PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Politik
Oleh:
Rifqi Zabadi Asshegaf NIM: 106033201193
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Hamzah Pada Pilkada kabupaten Lebak Tahun 2008) telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Politik
Jakarta, 20 Desember 2013
Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Ali Munhanif, Ph.D NIP: 19651212 199203 1 004
Sekretaris Merangkap Anggota
M. Zaki Mubarak, M.Si NIP: 19730927 200501 1 008 Anggota
Penguji I
Dr. Nawiruddin, M.A NIP: 19720105 2001121 003
Penguji II
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si NIP: 197204122003121002 Pembimbing
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 20 Desember 2013
RIFQI ZABADI ASSHEGAF
Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara
(Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenanangan H. Mulyadi Jayabaya Pada Pilkada Kabupaten Lebak 2008)
Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosiologis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat Banten hingga saat ini. Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya dikenal di wilayah Banten. Sosok jawara merupakan sosok yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten, bahkan jawara melampaui ranah kultur hingga merambah kedalam ranah politik yang sangat kentara sampai sekarang.
Jawara sebagai elit tradisional masyarakat menempatkannya sebagai partisipan politik daerah yang berperan besar dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati, jawara dinilai mempunyai peran yang besar bagi kesuksesan dalam pemenangan pasangan calon bupati dan wakil bupati. Dalam pilkada Kabupaten Lebak, keduduklan jawara adalah sebagai tim sukses pendukung pasangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah (MULYA) yang berperan dalam mendukung dan mensukseskan calon pasangan tersebut.
Kedigjayaan jawara sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat merupakan sebuah modal jawara dalam mensukseskan pasangan calon. Hal ini diaktualisasikan oleh jawara dalam memobilisasi massa untuk meraih dukungan masyarakat terhadap dukungannya. Selain itu, sifat politik jawara yang pragmatis membuat jawara cenderung mendukung mendukung pasangan calon yang cenderung dapat memenuhi kepentingannya, dengan kata lain jawara tidak mengaktualisasikan partisaipasinya dalam perspektif kesejahteraan masyarakat melainkan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.
Bismillahirrohmanirrohiim.
Lelah dan hampir pasrah adalah sebagian dari godaan yang sering hinggap
dalam perjalanan yang penuh suka maupun duka. Air mata bukan sesekali saja
menetes dengan sendirinya, debu dan angin bergantian saling memeluk, angin
terhenti debu jatu, kembali dan kembali berpelukan seperti semangatku, hingga
tiba di penghujung penulisan skripsi ini.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
penulis telah diberikan waktu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta
salam penulis haturkan kepada sang pencerah Muhammad SAW, beserta keluarga,
sahabat, dan seluruh umatnya.
Dengan tetap mengharapkan ridho-Nya, alhamdulillah penulis dapat
melengkapi salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul : “Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara: Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008”.
Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi
sebagian merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang
telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin
menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta para jajaranya.
2. Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih yang dalam ingin penulis
sampaikan secara khusus kepada Drs. Armein Daulay, M.Si selaku
pembimbing skripsi, berkat kesabaran dalam membimbing dengan
berbagai arahannya dan motivasi ditengah-tengah kesibukannya, tetapi
beliau masih menyempatkan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan
penelitian skripsi ini.
3. Terima kasih pula kepada ketua prodi Dr. Ali Munhanief. M.A., serta
sekertaris jurusan M. Zaki Mubarok, M.Si. yang telah banyak
memberikian arahan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap bapak/ibu Dosen Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, yang telah memberikan berbagai macam pengetahuan
kepada penulis selama masa perkuliahan, penulis patut mengucapkan rasa
terimakasih kepada A. Baqir Ihsan, M.Si., Agus Nugraha, M.Si., Dr.
Sirojuddin Ali., Dr. Nawirudin., Suryani, M.Si., Haniah Hanafie, M.Si.,
Dra Gefarina Djohan, MA., Dr. Syaban., Idris Thaha, M.Si., dll.
5. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Iton Abd. Musta’in dan ibunda
Nurhayati, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis
selama ini. Kepada teteh Corry Atul Adawiyah dan adik-adik penulis,
Teo Fani Atikah, Wafda Schofach Anzelat, Barah Marela Zidha dan
langkah kalian.
6. Kepada pimpinan dan jajaran Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengucapkan rasa
terimakasih selama penulisan skripsi telah membantu dengan
buku-bukunya untuk menjadikan refrensi dari penulisan skripsi ini.
7. Kepada pimpinan komisioner KPUD Kabupaten Lebak, penulis
mengucapkan rasa terimakasih yang telah bayak membantu dalam
pengumpulan data-data dalam skripsi ini.
8. Kepada para jawara dan cendikia, penulis mengucapkan rasa terimakasih
telah banyak membantu dalam pengumpulan data-data yang menurut
penulis perlu dalam skripsi ini.
9. Kekasihku tercinta Vilanda Amanda yang selalu memotivasi dan
memarahi jika tidak mengerjakan skripsi.
10.Teman-teman seperjuangan, Ilmu Politik 2006, semoga arti sahabat untuk
selamanya. Ahmad Haris Hariri, Bara Ilyasa, S. Sos., Ahmad Rikih, Dede
Syahrudin, Ikhwanudin, dll.
11.Kawan-kawan dari perkumpulan Vespa LESGO dan Iskandar Hidayat,
terimakasih atas bantuan dan motivasi kalian. Aku adalah bagian dari
kalianl.
12.Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua
berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.
Jakarta, 4 Januari 2014
ABSTRAK ………... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR PUSTAKA ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….………...………….. 11
1. Pembatasan Masalah ……….…..…...……….. 11
2. Perumusan Masalah ….………….……..…...……….. 11
C. Tujuan Penelitian ……….………...………... 12
D. Manfaat Penelitian ……….………...………... 12
E. Metode Penelitian ……….………...……….... 13
F. Sistematika Penulisan ………...………... 14
BAB II KERANGKA TEORETIS A. Demokrasi ………..………...……….. 17
B. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ….……….…...……... 20
C. Otonomi Daerah ………..……....………..….. 22
D. Perilaku Politik ………...………...…… 25
E. Budaya Politik ……….……….... 31 1. Orientasi Kognitif ………...………...… 33
2. Orientasi Afektif ………...… 33
b. Budaya Politik Subyek …...…………...……... 35
c. Budaya Politik Partisipan ……..………...…... 36
F. Partisipasi Politik …...…... 37
BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA A. Profil Kabupaten Lebak ... 44
B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak ………... 46
D. Sejarah dan Perkembangan Jawara ... 49
1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara ... 49
2. Jawara Pada Masa Kolonial ... 53
3. Jawara Pada Masa Orde Lama ... 55
4. Jawara Pada Masa Orde Baru ... 56
5. Jawara Pada Masa Reformasi ... 58
BAB IV PERAN POLITIK JAWARA DALAM PILKADA LEBAK TAHUN 2008 A. Pilkada Lebak Tahun 2008 ... 61
B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan Calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah ... 67
C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 75
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun
daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan
agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam
dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut.
Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik
nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal
memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan
pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal,
termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh
diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal.
Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di
Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan
yang diperhitungkan dalam politik lokal. Hal ini dikarenakan jawara dianggap
sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat
mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit
tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan.
Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan
penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang
pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan
pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks
ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu
ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan,
membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai
orang keramat.1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara
terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika
jawara_karena kepentingan penguasa_mulai bersinergi dengan penguasa.
Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin
untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada
era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara
dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan.2
Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.
Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi
kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam
politik lokal/Pilkada?
Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru
disebut demokrasi Pancasila,3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan
oleh MPRS/XXXII/1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era
1
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984 hal. 281
2
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 7
3Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan,
pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang
otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat
berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh
berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada
tahun 1998.
Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang,
Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era
reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk
membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya
demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan
pemilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di
Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang
nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu
yang bebas dan demokratis di Indonesia.
Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian
bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl
demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah
warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama
dengan para wakil mereka yang telah terpilih.4
Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah
keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan
masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk
memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik
ini dinamakan Pemilihan Umum (pemilu).
Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali
sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah.
Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri’. Sedangkan dalam
makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.5 Realisasi dari
hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945
terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan
nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa
Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang
bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara
Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.6
4
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67-68.
5
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 179.
6
Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang
diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi
daerah.
Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya
mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara
negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan
administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi
menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut,7 oleh karena itu
perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal (elected sub-national Goverment).
Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan
empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam
pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan :
Pasa 18 : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
7
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.8
8
Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi
landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya
keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada (Legislatif,
Bupati/Walikota dan Gubernur) yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau
penunjukan,9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan
ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang
mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena
pesta demokrasi.
Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan
sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi
desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari
pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk
memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada,
rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus
memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk
memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode
bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah
(legitimate).10 Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan.
9
B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 15
10
Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap
sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik
untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka
memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga
sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif
masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda
desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa,
maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.11
Ada enam criteria perwujudan penyelenggaraan pilkada bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu :
1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara.
2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
pekerjaan, dan status sosial.
3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan
11
haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat
memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun.
5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau
pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
mana pun.12
Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah
demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan
perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah.
Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas
pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan
mensejahterakan masyarakat daerah.
Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada
tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di
Kabupaten Lebak. Pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah pasca
12
pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal
jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten
Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan
melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan
menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena
kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada
masyarakat lapisan bawah di Banten.13
Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut
(atau Banten secara umum). Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam
masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang
sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara
bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara
bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter
tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti
berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka).
Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini
memiliki kadigjayaan (kesaktian).14
Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam
masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik
jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila
13
Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi 14
putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan (interest) mereka.15 Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar
(bargaining power), guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk
menyalurkan aspirasi kepentingan mereka.
Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim
sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam
hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang
terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan
terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional
jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana
komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama
kali dilaksanakan pada tahun 2008.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Skripsi ini hanya membatasi masalah peran politik jawara dalam
pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada di
Kabupaten Lebak yang memiliki kekuatan dan peranan sangat penting. Oleh
karena itu, agar pembahasan bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan
tidak melebar, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian upaya
15
politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah pada
pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan
penelitiannya dan berusaha berkonsentrasi pada masalah perilaku politik jawara
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Latar belakang dukungan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya
– H. Amir Hamzah dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
2. Bagaimana peran jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
3. Bagaimana upaya pemenangan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi
jayabaya – H. Amir Hamzah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini mengandung dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan
tujuan umum. Tujuan penulisan ini adalah untuk meraih gelar sarjana sosial
(S.sos).
Sedangkan tujuan penelitian adalah:
1. Ingin mengetahui, mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi
daerah dengan bertahannya elit tradisional.
2. Pengaruh jawara dalam masyarakat.
3. Peran politik jawara dalam politik lokal.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat akademis dan
juga manfaat praktis. Manfaat akademisnya adalah sebagai salah satu penelitian
yang dipakai guna menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk
studi-studi mengenai perilaku politik jawara dan keterkaitannya dalam politik.
Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi bahan dalam mengenal
jawara sebagai kekuatan politik informal yang mempunyai pengaruh dalam politik
lokal.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai objek penelitian yang berupa lisan, tulisan maupun tingksah laku.16
Berdasarkan penelitian kualitatif, maka penulis berupaya menggambarkan jawara
dalam politik, sejarah dan perkembangan jawara, dan peran jawara dalam pilkada.
Sementara untuk pengumpulan data dilakukan dengan sumber data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang akan
diteliti (responden), pustaka atau dokumen yang berhubungan dengan fokus
16
penelitian, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari lembaga atau
institusi yang terkait dengan objek penelitian.17
Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada
pendekatan deskriptif analitik dengan maksud menggambarkan secara tepat
perilaku politik jawara dalam pilkada Kabupaten lebak. Adapun cara yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah pertama, penelitian kepustakan
(Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya penulis mendatangi pelaku politik dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data
di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Observasi : yaitu untuk mengamati tingkah laku terhadap objek penelitaian.18 dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana
perilaku politik jawara dalam memobilisasi dan komunikasi sebagai upaya
mensukseskan H. Mulyadi Jaya Baya sebagai Bupati Kabupaten Lebak.
2. Wawancara : yaitu suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan
mendapatkan informasi. Selain itu wawancara juga akan mendapatkan
gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi penting
yang kita inginkan.19 Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara
17
Sudarso, Prosedur Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 55
18
James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.
Bandung, PT Refika Aditama, hal. 287 19
James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.
langsung dengan para jawara sebagai objek penelitian dalam penelitian
skripsi ini.
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta" yang diterbikan CeQDA (Center For Qualty Development
and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427
H./2007 M.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan
beberapa hal tentang sistematika penulisan dan disusun menurut bab per bab.
Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian
penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan.
dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II, membahas tinjauan teoretis terhadap demokrasi,
otonomi daerah, budaya politik yang dikaitkan dengan perilaku politik dan
partisipasi politik. Bab III, membahas tentang sejarah Kabupaten Lebak, profil
Kabupaten Lebak dan masyarakatnya dan sejarah dan perkembangan jawara yang
meliputi sub bab : pengertian dan sejarah kemunculan jawara, jawara pada masa
kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Sedangkan Bab IV, dalam bab ini penulis berusaha menganalisa peran
jawara dalam pilkada Lebak. Dengan sub bab pilkada Lebak, keterlibatan jawara
Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V. Mengenai sumber-sumber
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem politik yang sangat penting pada abad ke 20
pasca perang dunia II hingga sekarang.20 Walaupun demokrasi bukan sistem yang
terbaik, tetapi hingga saat ini belum ada sistem lain yang menggantikannya. Hal
ini dikarenakan konsep selain demokrasi mengalami stagnasi. Selain itu, konsep
demokrasi pula mempunyai hubungan yang erat dengan isu-isu HAM, keadilan,
kebebasan, persamaan dan lain sebagainya yang menjadi perbincangan dan
sandaran sistem mayoritas negara dibelahan dunia. Demokrasi merupakan bentuk
dan mekanisme dalam sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Konsep demokrasi saat ini merupakan hal penting yang dianggap sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi dalam pengertian yang sederhana dimaknai sebagai sebuah
mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme itu dalam konteks
tersebut dimaknai sebagai Pemilihan Umum (pemilu). Dari sisi ini Henry B.
Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
20
terjaminnya kebebasan politik.21 Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas,
demokrasi merupakan pelibatan masyarakat secara substansial terhadap
penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh.
Menurut Alfan mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik
yang memiliki sistem keseimbangan dalam memelihara konflik dan konsensus.
Sehingga dengan kenyataannya sistem politik ini tidak bisa bergerak dinamis
tanpa adanya konflik dan kompetisi politik.22 Penjelasan ini membuka ruang
untuk munculnya suatu kompetisi, perbedaan, dan konflik antar individu dan antar
kelompok yang bersifat horizontal maupun vertikal namun tidak menghancurkan
sistem yang sudah terlembagakan itu sendiri.
Dengan demikian demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan
bernegara mengandung pengertian bahwa rakyat memiliki peranan penuh dalam
pemerintah untuk menentukan nasibnya. Sehingga negara dengan sistem
demokrasi adalah negara yang terselenggara berdasarkan kehendak dan kemauan
rakyatnya karena kedaulatan berada ditangan rakyat atau government by the people. Dari uraian pengertian demokrasi tersebut, kekuasaan dan pemerintahan berada ditangan rakyat, dalam artian dari rakyat (government of the people), oleh rakyat (government by the people), dan untuk rakyat (government for the people).23
21
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal. 67.
22
Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta, Republika, 2004. hal. 19.
23
Ketiga hal tentang demokrasi tersebut memiliki pengertian yang luas.
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian ialah pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya.
Pengakuan dan dukungan rakyat ini menjadi legitimasi suatu pemerintahan dalam
menjalankan roda pemerintahan sebagai wujud tanggung jawab atas pemerintahan
yang diamanatkan/dipilih rakyat. Kemudian pemerintahan oleh rakyat (goverment by the people) ialah suatu pemerintahan yang menjalankan pemerintahan atas nama rakyat bukan oleh dorongan atau kepentingan dirinya sendiri. Selain itu
pemerintah dalam menjalankan fungsinya mendapat pengawasan dari rakyat.
Pengawasan ini bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun oleh wakil
rakyat (DPR) yang memiliki fungsi mengawasi pemerintah. Selanjutnya ialah
pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) yang mengandung pengertian jalannya pemerintahan harus mendengarkan dan mengakomodasi
kepentingan yang didasarkan atas keinginan rakyat.24 Ketiga hal dalam demokrasi
ini merupakan wujud keutamaan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan
pemerintah.
Pasang surut demokrasi di Indoneia pada awal kemerdekaan hingga
pertengahan tahun 1999 telah membawa Indonesia pada demokrasi yang
seutuhnya yang disebut dengan demokrasi era reformasi. Demokratisasi di era
reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan pemilu (eksekutif dan legisatif) dan
otonomi-desentralisasi. Pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada pemberlakuan
UU nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemilu pada tanggal 1 Februari dan nomor 2
24
tahun 1999 tentang Partai Politik.25 Kedua UU tersebut menjadi dasar dalam
pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia.
Selanjutnya, seiring dengan era reformasi yang menyentuh sendi-sendi
ketatanegaraan menyangkut pembagian kekuasaan yang membedakan era
reformasi dengan era orde lama, ialah suatu penggantian pemimpin nasional
maupun pemimpin daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan
dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh DPR. Hal ini sesuai
dengan disahkan melalui Undang Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 56 dan 57.
B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan sebuah terobosan politik
yang signifikan dalam perkembangan politik daerah dan otonomi daerah. Gagasan
Presiden Republik Indonesia ke-3 (tiga) B.J. Habibie,26 sebagai orang yang
pertama mengeluarkan pemikirannya agar bangsa Indonesia perlu melakukan
pemilihan Presiden secara langsung dan kemudian disusul pemilihan Gubernur.
Berangkat dari gagasan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat
keputusan yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada tanggal 29
September 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pemilih
kepala daerah dan wakil daerah harus memilih pasangan calon yang diusung oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya keputusan MK tersebut,
membuat daerah-daerah lebih mandiri lagi dalam mengatur berbagai bidang
antara lainnya dibidang ekonomi, politik dan sosial dan budaya.
Undang Undang nomor 32 tersebut telah memberikan dampak terhadap
kualitas demokrasi Indonesia, masyarakat dapat langsung merasakan demokrasi
yang utuh didaerahnya masing-masing. Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah
secara langsung, masyarakat di daerah dapat ikut terlibat langsung dalam
menentukan arah perkembangan dan perubahan di daerahnya.
Pilkada merupakan instrumen politik yang strategis untuk mendapatkan
legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah.
Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma
yang berdimesi hukum, moral, dan sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang
memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata
cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses
kampanye dan pemilihan yang demokratis dan mendapat dukungan terbanyak dari
suara masyarakat.27
Sistem pemilu yang diciptakan pada era reformasi telah melahirkan
persamaan, keadilan, dan kualitas demokratisasi di Indonesia, perubahan dan
penggantian tata cara (replacement), dan mentransformasi sebuah sistem tidak hanya melahirkan perubahan dari atas, tetapi juga terdapat perubahan dari bawah.
Meskipun demikian, konsekuensi perubahan dalam pelaksanaan pilkada telah
27
memunculkan sikap primordialisme dan dominasi elit tradisional.28 Hal ini
nampak jelas dalam pelaksanaannya di wilayah Banten, khususnya Kabupaten
Lebak.
C. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan desentralisasi secara praktis dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Namun, dapat dibedakan. Karena itu tidak
mungkin membahas masalah otonomi daerah tanpa mempersandingkannya
dengan konsep desentralisasi. Berdasarkan yang dikutip B.N. Marbun, Bagir
Manan menyatakan, „Desentralisasi adalah otonomi, dan desentralisasi tidak sama
dengan otonomi. Otonomi adalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi
bukan asas melainkan proses, dan yang asas adalah otonomi’.29
Pada periode sebelumnya, konsep demokrasi, otonomi, dan desentralisasi
ini pernah disampaikan oleh Mohamad Hatta sejak tahun 1932. Dalam pandangan
politiknya yang berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, bahwa desentralisasi
bukan sentralisasi, yang menjadi cita-cita tolong-menolong dalam asas
kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai
golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan kecil dan
besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri.30
28
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie Center, hal. 3
29
B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal. 184-185.
30
Pengertian mendasar mengenai otonomi daerah itu sendiri adalah,
“kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri”, berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang
beragam dan bernilai strategis. Disini diutamakan bangsa serta kesatuan wilayah
dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan pengertian desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.31 Dalam
pengertian tersebut daerah otonom adalah daerah yang memiliki kewenangan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan memiliki tanggung jawab menjaga
nasionalisme.
Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai “mandiri’. Sedangkan
dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan
oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.32 Terdapat dua
nilai dasar mengenai otonomi daerah yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi
territorial.
Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan
mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara.
Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia
31
Syaukani HR., Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani. 2002, hal.13. 32
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.33 Sementara nilai dasar
desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah kekuasaan yang diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah.
Mengenai hal tersebut, desentralisasi sebagaimana didefinisikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah:
“desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara
dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya
maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan
daerah.”
desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan
administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu perlu adanya
pemerintah daerah melalui pemilihan lokal.
Bertitik tolak dari uraian di atas, tujuan dari otonomi daerah merupakan
sebuah simbol kepercayaan dari Pemerintah Pusat terhadap masyarakat di daerah
yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi, sosial dan
budaya.34 Dalam bidang politik, otonomi merupakan rangkaian dari desentralisasi
dan demokrasi untuk menciptakan kepala pemerintahan di daerah secara
33
Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2 009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsi-otda.pdf
34
demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan
kebutuhan daerahnya masing-masing.
Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian
otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya
pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap
kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi.
Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi
Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten.
D. Perilaku Politik
Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35 Sedangkan
arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam melakukan hubungan dengan pihak luar.36
Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi
individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak
35Kamus Ilmiah Populer
, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378.
36Kamus Ilmiah Populer
badan dan ucapan,37 sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan,
siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38 Jadi secara
epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang
terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan
atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu.
Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah
dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan,
pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini
sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang
mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara
lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam
rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada
dasarnya merupakan perilaku politik.39
Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang
dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek
individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga
politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan
perilakun-perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan
tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik
37Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39
dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik
yang berlagsung.40
Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum
behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar
protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu
politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang
reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif,
namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan
yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan
lembaga-lembaga yang ada dalam system politik tersebut.41 Sementara itu, Trubus
Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya
semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai
signifikansi tingkatan perilaku.
Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga
peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota
lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat
individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan
dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.
40
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES, 1987, cet. II, hal. 209.
41
Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian
bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42
Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang
menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih
memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa
kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang
termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti
fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti
pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43
Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan
perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan
lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini
lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam
lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah
gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa
lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang
independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya,
jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian
suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,
42
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.
43
pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan
latar belakang sosialnya.44
Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan
perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para
jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara
komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut,
tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang
berbeda-beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri.
Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa
dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya,
karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang
saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain
sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki
keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan
demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial
politik, yaitu:
Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam
kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media
massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan
turunannya.
44
Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan
langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan
internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara
dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya.
Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu
kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur
kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang
terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek
tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat
bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah
keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai
kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang
terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak
meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya.
Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak
melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang,
kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45
Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan
faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula.
45
Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik
tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula
perubahan pada perilaku politik seseorang.
E. Budaya Politik
Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu
politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua
peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.46 Budaya
politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang
berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu
merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat
orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan
pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab
pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan,
atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.47
Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan
dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak
ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi,
pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang
demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi
46
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat.
47
dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang
diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan
antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan.
Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang
berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu
dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok
atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain,
budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat
dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam
masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi
tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan
adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman
tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam
interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak
hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat
nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol
adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi,
pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang
lebih kuat dalam arti primordial.48
Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak
terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap
48
atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan
individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49
1. Orientasi Kognitif
Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk
pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui
hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu
mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai
politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku
pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari
orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap.
Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari
lingkungan sekeliling individu.
2. Orientasi Afektif
Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor
(politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif).
Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi
afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti
diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun
sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab
49
itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis
(sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia,
kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian
Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga
negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh
pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian
hari.
3. Orientasi Evaluatif
Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara
tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak
saat pemilu.
Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan
afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa
partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu
memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar
unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang’ oleh lawan
politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri
si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari
orientasi kognitif dan afektif.
Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba
membagi 3 tipe budaya politik,50 yaitu:
50
a. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan
seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara
kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik
yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem
politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah
bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa
mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku
mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat
yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia,
suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan
sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita
kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut
bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik
Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak
mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.
b. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih
tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari
warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi
perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap
emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka
tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh
sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat
berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat
apa-apa.
Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat
(strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa
Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan
masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun
keluarganya.
c. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi
tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu
mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun
kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan,
penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar
pajak.
Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan
masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat
mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan
mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung