• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf

3. Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq” yang jamaknya akhlaq. Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan budi pekerti. Kata akhlaq mengandung persesuaian dengan perkataan khaliq yang berarti pencipta, serta erat kaitannya dengan kata makhluq bermakna yang diciptakan. Apabila kita hubungkan arti akhlaq dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka sesungguhnya rumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq, dan antara makhluq dengan makhluq itu sendiri.41

Sementara itu menurut M. Quraish Syihab, secara linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim gair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-Quran maupun hadis sebagaimana tertulis di bawah ini:











“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S.

al-Qalam/68: 4)

39

Ibid,.

40

Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth:Mereguk Sari Taswuf, Terj. dari The

Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. Oleh Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h.78

41M. Ma’rifat Imam dan Nandi Rahman, Ibadah Akhlak, Tinjauan Eksetoris dan Esoteris, (Jakarta: Uhamka Press, 2002), h23













“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang

terdahulu.” (Q.S. asy-Syuarâ'/26: 137)

اق خ سحأ انا ي ني لا ل كأ

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang

sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)

قاخأا ر اك تأ تثعب ا نا

)

د حأ ا ر

(

“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran

budi pekerti.” (H.R. Ahmad)42

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen dari keanekaragaman tersebut.43









“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” (Q.S. al-Lail/92: 4)

Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang petama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlaq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata akhlaq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.

Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut:

a. Al-Ghazali mengungkapkan tentang akhlak yaitu “sikap yang

mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran

42Kanzul „Ummal, 11: 240/31969

43

23

dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.44

b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.45

c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut-turut.46

Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.47 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang

hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak

bersifat rasional, atau dorongan nafsu.48

Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini

44

M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, (Jakarta: Mizan, 2009), h.38

45

Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 31

46

Ahmad Amin. Etika (Ilmu akhlak). (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-7, h. 62 47

Al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th.), jld 3, h.52 48

dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keikhlasan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Mawardi yang menyebutkan bahwa akhlak diri (disposisi mental) adalah unsur dasar atau landasan bagi tindakan artinya, seseorang tidak dapat dianggap berakhlak baik, sebelum ia memiliki akhlak diri yang baik. Dua jenis sikap akhlak yaitu: legalitas dan moralitas. Legalitas sekedar kesesuaian lahiriyah tindakan dengan suatu aturan moral tanpa disertai sikap hati (disposisi mental). Sedangkan moralitas (akhlak) adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah yang sesuai aturan moral tanpa pamrih.49

Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:50

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini Ahmad Amin51 mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk berbuat jahat atau durhaka.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

49

Pengertian moralitas dan legalitas menurut Immanuel Kant. Lihat Frans Magnis Suseno,

Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 58 50

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 5-7 51

25

dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.

Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhlak dari si pelakunya.

Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak yang baik.52

Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki (etis) yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak

bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis,

yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum

“baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan:

“Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia

52

mengakui akan nilai agung suatu perbuatan etis. Nilai yang dimaksud di sini

bukan dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan “upah” atau gaji. Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia. Nilai-nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau barang.53

Dokumen terkait