BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Experiential Marketing
2.3.1 Pengertian Experiential Marketing
Perubahan dan perkembangan zaman berpengaruh terhadap kemajuan pola pikir konsumen dalam menentukan keputusan pembeliannya. Hal ini berdampak pada perkembangan strategi pemasaran yang terus berubah dimana pemasaran tradisional yang berfokus pada feature and benefit beralih menjadi pemasaran
yang berdasarkan pembentukan pengalaman atas suatu produk atau jasa atau dikenal dengan experiential marketing.
Experiential marketing terdiri dari dua kata yaitu experiential dan
marketing. Experiential berasal dari kata experience yang artinya pengalaman.
Sedangkan marketing yang artinya adalah pemasaran. Definisi experience
menurut Schmitt (1999: 60) yaitu “Experiences are private events that occur in
response to some stimulation (e.g., as provided by marketing effort before and
after purchase)“. Pengertian dari definisi tersebut adalah bahwa pengalaman
merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atas beberapa jenis stimulus (misalnya yang diberikan oleh upaya-upaya pemasaran sebelum dan sesudah pembelian). Kemudian menurut Pine II & Gilmore (dalam Irawan 2011: 27) : “Experiences are event that engage individuals in a personal
way”. Dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan suatu kejadian yang terjadi
dan dirasakan oleh masing-masing individu secara personal yang dapat memberikan kesan tersendiri bagi individu yang merasakannya.
Dari definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pengalaman (experiences) adalah suatu peristiwa atau kejadian yang
dirasakan seseorang secara pribadi yang diakibatkan dari stimulus-stimulus yang diterima dari lingkungan di sekitarnya dan memberikan kesan-kesan tertentu bagi seseorang tersebut.
Sedangkan pengertian marketing dalam Chartered Institute of Marketing
(1986) (dalam Tjiptono, 2005: 2) mendefinisikan pemasaran sebagai proses manajemen yang mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memasok kebutuhan pelanggan secara efisien dan menguntungkan.
Schmitt (1999: 22) menjelaskan istilah experiential marketing sebagai
berikut:
“Experiential marketing is everywhere. In a wide variety of markets-from consumer packaged goods to industrial and high technology companies are using experiential marketing for many different purposes: developing new products, communicating with costumer, improving sales relations, designing retail spaces and building websites. More and more, marketers are moving away from their ‘feature and benefits’ marketing and turning to Experiential Marketing.”
(Experiential Marketing dapat terjadi dimana saja. Pada berbagai jenis pasar-mulai dari pasar penghasil barang konsumen kemasan sampai dengan industri dan perusahaan yang berteknologi tinggi menggunakan experiential marketing untuk berbagai macam tujuan: mengembangkan produk baru, berkomunikasi dengan pelanggan, meningkatkan relasi penjualan, merancang ruang retail dan membangun sebuah website (situs). Lebih dari itu, pemasar semakin meninggalkan pendekatan mereka yang lama, pemasaran dengan fitur dan keunggulan (feature and benefit) menuju Experiential Marketing)
Dari pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa experiential marketing yaitu
merupakan pendekatan pemasaran yang berusaha menghadirkan pengalaman- pengalaman yang unik dan positif pada produk/jasa yang dapat diterapkan di berbagai bidang mulai dari bidang industri yang masih menerapkan cara
tradisional dalam menciptakan produk/jasa sampai dengan perusahaan yang berteknologi tinggi sekalipun dalam berbagai tujuan mulai dari pengembangan produk baru hingga menciptakan situs tertentu yang dapat memperkenalkan industri atau perusahaan tersebut kepada masyarakat.
Konsep experiential marketing pertama kali diperkenalkan oleh Pine &
Gilmore dalam karyanya Experience Economy (1997) dan Schmitt dalam
karyanya Experiential Marketing (1999). Dalam karyanya, Pine & Gilmore
menyatakan bahwa experiential marketing dikatakan terjadi ‘ketika sebuah
perusahaan sengaja menggunakan jasa/layanan sebagai sebuah panggung dan barang sebagai alat peraganya, sedikit banyak melibatkan pelanggan individu dalam menciptakan suatu acara yang mengesankan’ (dalam Schmitt dan Rogers, 2008: 132). Dapat diartikan bahwa maksud dari analogi tersebut yaitu berhasilnya penerapan experiential marketing suatu perusahaan adalah pada saat perusahaan
mampu melibatkan barang dan jasanya serta pelanggan individu dalam menciptakan suatu hasil yang mengesankan, yaitu pengalaman yang positif bagi pelanggannya dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Schmitt menyatakan bahwa pemasar menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur – unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Experiential marketing adalah suatu konsep
pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan – pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif
Schmitt (1999) (dalam Schmitt & Rogers, 2008: 116) memberikan suatu framework alternatif untuk me-manage pengalaman pelanggan yang terdiri dari
dua elemen, yaitu Strategic Experience Modules (SEMs) dan Experience
Providers (ExPros). Berikut penjelasan mengenai Strategic Experience Modules
(SEMs) yang terdiri dari beberapa tipe experience, yaitu sense, feel, think, act,
dan relate.
1. Strategic Experience Modules (SEMs) a. Sense (Indera)
Sense adalah aspek-aspek yang berwujud dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan. Sense bagi konsumen berfungsi untuk
mendiferensiasikan suatu produk dari produk yang lain, untuk memotivasi pembeli untuk bertindak, dan untuk membentuk value pada produk atau jasa dalam benak pembeli. Indera manusia dapat digunakan selama fase pengalaman (pra pembelian, pembelian dan sesudah pembelian) dalam mengkonsumsi sebuah produk atau jasa. Perusahaan biasanya menerapkan unsur sense dengan menarik
perhatian pelanggan melalui hal-hal yang mencolok, dinamis, dan meninggalkan kesan yang kuat (Rini, 2009: 16).
b. Feel (Perasaan)
Berhubungan dengan perasaan yang paling dalam dan emosi pelanggan. Iklan yang bersifat feel good biasanya digunakan untuk membuat hubungan
dengan pelanggan, menghubungkan pengalaman emosional mereka dengan produk atau jasa, dan menantang pelanggan untuk bereaksi terhadap pesan. Feel
campaign sering digunakan untuk membangun emosi pelanggan secara perlahan.
Ketika pelanggan merasa senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, pelanggan akan menyukai produk dan perusahaan. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa tidak senang terhadap produk yang ditawarkan perusahaan, maka konsumen akan meninggalkan produk tersebut dan beralih kepada produk lain. Jika sebuah strategi pemasaran dapat menciptakan perasaan yang baik secara konsisten bagi pelanggan, maka perusahaan dapat menciptakan loyalitas merek yang kuat dan bertahan lama (Schmitt,1999) (dalam Rini 2009: 17).
Affective experience adalah tingkat pengalaman yang merupakan perasaan
yang bervariasi dalam intensitas, mulai dari perasaan yang positif atau pernyataan
mood yang negatif sampai emosi yang kuat. Jika pemasar bermaksud untuk
menggunakan affective experience sebagai bagian dari strategi pemasaran, maka
ada dua hal yang harus diperhatikan dan dipahami (dalam Rini, 2009: 17) yaitu: 1. Suasana hati (moods)
Moods merupakan affective yang tidak spesifik. Suasana hati dapat
dibangkitkan dengan cara memberikan stimuli yang spesifik (Schmitt, 1999). Suasana hati merupakan keadaan afektif yang positif atau negatif. Suasana hati seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat konsumen dan merek apa yang mereka pilih.
2. Emosi (emotion)
Lebih kuat dibandingkan suasana hati dan merupakan pernyataan afektif dari stimulus yang spesifik, misalnya marah, iri hati, dan cinta.
Emosi-emosi tersebut selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang (orang, peristiwa, perusahaan, produk, atau komunikasi).
c. Think (Cara Berpikir)
Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experiences (pengalaman pemecahan-masalah), dan
mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif dan/atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk. Menurut Schmitt cara yang baik untuk membuat
think campaign berhasil adalah (dalam Rini, 2009 : 17):
1. Menciptakan sebuah kejutan (surprise) yang dihadirkan baik dalam bentuk
visual, verbal ataupun konseptual. Kejutan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun pelanggan agar mereka terlibat dalam cara berpikir yang kreatif. Kejutan dihasilkan ketika pemasar memulai dari sebuah harapan. Kejutan harus bersifat positif, yang berarti pelanggan mendapatkan lebih dari yang mereka minta, lebih menyenangkan dari yang mereka harapkan, atau sesuatu yang sama sekali lain dari yang mereka harapkan yang pada akhirnya dapat membuat pelanggan merasa senang. Dalam experiential marketing, unsur surprise menempati hal yang
sangat penting karena dengan pengalaman-pengalaman yang mengejutkan dapat memberikan kesan emosional yang mendalam dan diharapkan dapat terus membekas di benak konsumen dalam waktu yang lama.
2. Berusaha untuk memikat pelanggan (intrigue). Jika kejutan berangkat dari
sebuah harapan, intrigue campaign mencoba membangkitkan rasa ingin
tergantung dari acuan yang dimiliki oleh setiap pelanggan. Terkadang apa yang dapat memikat seseorang dapat menjadi sesuatu yang membosankan bagi orang lain, tergantung pada tingkat pengetahuan, kesukaan, dan pengalaman pelanggan tersebut.
3. Memberikan sedikit provokasi. Provokasi dapat menimbulkan sebuah diskusi, atau menciptakan sebuah perdebatan. Provokasi dapat beresiko jika dilakukan secara tidak baik dan agresif.
d. Act (Tindakan)
Tindakan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Pesan-pesan yang memotivasi, menginspirasi dan bersifat spontan dapat menyebabkan pelanggan untuk berbuat hal-hal dengan cara yang berbeda, mencoba dengan cara yang baru merubah hidup mereka lebih baik (Rini, 2009: 17).
e. Relate (Pertalian/Hubungan)
Relate menghubungkan pelanggan secara individu dengan masyarakat,
atau budaya. Relate menjadi daya tarik keinginan yang paling dalam bagi
pelanggan untuk pembentukan self-improvement (perbaikan diri), status socio-
economic (status sosial-ekonomi), dan image (citra). Relate campaign
menunjukkan sekelompok orang yang merupakan target pelanggan dimana seorang pelanggan dapat berinteraksi, berhubungan, dan berbagi kesenangan yang sama (Rini, 2009: 17).
2. Experience Providers (ExPros)
Kelima tipe dari experience yang telah disebutkan diatas dihantarkan oleh
pemasar kepada konsumen melalui experience provider (ExPros) (dalam Schmitt
& Rogers, 2008: 120). ExPros meliputi communications, visual/ verbal identity,
product presence, co-branding, spatial environments, electronic media, dan
people.
a. Communications (komunikasi)
Komunikasi meliputi iklan, komunikasi perusahaan baik internal maupun eksternal, dan public relation. Bentuk-bentuk komunikasi tersebut
biasa digunakan oleh perusahaan untuk mengomunikasikan produk dan jasanya.
b. Visual/Verbal Identity (nama dan logo)
Yaitu identitas dan tanda baik visual maupun verbal, meliputi nama, logo, warna, dan lain-lain.
c. Product Presence (tampilan produk)
Tampilan produk meliputi desain produk, pengemasan, tampilan produk dan karakter merek dimana digunakan sebagai bagian dari pengemasan dan poin penjualan. Produk yang menarik dengan desain yang unik menjadi kunci dalam menarik konsumen.
d. Co-branding
Co-banding dalam ExPros meliputi even-even pemasaran (event
produk dalam film, dan bentuk kerjasama lainnya. Event marketing dapat
lebih efektif dan murah dibandingkan periklanan. e. Spatial Environment (tempat perusahaan)
Tempat perusahaan termasuk di dalamnya gedung, kantor, toko, dan tempat pameran. Tempat perusahaan juga merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan pengalaman melalui desain ruangan, yaitu ruangan dirancang memiliki estetika dan keunikan dari mulai interior hingga lantai ruangan.
f. Websites dan Elektronik Media
Perusahaan besar saat ini memanfaatkan internet sebagai media untuk semakin memperoleh pelanggan. Internet juga menjadikan pelanggan dapat melakukan interaksi langsung dengan perusahaan. Hal ini menjadi nilai positif untuk menarik pelanggan yang harus dikelola dengan baik oleh perusahaan.
g. People
Meliputi penjual, representasi perusahaan, costumer service, operator
call centre, dan lainnya yang berhubungan dengan orang-orang yang
bekerja di perusahaan.