• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

D. Inklusi

1. Pengertian Inklusi

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan pada fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional dalam proses pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan. Wolfolk (1995) menyebut anak-anak yang memiliki kemampuan atau permasalahan yang sangat signifikan sehingga

membutuhkan pendidikan khusus atau pelayanan yang lain untuk dapat mencapai potensi mereka sebagai anak luar biasa (exceptional children). Seseorang atau anak mendapat label sebagai anak luar biasa dilihat dari bagaimana mereka melakukan tugas tertentu. Pemberian label ini pada awalnya ditujukan untuk menentukan syarat-syarat untuk pelayanan khusus di sekolah atau suatu komunitas. Akan tetapi pada kenyataannya pemberian label tersebut membuat baik guru, teman sekelas, orang tua, bahkan anak yang diberi label, sebagai suatu masalah yang permanen, sebuah cacat yang tidak dapat diubah.

2. Jenis-Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus terdiri atas berbagai jenis dan karakteristik. Dalam penelitian ini, jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus dibatasi sebagai berikut :

a. Retardasi Mental

Payne, et. al (1983) menyatakan bahwa individu yang

mengalami kesulian dalam mengikuti pelajaran di sekolah dan mendapat nilai yang rendah saat ujian, tetapi diluar sekolah dapat melakukan pekerjaannya dengan baik di masyarakat dapat digolongkan sebagai retardasi mental. Sedangkan menurut American Association on Mental Deficiency atau AAMD, (1992 dalam Wolfolk, 1995) mengklasikasikan retardasi mental sebagai keterbatasan yang substansial dalam menunjukkan fungsi intelektual. Selain itu juga

menunjukkan keterbatasan yang terkait pada dua atau tiga area kemampuan adaptif yang mengikutinya : komunikasi, merawat diri sendiri (self-care), aktifitas di rumah (home living), keterampilan sosial, berperan dalam masyarakat, kontrol diri (self direction), kesehatan dan keselamatan, fungsi akademik, menggunakan waktu luang, dan bekerja. Pada sekolah inklusi tempat peneliti melakukan penelitian terdapat anak retardasi mental ringan atau moderat. Apabila anak retardasi mental ringan dan moderat diberikan pelatihan yang tepat dan diberi bantuan secara hati-hati, potensi mereka untuk berprestasi, belajar, dan hidup menjadi meningkat. Oleh karena itu sekolah inklusi masih mampu menerima anak retardasi mental ringan atau moderat untuk bersama-sama bersekolah dengan anak normal lainnya.

b. Gifted atau Talented

Payne, et. al. (1983) menyebutkan bahwa anak gifted secara jelas superior dalam segala hal dibandingkan anak seusianya pada umumunya. Sedangkan Renzulli & Reis, 1991 (dalam Wolfolk, 1995) berpendapat bahwa gifted merupakan kombinasi dari tiga karakteristik, yaitu kemampuan umum yang berada di atas rata-rata, kreatifitas yang tinggi, dan komitmen atau motivasi yang tinggi terhadap tugas atau sesuatu yang tinggi.

Dalam penelitiannya, Terman menemukan bahwa tidak benar apabila mengatakan anak gifted juga selalu memiliki kemampuan

adaptasi dan kesehatan emosional yang superior. Permasalahan yang dihadapi anak gifted diantaranya adalah kebosanan dan frustrasi di sekolah karena dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Teman-teman yang mengucilkannya beranggapan bahwa diantara mereka ada perbedaan minat dan perhatian yang tidak dapat terjembatani. Anak gifted juga dapat mengalami kesulitan dalam menerima keadaan emosi dirinya ketika pikiran dan emosinya tidak cocok. Mereka dapat merasa tidak sabar dengan teman, orang tua, atau kadang guru yang tidak mau membagikan minat dan kemampuan mereka (Wolfolk, 1995).

Dalam penelitian ini terdapat anak gifted yang menjadi obyek sikap. Anak gifted pada penelitian ini aktif dan dipandang teman-temannya sebagai anak yang pintar. Anak tersebut suka menunjukkan

teknologi di handphone yang dibawanya terhadap teman-temannya

yang tidak membawa handphone. Anak gifted yang belajar di sekolah inklusi dalam penelitian ini memiliki penampilan seperti anak pada umumnya dan dapat berinteraksi dengan teman-temannya.

c. Buta (Blind) dan LowVision

Taylor, 1973 (dalam Payne, 1983) mendefinisikan blind atau buta sebagai salah satu bentuk keterbatasan visual dimana penglihatan atau mata sama sekali tidak dapat digunakan untuk melihat atau membaca, dapat dididik dengan mengguanakan braile, tactile, dan

perangkat auditori. Orang yang buta dapat menggunakan

menggunakan tongkat untuk dapat berjalan sendirian dengan kakinya. Seringkali yang menghambat orang buta untuk belajar dan hidup secara alami adalah orang yang normal. Mereka seringkali tidak memperhatikan kebutuhan orang buta yang tidak dapat melihat dan menyamakan mereka dengan orang yang dapat melihat lainnya. Sedangkan low vision adalah kondisi dimana seseorang memiliki keterbatasan indera penglihatan sehingga memerlukan alat bantu khusus supaya dapat melihat dengan jelas.

Anak berkebutuhan khusus dalam penelitian saya diantaranya adalah anak yang mengalami low vision. Anak low vision tersebut harus duduk di depan saat pelajaran berlangsung karena mengalami kesulitan apabila melihat dalam jarak yang agak jauh.

d. Tuli (Deaf)

Tuli merupakan keadaan dimana seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mendengar sehingga menghalangi keberhasilan pemrosesan informasi bahasa melalui suara, baik itu menggunakan alat bantu pendengaran maupun tidak (Payne, et. al., 1983). Apabila tuli itu sudah dialami sejak lahir maka anak tidak dapat mempelajari bahasa yang biasa dipakai oleh orang normal pada umumnya. Hal ini menyebabkan kemampuan komunikasi anak yang tuli dengan orang lain menjadi terganggu. Anak tuna rungu berkomunikasi dengan caranya sendiri, misalnya dengan bahasa isyarat sedangkan tidak semua orang dapat memahaminya.

Pada penelitian ini terdapat anak yang menyandang tuna rungu ringan. Anak tersebut mengalami gangguan pada pendengarannya namun tidak secara total. Dengan demikian para pengajar dan orang yang hendak berrinteraksi harus dengan suara yang cukup keras atau dengan gerak bibir yang jelas.

e. Slow Learner

Beberapa anak yang mengalami masalah dalam belajarnya memiliki kesulitan dalam satu atau lebih area akademik, misalnya penyimpangan dalam berpikir, daya ingat, dan sebagainya (Wolfolk, 1995). Karakteristik anak slowlearner dalam penelitian ini mengalami kesulitan belajar mengalami hambatan dalam membaca yaitu sulit dalam mengeja kata. Beberapa anak yang lain sulit mengingat atau sulit dalam pelajaran menghitung. Perkembangan kemampuan

akademik anak slow learner berbeda dibandingkan dengan

perkembangan anak seusianya. Karena keterbatasannya, anak-anak slow learner membutuhkan strategi belajar dan pendampingan belajar yang ekstra dibandingkan dengan anak-anak yang lain.

f. Gangguan Autis(Autism Spectrum Disorder atau ASD)

ASD merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk

mendeskripsikan sekelompok ketidakmampuan perkembangan

neurologis dalam jangka panjang yang dilihat dari penampakannya dalam karakteristik tingkah laku dalam beberapa area fungsi. Dampak ASD beragam dari ringan hingga berat dan mungkin dapat meningkat

atau berubah sejalan dengan kehidupan individu. Anak dengan ASD mengalami hambatan dalam komunikasi, interaksi sosial, serta memiliki pola minat dan tingkah laku yang terbatas dan dilakukan berulang-ulang (Goverment of British Columbia, 2007).

Anak autis dalam penelitian ini mengalami hambatan dalam hal-hal tersebut di atas sehingga terkadang anak tersebut melakukan kegiatan yang menggangu seperti berteriak, menggambar saat dijelaskan oleh guru, dan mengulang perkataan yang dikatakan oleh guru. Anak tersebut juga suka melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan berulang-ulag seperti menyalakan dan menghidupkan sakelar listrik.

g. Gangguan Perhatian dan hiperaktif

Anak hiperaktif aktif secara fisik, tidak dapat memusatkan perhatian dalam waktu yang cukup lama, sulit merespon dengan tepat, melalukan sesuatu sesuai dengan keinginannya sendiri, serta perilakunya tidak dapat dikendalikan dengan perintah (Wolfolk, 1995). Karakteristik anak yang mengalami gangguan perhatian dan hiperaktif dalam penelitian ini membuat anak tersebut mengalami kesulitan dalam menyerap materi di kelas. Selain itu, sifat yang tidak dapat diatur dapat menyebabkan suasanya menjadi kacau dan tidak terkendalikan. Anak yang seperti di atas memerlukan pendampingan rutin untuk mencapai perkembangan yang baik.

h. Cacat tubuh (tuna daksa)

Cacat tubuh merupakan kondisi dimana ada bagian tubuh yang tidak lengkap atau keadaannya tidak sempurna, misalnya pada kaki atau tangan. Kecacatan ini dapat dimiliki seseorang sejak lahir atau karena kecelakaan. Ketidaksempurnaan ini dapat menyebabkan seseorang terhambat dalam melakukan aktifitasnya, misalnya seseorang menjadi tidak dapat berjalan dengan kaki apabila tidak menggunakan alat bantu atau tidak dapat memegang pensil atau benda yang lain. Santrock (1995) mengulas beberapa komentar dari anak-anak yang mengalami cacat. Komentar-komentar mereka menunjukkan bahwa usaha penyesuaian diri terhadap dunia teman-teman sebaya dan sekolah seringkali menyakitkan hati dan sulit dilalui karena banyaknya ejekan.

Pada penelitian ini terdapat satu anak yang mengalami kecacatan pada anggota tubuhnya. Anak tersebut memiliki tangan kiri yang tidak dapat digerakkan secara normal. Hal ini membuat anak harus melakukan semua pekerjaannya dengan menggunakan tangan kiri.

C. Inklusi

1. Pengertian Inklusi

Tomlinson (dalam Reid, 2005) mendefinisikan inklusi sebagai mencocokkan sumber-sumber yang kita miliki untuk model pembelajaran

dan kebutuhan pendidikan pada siswa. Sedangkan Papalia, et. al. (2004) berpendapat bahwa tempat dimana anak dengan kebutuhan khusus digabungkan dengan anak normal untuk belajar bersama baik itu secara penuh maupun dalam waktu tertentu saja disebut sebagai program inklusi. Inklusi membantu anak berkebutuhan khusus untuk belajar ditengah-tengah komunitas normal dan membantu anak normal untuk mengenal dan memahami orang-orang dengan kekurangannya.

Staub & Peck (1995, dalam Direktorat PLB, 2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian kelas reguler merupakan tempat yang relevan untuk belajar bagi anak berkelainan, apa pun jenis kelainannya dan bagaimana pun tingkatannya.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa inklusi merupakan proses penggabungan anak berkelainan dengan anak normal untuk belajar bersama dan memperoleh pelayanan pendidikan yang sama secara penuh.

Dokumen terkait