• Tidak ada hasil yang ditemukan

„Iddah merupakan kewajiban yang harus dijalani oleh perempuan

yang putus perkawinannya. Pengertian „iddah dikelompokkan menjadi

dua yaitu:

a. Secara Etimologi

„Iddah adalah bahasa arab yang yang berasal dari akar kata

„adda- ya‟uddu- „iddatan dan jamaknya adalah „idad, secara arti kata (etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan

untuk maksud „iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-

„iddah menunggu berlalunya waktu (Syarifudin, 2006: 303). Wahbah Zuhaili mengemukakan:

تغى ًٕٗ

:

ُءبَصْد ْ َا

,

ىَيَعبَِٖىبََِخْشِ ِلَ ِدَذَعْىا ٍَِِ ٌةَرُ٘خْأٍَ

ِشُْٖشَ ْلَاَِٗا ِءاَشْقَلِا ِدَذَع

Artinya: “„Iddah secara bahasa adalah menehan, terambil dari kata Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”

Sayyid Sabiq(1987: 150) memaparkan:

ةّذعىا

:

ُءبَصْد ْ ا ِدَذَعْىا ٍَِِ ٌةَرُ٘خْأٍَ

:

ْةأْشََىا ٍِِٔصْذُح بٍ يَأ

ِءاَشْق ْلِاَٗ ًِبٌَّلِا ٍِِْ ُُّٓذُعَحَٗ

Artinya: “„Iddah terambilkan dari kata „Adad, artinya menghitung, maksudnya perempuan yang menghitung hari- harinya dan masa bersihnya.”

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh

tersebut dapat dipahami bahwa pengertian „iddah dari segi bahasa berasal

dari kata „adda yang berarti bilangan, menghitung, dan menahan.

Maksudnya perempuan menghitung hari- harinya dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya.

b. Secara Terminologi

Kata „iddah dalam bahasa Arab berasal dari kata al-„add yang

berarti “perhitungan”. Dalam Terminologi syari‟ah, „Iddah berarti jangka waktu tertentu yang ditentukan Allah setelah perceraian ketika seorang wanita tidak boleh menikah hingga ia melewati masa

tersebut (Kamal, 2007: 257). Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata

iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang:

1) Dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah

ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata

„iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.

2) Dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain. (Nurrudin, 2004: 241).

Iddah adalah masa tunggu wanita yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya untuk memungkinkan melakukan perkawinan lagi dengan laki-laki lain (Basyir, 1996: 86).

Para ulama mendefinisikan „iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan. (Nurrudin, 2004:240).

Mengenai definisi „iddah secara terminologi terdapat beberapa

redaksi yang berbeda dari para fuqoha‟ sesuai dengagn sudut

pandang masing- masing. Diantaranya ada yang mengemukakan

definisi „iddah dengan menekankan pada tujuan „iddah, dan sebab

Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian iddah mnurut istilah yaitu:

َْٗا بََِْٖدَس ِةَءاَشَب ِتَفِشْعََِى َةَأْشََْىا بٍَِْٖف بَْْصَّبَشَخٌَ ٌةَّذٍُ ًََِٕٗ

بَِٖجَْٗص ىيَع بَِٖعُّجَفَّخِىَْٗا ِذُّبَعَّخيِى

Artinya:”„Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan ibadah atau untuk meghilangkan rasa duka karena kematian suami.”

Definisi „iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya Zakaria al

Anshari tersebut lebih mengutamakan tujuan „iddah. Adapaun tujuan

„iddah menurut Abi Yahya Zakaria al Anshari adalah untuk

mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan, untuk

melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya (Wahyudi, 2009: 10).

Sayyid Sabiq (1987: 150) memberikan definisi tentang „iddah

sebagai berikut:

َِِع ُعَِْخََْحٗ ُةَاْشََْىَا بٍَِْٖف ُشِضَخَْْح ىِخَّىا ُةَّذِعىا ٌُْسِا ًََِٕٗ

بَِٖجَْٗص ِةبَفَٗ َذْعَب ِجٌِْْٗضَّخىا

,

ِِٔقاَشِفَْٗا

Artinya: “Iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang

perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dan melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai oleh suaminya.

Sayyid Sabiq dalam mengemukakan pendapatnya tentang

definisi „iddah lebih menekankan pada sebab „iddah, dimana „iddah merupakan masa menunggu bagi perempuan. Selama masa tunggu perempuan itu tidak boleh kawin dengan laki- laki lain. Adanya

„iddah desebabkan oleh kematian suami atau karena perceraian.

Sedangkan Ismail al-Shan‟ani menjelaskan pengertian „iddah

adalah ةاشَىا بٍٖف صّبشخح ةذٍ (masa tunggu) yang dilalui oleh seorang

perempuan. Definisi ini masih perlu penjelasan mengenai apa yang ditunggu, kenapa menunggu, dan untuk apa menuggu. Adapun

definisi Ismail al-Shan‟ani yang menjawab apa yang ditunggu dan

kenapa menuggu sebagai berikut:

ِةبَفَٗ َذْعَب ِجٌِْْٗضَّخىا َِِع َةأْشََْىا بٍَِْٖف ُصَّبَشَخَح ٍةَّذَُِى ٌٌسا

بََٖى ِِٔقاَشِفَٗ بَِٖجَْٗص

Artinya: “Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.”

Definisi untuk apa dia menunggu dapat ditemukan dalam definisi dibawah ini, yang bunyinya:

ِذُّبَعّخيى َْٗا بََِْٖدَس ِتااَشَب ِفِشْعَخِى َةَأْشََْىا بٍَِْٖف ْصَّبَشَخَح ةَّذٍُ

Artinya: “Masa tunggu yang baru harus dilalui oleh seorang

perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah” (Syarifuddin, 2006: 304).

Sesmentara itu ulama Hanafiah sebagaimana yang dikutip oleh

Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa definisi „iddah adalah:

ِحبَنِّْىا ٍهاََٗص َذْعَب َةَأْشََْىا ًَُضْيَح ٍتٍَُ٘يْعٍَ ٌةَّذٍُ ُصُّبَشَح بََّّٖا

ِثََْْ٘ىا َِٗا ِهُ٘خُّذى بِب ِذَّمَأَخىاَِٗا حًتَْٖبُس َْٗا بحًذٍِْذَص

Artinya: “„Iddah adlah masa menunggu bagi seorang perempuan yang harus dilaksanakannya setelah putusnya perkawinan, baik perkawinan secara sah ataupun secara shubhat atau apabila ia yakkin telah terjadi dukhul atau karena kematian.”

Menurut ulama Hanafiah, „iddah diwajibkan karena putusnya

suatu perkawinan secara sah atau shubhat dengan syarat telah terjadi hubungan suami istri.

Beranjak dari bebrapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama

tersebut dapat dirumuskan bahwa „iddah menurut syariat Islam ialah masa

tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut ia dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena ada sebab yaitu isteri yang ditalak oleh suaminya dan telah digauli atau isteri yang ditinggal mati oleh suaminya.

2. Dasar Hukum ‘Iddah

Aturan „iddah ditujukan bagi perempuan yang bercerai dari suaminya,

dalam bentuk apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak, nasih

berhaid atau tidak, wajib menjalani „iddah. Seluruh imam mazhab sepakat

atas wajibnya „iddah, landasan dasarnya terdapat pada Al-Qur‟an dan Hadist.

a. Dasar hukum dari firman Allah SWT dapat dilihat dalam:

1) Surat al Baqarah ayat 228

َُأ ََُِّٖى ُّوِذٌَ َلََٗ ٖۚ ءُٓٗشُق َتَثََٰيَث َِِِّٖسُفَّأِب َِ ۡصَّبَشَخٌَ ُجََٰقَّيَطَُۡىٱَٗ

ًِ ٍَۡ٘ۡىٱَٗ ِ َّللَّٱِب ٍَِِّ ۡؤٌُ َُِّم ُِإ ٍَِِِّٖبَد ۡسَأ ًِٓف ُ َّللَّٱ َقَيَخ بٍَ َِ َُۡخ ۡنٌَ

ٖۚب ٗذََٰي ۡصِإ ْآُٗداَسَأ ُِۡإ َلِى ََٰر ًِف َِِِّّٕدَشِب ُّقَدَأ َُُِّٖخَىُ٘عُبَٗ ِٖۚشِخٓ ۡلِٱ

ٞۗ تَجَسَد ٍََِِّٖۡيَع ِهبَجِّشيِىَٗ ِٖۚفُٗش ۡعََۡىٱِب ٍََِِّٖۡيَع يِزَّىٱ ُوۡثٍِ ََُِّٖىَٗ

ٌٌٍِنَد ٌضٌِضَع ُ َّللَّٱَٗ

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya: Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" (Departemen Agama, 1998: 28).

Firman Allah SWT diatas menjelaskan kewajiban ber-„iddah

ayat ini berkaitan erat dengan Asma binti Yazid bin Sakan al Anshariyah. Dia pada waktu diceraikan oleh suaminya di zaman

Rasalullah SAW disaat itu belum ada hukum „iddah bagi seorang perempuan yang diceraikan suaminya dan untuk memberikan

penjelasan tentang betapa pentingnya masa „iddah sebab dengan demikian dapat diketahui apakah perempuan yang diceraiakn itu dalam keadaan hamil atau tidak.

2) Surat Al-AhzabSurat al-Baqarah ayat 234:

َِِِّٖسُفَّأِب َِ ۡصَّبَشَخٌَ ب ٗج ََٰٗ ۡصَأ َُُٗسَزٌََٗ ٌُۡنٍِْ َُ َّۡ٘فََ٘خٌُ ٌَِِزَّىٱَٗ

بٍََِف ٌُۡنٍَۡيَع َحبَُْج َ َف ََُِّٖيَجَأ َِ ۡغَيَب اَرِئَف ۖا ٗش ۡشَعَٗ شُٖ ۡشَأ َتَعَب ۡسَأ

شٍِبَخ َُُ٘يََ ۡعَح بََِب ُ َّللَّٱَٗ ِٞۗفُٗش ۡعََۡىٱِب َِِِّٖسُفَّأ ًِٓف َِۡيَعَف

Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan

meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis „iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Departemen Agama, 1998: 30).

Ayat di atas menjelaskan bahwa isteri yang kematian suaminya

wajib ber-„iddah empat bulan sepuluh hari. Kewajiban „iddah ini

juga berlaku terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya meskipun mereka belum bercampur sebagai suami isteri.

3) Surat at –Talak ayat 4

ُتَثََٰيَث َُُِّٖحَّذِعَف ٌُۡخۡبَح ۡسٱ ُِِإ ٌُۡنِآبَسِّّ ٍِِ ِضٍِذََۡىٱ ٍَِِ َِ ۡسِئٌَ ًِ ـََّٰٓىٱَٗ

َِ ۡعَضٌَ َُأ َُُِّٖيَجَأ ِهبََ ۡدَ ۡلِٱ ُجََٰىُْٗأَٗ َِٖۚ ۡضِذٌَ ٌَۡى ًِ ـََّٰٓىٱَٗ شُٖۡشَأ

ا ٗش ۡسٌُ ۦِِٓش ٍَۡأ ٍِِۡ ۥَُّٔى وَع ۡجٌَ َ َّللَّٱ ِقَّخٌَ ٍََِٗ ََُِّٖٖۚي ََۡد

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi

(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu- ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (Departemen Agama, 1998: 446).

Dari penjelasan di atas surat at-Talak ini membicarakan

tentang lamanya masa „iddah, perempuan-perempuan yang

diceraikan oleh suaminya. Perempuan yang tidak haid karena

menopause atau karena masih kecil, iddah-nya tiga bulan, dan

perempuan yang hamil „iddah-nya sampai melahirkan.

b. Dasar hukum dari hadist Nabi SAW

Sedangkan hadist yang mengandung hokum dasar „iddah terdapat

pada hadist yang disampaikan Aisyah menurut riwayat Ibnu Majah, bunyinya:

اْ عَا عَ عَ عَ نِا عَ اْ عَ نِ عَ اْ عَ اْ نِ عَ

:

نِثعَلاعَثنِب َّدعَتاْععَ ت اْنعَ ُةعَراْ ينِرعَب اْتعَرنِمُ

ضٍ عَ نِ

.

)

هج م ب

(

Artinya: “Dari Aswad, dari „Aisyah, ia berkata, “Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya ber‟iddah tiga kali haid” (Hadist riwayat ibnu Majah).

ِعَبْسَا ُصُّبَشَح ِدُ٘قْفََْىا ِةَأَشٍِْا ىِف َُْْٔع ُاَلَ ًَِضَس شََُع َِْعٗ

احًشْشَعَٗ ٍشُْٖشَا َتَعَبْسَا ُّذَخْعَح ٌَُّث ٍَِِِْس

Artinya: dari umar ra berkata: bagi perempuan yang kehilangan suaminya dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari.(Hadis riwayat Malik).

Hadist lain yang berkaitan dengan „iddah berasal dari sabda Nabi

SAW kepada Fatimah binti Qays, “ber-„iddah-lah engkau di rumah Ibn

Ummi Maktum”. Pembahasan mengenai ini mencakup persoalan „iddah seorang wanita yang ditalak atau di- fasakh nikahnya oleh

suaminya, „iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, „iddah wanita

yang dicampuru karena syubhat, penyucian diri wanita zina, dan „iddah

Dokumen terkait