• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

BERKEBUTUHAN KHUSUS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Maretha Lia Isnaryanti NIM : 049114086

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)

#

$

%

&

(6)
(7)

Sanata Dharma.

Teman menjadi orang yang sangat penting pada masa pertengahan kanak-kanak. Namun, anak cenderung memilih-milih anak sebaya yang akan dijadikannya sebagai teman. Di sisi lain, penilaian serta respon anak terhadap teman sebaya menjadi hal penting yang dapat mempengaruhi konsep diri teman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sikap siswa di sekolah dasar yang tidak berkebutuhan khusus terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus di kelas inklusi. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pandangan, perasaan dan kecenderungan tindakan siswa normal terhadap aspek kompetensi akademik, kompetensi sosial, kemampuan fisik/atletik dan penampilan fisik anak berkebutuhan khusus.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SD Negeri Giwangan kelas IV dan V yang berada dalam satu kelas inklusi dengan anak berkebutuhan khusus. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 65 orang yang terdiri atas 35 siswa laki-laki dan 30 siswa perempuan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap anak berkebutuhan khusus. Skala sikap yang digunakan terdiri atas 38 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,906.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan anak normal di sekolah dasar inklusi memiliki sikap yang positif terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus. Data keseluruhan menunjukkan bahwa terdapat 62 orang (95,4%) bersikap positif tinggi, 3 orang (4,6%) bersikap positif rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap positif yang tinggi pada subyek penelitian meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif. Sikap positif tersebut ditujukan terhadap keseluruhan aspek diri anak berkebutuhan khusus, yaitu kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan fisik/atletik serta penampilan fisik anak berkebutuhan khusus.

(8)

Friends are always being more important person in middle childhood. But children have tendency to choose peers who will be their friends. In other side, valuation and respond from children to another peer could be something important that can influence this peer’s self-concept. Current research aimed to describe the attitude of children without special needs in elementary school toward their peers with special needs in inclusion class. Current research wanted to show how did normal children thought, felt, and had tendency to act toward academic competence, social competence, physical/athletic competence and physical appearance in children with special needs.

The type of this research was quantitative descriptive. Subject used on this research were student fourth and fifth grade in Giwangan Elementary School who studied together in one inclusion class with children with special needs. The number of the subject on this research were 65 people, those were 35 male students and 30 female students. Method to collected data on this research used attitude toward children with special needs scale. Attitude scale that used consist of 38 items with reliability coefficient 0,906.

The result from the research was show that normal children in inclusive elementary school had positive attitude significantly toward peers with special needs. From the total result there was 62 people (95,4%) had high positive attitude, 3 people (4,6%) had average attitude. The result showed that high positive attitude, involve cognitive, affective, and conative. That positive attitude toward all of the self aspect on children with special need, there were academic competence, social competence, physical competence/athletic, and physical appearance from children with special needs.

(9)
(10)

berjudul “Studi Deskriptif Tentang Sikap Siswa Normal di Sekolah Dasar Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi”.

Penulis menyadari bahwa penulis tidak meungkin dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan dukungan dan ijin untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Silvia Carolina M. Y. M, S. Psi, M. Si selaku Ketua Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mendukung dan membantu terselesaikannya penyusunan skripsi.

3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi, Psi, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan dengan sabar, memberi saran dan koreksi demi kelancaran penyusunan skripsi.

4. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M. Si selaku dosen penguji I yang telah

memberi masukan berharga bagi kesempurnaan hasil karya penulis.

5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti MS selaku dosen penguji II yang telah mengkritisi serta memberi saran membangun demi kesempurnaan penelitian.

6. Ibu Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi selaku dosen pembimbing akademik yang

(11)

8. Ibu Nur Endang Indrariana, S. Pd selaku Guru Pembimbing Khusus SD Negeri Giwangan yang telah mendampingi penulis untuk melakukan penelitian serta memberikan keterangan yang penulis butuhkan.

9. Ibu Y. Sri Kayungyun, S. Pd selaku Kepala Sekolah SD Negeri Gejayang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan uji coba penelitian.

10.Ibu Nining sebagai Guru Pendamping Khusus di SD Negeri Gejayan yang telah menyempatkan waktu untuk membantu penulis dalam melakukan uji coba penelitian.

11.Siswa-siswi SD Negeri Gejayan dan siswa-siswi SD Negeri Giwangan yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian.

12.Seluruh dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan wawasan dalam perkuliahan selama ini.

13.Mas Gandung, Mbak Nanik, Pak Gie’, Mas Muji dan Mas Doni selaku staf dan karyawan fakultas Psikologi yang dengan sabar telah membantu memfasilitasi dan memberikan informasi selama penulis kuliah hingga menyelesaikan skripsi.

(12)

partner’ terbaikku. Terima kasih untuk kesabarannya dalam menemani langkahku dan semua dukunganmu, Say. Let’s walk together on His plans...

17. Keluarga Home Church Community : Bang Stef, Bro’ Yehezkiel, Sist’ Nona,

Sist’ Susan, Sist’ Tirza, Sist’ Selvi, Sist’ Fenny, Mami Vony, Mbak Dwi, Sist’ Yekti, Sist’ Fifin, Bu Ning, Bu Tin, Bu Gun, Pak Dodo, Bro’ Dony dan Bro’Obet, sebagai saudaraku yang telah mengajariku bagaimana untuk tetap ‘hang on God’ dalam kesulitan-kesulitanku. Thanks a lot for your pray guys... 18.Weny, Mae, dan Yoyo’ thanks guys untuk training singkat yang sangat

membantuku dalam menyelesaikan pengolahan data.

19.Teman-temanku Weny, Verty dan Wiwin kalian adalah warna selama masa kuliahku. Ayo lulus bareng tapi jangan pernah lupakan aku ya…

20.Bapak Dr. Priyo T. Widiyanto, M. Si selaku kepala P2TKP, Bapak Thony dan

Mbak Diana selaku staf P2TKP serta Mabk Tia sebagai psikolog P2TKP yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan mendapatkan pengalaman yang berharga di P2TKP.

21.Seluruh asisten P2TKP tahun 2008 : Mas Desta, Mbak Otic, Mas A-be, Vania,

(13)

masukan-sebutkan satu per satu yang telah membantu selama perkuliahan dan dalam penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan pembaca memberikan masukan dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap hasil penelitian dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi dan bagi pembaca.

Yogyakarta, 21 Februari 2009

(14)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... ii

HALAMAN PENGESAHAN………...…………. iii

MOTTO……….. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………...…... v

PERYATAAN KEASLIAN KARYA………... vi

ABSTRAK……….. vii

ABSTRACT……… viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

KATA PENGANTAR……… x

DAFTAR ISI……….. xiv

DAFTAR TABEL……….. xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah……….. 8

C. Tujuan Masalah………... ... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Pertengahan Anak-anak……….. 12

(15)

1. Definisi Sikap………... 18

2. Komponen Sikap……….. 19

3. Dimensi Sikap……….. 20

4. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Perubahan Sikap.... 21

5. Aspek Diri Anak berkebutuhan Khusus Sebagai Obyek Sikap…...……….. 23

C. Anak Berkebutuhan Khusus……….... 26

1. Pengertian……….. 26

2. Jenis dan Karakteristik Anak berkebutuhan Khusus……… 27

D. Inklusi………. 33

1. Pengertian Inklusi………. 33

2. Karakteristik Kelas Inklusi………... 34

3. Proses Belajar dalam Kelas Inklusi……….. 35

E. Sikap Anak Sekolah Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang Berkebutuhan Khusus……….... 38

F. Skema Sikap Anak Sekolah Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang Berkebutuhan Khusus……….... 44

G. Pertanyaan Penelitian……….. 45

(16)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data………... 50

1. Metode Pengumpulan Data……….... 50

2. Isi Skala……….. 51

3. Pemberian Nilai atau Scoring………. 54

4. Pertanggungjawaban Alat Ukur………. 54

F. Prosedur Penelitian………... 60

G. Metode Analisis Data………... 61

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian……….... 64

1. Pengumpulan data………... 64

2. Deskripsi Subyek………... 66

B. Hasil Penelitian……….... 68

1. Uji Normalitas……… 68

2. Hasil Analisis Deskriptif……… 68

C. Pembahasan……….. 79

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 89

B. Saran……… 89

(17)

Tabel 2. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap………. 51

Tabel 3. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap Sesi 1……….. 52

Tabel 4. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap Sesi 2……….. 53

Tabel 5. Hasil Uji Coba Alat Ukur……… 56

Tabel 6. Sebaran Item yang Sahih………. 57

Tabel 7. Skala Penelitian Setelah Uji Coba……….. 58

Tabel 8. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum……… 68

Tabel 9. Kategori Skor Sikap Siswa Terhadap Teman Sebaya yang BerkebutuhanKhusus……….... 69

Tabel 10. Deskripsi Frekuensi dan Perbandingan Mean Empirik Tiap Aspek Sikap………... 69

(18)

Lampiran 2. Skala Penelitian Setelah Uji Coba

Lampiran 3. Koefisien Reliabilitas Uji Coba Skala Sikap Lampiran 4. Koefisien Reliabilitas Uji Coba Skala Sikap Lampiran 5. Uji Asumsi Normalitas

Lampiran 6. Deskripsi Data Penelitian

(19)

A. Latar Belakang

Perbedaan individu merupakan hal yang seringkali kita temukan dalam

keseharian. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam karakteristik fisik yang

tampak pada seseorang sampai yang tidak terlihat dalam penampilan fisik

orang tersebut. Kecacatan baik secara mental, emosional maupun fisik

menyebabkan penyandangnya memiki kebutuhan yang berbeda dibandingkan

orang-orang yang normal. Anak yang secara signifikan mengalami kelainan

atau penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial, maupun

emosional, dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan

dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan

pendidikan khusus disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (direktorat PLB,

2004).

Kecacatan-kecacatan pada fisik mereka cenderung dapat menyulitkan

bagi penyandangnya dalam melakukan aktifitas maupun dalam membangun

hubungan interpersonal. Hal ini dikarenakan oleh kecenderungan masyarakat

yang lebih menghargai daya tarik fisik dari seseorang (Tarsidi, 2008).

Kelainan dan keterbatasan fisik cenderung memunculkan berbagai reaksi dari

orang normal lainnya. Demikian juga dengan anak yang memiliki kelainan

(20)

perlakuan yang berbeda. Orang-orang yang normal seringkali menganggap

keterbatasan dan kelainan sebagai sesuatu yang aneh atau tidak biasa.

Unrow, 1989 (dalam Tarsidi, 2008) mengemukakan bahwa perlakuan

yang berbeda terhadap orang yang berkelainan, baik itu yang overprotektif

maupun yang menunjukkan penolakan, menjadikan ruang gerak orang-orang

dengan kebutuhan khusus menjadi semakin menyempit. Padahal keterbatasan

untuk berinteraksi dengan lingkungan dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak untuk mengeksplorasi karir yang meliputi pemahaman akan minat dan bakat sendiri serta mengenal berbagai lingkungan kerja.

Salah satu bentuk perlakuan berbeda yang membatasi ruang gerak anak berkebutuhan khusus adalah dengan mengharuskan anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah khusus. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Mengacu pada undang-undang tersebut di atas, maka anak-anak yang berkelainan juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan anak normal dalam hal pendidikan (Direktorat PLB, 2004). Menanggapi pentingnya kesamaan hak bagi penyandang kebutuhan khusus, para penentu kebijakan dalam dunia pendidikan telah membuat setting pendidikan baru bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.

(21)

waktu tertentu saja disebut sebagai program inklusi. Inklusi membantu anak berkebutuhan khusus untuk belajar di tengah-tengah komunitas normal dan membantu anak normal untuk mengenal dan memahami orang-orang dengan kekurangannya (Papalia, et. al., 2004). Dalam kelas inklusi, anak-anak dengan kebutuhan khusus dan anak normal mengikuti proses pembelajaran bersama-sama dalam satu kelas dan aktivitas belajar-mengajar berbersama-sama-bersama-sama. Anak-anak berkebutuhan khusus akan berkembang melalui pengajaran dan dukungan teman-teman sebayanya dalam kelas inklusi tersebut (Sutriyono, 2006). Setting dalam kelas inklusi tersebut dikondisikan supaya tercipta situasi dimana siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal harus banyak berinteraksi.

Adanya program inklusi membuka kesempatan bagi anak-anak dengan keterbatasan kemampuan fisik, mental maupun emosional untuk mendapatkan pendidikan di tempat yang tidak dipisahkan dengan anak normal lainnya. Pelaksanaan program inklusi dijamin oleh Undang Undang No. 20/2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa

(22)

siswa berkebutuhan khusus tidak akan mengganggu anak-anak lain dan dapat menurunkan prestasi sekolah (Subkhan, 2007).

Keberhasilan pelaksanaan program inklusi dalam membantu anak berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sa’adah (2006) mengadakan penelitian di salah satu sekolah di Yogyakarta yang menerapkan program inklusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya dorongan minat yang kuat dari masing-masing siswa tuna netra mendukung keberhasilan program inklusi. Namun masih ada faktor lain yang juga berpengaruh yaitu dukungan dan motivasi dari keluarga, guru bidang studi, guru pembimbing khusus, dan teman-temannya yang mempunyai toleransi dan dukungan yang besar terhadap anak tuna netra tersebut.

Seorang guru di suatu sekolah di Jakarta Timur juga menceritakan bagaimana seorang siswa tuna rungu mendapat peringkat tiga besar dalam kelas inklusi. Guru tersebut merasa sangat kesulitan dalam mentransfer materi pada awalnya, tetapi teman-temannya tidak mengejek atau merendahkan siswa tuna rungu tersebut. Teman-temannya membantu siswa tuna rungu itu supaya dapat menangkap dan memahami materi pelajaran. Berkat dukungan siswa-siswa lainnya, guru merasa sangat tertolong dalam menyampaikan materi dan siswa tuna rungu sangat terbantu untuk maju (Tyas, 2006).

(23)

sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, sosial maupun akademik mereka. Dengan adanya teman, anak merasakan kasih sayang selain dari keluarga, merasa nyaman, dapat melakukan aktivitas yang disukai serta dapat membagikan perasaan dan rahasianya. Teman sebaya pada masa anak-anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan diri anak terhadap kemampuan dirinya dalam menguasai tugas-tugas sekolah atau self-efficacy anak tersebut. Apabila anak memiliki keyakinan yang besar maka kecenderungannya anak juga akan memiliki keinginan yang besar untuk mencoba dan lebih berhasil dalam sekolahnya. Penolakan dari teman sebaya dan kurangnya teman di masa anak-anak dapat menimbulkan dampak dalam jangka panjang (Papalia, et. al., 2004).

Bagwell, Newcomb, & Bukowski, 1998 (dalam Papalia et. al., 2004) melakukan studi longitudinal terhadap seorang murid kelas 5 sekolah dasar yang tidak memiliki teman lebih dibandingkan teman-teman sekelasnya. Hasilnya menunjukan bahwa anak tersebut memiliki rasa keberhargaan diri

atau self-esteem yang rendah pada masa dewasa awal dan terkadang

(24)

Program pendidikan inklusi dapat memungkinkan adanya kesempatan yang cukup besar untuk saling menilai kemampuan anak yang satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya interaksi yang dilakukan antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus dalam setting tersebut. Penilaian anak normal terhadap kemampuan dan perbedaan karakteristik dalam diri anak berkebutuhan khusus dapat mempengaruhi pembentukan sikap anak normal terhadap anak tersebut.

Sikap merupakan suatu respon evaluatif terhadap stimulus tertentu yang kemudian menjadi suatu reaksi terhadap stimulus itu. Proses evaluasi secara sadar terjadi dalam diri individu sehingga dapat memberi kesimpulan mengenai stimulus itu dalam bentuk nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka, baik atau buruk dan sebagainya. Kesimpulan tersebut akan berperan dalam membentuk reaksi dan tindakan-tindakan yang diambil oleh orang itu terhadap stimulus tersebut (Azwar, 1995).

(25)

variabel yang secara otomatis dapat mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Kesan yang ditimbulkan dari penampakan fisik serta hal-hal yang nyata memiliki pengaruh yang besar munculnya prasangka-prasangka yang akhirnya dapat berpengaruh pada pembentukan sikap terhadap sesuatu yang dilihat.

Sikap anak-anak normal terhadap keberadaan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam kelas inklusi dapat dikatakan sangat penting bagi diri anak berkebutuhan khusus tersebut. Sikap anak normal yang merupakan respon evaluatif terhadap diri anak berkebutuhan khusus dapat menjadi feedback atau masukan bagi anak berkebutuhan khusus. Respon evaluatif tersebut meliputi aspek diri anak berkebutuhan khusus yang terdiri atas kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan fisik/atletik serta penampilan fisik. Respon evaluatif yang negatif dari teman sebaya dapat berpengaruh pada rasa keberhargaan diri anak berkebutuhan khusus (Berk, 2006).

(26)

dibentuk untuk memiliki pandangan bahwa perbedaan itu bukanlah suatu hambatan untuk mereka belajar bersama dan mencapai suatu prestasi.

Strategi pembelajaran dan koordinasi seperti yang telah digambarkan tersebut di atas dapat membantu anak normal untuk membentuk sikap yang positif terhadap teman-temannya yang memiliki keterbatasan fisik, mental, maupun emosional. Sutikno (dalam Sutriyono, 2006) menceritakan bahwa anak tuna netra yang berada di sekolah inklusi di Pemalang, Jawa Tengah, pada awalnya disingkirkan oleh teman-temannya. Akan tetapi pada akhirnya para siswa dapat menerima keberadaan anak tuna netra tersebut setelah guru berusaha untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam kelas inklusi tersebut.

(27)

Walaupun demikian sangat penting untuk memastikan bahwa siswa normal memiliki sikap yang positif dan perilaku sosial yang mendukung terhadap temannya yang berkelainan fisik. Dengan demikian siswa yang berkelainan fisik akan benar-benar menjadi bagian dari kelas tersebut (Bowd, 1986). Apabila sikap anak normal negatif maka perlu adanya program untuk mengembangkan sikap yang positif sehingga program inklusi dapat berhasil.

A. Rumusan Masalah

Bagaimana sikap siswa sekolah dasar inklusi terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus?

C. Tujuan Penelitian

(28)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Selain itu juga dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi klinis pada khususnya.

2. Secara Praktis

a. Bagi sekolah dan pelaksana pendidikan

(29)
(30)

A. Pertengahan Anak-anak (Middle Childhood)

1. Pengertian dan Batasan Usia

Berk (2006) mengungkapkan masa pertengahan anak-anak atau middle childhood sebagai masa dimana anak yang berusia 6 hingga 11 tahun. Pada masa pertengahan anak-anak, anak memiliki proses berpikir yang lebih logis dan semakin mampu memahami diri sendiri. Selain itu, perkembangan moral anak pada masa ini juga semakin meningkat. Adanya persahabatan menjadi tanda anak memasuki masa pertengahan anak-anak.

Santrock (2002) menyebut masa periode ini sebagai masa pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu periode perkembangan yang merentang dari usia 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar sehingga periode ini kadang-kadang disebut tahun- “tahun-tahun sekolah dasar”. Pada masa ini, anak umumnya menguasai keterampilan-keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung.

(31)

anak-anak menjadi penting karena anak banyak belajar melalui interaksi dengan teman-teman dan memecahkan perselisihan. Pada masa ini, anak juga mulai membanding-bandingkan performansi mereka dengan temannya yang lain. Dengan demikian, perbedaan individu dalam performansi akademik menjadi semakin penting dalam melewati tahun-tahun masa ini.

Mengacu pada sumber terbaru, peneliti menggunakan istilah masa pertengahan anak-anak untuk menggambarkan anak yang berusia sekolah dasar atau berusia 6 hingga 11 tahun. Fokus perkembangan pada masa pertengahan anak-anak adalah pencapaian prestasi dan kemampuan kontrol diri yang meningkat. Anak-anak pada masa pertengahan anak-anak akan banyak mengarahkan konsentrasi dan energinya pada penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual dan pengetahuan. Adanya perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif yang dirasakan oleh anak merupakan hal yang berbahaya dalam tahap perkembangan ini. Perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif akan menghambat anak mampu melakukan tugas perkembangannya dalam tahap ini (Santrock, 2007).

2. Karakteristik Sosio-emosional

(32)

pengaruh yang lebih besar dibandingkan orang-orang dewasa lainnya. Pengaruh yang kuat dari kelompok sebaya pada masa ini sebagian besar berasal dari keinginan untuk dapat diterima oleh kelompok. Selain itu hal ini juga dikarenakan anak banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman-teman sebaya.

Hurlock (1988) menyebutkan pengaruh kelompok teman sebaya bagi anak, yaitu:

a. Keinginan untuk menyesuaikan diri.

Anak menyesuaikan keinginan, sikap dan nilainya dengan tuntutan kelompok supaya dapat mencapai popularitas dan memperoleh kasih sayang dari teman sebaya, terutama apabila tidak mendapat kasih sayang dari keluarga.

b. Membantu anak-anak mencapai kemandirian dari orang tua dan

dirinya sendiri.

Melalui hubungan dengan teman sebaya anak-anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, belajar mengenai berbagai pandangan dan sikap yang bukan dari keluarga mereka. Selain itu mereka belajar mengenai pola perilaku yang dapat diterima oleh kelompok.

c. Pembentukan konsep diri

(33)

maka anak juga akan menganggap dirinya menyenangkan, dan begitu juga sebaliknya.

Menurut Santrock (2007), terdapat 3 kemungkinan proses sosial-kognitif yang mempengaruhi anak dalam membangun relasi dengan teman sebaya, yaitu :

a. Social perspective taking

Social perspective taking merupakan kemampuan anak untuk

menerima cara pandang orang lain dan memahami pikiran dan perasaannya. Pada masa usia sekolah dasar, kemampuan ini meningkat sehingga anak bisa memahami bahwa anak yang lain sedang sedih atau senang, dan mengapa mereka sedih atau senang. Berkaitan dengan kemampuan ini, Berk (2006) menyebutkan bahwa anak pada masa pertengahan anak-anak semakin mampu “membaca” pesan yang diterima dari orang lain dan menggabungkannya ke dalam definisi diri mereka. Sebagai anak di usia sekolah, anak menginternalisasikan penerimaan dari teman-temannya, mereka menggunakan ideal-self untuk mengevaluasi real-self.

b. Social information-processing skill

(34)

c. Social Knowledge

Kemampuan anak untuk dekat dengan teman sebayanya juga dipengaruhi oleh pengetahuan sosialnya. Anak harus tahu apa tujuan mengapa mereka harus bertahan ketika situasi ambigu, bagaimana memulai dan bagaimana supaya mereka mempunyai teman, misalnya dengan mengatakan hal-hal yang baik. Apabila anak tidak tahu mengapa mereka harus menjalin relasi dan apa yang harus mereka lakukan supaya mereka bisa menjalin hubungan, maka mereka akan sulit untuk memperoleh teman.

(35)

3. Perkembangan Moral dan Pemahaman Sosial

Saat memasuki masa sekolah dasar, anak semakin mampu menggambarkan keadaan mental seseorang. Dengan kata lain, mereka semakin bisa mengerti adanya perbedaan walaupun sangat sedikit dari perilaku seseorang, sehingga mereka menyadari bahwa perilaku seseorang tidak selalu menggambarkan pikiran dan perasaannya. Anak juga mulai menyadari bahwa orang menginterpretasikan apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Dengan demikian mereka menjadi semakin menginginkan penerimaan dari orang lain. Hal itu membuat anak menjadi subyektif dalam menilai apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain. Selain itu, anak juga menyadari bahwa pikiran dan perasaan itu sangat berhubungan. Anak masa pertengahan anak-anak pada umumnya menyadari bahwa interpretasi yang mereka buat mengenai situasi tertentu dapat mempengaruhi perasaan mereka terhadap situasi tersebut (McDevitt & Ormrod, 2004).

(36)

pada masa ini mengalami peningkatan rasa simpati terhadap orang-orang yang tidak diketahui bahwa mereka menderita dan membutuhkan bantuan. Anak juga dapat membedakan mana yang merupakan perilaku yang kejam terhadap hak dan martabat manusia dengan yang mengancam ketentuan sosial. Anak pada masa ini memahamai bahwa harus ada seseorang yang berusaha keras supaya dapat memenuhi kebutuhan orang-orang seperti memperjuangkan haknya. Anak mulai menumbuhkan penghargaan untuk bekerja sama dan berkompromi (McDevitt & Ormrod, 2004).

A. Sikap

1. Definisi Sikap

Sikap merupakan gejala internal yang berdimensi afektif berupa

kecenderungan untuk bereaksi atau merespon (response tendency) dengan

cara yang relatif tetap terhadap obyek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif (Syah, 1995).

Henerson, et. al. (1978) menjelaskan sikap sebagai sebuah konstruk yang menunjukkan konsistensi antara apa yang dikatakan

seseorang, yang dipikirkan dengan yang dilakukan, sehingga

memunculkan perilaku yang sesuai serta dapat memprediksi perilaku yang akan datang. Sikap seseorang ditunjukkan dari apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan.

(37)

menghadapi obyek sikap memberikan penilaian dalam bentuk perasaan memihak atau mendukung maupun perasaan tidak memihak atau tidak mendukung. Kemudian Secord & Backman (1964 dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan reaksi evaluatif yang bersifat konsisten terhadap obyek sikap yang dimunculkan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan tertentu.

2. Komponen Sikap

Menurut Azwar (1995) menyebutkan bahwa komponen penyusun sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang, yaitu diantaranya adalah :

a. Komponen kognitif (cognitive)

(38)

b. Komponen afektif (affective)

Merupakan reaksi emosional subyektif atau dapat dikatakan sebagai perasaan seseorang terhadap obyek sikap. Reaksi emosional tersebut banyak dipengaruhi oleh kepercayaan mengenai obyek sikap tersebut. c. Komponen konatif (conative)

Yaitu bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapi. Kecenderungan berperilaku seseorang banyak ditentukan oleh keyakinan dan kepercayaan orang itu terhadap obyek sikap.

3. Dimensi Sikap

Azwar (1995) menguraikan dimensi-dimensi sikap yang terdiri dari :

a. Arah

Sikap terpilah pada dua arah kesetujuan. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap obyek sikap berarti memiliki sikap yang positif terhadap obyek sikap tersebut dan begitu juga sebaliknya. b. Intensitas

(39)

c. Keluasan

Kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap suatu obyek sikap dapat hanya mengenai beberapa aspek dan sangat spesifik dan dapat mencakup banyak sekali aspek dalam obyek sikap.

d. Konsistensi

Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan respon yang ditunjukkan terhadap obyek sikap dalam waktu yang relatif panjang. Konsistensi juga diperlihatkan oleh tidak adanya kebimbangan dalam bersikap.

e. Spontanitas

Yaitu sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara terbuka tanpa harus melakukan

pengungkapan atau desakan terlebih dahulu agar individu

mengemukakannya.

4. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Perubahan Sikap

Azwar (1995) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap individu terhadap obyek sikap. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

a. Pengalaman Pribadi

(40)

sikap. Akan tetapi reaksi individu terhadap pengalamannya yang sekarang biasanya tidak terlepas dengan pengalaman-pengalaman yang sebelumnya.

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Seseorang yang dianggap penting, tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang memiliki arti khusus (significan other) banyak

berpengaruh dalam pembentukan sikap. Kecenderungan ini

diantaranya dipengaruhi oleh keinginan individu untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting atau kelompok yang lain. Selain itu dapat juga dikarenakan oleh kharisma atau otoritas dari orang yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh Kebudayaan

Budaya serta norma-norma yang berlaku di masyarakat sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap. Sikap seseorang terbentuk karena adanya penguatan atau ganjaran dari masyarakat terhadap sikap yang dimilikinya tersebut.

d. Media Massa

(41)

informasi tersebut cukup kuat maka dapat menjadi dasar afektif dalam menilai sesuatu sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan dan lembaga agama mempunyai pengaruh dalam pembantukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan individu yang ikut berperan dalam pembenrukan sikap individu terhadap sesuatu hal.

f. Pengaruh Faktor Emosional

Suatu bentuk sikap dapat juga merupakan pernyataan emosi yang berfungsi sebagai penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Suatu contoh bentuk sikap yang didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.

5. Aspek Diri Anak Berkebutuhan Khusus Sebagai Obyek Sikap

Dalam penelitian ini, obyek sikap yang ingin diteliti adalah anak berkebutuhan khusus yang mengikuti proses pembelajaran dalam kelas inklusi. Anak berkebutuhan khusus sebagai obyek sikap memiliki aspek-aspek diri. Aspek-aspek-aspek tersebut merupakan aspek-aspek-aspek-aspek dalam rasa keberhargaan diri anak usia pertengahan kanak-kanak (Berk, 2006). Pada

masa pertengahan kanak-kanak, rasa keberhargaaan (self-esteem)

(42)

terhadap dirinya. Penelitian ini ingin melihat sikap teman sebaya terhadap aspek-aspek diri anak berkebutuhan khusus, yaitu :

a. Academic competence atau kemampuan akademik

yaitu kemampuan anak dalam bidang mata pelajaran sekolah, seperti bahasa, berhitung dan mata pelajaran yang lain. Kemampuan ini biasanya ditunjukkan melalui nilai hasil belajar di kelas. Selain itu dapat juga diketahui dari perfomansi anak di kelas saat pelajaran berlangsung.

b. Social competence atau kemampuan sosial

yaitu kemampuan anak dalam bergaul dan menjalin relasi dengan orang lain. McDevitt&Ormrod (2004) menyebutkan bahwa anak yang disukai oleh teman-temannya adalah anak yang memiliki keterampilan social, seperti bagaimana memulai percakapan, peka terhadap orang lain, mampu menyesuaikan perilakunya sesuai dengan keadaan, dan menunjukkan prososial, seperti membantu, berbagi, bekerja sama, dan empati.

c. Physical/athletic competence atau kemampuan fisik/atletik

(43)

dalam rentang usia ini. Anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan keterbatasn fisik membutuhkan alat bantu untuk melakukan aktifitas fisik (McDevitt&Ormrod,2004). Selain itu, anak sudah mulai mengembangkan kemampuan motorik halus pada masa pertengahan anak-anak seperti menulis, menggambar, atau membuat suatu kerajinan tangan (Santrock, 2002). Anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik perkembangan berbeda dengan anak yang lain dimungkinkan memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam mengembangkan kemampuan fisiknya.

d. Physical appearance atau penampilan fisik

yaitu keadaan fisik anak yang terlihat oleh orang lain. McDevitt&Ormrod (2004) berpendapat bahwa anak dalam masa pertengahan anak-anak semakin menyadari dan sensitif terhadap penampilan fisik mereka. Penampilan fisik ini meliputi keadaan fisik mereka, seperti bentuk tubuh, rambut, mata, kaki, tangan, dan sebagainya, atau hal-hal yang mereka kenakan seperti baju, sepatu, atau aksesoris lainnya.

(44)

yang negatif terkait dengan keterbatasan yang ada dalam diri anak berkebutuhan khusus. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat bagaimana perasaan anak normal terhadap kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan fisik, serta rupa secara fisik anak berkebutuhan khusus. Apabila anak normal memiliki perasaan yang positif berarti bahwa anak normal menyukai, senang atau dapat menerima secara emosional anak berkebutuhan khusus. Respon evaluatif yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana kecenderungan perilaku anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus. Apakah anak normal akan cenderung berperilaku positif ataukah negatif. Apabila anak normal berperilaku positif berarti anak normal akan mendukung, membantu dan tidak berperilaku yang dapat menghambat anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran di kelas inklusi.

B. Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian

(45)

membutuhkan pendidikan khusus atau pelayanan yang lain untuk dapat mencapai potensi mereka sebagai anak luar biasa (exceptional children). Seseorang atau anak mendapat label sebagai anak luar biasa dilihat dari bagaimana mereka melakukan tugas tertentu. Pemberian label ini pada awalnya ditujukan untuk menentukan syarat-syarat untuk pelayanan khusus di sekolah atau suatu komunitas. Akan tetapi pada kenyataannya pemberian label tersebut membuat baik guru, teman sekelas, orang tua, bahkan anak yang diberi label, sebagai suatu masalah yang permanen, sebuah cacat yang tidak dapat diubah.

2. Jenis-Jenis dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus terdiri atas berbagai jenis dan karakteristik. Dalam penelitian ini, jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus dibatasi sebagai berikut :

a. Retardasi Mental

Payne, et. al (1983) menyatakan bahwa individu yang

(46)

menunjukkan keterbatasan yang terkait pada dua atau tiga area kemampuan adaptif yang mengikutinya : komunikasi, merawat diri sendiri (self-care), aktifitas di rumah (home living), keterampilan sosial, berperan dalam masyarakat, kontrol diri (self direction), kesehatan dan keselamatan, fungsi akademik, menggunakan waktu luang, dan bekerja. Pada sekolah inklusi tempat peneliti melakukan penelitian terdapat anak retardasi mental ringan atau moderat. Apabila anak retardasi mental ringan dan moderat diberikan pelatihan yang tepat dan diberi bantuan secara hati-hati, potensi mereka untuk berprestasi, belajar, dan hidup menjadi meningkat. Oleh karena itu sekolah inklusi masih mampu menerima anak retardasi mental ringan atau moderat untuk bersama-sama bersekolah dengan anak normal lainnya.

b. Gifted atau Talented

Payne, et. al. (1983) menyebutkan bahwa anak gifted secara jelas superior dalam segala hal dibandingkan anak seusianya pada umumunya. Sedangkan Renzulli & Reis, 1991 (dalam Wolfolk, 1995) berpendapat bahwa gifted merupakan kombinasi dari tiga karakteristik, yaitu kemampuan umum yang berada di atas rata-rata, kreatifitas yang tinggi, dan komitmen atau motivasi yang tinggi terhadap tugas atau sesuatu yang tinggi.

(47)

adaptasi dan kesehatan emosional yang superior. Permasalahan yang dihadapi anak gifted diantaranya adalah kebosanan dan frustrasi di sekolah karena dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Teman-teman yang mengucilkannya beranggapan bahwa diantara mereka ada perbedaan minat dan perhatian yang tidak dapat terjembatani. Anak gifted juga dapat mengalami kesulitan dalam menerima keadaan emosi dirinya ketika pikiran dan emosinya tidak cocok. Mereka dapat merasa tidak sabar dengan teman, orang tua, atau kadang guru yang tidak mau membagikan minat dan kemampuan mereka (Wolfolk, 1995).

Dalam penelitian ini terdapat anak gifted yang menjadi obyek sikap. Anak gifted pada penelitian ini aktif dan dipandang teman-temannya sebagai anak yang pintar. Anak tersebut suka menunjukkan

teknologi di handphone yang dibawanya terhadap teman-temannya

yang tidak membawa handphone. Anak gifted yang belajar di sekolah inklusi dalam penelitian ini memiliki penampilan seperti anak pada umumnya dan dapat berinteraksi dengan teman-temannya.

c. Buta (Blind) dan LowVision

Taylor, 1973 (dalam Payne, 1983) mendefinisikan blind atau buta sebagai salah satu bentuk keterbatasan visual dimana penglihatan atau mata sama sekali tidak dapat digunakan untuk melihat atau membaca, dapat dididik dengan mengguanakan braile, tactile, dan

perangkat auditori. Orang yang buta dapat menggunakan

(48)

menggunakan tongkat untuk dapat berjalan sendirian dengan kakinya. Seringkali yang menghambat orang buta untuk belajar dan hidup secara alami adalah orang yang normal. Mereka seringkali tidak memperhatikan kebutuhan orang buta yang tidak dapat melihat dan menyamakan mereka dengan orang yang dapat melihat lainnya. Sedangkan low vision adalah kondisi dimana seseorang memiliki keterbatasan indera penglihatan sehingga memerlukan alat bantu khusus supaya dapat melihat dengan jelas.

Anak berkebutuhan khusus dalam penelitian saya diantaranya adalah anak yang mengalami low vision. Anak low vision tersebut harus duduk di depan saat pelajaran berlangsung karena mengalami kesulitan apabila melihat dalam jarak yang agak jauh.

d. Tuli (Deaf)

(49)

Pada penelitian ini terdapat anak yang menyandang tuna rungu ringan. Anak tersebut mengalami gangguan pada pendengarannya namun tidak secara total. Dengan demikian para pengajar dan orang yang hendak berrinteraksi harus dengan suara yang cukup keras atau dengan gerak bibir yang jelas.

e. Slow Learner

Beberapa anak yang mengalami masalah dalam belajarnya memiliki kesulitan dalam satu atau lebih area akademik, misalnya penyimpangan dalam berpikir, daya ingat, dan sebagainya (Wolfolk, 1995). Karakteristik anak slowlearner dalam penelitian ini mengalami kesulitan belajar mengalami hambatan dalam membaca yaitu sulit dalam mengeja kata. Beberapa anak yang lain sulit mengingat atau sulit dalam pelajaran menghitung. Perkembangan kemampuan

akademik anak slow learner berbeda dibandingkan dengan

perkembangan anak seusianya. Karena keterbatasannya, anak-anak slow learner membutuhkan strategi belajar dan pendampingan belajar yang ekstra dibandingkan dengan anak-anak yang lain.

f. Gangguan Autis(Autism Spectrum Disorder atau ASD)

ASD merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk

mendeskripsikan sekelompok ketidakmampuan perkembangan

(50)

atau berubah sejalan dengan kehidupan individu. Anak dengan ASD mengalami hambatan dalam komunikasi, interaksi sosial, serta memiliki pola minat dan tingkah laku yang terbatas dan dilakukan berulang-ulang (Goverment of British Columbia, 2007).

Anak autis dalam penelitian ini mengalami hambatan dalam hal-hal tersebut di atas sehingga terkadang anak tersebut melakukan kegiatan yang menggangu seperti berteriak, menggambar saat dijelaskan oleh guru, dan mengulang perkataan yang dikatakan oleh guru. Anak tersebut juga suka melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan berulang-ulag seperti menyalakan dan menghidupkan sakelar listrik.

g. Gangguan Perhatian dan hiperaktif

(51)

h. Cacat tubuh (tuna daksa)

Cacat tubuh merupakan kondisi dimana ada bagian tubuh yang tidak lengkap atau keadaannya tidak sempurna, misalnya pada kaki atau tangan. Kecacatan ini dapat dimiliki seseorang sejak lahir atau karena kecelakaan. Ketidaksempurnaan ini dapat menyebabkan seseorang terhambat dalam melakukan aktifitasnya, misalnya seseorang menjadi tidak dapat berjalan dengan kaki apabila tidak menggunakan alat bantu atau tidak dapat memegang pensil atau benda yang lain. Santrock (1995) mengulas beberapa komentar dari anak-anak yang mengalami cacat. Komentar-komentar mereka menunjukkan bahwa usaha penyesuaian diri terhadap dunia teman-teman sebaya dan sekolah seringkali menyakitkan hati dan sulit dilalui karena banyaknya ejekan.

Pada penelitian ini terdapat satu anak yang mengalami kecacatan pada anggota tubuhnya. Anak tersebut memiliki tangan kiri yang tidak dapat digerakkan secara normal. Hal ini membuat anak harus melakukan semua pekerjaannya dengan menggunakan tangan kiri.

C. Inklusi

1. Pengertian Inklusi

(52)

dan kebutuhan pendidikan pada siswa. Sedangkan Papalia, et. al. (2004) berpendapat bahwa tempat dimana anak dengan kebutuhan khusus digabungkan dengan anak normal untuk belajar bersama baik itu secara penuh maupun dalam waktu tertentu saja disebut sebagai program inklusi. Inklusi membantu anak berkebutuhan khusus untuk belajar ditengah-tengah komunitas normal dan membantu anak normal untuk mengenal dan memahami orang-orang dengan kekurangannya.

Staub & Peck (1995, dalam Direktorat PLB, 2004) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian kelas reguler merupakan tempat yang relevan untuk belajar bagi anak berkelainan, apa pun jenis kelainannya dan bagaimana pun tingkatannya.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa inklusi merupakan proses penggabungan anak berkelainan dengan anak normal untuk belajar bersama dan memperoleh pelayanan pendidikan yang sama secara penuh.

2. Karakteristik Kelas Inklusi

Reid (2005) menyatakan untuk terbentuk menjadi kelas inklusi yang dapat berfungsi dengan baik, kelas tersebut harus memiliki krakteristik sebagai berikut :

(53)

pengajar dan siswa saling menghormati, ada kerjasama antara staf pengajar dan orang tua siswa, dan terdapat komunikasi yang baik.

b. Ada penerimaan terhadap semua perbedaan individu.

c. Tercipta komunikasi dan kerja sama yang efektif.

d. Mengenali adanya kebijakan dan pengetahuan-pengetahuan yang

berkembang sepanjang waktu yang dapat mempengaruhi bentuk dari kultur inklusi.

3. Proses Belajar dalam Kelas Inklusi

Anak berkebutuhan khusus dan anak normal belajar bersama-sama dalam kelas inklusi serta memperoleh pendidikan yang sama tanpa membeda-bedakan. Melalui program-program yang telah disusun, anak-anak bersama-sama melakukan proses pembelajaran. Program-program yang telah disesuaikan dengan keberagaman karakteristik siswa memungkinkan semua siswa untuk melakukan proses penerimaan informasi, transformasi atau pengubahan, serta evaluasi terhadap materi yang telah disampaikan.

(54)

anak yang indera penglihatannya tidak dapat berfungsi harus belajar menggunakan indera lainnya. Situasi di kelas inklusi juga diprogram supaya lebih menyenangkan untuk belajar bersama sehingga tidak ada yang merasa tertekan dan ada keinginan untuk belajar bersama.

Selanjutnya aspek eksternal siswa diantaranya adalah lingkungan sosial seperti teman-teman, guru dan orang tua serta keluarga dan masyarakat. Lingkungan sosial yang mendukung anak normal dan anak berkebutuan khusus sangat mempengaruhi semangat belajar mereka. Selain itu faktor eksternal juga terdiri dari tempat belajar dan alat-alat yang digunakan dalam proses belajar. Dalam kelas inklusi, anak berkebutuhan khusus memerlukan alat yang tidak dibutuhkan anak normal. Contohnya, anak yang tidak dapat melihat memerlukan huruf braile untuk belajar menulis dan membaca. Selain itu, anak tersebut juga memerlukan tempat yang relatif tenang supaya dapat memaksimalkan indera pendengaran.

Faktor terakhir yang mempengaruhi belajar dalam kelas inklusi adalah pendekatan yang digunakan siswa dalam belajar. Reid (2005) menjelaskan bahwa guru yang mengajar dalam kelas inklusi perlu beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan siswa yang beragam. Model yang dapat digunakan untuk membantu siswa berkembang walaupun ada perbedaan karakteristik siswa, yaitu :

(55)

b. Membuat tugas yang lebih terbuka yang memungkinkan siswa untuk memberikan respon dengan berbagai cara.

c. Dengan menghadirkan tambahan bantuan, misalnya guru anak luar biasa.

Disamping model tersebut diatas, Frederickson & Cline (2002) menyebutkan bahwa belajar dengan cara bekerjasama (cooperative learning) merupakan pendekatan terbaik yang mendukung kesuksesan kelas inklusi yang didalamnya terdapat perbedaan karakteristik murid. Salah satu cara yang telah diteliti keefektifannya dalam mendukung berjalannya program inklusi adalah dengan metode peer tutoring and support. Dalam metode ini, siswa diminta untuk berpasang-pasangan saling mendukung, satu siswa menjadi pengajar (tutor) dan siswa yang lain menjadi yang diajari (tutee). Metode ini dapat meningkatkan self-esteem atau rasa keberhargaan diri dan prestasi akademik siswa.

Bowd (1986) menjelaskan bahwa situasi atau iklim yang kooperatif lebih dapat meningkatkan penerimaan antar siswa dibandingkan ketika mereka harus belajar secara individual. Belajar secara individual lebih berpotensi terciptanya situasi kompetitif atau persaingan dibandingkan penerimaan. Karena anggota kelompok secara aktif bersama-sama mencapai tujuan dan saling tergantung satu dengan yang lain untuk memperoleh hasil, maka penerimaan yang positif antar siswa dapat terbentuk.

(56)

D. Sikap Anak Sekolah Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang

Berkebutuhan Khusus

Anak yang berada pada masa pertengahan anak-anak memiliki tugas perkembangan yang berfokus pada pencapaian prestasi serta peningkatan kontrol diri. Bahaya yang mungkin muncul dalam pencapaian tugas perkembangan ini adalah munculnya perasaan tidak berkompeten serta tidak produktif (Santrock, 2002).

Disamping itu, pada masa ini pengaruh teman sebaya sangat besar bahkan lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang lainnya. Kelompok sosial memiliki pengaruh paling besar dalam melakukan identifikasi diri pada masa pertengahan anak-anak dan sebagian pada masa remaja dibandingkan pada masa perkembangan lainnya. Teman sebaya dapat mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri anak melalui penerimaan yang mereka rasakan (Hurlock, 1988).

(57)

mereka buat mengenai situasi tertentu dapat mempengaruhi perasaan mereka terhadap situasi tersebut (McDevitt & Ormrod, 2004).

Selain itu, pada masa pertengahan sekolah dasar, anak akan merasa malu dan tertuduh ketika gagal memenuhi standar perilaku sosial yang telah ditetapkan oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Perasaan malu dan tertuduh tersebut ternyata juga dapat menjadi motivasi bagi terbentuknya rasa empati dan prososial apabila tidak ada kesalahan yang dibuat Anak-anak pada masa ini mengalami peningkatan rasa simpati terhadap orang-orang yang menderita dan membutuhkan bantuan. Anak juga dapat membedakan mana yang merupakan perilaku yang kejam terhadap hak dan martabat manusia dengan perilaku mana yang mengancam ketentuan sosial. Anak pada masa ini memahamai bahwa harus ada seseorang yang berusaha keras supaya kebutuhan orang-orang dapat terpenuhi, seperti memperjuangkan haknya sendiri. Anak mulai menumbuhkan penghargaan untuk bekerja sama dan berkompromi (McDevitt & Ormrod, 2004).

Social perspective taking pada masa pertengahan anak-anak juga semakin mulai berkembang. Anak memiliki kemampuan untuk menerima cara pandang orang lain dan memahami pikiran dan perasaannya. Hal ini membuat anak bisa memahami bahwa anak yang lain sedang sedih atau senang, dan mengapa mereka sedih atau senang. Berkaitan dengan kemampuan ini, Berk (2006) menyebutkan bahwa anak pada masa pertengahan anak-anak semakin

mampu “membaca” pesan yang diterima dari orang lain dan

(58)

sekolah, anak menginternalisasikan penerimaan dari teman-temannya, mereka menggunakan ideal-self untuk mengevaluasi real-self. Disatu sisi, anak pada

masa pertengahan anak-anak juga mulai membanding-bandingkan

performansi mereka dengan temannya yang lain. Dengan demikian, perbedaan individu dalam performansi akademik menjadi semakin penting dalam melewati tahun-tahun masa ini.

Dalam perkembangannya, anak berkebutuhan khusus memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan anak normal yang lain. Walaupun demikian mereka tetap memiliki tugas perkembangan dan beberapa karakteristik perkembangan yang sama dengan anak normal lainnya. Karakteristik yang berbeda tersebut terkadang mengharuskan mereka menggunakan cara yang berbeda untuk dapat mencapainya. Disamping itu, penerimaan anak-anak yang normal juga sangat mereka perlukan seperti anak normal yang juga mengharapkan penerimaan dari anak yang lainnya.

(59)

sekolahnya. Penolakan dari teman sebaya dan kurangnya teman di masa anak-anak dapat menimbulkan dampak dalam jangka panjang (Papalia, et. al., 2004).

Disatu sisi, anak pada masa pertengahan anak-anak memiliki fokus-fokus ketertarikan tersendiri dalam pemilihan teman. Misalnya, anak lebih suka bergaul dengan anak yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan menguasai emosinya. Anak yang populer memiliki sejumlah keterampilan sosial yang membuat mereka disukai oleh anak yang lain, misalnya memberikan penghargaan pada anak yang lain, mau mendengarkan, membangun komunikasi terbuka, periang, dapat mengontrol emosi negatifnya, bertindak sebagi dirinya sendiri, antusias dan perhatian, percaya diri tapi tidak sombong (Santrock, 2007). Sebaliknya, anak-anak yang tidak memiliki keterampilan sosial seperti diatas akan cenderung diabaikan. Sementara itu anak-anak yang diabaikan akan kesulitan mengembangkan keterampilan sosialnya karena tidak memiliki teman sehingga akan semakin merasa dikucilkan.

(60)

dengan yang sebaliknya, anak yang tidak memiliki kemampuan akademik yang baik akan cenderung dijauhi oleh teman-temannya.

Hurlock (1989) berpendapat bahwa anak sudah mengembangkan perhatian terhadap penampilan sejak kecil dengan mendapat pengaruh dari orang dewasa. Dengan demikian, anak mengembangkan adanya anggapan atau stereotip mengenai ciri-ciri orang yang disukai dan tidak disukai. Mereka membuat konsep atau kriteria mengenai seperti apa kondisi tubuh yang ideal. Hal ini membuat anak lain yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut merasa cemas atau berusaha menutupi kekurangan tersebut.

Anak pada masa pertengahan kanak-kanak juga menganggap bahwa memiliki kemampuan atletik yang baik dapat menjadi kepuasan tersendiri bagi anak-anak dalam rentang usia ini (McDevitt & Ormrod, 2004). Dengan demikian anak yang mengalami keterbatasan dalam melakukan gerakan-gerakan fisk akan mendapat penilaian yang negatif dari teman-temannya. Selain itu, anak yang sudah mulai mengembangkan kemampuan motorik halus, seperti menulis, menggambar, atau membuat suatu kerajinan (Santrock, 2002). Pujian dan ejekan dari teman sebaya dapat berpengaruh pada perasaan berkompeten atau tidak pada anak untuk mengembangkan keterampilan tersebut.

(61)

berkebutuhan khusus. Melalui program-program yang telah disiapkan, situasi di kelas inklusi dikondisikan supaya dapat mendukung proses pembelajaran. Salah satunya adalah dengan cara menciptakan suasana kooperatif antar siswa dalam belajar. Misalnya dengan meminta para siswa untuk mengerjakan tugas bersama-sama.

(62)
(63)

E. Pertanyaan Penelitian

(64)

BAB III

MOTODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini ditujukan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi tertentu. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan variabel penelitian melalui pengisian skala tanpa mencari tahu hubungannya dengan variabel lain, menguji hipotesis atau mencari informasi lainnya. Hasil penelitian yang diperoleh akan digunakan untuk mendeskripsikan sikap anak normal yang belajar di sekolah dasar inklusi terhadap teman yang berkebutuhan khusus.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini hanya terdapat satu variabel penelitian yaitu sikap anak normal yang belajar di sekolah dasar inklusi terhadap teman yang berkebutuhan khusus.

C. Definisi Operasional

(65)

dalam proses pembelajaran di sekolah dasar inklusi terhadap kehadiran temannya yang berkebutuhan khusus. Berk (2006) menyebutkan aspek diri anak terdiri atas :

a. Academic competence atau kemampuan akademik

Yaitu kemampuan anak dalam bidang mata pelajaran sekolah, seperti bahasa, berhitung dan mata pelajaran yang lain.

b. Social competence atau kemampuan sosial

Yaitu bagaimana kemampuan anak untuk memulai percakapan, peka terhadap orang lain, mampu menyesuaikan perilakunya sesuai dengan keadaan, dan menunjukkan prososial, seperti membantu, berbagi, bekerja sama, dan empati.

c. Physical/athletic competence atau kemampuan fisik atau atletik

Yaitu kemampuan anak dalam melakukan permainan di luar ruangan maupun berbagai macam olah raga.

d. Physical appearance atau penampilan fisik

Yaitu meliputi keadaan fisik, seperti bentuk tubuh, rambut, mata, kaki, tangan, dan sebagainya, atau hal-hal yang mereka kenakan seperti baju, sepatu, atau aksesoris lainnya.

(66)

terhadap diri anak berkebutuhan khusus meliputi kelima aspek diatas. Sedangkan anak yang memiliki sikap yang negatif berarti anak tersebut berarti anak tersebut berpandangan buruk, tidak mendukung, tidak menerima, serta cenderung tidak bertindak positif terhadap diri anak berkebutuhan khusus meliputi kelima aspek diatas.

Variabel tersebut akan diukur menggunakan skala sikap yang berisi peryataan-peryataan yang akan diberikan kepada subyek penelitian dan mereka diminta untuk memberikan jawaban sesuai dengan keadaanya yang sebenarnya. Berdasarkan hasil analisis dari jawaban yang diberikan dapat diketahui bagaimana sikap subyek terhadap obyek sikap yang diteliti. Apabila nilai terhadap skala semakin tinggi maka sikap terhadap anak berkebutuhan khusus yang dimiliki subyek penelitian juga semakin positif.

D. Subyek Penelitian

Pengambilan subyek harus dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga diperoleh subyek yang dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya atau bersifat representatif. Subyek dalam penelitian ini diambil dengan teknik sampling “purposive sampling”, yaitu dengan didasarkan atas adanya tujuan tertentu, dengan syarat memenuhi karakteristik atau ciri-ciri tertentu sehingga hasilnya dapat digeneralisasikan pada populasi dengan karakteristik yang sama (Arikunto, 2006).

(67)

a. Anak yang berusia antara 6 hingga 11 tahun atau middle childhood.

Masa middle childhood merupakan masa dimana relasi dengan teman

sebaya menjadi sangat penting yang dapat berpengaruh dalam perkembangan sosioemosi dan moral mereka, yang akan berdampak pada kesuksesan mereka dalam melalui tahap perkembangan berikutnya. Anak middle childhood juga mulai memiliki kemampuan pemahaman sosial,

perkembangan moralnya meningkat serta memiliki social perspective

taking yang lebih besar dibandingkan dengan anak pada tahap perkembangan yang sebelumnya.

b. Anak normal

Anak normal disini dimaksudkan sebagai anak yang memiliki keadaan sempurna atau normal seperti anak pada umumnya. Anak normal secara sepintas dilihat sebagai anak yang memiliki keadaan lebih baik dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus. Sebagai anak yang mulai memiliki minat terhadap penampilan, pada umunya anak memiliki kecenderungan untuk memilih teman yang memiliki karakteristik yang sama dengan dirinya.

c. Terlibat dalam proses pembelajaran dalam kelas inklusi.

(68)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, alat yang digunakan untuk pengumpulan data adalah mengunakan skala yang memuat kumpulan peryataan mengenai suatu obyek sikap. Skala ini ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa sehingga respon seseorang terhadap peryataan tersebut dapat diberi angka (skor) dan kemudian dapat diinterpretasi (Azwar, 1995). Metode penyusunan skala dilakukan dengan metode summated rating scale atau rating skala yang dijumlahkan atau yang sering disebut dengan model Likert. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jenis skala yang digunakan adalah skala Likert. Metode penskalaan Likert merupakan metode penskalaan peryataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skala (Azwar, 1998).

(69)

2. Isi skala

Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk mengukur kecenderungan reaksi kognitif, afektif, dan konatif subyek yang belajar di sekolah dasar inklusi terhadap diri temannya sebagai anak berkebutuhan khusus, yang meliputi beberapa aspek yaitu :

a. Academic competence atau kemampuan akademik

b. Social competence atau kemampuan sosial

c. Physical/athletic competence atau kemampuan fisik atau atletik d. Physical appearance atau penampilan fisik

Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 72 item yaitu 24 item untuk mengukur aspek kognitif, 24 item untuk mengukur aspek afektif dan 24 item untuk mengukur aspek konatif. Masing-masing item pada aspek-aspek tersebut dibagi lagi menjadi 6 item untuk mengukur aspek Academic competence, 6 item untuk mengukur aspek social competence, 6 item untuk mengukur physical/athletic competence, dan 6 item untuk mengukur aspek physical apperance. Dalam 6 pernyataan pada masing-masing aspek tersebut, 3 pernyataan merupakan pernyataan favorabel atau yang mendukung obyek sikap dan 3 pernyataan yang lain berupa pernyataan unfavorabel atau yang tidak mendukung obyek sikap.

(70)

Tabel 1

Blueprint Skala Sikap Uji Coba

Komponen sikap

Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap Uji Coba Komponen sikap

Academic competence 1,25,

45

Physical/athletic competence 3,27, 47

Physical appearance 4,28,

48

(71)

konsentrasinya dalam jangka waktu yang cukup lama, peneliti membagi try out ke dalam dua sesi. Sesi pelaksanaan try out tersebut dalam selisih waktu yang relatif tidak lama. Adapun blue print skala penelitian tiap-tiap sesi adalah sebagai berikut.

Tabel 3

Distribusinomor item dalam Skala Sikap sesi 1

Komponen sikap

kognitif afektif konatif

Komponen obyek Sikap

Fav Unfav Fav Unfav Fav Unfav

Total

Academic competence 1,25 5,29 9,33 13 17 21 9

Social competence 2,26 6,30 10,34 14 18 22 9

Physical/athletic competence 3,27 7,31 11,35 15 19 23 9

Physical appearance 4,28 8,32 12,36 16 20 24 9

8 8 8 4 4 4

(72)

Tabel 4

Distribusi nomor item dalam Skala Sikap sesi 2

Komponen sikap

Untuk dapat diinterpretasikan, hasil respon atau jawaban yang telah diberikan subyek terhadap pernyataan-peryataan dalam skala sikap harus diberi nilai. Pemberian nilai untuk pernyataan yang bersifat favorabel dilakukan dengan cara : untuk jawaban ☺ diberi nilai 3, R diberi nilai 2, diberi nilai 1. Sedangkan pada pernyataan yang bersifat unfavorabel, untuk jawaban ☺ diberi nilai 1, R diberi nilai 2, diberi nilai 3.

4. Pertanggungjawaban Alat Ukur

a. Validitas

(73)

atau dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006). Untuk melihat kevalidan alat ukur, peneliti menggunakan metode validitas isi. Validitas isi merupakan validitas estimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional

atau lewat profesional judgement. Validitas isi menunjukkan

sejauhmana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi obyek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur (Azwar, 1997).

Validitas isi dilihat dari kesesuaian item-item dengan domain yang diukur, relevan serta tidak keluar dari tujuan penelitian. Hal ini dapat dilihat melalui apakah item-item yang telah dibuat sesuai dengan blue print yang telah ditentukan. Validitas alat pengambilan data juga diteguhkan dengan penilaian dari orang yang profesional (profesional judgement), dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing.

b. Seleksi Item

(74)

bersikap positif dan mana yang besikap negatif. Dengan kata lain, indeks daya diskriminasi juga merupakan indikator konsistensi antara fungsi item dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi item-total (Azwar, 1999).

Untuk mengetahui konsistensi total-item digunakan program SPSS versi 16.0. Semakin tinggi konsistensi antara skor item dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara item tersebut dengan skala secara keseluruhan dan juga berarti semakin tinggi daya diskriminasinya. Sebagai batasan pemilihan item berdasarkan korelasi total-item, digunakan batasan rix ≥ 0,30. Item yang mempunyai

koefisien rix dibawah 0,30 dianggap memiliki daya diskriminasi yang

rendah. Namun apabila jumlah item yang lolos tidak memenuhi jumlah item yang ditentukan, maka dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria dari 0,30 menjadi 0,25 (Azwar, 1999). Setelah diperoleh item-item yang memenuhi kriteria, peneliti meninjau kembali apakah distribusi item yang tersisa sudah dapat mewakili semua domain yang diukur.

(75)

ketika memakai batasan kriteria rix≥0,25, item yang lolos kurang

(76)

Tabel 6 physical appearance terdapat 11 item. Peneliti melakukan pengurangan serta penambahan item supaya dapat menyeimbangkan jumlah sebaran item.

(77)

pengurangan item pada tiap-tiap aspek supaya penyebaran item menjadi

Keterangan : ( ) : nomor dalam skala penelitian.

Gambar

BlueprintTabel 1  Skala Sikap Uji Coba
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5 Hasil Uji Coba Alat Ukur
+6

Referensi

Dokumen terkait

Terlepas dari sumbangannya dalam mengakhiri kekerasan September 1999, negara-negara besar anggota masyarakat internasional ikut mengemban tanggungjawab atas kejahatan yang

“ Praktek Pembagian Harta Warisan Di Desa Simpur Kecamatan Simpur Kabupaten HSS (Studi Kasus Terhadap Tiga Problem Kewarisan Ashabah) ”.

Pada Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kota Malang terdapat 2 (dua) eselon yaitu Eselon III.a dan Eselon IV.a sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 5 Tahun 2012

Kinerja Sasaran Strategi 2.1 Meningkatka n penyediaan sarana dan prasarana dasar dengan kapasitas dan kualitas yang setara dengan standar dunia Berkembangnya

1) Kebutuhan dasar yang seperti makan, minum, pakain dan tempat tinggal. 2) Kebutuhan sosial seperti komunikasi, kebersamaan, dan perhatian. 3) Kebutuhan individu

GUNAKAN DETEKTOR IONISASI KEPING SEJAJAR. Detektor ionisasi keping sejajar direko- mendasikan untuk pengukuran dosis serap berkas elektron energi rendah dati pesawat

Tujuan kegiatan ini adalah: (1) Membantu BPTP DI Yogyakarta, Sulut dan NTB dalam pelaksanaan Prima Tani, khususnya dalam hal menyempurnakan hasil identifikasi

Translasi Ribosom membentuk polipeptida Codons tRNA molecules mRNA Growing polypeptide Large subunit Small subunit mRNA mRNA binding site P site A site P A Growing polypeptide