• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS

D. Perilaku Politik

Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35 Sedangkan arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam melakukan hubungan dengan pihak luar.36

Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak

35Kamus Ilmiah Populer

, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378.

36Kamus Ilmiah Populer

, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61.

badan dan ucapan,37 sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38 Jadi secara epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu.

Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.39

Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakun-perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik

37Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39

dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik yang berlagsung.40

Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang

reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif, namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembaga-lembaga yang ada dalam system politik tersebut.41 Sementara itu, Trubus Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai signifikansi tingkatan perilaku.

Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.

40

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES, 1987, cet. II, hal. 209.

41

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.

Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42 Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43

Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya, jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,

42

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.

43

Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV Rajawali, cet. I, hal. 161

pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan latar belakang sosialnya.44

Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut, tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbeda-beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri.

Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya, karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial politik, yaitu:

Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan turunannya.

44

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75

Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya.

Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula.

45

Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula perubahan pada perilaku politik seseorang.

E. Budaya Politik

Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.46 Budaya politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.47

Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi, pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi

46

Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.

47

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-politik_03.html

dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan.

Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan

adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi,

pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang

lebih kuat dalam arti primordial.48

Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap

48

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html

atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49

1. Orientasi Kognitif

Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.

Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.

2. Orientasi Afektif

Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab

49

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html

itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.

3. Orientasi Evaluatif

Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak saat pemilu.

Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar

unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang’ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.

Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba membagi 3 tipe budaya politik,50 yaitu:

50

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-politik_03.html

a. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.

Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.

b. Budaya Politik Subyek

Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara

emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat

(strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya.

c. Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak.

Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak

bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.

Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal.

Dokumen terkait