• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf: analisis isi Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kandungan nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf: analisis isi Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN NILAI-NILAI

PENDIDIKAN AKHLAK TASAWUF

(ANALISIS ISI NOVEL

JACK AND SUFI

KARYA MUHAMMAD LUQMAN HAKIM)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

oleh:

SAMKHUN NAJI

NIM: 108011000140

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i ABSTRAK Nama : Samkhun Naji

NIM : 108011000140

Fak/Jurusan : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam Judul : Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf (Analisis

Isi Novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim)

Tujuan penelitian dari novel Jack and Sufi ini yaitu untuk menemukan bentuk pendidikan akhlak tasawuf yang ditampilkan dalam novel Jack and Sufi, untuk memperkaya khazanah keilmuan bagi peneliti karya sastra novel selanjutnya dan untuk referensi dalam dunia pendidikan. Penelitian ini juga dapat memberikan manfaat bagi pembaca, yaitu sebagai wahana pemikiran dalam memahami suatu karya sastra, membantu dalam memahami suatu karya sastra dan sebagai rujukan dalam bidang pendidikan.

Metode dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan seperti buku-buku, artikel atau dokumen-dokumen lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis), yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra, serta metode deskriptif, yaitu metode yang membahas objek penelitian secara apa adanya sesuai dengan data-data yang diperoleh.

Penelitian ini menemukan 4 bentuk nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi yaitu: tentang nilai kearifan (al-hikmah) meliputi ketajaman intelegensi, kejernihan dalam berpikir. Nilai menjaga kesucian (al-iffah) meliputi

kedermawanan, keteguhan hati, dan wira’i. Nilai keberanian (al-syaja’ah) meliputi sikap tenang san kesabaran. Terakhir nilai keadilan (al-‘adl) meliputi

(7)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya, akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “Kandungan Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

Tasawuf (Analisis Isi Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman

Hakim) ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Peneliti menyadari betul bahwa selama proses penulisan skripsi ini dalam

rangka mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini. Maka dari itu peneliti memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya sekaligus ucapan terima kasih. Adapun apresiasi dan ucapan terima kasih ini peneliti khususkan kepada:

1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Marhamah Shaleh Lc., MA selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam juga seluruh dosen dan staf Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama penulis menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Dimyati, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing selama penulisan skripsi

ini yang memberikan bimbingan, saran dan kritik selama penulisan. 4. Tanenji, S.Ag, MA, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan motivasi dan saran kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

(8)

iii

Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Kepada kedua orang tua yakni: Ayahanda Musthafa dan Ibunda Wastiah yang selalu memberikan didikan, motivasi, doa dan kasih sayang kepada penulis.

7. Kepada kakak saya Ani Rohani, Siti Khayatun, dan Khumaidullah Irfan, serta adik saya Numrotul Mustariqoh. Penulis ucapkan banyak terima kasih karena sudah memberi motivasi.

8. Sahabat-sahabat saya dan teman-teman kelas ”Dhe” PAI yang sudah memberikan banyak motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini.

(9)

iv DAFTAR ISI

Cover

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ……… .... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan 1. Pengertian Novel ... 9

2. Ciri-ciri Novel ... 11

3. Macam-macam Novel ... 12

5. Sastra dan Nilai Pendidikan ... 14

B. Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf 1. Pengertian Pendidikan ... 17

2. Pengertian Tasawuf ………. 19

3. Pengertian Akhlak ... 21

4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 26

5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 27

(10)

v

7. Tujuan Pendidikan Akhlak Tasawuf ... 32

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 35

C. Sumber Data ... 36

D. Instrumen Penelitian ... 36

E. Teknik Pengumpulan Data ... 37

F. Teknik Analisis Data ... 37

G. Teknik Penulisan ... 38

H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Novel 1. Sinopsis Novel ... 40

2. Biografi Pengarang... 45

B. Temuan Hasil Analisis ……… ... 46

C. Pembahasan Hasil Analisis 1. Nilai Kearifan ... 51

2. Nilai Menjaga Kesucian diri ... 54

3. Nilai Keberanian ... 60

4. Nilai Keadilan ... 62

BAB V KESIMPULAN IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ... 69

B. Implikasi ... 70

C. Saran ... 70

(11)

vi

DAFTAR TABEL

[image:11.595.145.480.259.612.2]
(12)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI

No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

Alif - tidak dilambangkan

bā’ B -

tā’ T -

ṡā’ ṡ s dengan satu titik di atas

Jīm J -

ā’ ḥ h dengan satu titik di bawah

khā’ Kh -

Dāl D -

Żāl Ż z dengan satu titik di atas

rā’ R -

Zāi Z -

Sīn S -

Syīn Sy -

(13)

viii

ād ḍ d dengan satu titik di bawah

ā’ ṭ t dengan satu titik di bawah

ā’ ẓ z dengan satu titik di bawah

‘ain ‘ koma terbalik

Gain G -

fā’ F -

Qāf Q -

Kāf K -

Lām L -

Mīm M -

Nūn N -

hā’ H -

wāwu W -

hamzah tidak dilambangkan

atau ’

apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peradaban merupakan kata yang mengacu pada interaksi keseluruhan aspek-aspek kehidupan suatu komunitas, yang kemudian terekspresikan secara fisik maupun spiritual. Keseluruhan aspek itu, misalnya ideologi, ilmu pengetahuan, hukum, etika, seni, nilai-nilai keindahan, kebaikan dan kebenaran. Peradaban itu dikatakan maju ketika terjadi proses interaksi antar berbagai dimensi tersebut yang pada gilirannya akan membentuk wajah peradaban komunitas itu sendiri. Proses interaksi tersebut mungkin terjadi dalam wadah yang kita sebut sebagai dunia pendidikan. Dengan adanya pendidikan yang memuat keseluruhan aspek tersebut, kita dapat berharap akan kemajuan peradaban masyarakat Indonesia pada masa depan.1

Pendidikan adalah kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku seseorang dan masyarakat. Dalam aktualisasinya, pendidikan sering dilihat dari dua sudut pandang, sebagai fenomena individual dan fenomena sosial budaya.2 Oleh karena itu, institusi manusia seperti agama, hukum, etika, seni, dan budaya tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan dari peran pendidikan itu sendiri.

1

M. Anis Matta, “Seni Islam: Format Estetika dan Muatan Nilai”, dalam Aswab Mahasin (ed.), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa,(Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, Bina Rena Pariwara, 1996), h. 20

2

(15)

Pada saat sekarang, praktek-praktek pendidikan mengalami kemunduran yang hanya fokus pada kecerdasan otak.3 Ditambah lagi arus modernisasi tak pelak lagi mengakibatkan banyak perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini menyimpan potensi negatif yaitu tereduksinya nilai-nilai yang ada di masyarakat berupa kemerosotan akhlak. Dan ini jelas akan mengakibatkan kemunduran suatu peradaban. Hal ini sebagai akibat praktek pendidikan yang tidak mengacu pada pengembangan manusia secara utuh dan tidak adanya kesiapan filtrasi terhadap nilai-nilai kebudayaan baru yang dibawa arus modernisasi tersebut.

Kerusakan akhlak yang ada sekarang memang telah meluas. Umat Islam selayaknya tidak terkena penyakit itu. Namun kenyataannya tidak demikian. Sifat-sifat yang menyalahi akhlak Islam ini barangkali salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam lebih mengutamakan aspek luar dari pada aspek yang di dalam. Padahal seharusnya keduanya dibutuhkan dan memang merupakan satu kesatuan. Di sinilah peran akhlak tasawuf di mana ilmu ini sangat mementingkan rohani seseorang sebagai tempat tinggal yang baik bagi keinginan-keinginan manusia dengan merawatnya secara baik sehingga dapat melahirkan tindakan-tindakan yang positif mengalir sendiri tanpa ada motif yang terselubung yang bersifat negatif di mata Allah.4

Dalam pendidikan akhlak tasawuf yang dikembangkan adalah IQ (dzaka

‘aqli), EQ (dzaka dihni), dan SQ (dzaka qolbi). Ketiganya merupakan komponen

potensi kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis. Hal ini bertujuan agar menghasilkan daya guna yang luar biasa, baik secara horizontal dalam lingkup pergaulan antar manusia maupun secara vertikal dalam relasinya kepada Ilahi.5 Ketiganya merupakan potensi ruhani dalam diri manusia yang sangat penting untuk dikembangkan.

Dengan demikian, nanti pada gilirannya tidak ada lagi krisis manusia

modern yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kesyahduan dalam beragama, yang telah memeluk agama tidak ubahnya seperti robot, yakni rutin, kaku, jauh

3

Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Mizan, 2006), h. 54 4

Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, Dialog Al-Qur’an, Tasawuf dan Psikologi,

(Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 23 5

(16)

3

dari kesan menjiwai dan sangat kering dari nilai-nilai keintiman, sehingga yang tampak dalam aktivitas beragama adalah sekedar memenuhi kewajiban dan sekaligus tidak berdampak pada kesalehan sosial sekaligus tidak berdampak pada transformasi perbaikan sosial kemasyarakatan.6

Dengan model keberagamaan yang mengedepankan pengetahuan akhlak tasawuf diharapkan fenomena keberagamaan manusia menjadi sesuatu yang hidup, yang ramah, sekaligus peduli terhadap implikasi sosial kemasyarakatan, karena memang demikianlah sesungguhnya jati diri Islam.7

Sebagai masyarakat Indonesia yang Islam, untuk mewujudkan hal tersebut tentunya perlu pola pendidikan yang berorientasi pada pembinaan akhlak yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yang dikenal dengan pendidikan akhlak tasawuf. Bentuk pendidikan tersebut adalah upaya mengimbangi pendidikan yang sekarang berkembang, di mana orientasinya hanya pada ranah kecerdasan otak, dan jarang sekali terarah pada kecerdasan emosi dan spiritual. Padahal, keduanya merupakan wadah dari pentingnya integritas, kejujuran, komitmen, visi, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, penguasaan diri.8

Faktor yang menyebabkan rusaknya akhlak seseorang menurut peneliti bukan hanya dari derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan perubahan perilaku seseorang, tetapi juga faktor pola pendidikan yang kurang mengena. Pola pendidikan yang menggunakan metode menakut-nakuti, memukul dan mengancam misalnya, itu tidak tepat dilakukan. Karena metode seperti itu tidak akan mungkin mengembangkan potensi akhlak pada anak.9

Imam al-Ghazali, dalam Zainuddin, berpendapat bahwa kesusastraan termasuk ke dalam salah satu faktor lingkungan pendidikan. Karya sastra berupa buku-buku yang berisi cerita yang baik, benar dan mulia akan membawa pengaruh dan peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak perilaku dan

6

Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008, pp. 8

7

Ibid,

8

Siroj, loc. cit. 9

(17)

kepribadian anak.10 Umar Bin Khattab pernah berkata “Ajarkanlah sastra pada anak-anak kalian, karena sastra itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani”.11

Petuah Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita menjadi tahu makna kehidupan. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan sesuatu dengan keindahan dan kelembutan. Sastra mengajarkan kita untuk peduli dan empati. Ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai moral bisa diungkapkan tanpa

kesan menggurui. Bahkan kegemilangan sebuah peradaban bisa dilihat dari sastrawan dan karya-karya sastra yang lahir pada masa itu. Seperti kegemilangan

Islam yang melahirkan ulama sekaligus sastrawan seperti Imam Syafi’i,

Jalaluddin Rumi, Umar al Khayyam dll.12

Dalam perspektif peradaban, seni menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat. Keberadaan seni dalam berbagai bentuknya, seperti contoh karya sastra, merupakan upaya manusia untuk menggambarkan dan mengekspresikan sesuatu yang ia rasakan dalam batinnya tentang realitas berbagai wujud melalui berbagai bentuk ekspresi yang indah, ilustratif dan memiliki daya pengaruh yang kuat. Keberadaan dan kondisi sastra pada suatu masyarakat ikut mengindikasikan dari maju atau tidaknya peradaban suatu bangsa.13 Di kala sistem pendidikan kontemporer tidak berhasil membekali generasi penerus dengan nilai-nilai luhur pembentuk watak bangsa, sastra sepatutnya dilihat sebagai jalan alternatif.

Oleh karena itu, menurut hemat peneliti, pola pendidikan yang berbasis sastra dapat dijadikan alternatif dalam pembinaan akhlak pada diri anak tanpa harus melakukan tindakan di luar batas yang bisa berakibat fatal. Dengan mengajarkan sastra dengan sendirinya para anak didik tahu akan akibat atau

manfaat dari apa yang telah ia lakukan dalam kehidupan ini tanpa harus

10

Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet.i, h. 93

11

Matta, op. cit, h. 24 12Bulqia Mas’ud

, Sastra dan Pembentukan Karakter, 2013, (http://www.edukasi.kompasiana.com.)

13

(18)

5

melakukan tindakan yang berlebihan dalam menghukum, walaupun dalam tingkatan tertentu hukuman itu dibolehkan.

Kemudian muncul pertanyaan apakah sistem pendidikan yang ada selama ini telah gagal dalam membentuk kepribadian anak-anak bangsa? Jika peneliti menilik pada hasil penelitian Taufik Ismail, penyair senior Indonesia, bahwa minimnya pembelajaran apresiasi sastra adalah salah satu penyebab mengapa

kemerosotan moral yang terjadi. Taufik Ismail memaparkan „TRAGEDI NOL BUKU’ bahwa siswa-siswi di Indonesia berhasil menyelesaikan „NOL’ karya sastra sampai mereka menginjak SMA. Hal ini begitu memilukan jika dibandingkan dengan budaya literasi yang berkembang di negara-negara maju, bahkan di Malaysia sekalipun.14 Dari sinilah muncul kesadaran bahwa menurut peneliti pendidikan akhlak tasawuf (pendidikan yang berorientasi pada jiwa, pada penanaman kebenaran universal sebagai pemenuhan fitrah manusia) yang berbasis sastra menjadi sebuah keniscayaan.

Karya sastra dapat menjadi salah satu medium yang efektif dalam pendidikan akhlak tasawuf. Karena sastra bisa mengasah rasa, mengolah budi, membukakan pikiran dan mengajak manusia berdialog dengan dirinya sendiri. Namun, tidak semua hasil karya sastra dapat digunakan sebagai sarana membangun akhlak. Sastra yang dapat digunakan untuk membangun akhlak

adalah sastra yang „baik’. Sastra yang baik adalah yang mampu membuat pembacanya melakukan suatu perenungan, mendapatkan pencerahan, dan mengajak kepada kehidupan yang lebih baik dan benar.

Dalam hal ini, maka materi dalam karya sastra sangat penting adanya. Keberadaan isi dalam suatu karya sastra haruslah memuat nilai-nilai yang mengandung unsur pendidikan akhlak tasawuf. Tanpa hal itu, maka sastra hanya akan menjadi bacaan yang sifatnya menghibur belaka tanpa ada nilai yang dapat

dijadikan pelajaran.

Novel termasuk karya sastra yang banyak beredar di masyarakat dan memuat banyak nilai-nilai pendidikan untuk kehidupan manusia dalam setiap ceritanya. Sebagai pembaca kita harus dapat menangkap nilai apa yang

14

(19)

sebenarnya ingin disampaikan dari novel tersebut kepada para pembaca, bukan hanya sekadar bacaan yang menghibur semata.

Berdasarkan asumsi bahwa novel merupakan salah satu karya sastra yang memuat banyak nilai-nilai pendidikan, jadi bisa disimpulkan bahwa karya sastra berupa novel layak menjadi medium dalam ranah pendidikan, karena memuat nilai-nilai pendidikan yang dapat berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.

Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk menganalisis sebuah karya sastra berupa novel yang berjudul Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.

Dalam karyanya tersebut, si pengarang banyak memberikan hal-hal penting tentang nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf. Menurut peneliti novel ini sarat akan muatan nilai pendidikan akhlak tasawuf mengingat si pengarang adalah ahli di bidang ilmu tasawuf. Sebagai contoh diceritakan si Jack tokoh sentral dalam buku ini adalah seorang yang telah belajar ilmu tasawuf dari berbagai negara dan dia juga mempunyai pesantren yang cukup terkenal di daerahnya, namun dia tidak langsung kembali ke pesantrennya untuk mengajarkan ilmu yang didapatnya, tetapi malah memilih untuk berdakwah di wilayah yang hampir tak tersentuh oleh para ulama seperti dia. Wilayah itu dia sebut sebagai wilayah remang-remang, karena di dalamnya memang tercampur antara kebaikan dan keburukan. Dia memilih wilayah tersebut karena panggilan Ilahi untuk mengajak mereka yang telah terbawa arus hitam untuk kembali ke jalan yang benar dengan cara dia sendiri.

Dari pengamatan yang dilakukan peneliti ada beberapa novel yang dijadikan judul skripsi untuk diambil nilai-nilai akhlaknya seperti novel Bumi Cinta karya Habiburrahman Syirazi, Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman al-Syirazi.15 Ada juga yang meneliti novel ini (Jack and Sufi) namun nilai yang diambil adalah nilai tentang kepedulian sosialnya. Skripsi tersebut peneliti jumpai

di perpustakaan online milik UMM (Universitas Muhamdiyah Malang) dengan judul “Nilai Kepedulian Sosial Dalam Buku Jack and Sufi”.16 Jadi memang belum ada judul skripsi seperti yang akan diteliti oleh peneliti. Melihat data tersebut

15

Lihat Katalog skripsi di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16

(20)

7

menurut peneliti merupakan hal yang penting untuk menggali nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel Jack and Sufi tersebut, mengingat pentingnya nilai pendidikan akhlak tasawuf itu sendiri dan adanya nilai pendidikan akhlak tasawuf dalam novel tersebut. Adapun penelitian ini akan

diberi judul “Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf dalam Novel Jack and Sufi Karya Muhammad Luqman Hakim.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi

masalah sebagai berikut:

1. Derasnya arus modernisasi yang mengakibatkan masyarakat terkena penyakit kerusakan moral (akhlak)

2. Praktek pendidikan yang masih hanya fokus pada kecerdasan otak, dan mengabaikan tentang pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual.

3. Kurangnya pemahaman tentang pendidikan akhlak tasawuf sebagai pendidikan emosional dan spiritual.

4. Pola pendidikan yang kurang mengena dapat mengakibatkan kerusakan akhlak pada anak didik.

5. Penggunaan metode (alat/media) pendidikan yang belum optimal sehingga belum bisa membentuk pribadi anak didik dengan baik. 6. Kurangnya minat mengapresiasi karya sastra novel sebagai medium

dalam penyampaian nilai-nilai pendidikan guna membentuk kepribadian anak didik.

7. Masih belum adanya penelitian mengenai novel Jack and Sufi untuk digali nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung di dalamnya.

C. Pembatasan Masalah

(21)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah itu, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

“Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terdapat dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim?”

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Setelah mengetahui permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

“Untuk mengetahui bentuk nilai-nilai pendidikan akhlak tasawuf yang terkandung dalam novel Jack and Sufi karya Muhammad Luqman Hakim.”

2. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

1) Dapat memperluas khasanah ilmu dalam karya ilmiah terutama dalam bentuk cerita.

2) Sebagai wahana pemikiran dalam menetapkan teori-teori yang ada dengan realitas yang ada di masyarakat.

b. Manfaat Praktis

1) Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran terutama memahami makna atau hikmah dalam suatu cerita.

2) Dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk penelitian selanjutnya.

(22)

9 BAB II

LANDASAN TEORI A.Hakikat Novel dan Nilai Pendidikan

1. Pengertian Novel

Sebelum menjelaskan apa itu novel, baiknya kita pahami apa itu karya sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja

turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi‟. Akhiran –tra biasanya menunjuk alat, sarana. Maka dari itu, sastra dapat berarti

”alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran, “.1

Karya sastra dapat digolongkan sebagai salah satu sarana pendidikan dalam arti luas. Pendidikan dalam arti ini tidak terbatas pada buku-buku teks (pelajaran dari kurikulum yang diajarkan di sekolah), namun bisa berupa karya sastra seperti cerpen, puisi, novel. Dunia kesusastraan secara garis besar mengenal 3 jenis teks sastra, yaitu naratif (prosa), teks monolog (puisi), dan teks dialog (drama). Salah satu dari ragam prosa adalah novel.2 Jadi, karya tulis berupa novel termasuk salah satu dari karya sastra berupa teks, yang berisi tentang cerita.

Kata novel berasal dari bahasa latin, novus (baru). Sedangkan dalam bahasa Italia novel disebut novella, kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. yaitu suatu proses naratif yang lebih panjang dari pada cerita pendek (cerpen), yang biasanya memamerkan tokoh-tokoh atau pristiwa imajiner. Novel

1

Partini Sardjono Prodotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 7

2

(23)

merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengundang rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitar dengan cara menonjolkan sifat dan watak tokoh-tokoh itu.3

Alterbernd dan Lewis, dalam Burhan Nurgiyantoro, berpendapat, fiksi— sebagai sinonim dari novel—adalah: prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan

secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.4

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel diartikan sebagai “karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap

pelaku”.5

Sastra berupa novel jika dilihat dari aspek isi merupakan karya imajinatif yang tidak lepas dari realitas. Karya sastra merupakan cermin zaman. Berbagai hal yang terjadi pada suatu waktu, baik positif maupun negatif direspon oleh pengarang. Dalam proses penciptaannya, pengarang akan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat itu secara kritis, kemudian mereka mengungkapkannya dalam bentuk yang imajinatif.6

Novel sebagai karya sastra mempunyai fungsi dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek gubahan, sastra disusun dalam bentuk yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan yang berguna untuk menanamkan pendidikan karakter.7

3

Bitstream, Pengertian Novel, 2013, (http://repository.usu.ac.id.) 4

Ibid., h. 2-3. 5

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1998), h. 1079 6

Haryadi, Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan IKIP Yogyakarta, 13 Juni 2011

7Bulqia Mas’ud

(24)

11

Dengan demikian, karya sastra memiliki peran sangat fundamental dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karya sastra pada dasarnya membicarakan berbagai nilai hidup dan kehidupan yang berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia. Sastra dalam pendidikan berperan mengembangkan bahasa, mengembangkan kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian dan mengembangkan pribadi.8

2. Ciri-ciri Novel

Di Indonesia antara roman, novel, dan cerpen mempunyai sedikit

perbedaan. Ada juga yang disebut novellet. Dalam roman biasanya kisah berawal dari tokoh lahir sampai dewasa kemudian meninggal, roman biasanya mengikuti aliran romantik. Sedangkan novel berdasarkan realisme, dan hidupnya dapat berubah dari keadaan sebelumnya. Berbeda dengan cerita pendek yang tidak berkepentingan pada kesempurnaan cerita atau keutuhan sebuah cerita, tetapi lebih berkepentingan pada kesan.9

Hendy menyebutkan ciri-ciri novel sebagai berikut:

a. Sajian cerita lebih panjang dari cerita pendek dan lebih pendek dari roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian.

b. Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang.

c. Penyajian berita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang batang tubuh cerita, dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri).

d. Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut.

e. Karakter tokoh-tokoh utama dalam novel berbeda-beda. Demikian juga karakter tokoh lainnya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula tokoh statis

dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang digambarkan berwatak

8

Suhardini Nurhayati, Sastra dan Pendidikan Karakter, 2013, (httpwww.malang-post.com.)

9

(25)

tetap sejak awal hingga akhir. Tokoh dinamis sebaliknya, ia bisa mempunyai beberapa karakter yang berbeda atau tidak tetap.10

Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel adalah cerita yang lebih panjang dari cerita pendek, diambil dari cerita masyarakat yang diolah secara fiksi, serta mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ciri-ciri novel tersebut dapat menarik pembaca atau penikmat karya sastra karena cerita yang terdapat di dalamnya akan menjadikan lebih hidup.

3. Macam-macam Novel

Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang novel. Nurgiyantoro membedakan novel menjadi novel serius dan novel popular.

a. Novel Pop (Populer)

Novel pop ini merupakan novel yang hanya mengambil tema-tema yang sedang popular walaupun itu bersifat fiktif, dengan bahasa yang popular pada novel itu dibuat dan mengesampingkan isi pesan yang dibuat dalam novel tersebut. Mereka hanya memikirkan bagaimana novel tersebut laku keras atau banyak disukai oleh para pembaca, karena novel ini dibuat untuk nilai konsumtif dan bersifat komersial.

b. Novel Serius

Dalam novel serius ini justru sebaliknya dari novel populer. Novel ini mengangkat tema-tema universal yang sedang dihadapi oleh masyarakat dengan harapan mampu mengubah atau memberikan konstribusi pada masyarakat/pembaca agar mau mengikuti apa yang diinginkan oleh penulis. Novel ini lebih mengutamakan isi pesan dari pada sekedar hayalan-hayalan fiktif yang banyak disukai masyarakat/pembaca saat ini.11 Dalam dunia kesastraan sering ada usaha untuk membedakan antara novel serius dengan novel populer. Namun bagaimanapun adanya perbedaan itu tetap

10

Zaidan Hendy, Kasusastraan Indonesia Warisan yang Perlu Diwariskan 2.

(Bandung: Angkasa,1993), h. 225

11

(26)

13

saja kabur. Ciri-ciri yang ditemukan dalam novel serius (yang biasanya dipertentangkan dengan novel populer) sering juga ditemukan dalam novel populer, atau sebaliknya.12

Berbicara tentang sastra populer, Kayam dalam Nurgiyantoro menyebutkan bahwa sastra populer adalah perekam kehidupan dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaan-rekaan kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang

telah menceritakan pengalamannya dan bukan penafsiran tentang emosi itu. Oleh karena itu, sastra populer yang baik banyak mengundang pembaca untuk mengidentifikasikan dirinya.13

Novel populer telah mengalami perkembangan. Ada jenis novel yang lahir dari novel populer, yaitu novel metropop. Ada kriteria dalam novel metropop. Dalam novel metropop, tema cerita tidak ditentukan, tetapi mengharuskan tema cerita berkaitan dengan kehidupan metropolitan. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel-novel metropop merupakan tokoh yang dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia karena penulisan novel metropop dilakukan oleh pengarang Indonesia. Perkotaan adalah latar fisik yang terdapat dalam novel metropop. Latar sosial yang digambarkan dalam novel-novel metropop yaitu mencakup gaya hidup masyarakat urban Indonesia, khususnya orang-orang dewasa muda, dan bahasa sehari-hari yang ditulis dengan ringan dan santai. Novel metropop dikategorikan sebagai novel-novel dewasa. Karya-karya metropop dapat dibaca oleh siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki dewasa. Selain itu juga metropop ditujukan untuk pembaca Indonesia karena tokoh-tokoh di novel ini dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia.14

Adapun mengenai novel serius cenderung yang muncul adalah memicu

sedikitnya pembaca yang berminat pada novel sastra ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menyebabkan popularitas novel serius menurun. Justru novel ini mampu

12

Ibid, h. 17 13

Ibid, h. 18 14

(27)

bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, roman Romeo Juliet karya William Shakespeare atau karya Sutan Takdir, Armin Pane, Sanusi Pane yang memunculkan polemik yang muncul pada dekade 30-an yang hingga saat ini masih dianggap relevan dan belum ketinggalan zaman.

4. Satra dan Nilai Pendidikan

Nilai dapat diartikan suatu ide yang paling baik, menjunjung tinggi dan menjadi pedoman manusia atau masyarakat dalam tingkah laku, keindahan, dan keadilan.15

Dalam karya sastra itu ternyata mengandung nilai pendidikan yang dapat kita ambil. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai sastra terutama novel sebagai karya yang mengandung macam-macam nilai pendidikan.

Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali ataupun yang baru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendensi.16

Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya.17

Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi di

dalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur

15

Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2008), hlm. 49-50.

16

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Buku Seru, 2013), h. 89

17

(28)

15

yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan.18

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel

sebagai berikut.

a. Nilai Pendidikan Religius

Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya berhubungan ke dalam keesaan Tuhan.19 Nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal. Nurgiyantoro berpendapat, bahwa kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri.20 Mangunwijaya menyatakan, bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan Yang Maha Esa. Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar

Raniri, Al Hallaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M, dan masih banyak lagi.21

18

Jakob Sumardjo, Memahami Kesustraan, (Bandung: Alumni, tt), h. 14

19

Rosyadi, Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba, (Jakarta: CV Dewi Sri, 1995), h. 90

20

Nurgiyantoro, op. cit., h. 326 21

(29)

b. Nilai Pendidikan Moral

Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupakan moral.22 Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah menyatakan bahwa, moral merupakan

kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk.23 Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.24 .

c. Nilai Pendidikan Sosial

Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan.25 Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.

Nilai pendidikan sosial mengajarkan bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu dalam

22

Nurgiyantoro, op. cit., h. 320 23

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 194

24

Septiningsih, loc. cit.

25

(30)

17

masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.

Dari sekian nilai-nilai yang tersebut di atas peneliti tidak akan meneliti semuanya. Adapun nilai yang digali dalam penelitian ini adalah tentang nilai pendidikan moral religius yang ada pada karya tersebut, dengan menggunakan literatur dari Islam, yaitu menggunakan teori konsep pendidikan akhlak tasawuf. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai konsep pendidikan akhlak tasawuf.

B.Konsep Pendidikan Akhlak Tasawuf 1. Pengertian Pendidikan

Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogik”,

yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”. Fuad Hasan menyimpulkan paedogogik berarti aku membimbing anak.26 Purwanto menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa.27

Menurut Tilaar, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Maksud dari memanusiakan manusia atau proses humanisasi adalah melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Maksudnya adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia.28

Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa pendidikan identik dengan proses pengembangan yang bertujuan agar membangkitkan sekaligus mengaktifkan

potensi-potensi yang terkandung dalam diri manusia. Pengembangan yang

26

Fuad Hasan, Dasar-dasar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.1 27

M Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 11

28

(31)

dimaksud adalah menguak potensi-potensi yang tersembunyi dalam diri manusia. Pendidikan harus diarahkan untuk membangkitkan serta mengaktifkan potensi-potensi positif yang dimiliki oleh objek didik.29

Menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksud dari pendidikan yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.30

Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal I menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".31

Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab.32

Adler dalam Arifin, mengartikan pendidikan sebagai proses di mana seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik.33

Dengan demikian, yang dimaksud dengan pendidikan ialah upaya yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu mengembangkan potensi yang ada pada diri mereka meliputi potensi akal, jiwa, jasmani tanpa ada unsur

29

Murtadha Muthahhari, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), h.37

30

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hal. 4 31

Undang-undang Tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Yogyakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 4

32

M Elly Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana,m 2006), h.114 33

(32)

19

pemaksaan serta memfasilitasi mereka agar terbukalah wawasan mereka untuk mencari kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki.

Di atas penulis sudah menjelaskan tentang pengertian pendidikan yang kesimpulannya bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Jika pendidikan digandengkan dengan kata akhlak tasawuf maka maksudnya adalah pendidikan yang berorientasi mengembangkan potensi jiwa yang ada pada diri manusia agar menjadi baik secara rohani.

2. Pengertian Tasawuf

Selanjutnya penulis akan menjelaskan konsep pendidikan akhlak tasawuf. Pertama tentang pengertian tasawuf. Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, sebagaimana dikutip oleh A.R. Ustman, pengertian tasawuf itu dapat diperoleh dari asal kata tasawuf maupun didasarkan pada ajaran dalam praktik tasawuf itu sendiri. Berikut ini beberapa teori tentang asal kata tasawuf adalah:

a. Ahl-Shuffah, orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah dan karena mereka tidak memiliki harta dan dalam keadaan miskin, mereka tinggal di masjid nabi dan tidur dengan bantal pelana (Shuffah).

b. Shaff yaitu barisan atau pertama. Sebagaimana shalat mereka disebut sufi. Karena dalam shalat atau beribadah kepada Tuhan selalu berada pada barisan pertama (al-Shaff al-Awwal).

c. Shafa berarti suci, seseorang sufi adalah orang disucikan dan telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.

d. Sophos dari bahasa Yunani yang berarti hikmat atau pengetahuan sebagaimana orang-orang sufi berhubungan dengan hikmat.

e. Shuf berarti bulu domba (woll) karena kaum sufi mempunyai tradisi atau kebiasaan berpakaian yang terbuat dari bulu domba sebagai simbul dari kesederhanaan dan kemiskinan.34

34

(33)

Dari sekian pengertian yang telah ada, pendapat yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) adalah yang paling tepat dari segi bahasa dan pendapat ini lebih sesuai secara historis karena para sufi di zaman dulu mempunyai kebiasaan memakai jubah terbuat dari bulu domba dan selalu diidentikkan dengan sifat zuhud. Di dalam literatur tasawuf diriwayatkan bahwa para Nabi berpakaian shuf.35

Ibnu Khaldun dalam M. Fauqi Hajaj memberikan pengertian bahwa tasawuf adalah menjaga kebaikan tata karma bersama Allah dalam amal-amal

lahiriyah dan bathiniyah dengan berdiri di garis-garisNya, sambil memberikan perhatian pada penguncian hati dan mengawasi segala gerak-gerik hati dan pikirannya demi memperoleh keselamatan.36

Sementara itu oleh Murtadha Muthahhari dan Syaikh Muhammad Husain

Thabathaba’i, untuk istilah tasawuf dan sufi mereka menyebutnya dengan istilah

“irfan dan arif”. Menurut mereka istilah irfan dan arif dilihat dari sudut pandang

ilmiah, di mana irfan adalah salah satu ilmu yang lahir dari Islam dan memberitahukan tentang hubungan dengan Tuhan dan jalan mencapainya, sedangkan kaum arif adalah orang yang mahir dan ahli dalam irfan.37

Terlepas dari apa pun akar katanya, yang jelas istilah tasawuf menurut Said Aqil Siroj menunjuk pada makna orang-orang yang tertarik pada pengetahuan esoteris, yang menyalami dan menukik jauh ke dalam inti agama, yang berupaya mencari jalan dan praktik-praktik amalan yang dapat mengantarkannya pada kesadaran tercerahkan dan pencerahan hati.38

Lanjutnya, tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak mulia, tapi bisa merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah. Tasawuf juga berupaya menjawab pertanyaan mengapa manusia harus berakhlak karimah. Apabila etika dapat memberikan

semangat keadilan dan kemampuan merespon segala sesuatu dengan tepat,

35

Totok Jumantoro-Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah, 2005), h. 246

36

M. Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 5 37

Murtadha Mutahhari dan Syaikh Muhammad Husain Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, terjemahan MS, Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm 19-21

38

(34)

21

tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan hidup manusia lebih luas dan kaya.39 Bahkan kaum sufi berusaha berpegang teguh kepada kebenaran meskipun ketika dikelilingi oleh kesalahan dan kebohongan, berpijak kuat pada kepastian bahwa kebenaran, yang senantiasa indah dalam arti metafisik, akhirnya akan menang.40

3. Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “khuluq” yang jamaknya akhlaq. Artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral, etika dan budi pekerti. Kata akhlaq mengandung persesuaian dengan perkataan khaliq yang berarti pencipta,

serta erat kaitannya dengan kata makhluq bermakna yang diciptakan. Apabila kita hubungkan arti akhlaq dengan kata khalq, khalq dan makhluq, maka sesungguhnya rumusan pengertian akhlaq timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq, dan antara makhluq dengan makhluq itu sendiri.41

Sementara itu menurut M. Quraish Syihab, secara linguistik, kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim gair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlaq adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti kata akhlaq sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-Quran maupun hadis sebagaimana tertulis di bawah ini:





“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S.

al-Qalam/68: 4)

39

Ibid,.

40

Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth:Mereguk Sari Taswuf, Terj. dari The

Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. Oleh Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h.78

41M. Ma’

(35)





“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang

terdahulu.” (Q.S. asy-Syu‟arâ'/26: 137)

اق خ سحأ انا ي ني

لا ل كأ

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang

sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)

قاخأا ر اك تأ تثعب ا نا

)

د حأ ا ر

(

“Bahwasanya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan keluhuran

budi pekerti.” (H.R. Ahmad)42

Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen dari keanekaragaman tersebut.43



“Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” (Q.S. al-Lail/92: 4)

Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang petama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlaq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata akhlaq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.

Adapun pengertian akhlak menurut istilah dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar berikut:

a. Al-Ghazali mengungkapkan tentang akhlak yaitu “sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran

42Kanzul „Ummal

, 11: 240/31969

43

(36)

23

dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang

baik dan terpuji, baik dari segi akal syara’, maka ia disebut

akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.44

b. Ibn Miskawaih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.45

c. Menurut Ahmad Amin, dia menyimpulkan dari berbagai pendapat

ahli, menyatakan bahwa: akhlak adalah kebiasaan berkehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka

kebiasaannya itu disebut akhlak. Dengan perkataan lain, akhlak adalah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia secara berturut-turut.46

Al-Ghazali memberikan kriteria, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.47 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam Tahdzib al-akhlak. Tokoh filsafat etika yang

hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.” la tidak

bersifat rasional, atau dorongan nafsu.48

Bila ditinjau pembagian yang merusak dan menyelamatkan, keduanya meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini

44

M. Abdul Mujib dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Ghozali, (Jakarta: Mizan, 2009), h.38

45

Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 31

46

Ahmad Amin. Etika (Ilmu akhlak). (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-7, h. 62 47

Al- Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Kairo: Dar al-Kutub al_Arabiyyah, T.Th.), jld 3, h.52 48

(37)

dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keikhlasan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Mawardi yang menyebutkan bahwa akhlak diri (disposisi mental) adalah unsur dasar atau landasan bagi tindakan artinya, seseorang tidak dapat dianggap berakhlak baik, sebelum ia memiliki akhlak diri yang baik. Dua jenis sikap akhlak yaitu: legalitas dan moralitas. Legalitas sekedar kesesuaian lahiriyah tindakan dengan suatu aturan moral tanpa disertai sikap hati (disposisi mental). Sedangkan moralitas

(akhlak) adalah sikap hati yang terungkap dalam tindakan lahiriyah yang sesuai aturan moral tanpa pamrih.49

Menurut Abuddin Nata ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:50

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya. Dalam kaitan ini Ahmad Amin51 mengumpamakan, bahwa seseorang yang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan untuk memberi, dan keinginan itu selalu ada padanya meskipun terdapat keadaan yang menghalanginya, kecuali keadaan yang menghalanginya itu luar biasa dan terpaksa. Sebaliknya orang kikir ialah orang yang dikuasai oleh rasa cinta harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya. Dengan keterangan ini nyata bahwa orang yang baik ialah orang yang menguasai keinginan baik secara berturut-turut. Sebaliknya orang jahat atau durhaka ialah orang yang selalu dikuasai oleh keinginannya untuk berbuat jahat atau durhaka.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, atau

tidur. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang

49

Pengertian moralitas dan legalitas menurut Immanuel Kant. Lihat Frans Magnis Suseno,

Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 58 50

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 5-7 51

(38)

25

dalam keadaan tidur, hilang ingatan, mabuk, atau perbuatan reflek seperti berkedip, tertawa, bersin, dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak melainkan perbuatan alami, seperti halnya binatang juga melakukannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya. Namun karena perbuatan tersebut sudah mendarah daging, sebagaimana disebutkan pada sifat yang pertama, maka pada saat akan menjalankannya sudah tidak lagi memerlukan pertimbangan atau pemikiran. Hal yang demikian tak ubahnya dengan orang yang mendarah daging mengerjakan shalat lima waktu, maka begitu

mendengar panggilan shalat ia tidak merasa berat mengerjakannya, dan tanpa pikir panjang ia sudah dengan mudah dan ringan dapat mengerjakannya.

Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri si pelakunya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan karena paksaan, tekanan atau intimidasi dari luar dirinya, maka perbuatan tersebut bukan termasuk ke dalam akhlak dari si pelakunya.

Keempat, perbuatan akhlak ialah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

Kelima, perbuatan akhlak yang baik adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak yang baik.52

Kelima perbuatan tersebut kemudian disebut sebagai perbuatan akhlaki (etis) yang acapkali dipertentangkan dengan perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang terjadi di luar kehendak si pelakunya, seperti bernafas, berkedip, bersin, dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan alami, pelakunya tidak

bisa dikenakan hukum “baik atau buruk”. Sebaliknya, terhadap perbuatan etis,

yaitu perbuatan yang timbul karena kehendak si pelakunya, bisa dikenakan hukum

“baik atau buruk”. Dalam kaitan ini Murtadha Muthahhari menyatakan:

“Perbuatan etis” itu layak untuk dipuji dan disanjung. Dengan kata lain, manusia

52

(39)

mengakui akan nilai agung suatu perbuatan etis. Nilai yang dimaksud di sini

bukan dalam arti material, seperti yang biasa diistilahkan dengan “upah” atau gaji. Namun nilai yang dimaksudkan di sini berada pada kedudukan yang lebih tinggi dalam diri manusia. Nilai-nilai tersebut tidak dapat disejajarkan dengan uang atau barang.53

4. Integrasi Pendidikan Akhlak Tasawuf

Dari bahasan di atas, dapat dinyatakan bahwa akhlak sesungguhnya merupakan istilah yang bersifat umum, sehingga perlu diuraikan lagi. Karena itu

terdapat istilah akhlâq al-karîmah dan akhlâq al-sayyi’ah. Akhlâq al-karîmah adalah perbuatan terpuji, baik, luhur dan mulia. Sedang akhlâq al-sayyi’ah adalah perilaku yang jelek, nista, sekaligus menyengsarakan. Akhlâq al-karîmah yang telah menjadi bagian tak terpisahkan pada seseorang sehingga ia menjadi konsisten, kontinyu sekaligus berusaha keras melalui serangkaian riyâdlah untuk senantiasa bertahan hidup dalam karakter tersebut itulah yang sesungguhnya disebut dengan istilah tasawuf, dan pelakunya disebut dengan sufi, salik atau darwis dalam bahasa Persia.54

Harun Nasution berpendapat, ketika mempelajari tasawuf akan terbukti bahwa kaum sufilah yang terutama pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka seperti nilai-nilai kejujuran, keadilan, tolong menolong, murah hati, pemaaf, sabar, baik sangka, pemurah. Semua nilai-nilai ini terdapat dalam ajaran al-Qur’an dan Hadis, di mana setiap muslim harus meneladaninya sejak kecil.55

Atas dasar itu, dapat dimengerti filosofi berpikir penggabungan atau pengintegrasian akhlak tasawuf menjadi satu kesatuan, yakni diharapkan praktek tasawuf yang dikembangkan tetap berpijak pada nilai-nilai akhlak terpuji. Tasawuf mementingkan hubungan vertikal dan horisontal sekaligus. Keasyikan

dan kesyahduan dalam berkomunikasi dengan Allah (habl min Allâh), dalam

53

Muthahhari, op. cit., h. 12 54

Djamaluddin, Reorientasi Pembelajaran Akhlak Tasawuf di Perguruan Tinggi, Tadris Volume 3. Nomor 1. 2008, pp.5

55

(40)

27

pandangan tasawuf Islam harus berefleksi dalam cermin praktik hidup keseharian yang saleh pada hubungan horisontal (habl min al-nâs).56

Jadi, sederhananya dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah sasaran ajaran tasawuf. Akhlak adalah yang paling utama dalam menempuh jalan sufi. Tidak dapat dikatakan orang itu bertasawuf sedangkan dia tidak berakhlak. Dan dengan bertasawuflah akhlak kita akan menjadi baik dan benar. Melalui pendidikan akhlak yang berbasis tasawuf maka tindakan akhlak kita akan menjadi bermakna dan bernilai dari segi lahir dan bathin.

5. Dasar Pendidikan Akhlak Tasawuf

Agama Islam sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci al-Qur’an senantiasa menganjurkan manusia untuk membersihkan diri agar jauh dari dosa dan kesalahan, dengan melakukan amalan-amalan yang digariskan Allah untuk hamba-Nya. Di samping itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan kepada manusia untuk bertawakal, sabar serta taubat. Dan beribadat yang lain sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang Insan Kamil.

Al-Qur’an yang kebenarannya tidak diragukan lagi, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa (al-Baqarah/2:2). Ia sebagai al-Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah) (al-Furqan/25:1) mempunyai fungsi sebagai kitab suci yang berisi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk mengarungi kehidupan ini. Ia juga sebagi al-Dzikru (peringatan) (al-Hijr/15:9) agar manusia hidup bahagia dunia dan akhirat.

Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana yang terkandung dalam sumbernya al-Qur’an dan Hadis. Yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu kedua sumber itu mendorong agar umatnya berperilaku baik, tolong menolong, beribadah, berpuasa dan sebagainya. Yang semua itu merupakan inti tasawuf.57 Al-Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang yang

wara’ dan taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35:

56

Djamaluddin, loc. cit. 57

(41)









































Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim laki-laki dan perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), sabar, khusyu’ mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Allah, maka Allah akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (al- Ahzab:35).58

Dari beberapa ayat di atas, peneliti dapat memberikan penjelasan, bahwa ayat-ayat tersebut menganjurkan kepada hamba Allah SWT agar dalam hidupnya

senantiasa mencerminkan ajaran-ajaran yang merupakan konsekuensi hidup bagi manusia. Manusia dalam hidupnya wajib menyerahkan segala keputusan yang

diberikan oleh Allah SWT, atas apa yang dilakukannya dan bersabar atas segala keputusan Allah. Selain itu mereka harus senantiasa bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuat.

Ayat-ayat di atas menjelaskan tentang beberapa ajaran tasawuf seperti sabar, tawakal, bertaubat dan lainnya atau dengan kata lain, bahwa di dalam ayat tersebut tersirat makna pendidikan tasawuf yang tentunya bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki budi pekerti yang luhur.

Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an tentang ajaran tasawuf, hadis pun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat arti dari teks hadis yang dapat dipahami dengan pendidikan tasawuf. Pandangan

58

(42)

29

mengenai cinta kepada Allah berdasarkan kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara manusia dengan Tuhannya.

Kesadaran dan komunikasi langsung dengan Tuhannya berakar pada ajaran Islam, yakni al-Ihsan,59 sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan Jibril AS, mengenai sendi-sendi Islam. Berikut arti dari dialognya:

Artinya: “Abu Hurairah berkata bahwa pada suatu hari ketika Rasulullah SAW berada di tengah-tengah sahabat, datanglah seorang laki-laki, lalu bertanya: „wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan iman?’ Nabi

menjawab: „Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat

-malaikat-Nya, kitab-kitab--malaikat-Nya, berjumpa dengan--malaikat-Nya, rasul-rasul- -malaikat-Nya, dan engkau beriman kepada hari kebangkitan.’ Lalu dia bertanya lagi: „Apakah Islam itu?’ Nabi menjawab: „Hendaknya engkau

Gambar

Tabel 4.2  ..........................................................................................................
Tabel 4.1 Temuan Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf
Tabel 4.2 Paparan Data Hasil Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Tasawuf

Referensi

Dokumen terkait

The Problems of guiding services at Mangkunegaran Palace are the monotonous presentation, the mastery of foreign languages, the discipline of the guide, the

Penelitian ini merupakan penelitian yang membahasa tentang analisis tingkat pemahaman penulisan sokuon pada kosakata gairaigo, khususnya gairaigo yang diambil dari bahasa

Emissions remain low on October at the fertilization plot (N1 and N2). It increased on November and December following the rain events with a similar magnitude for all N

Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh hasil uji potensi antibakteri ekstrak etanol daun jawer kotok terhadap bakteri Gram positif pada kulit wajah

(Doing timings inside programs that use multiprocessing doesn’t seem to work. In our exper- iments, we found that timings reported the runtime of the main process but excluded that

- Direktur perusahaan hadir langsung, apabila diwakilkan membawa surat tugas dan mendapat kewenangan penuh untuk mengambil keputusan. Demikian untuk menjadikan periksa

[r]

Subjek penelitian adalah para wanita yang berada dalam kondisi tidak lagi tinggal satu rumah bersama dengan anak- anaknya, karena anak-anak mereka meninggalkan rumah