• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA

D. Sejarah dan Perkembangan Jawara

1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara

Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat hingga Banten saat ini.71 Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya dikenal di wilayah Banten. Selain kiyai, sosok jawara merupakan sosok yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten hingga sekarang.

Untuk menyimpulkan sejarah kemunculan jawara bukanlah sesuatu yang mudah. Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang

berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin

70

Romusa, Sejarah Yang Terlupakan. Diakses pada tanggal 30 September 2012. http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-terlupakan1713.html.

71

H.S. Suhaedi, Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara. Diakses pada 30 Agustus 2012. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=109850& lokasi = lokal

dipandang orang hebat. Salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik. Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang kasar dan terkesan sombong). Sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata

“jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya merujuk kepada kepemimpinan di Desa, yang kalau sekarang lebih dikenal dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa) namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala desa atau lurah.72 Sampai saat ini belum ada kesepakatan sejak kapan jawara muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan tidak ada referensi yang secara komprehensif menganalisis tentang profil jawara. Namun, setidaknya ada lima pendapat yang dikemukakan oleh berbagai peneliti mengenai sejarah kemunculan jawara.

Pertama, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Kemunculan jawara di Banten merupakan sebuah perantara antara raja dengan rakyatnya. Mereka tidak hanya bertugas melayani raja, tetapi juga membela dan melindungi kerajaan. Kelompok masyarakat ini memiliki keterampilan dalam ilmu silat dan kekebalan.

72

Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok: Kedudukan dan Peran Kiyai dan Jawara di Banten. Diakses pada pada 30 Agustus 2012 H.S. Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara. Diakses pada http://www.nimusinstitute.com/tasbih-dan-golok

Dalam perkembangan selanjutnya keterampilan mereka ini mencerminkan dirinya sebagai kelompok jawara.73

Kedua, kelompok jawara muncul seiring dengan berdirinya kesultanan Banten yang didirikan Sultan Maulana Hasanudin tahun 1552. Kelompok jawara merupakan strategi Sultan Maulan Hasanudin dalam usaha merebut pusat Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran. Dengan maksud perebutan Kerajaan Sunda ini, Sultan Maulana Hasanudin merekrut pemuda islam yang memiliki militansi tinggi. Kelompok ini dipimpim oleh Putra Mahkota Kesultanan Banten Pangeran Yusuf. Kelompok pemuda ini merupakan pasukan khusus yang bergerak cepat merebut Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran. Militansi keompok pemuda Islam ini memiliki sifat pemberani yang terus-menerus dibina sehingga kemudian disebut dengan jawara.74

Ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), mengatakan bahwa kaum jawaraberasal dari sebuah perkumpulan yang bernama orok lanjang

yang dibentuk oleh kaum pemuda di Distrik Menes, Pandeglang. Perkumpulan

ini, yang secara harfiyah berarti “bayi menjelang dewasa”, didirikan dengan

tujuan untuk mengembangkan sikap tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan membantu penyelenggaraan suatu pesta. Seiring berjalannya waktu bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka akan mengacau

73

Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten Lebak” di Aula Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006. Dan dipertegas wawancara dengan KH. Baijuri, cendikiawan dan Dosen IAIN SMH Banten dan La-Tansa pada 1 November 2012, di Rangkasbitung

74 Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak

. Diakses pada tanggal 1 oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

dan menggagalkan pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas ke luar Menes dan berubah menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara. Mereka menjadi kelompok yang ditakuti oleh masyarakat, bahkan pangreh praja pun tidak berani bersikap tegas kepada mereka. Sejak tahun 1916, pangrep praja yang menghadiri pesta selalu membawa senjata api karena takut diganggu oleh kaum jawara.75

Keempat, Nina H. Lubis mengatakan dalam bukunya Banten Dalam Pergumulan Sejarah. kaum jawaraberasal dari sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul berbagai perlawanan dari rakyat dengan pusat perlawanan berada di sekitar para kiai. Para kiai ini, umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan kemampuan mereka. Kelompok pertama adalah orang-orang yang memiliki bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak bisa menjadi ulama seperti gurunya. Mereka kemudian diberikan ilmu hikmah oleh gurunya selain diberikan ilmu-ilmu agama Islam. Kelompok kedua adalah para santri yang mempunyai bakat yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Oleh karena itu, mereka dibina dalam hal kekuatan fisik. Mereka pun diberi ilmu hikmah, tetapi porsinya jauh lebih sedikit dibandingkan ilmu hikmah yang diberikan kepada santri kelompok pertama. Dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya, mereka diserahi tugas

75 Kejawaraan dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak

. Diakses pada tanggal 1 oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

untuk melakukan teror terhadap Pemerintah Kolonial Belanda beserta para kaki tangannya. Golongan kedua inilah yang kemudian disebut jawara.76

Kelima, sebutan jawara mulai dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1809 ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) memerintahkan pembuatan jalan pos dari Anyer ke Panarukan. Pembuatan jalan tersebut mengakibatkan terjadinya perlawanan rakyat Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan

perang pertama. Seiring dengan perlawanan rakyat itu, lahirlah sebutan jawara

seperti yang dikatakan oleh Rd. Muhammad Taufiq Djajadiningrat.77

Pada masa kini, perubahan lingkungan dalam perkembangan zaman secara tidak langsung telah mempengaruhi perilaku jawara. Beriringan dengan perkembangan itu pula telah banyak memberikan perubahan terhadap jawara dalam peranannya ditengah-tengah masyarakat. Pada masa kolonial peran jawara sering ditandai dengan perlawanan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan jawara terlibat dalam pembangunan sosial, agama, ekonomi, dan politik, dan pada masa reformasi jawara dihadapkan pada masalah mengekspresikan dan mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik sehingga dia dapat diterima ditengah-tengah masyarakat modern.

Dokumen terkait