupakan jumlah yang jauh lebih besar dan merupakan proporsi penjualan yang lebih kecil, tidak perlu dan tidak efisien untuk memonitor obat-obat tersebut seketat kelompok A. Kelompok B dan C biasanya dapat cukup dikendalikan dengan menggunakan kartu stok gudang dan kartu stok di ruang peracikan dan penjualan eceran (Seto, 2004).
Pengelola secara periodik seharusnya memonitor kelompok C untuk menentukan apakah obat tersebut semestinya disingkirkan dari persediaan. Menyingkirkan kelompok C yang lambat lakunya merupakan metode praktis mengurangi jumlah obat dan investasi dalam persediaan, tapi memberikan pengaruh yang kecil pada penjualan dan biaya kehabisan persediaan (Seto, 2004).
Menurut Heizer dan Render (2010) barang kelas A adalah barang dengan volume dolar tahunan tinggi yaitu 70%-80% penggunaan uang secara keseluruhan namun hanya merepresentasikan 15% dari persediaan total. Barang kelas B barang dengan volume dolar tahunan yang sedang yaitu 15%-25% penggunaan uang keseluruhan dan 30% penggunaan persediaan total. Barang dengan volume dolar tahunan yang kecil adalah kelas C yang hanya merepresentasikan 5% volume tahunan namun mewakili 55% barang persediaan total.
Menurut Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan (2010), prinsip utama adalah dengan menempatkan jenis-jenis perbekalan farmasi ke dalam suatu urutan, dimulai dengan jenis yang memakan anggaran/rupiah terbanyak.
Urutan langkah adalah sebagai berikut (Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010) :
a. Kumpulkan kebutuhan perbekalan farmasi yang diperoleh dari salah satu metode perencanaan, daftar harga perbekalan farmasi, dan biaya yang diperlukan untuk tiap nama dagang. Kelompokkan kedalam jenisjenis/kategori, dan jumlahkan biaya per jenis kategori perbekalan farmasi.
b. Jumlahkan anggaran total, hitung masing-masing prosentase jenis perbekalan farmasi terhadap anggaran total.
c. Urutkan kembali jenis- jenis perbekalan farmasi diatas, mulai dengan jenis yang memakan prosentase biaya terbanyak.
d. Hitung prosentase kumulatif, dimulai dengan urutan 1 dan seterusnya. e. Identifikasi jenis perbekalan farmasi apa yang menyerap ±70% anggaran total (biasanya didominasi oleh beberapa jenis perbekalan farmasi saja).
1) Perbekalan Farmasi kategori A menyerap anggaran 70% 2) Perbekalan Farmasi kategori B menyerap anggaran 20%
3) Perbekalan Farmasi kategori C menyerap anggaran 10%
Tabel 2.1 Klasifikasi Persediaan
Ahli Kelas A Kelas B Kelas C
Item Nilai Item Nilai Item Nilai
Johns dan Harding
(2001) 15% 75% 25% 15% 60% 10%
Heizer dan Render
(2010) 15%
70%-80% 30%
15%-25% 55% 5%
Dirjend Binfar dan
Alkes (2010) 70% 20% 10%
Berikut kebijakan-kebijakan yang dapat didasarkan pada analisis ABC (Heizer dan Render, 2010):
a. Membeli sumber daya harus lebih tinggi pada barang-barang A dibandingkan dengan barang-barang C.
b. Barang-barang A harus memiliki kontrol persediaan fisik yang lebih ketat, barang tersebut mungkin ditempatkan dibagian yang lebih aman akurasi catatan persediaannya untuk barang A harus lebih sering di verivikasi.
c. Meramalkan barang A memerlukan perhatian yang lebih dibandingkan barang lainnya.
Adapun perlakuan untuk masing-masing kelas bahan baku yang dipergunakan di dalam suatu perusahaan tersebut adalah sebagai berikut (Ahyari, 1987):
a. Kelas A
1) Kuantitas pembelian bahan serta titik pemesanan kembali harus dilaksanakan dengan perhitungan yang cermat
2) Biaya penyelenggaraan persediaan di dalam perusahaan tersebut akan diawasi sangat ketat
3) Tingkat persediaan yang diselenggarakan untuk kelas ini disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan untuk pelaksanaan produksi
4) Umumnya, persediaan kelas A mendapat perhatian yang cukup, mengingat kerusakan atau kehilangan bahan jenis ini dalam jumlah unit yang kecil akan mengakibatkan terjadinya kerugian perusahaan di dalam jumlah yang cukup besar.
b. Kelas B
1) Pencatatan yang baik serta pengawasan normal dari penyelenggaraan persediaan ini akan dapat membuahkan persediaan bahan baku yang optimal di dalam perusahaan yang bersangkutan.
2) Pengendalian juga tetap diperlukan sehingga perusahaan tidak menderita kerugian karena penyelenggaraan persediaan yang tidak sesuai situasi dan kondisi dari perusahaan yang bersangkutan.
c. Kelas C
1) Pada umumnya persediaan kelas C diselenggarakan dengan system pengendalian sederhana di dalam perusahaan yang bersangkutan
2) Pengawasan tidak akan dilaksanakan seperti kelas B atau A, melainkan akan diselenggarakan dengan cara yang relatif mudah dan sederhana.
b. Economic Order Quantity (EOQ)
Teknik pengendalian persediaan merupakan tindakan yang sangat penting dalam menghitung berapa jumlah optimal tingkat persediaan yang diharuskan,serta kapan saatnya mulai mengadakan pemesanan kembali (Rangkuti, 1996). Menurut Render dan Stair (2000), terdapat dua keputusan fundamental yang harus dibuat ketika melakukan pengendalian persediaan, yaitu mengenai jumlah persediaan yang harus dipesan dan kapan melakukan pemesanan.
(EOQ) adalah salah satu teknik kontrol persediaan tertua dan paling dikenal/teknik ini relatif mudah digunakan, tetapi berdasarkan beberapa asumsi (Heizer dan Render, 2010) :
a. Jumlah permintaan diketahui, konstan dan independen
b. Penerimaan persediaan bersifat instan dan selesai seluruhnya. Dengan kata lain persediaan dari sebuah pesanan datang dalam satu kelompok pada suatu waktu
c. Tidak tersedia diskon kuantitas
d. Biaya variabel hanya biaya untuk penyetelan/pemesanan dan biaya menyimpan persediaan dalam waktu tertentu
e. Kehabisan persediaan dapat sepenuhnya dihindari jika pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat
Berikut adalah rumus untuk menentukan jumlah pemesanan optimum menurut Heizer dan Render (2010), Bowersox (2010) dan Buffa (1997)
Rumus:
Keterangan:
Q = Jumlah optimum unit per pesanan (EOQ)
D = Permintaan tahunan dalam unit untuk barang persediaan S = Biaya pemesanan untuk setiap pesanan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
c. Reorder Point (ROP)
Render dan Stair (2000) mengungkapkan bahwa setelah menentukan jumlah pemesanan, masalah kedua yang harus dijawab dalam pengendalian persediaan adalah kapan diadakan pemesanan kembali. Ketika terdapat jenis persediaan yang telah mencapai 0, perusahaan akan melakukan pemesanan kembali untuk mengisi persediaan tersebut. Namun, lead time atau delivery time yaitu waktu yang dibutuhkan dari saat memesan hingga
pesanan datang, biasanya mencapai beberapa hari atau beberapa minggu. Sehingga, perlu ditentukan batas minimal tingkat persediaan agar tidak terjadi kekurangan persediaan melalui perhitungan titik pemesanan kembali ( reoder point).
Reoder point (ROP) atau titik pemesanan kembali adalah batas/titik dari jumlah persediaan yang ada pada suatu saat dimana pemesanan harus dilakukan kembali (Rangkuti, 1996). Jadi, ketika pesanan dilakukan ketika persediaan mencapai ROP, pesanan akan tiba saat persediaan sudah mencapai 0. Dalam menentukan titik ini harus diperhatikan besarnya penggunaan selama persediaan yang dipesan belum datang yang ditentukan oleh dua faktor, yaitu lead time dan tingkat penggunaan rata-rata. Besarnya penggunaan tersebut dihitung selama waktu lead time, mungkin dapat juga ditambahkan dengan safety stock (persediaan pengaman) yang biasanya mengacu kepada kemungkinan terjadinya kekurangan stok selama lead time. Jadi, besaran ROP adalah hasil perkalian antara jumlah penggunaan rata-rata dan waktu tunggu pemesanan sebagai berikut (Rangkuti, 1996):
Sedangkan apabila terdapat besaran safety stock menjadi:
Keterangan:
D (Demand) = jumlah permintaan per hari
ROP = d x L
L (Lead Time) = waktu tunggu antara pemesanan hingga barang diterima (hari)
Dimana d dan L adalah konstan