• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Hakikat Katekese Kebangsaan

3. Pengertian Katekese Kebangsaan

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae mendefinisikan katekese sebagai pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa dalam iman, yang menyangkut khususnya penyampaian ajaran Kristen yang pada umumnya secara organis dan sistematis, dengan maksud menghantar pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18). Melalui pernyataan tersebut, Paus Yohanes Paulus II menekankan tiga aspek yaitu pembinaan iman, penyampaian ajaran Kristen secara organis dan sistematis serta kepenuhan hidup Kristen.

Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium mengungkapkan bahwa katekese adalah pewartaan sabda dan selalu berpusat pada sabda, namun juga selalu memerlukan lingkungan yang sesuai dan penyajian yang menarik, pemakaian simbol-simbol yang menyapa, penyisipan ke dalam proses pertumbuhan yang lebih luas dan integrasi semua dimensi pribadi dalam perjalanan untuk mendengar dan menanggapi sebagai komunitas (EG 166). Penulis melihat pernyataan tersebut sebagai kritik terhadap penekanan pelaksanaan katekese yang sampai saat ini masih bersifat doktrinal. Selain itu, pada pernyataan tersebut penulis melihat katekese mengalami pergeseran dalam hal pelaksanaan yang sifatnya pengajaran doktrinal beralih pada komunikasi dua arah dan kontekstual sehingga menjawab kebutuhan pendengar agar penyampaian pewartaan sabda dapat lebih mudah dipahami.

Selain itu, katekese mengusahakan tercapainya integrasi antara iman dan kehidupan yang dipandang sebagai refleksi atas pengalaman dalam terang iman dan merupakan komunikasi pengalaman iman. Dengan kata lain, tujuan katekese yang utama adalah membantu umat agar berhasil dalam hidup mereka dengan menerima panggilan dan tuntutan-tuntutan dari Allah (Adisusanto, 2000:100). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa hidup manusia seutuhnya perlu diperdalam dalam terang Injil, agar nilai-nilai Kerajaan Allah sungguh-sungguh terlaksana dalam hidup manusia seutuhnya.

Hasil temu karya Komisi Kateketik Regio Jawa di Keuskupan Bandung tahun 2018, menyebutkan bahwa Katekese Kebangsaan lahir dari Spiritualitas Inkarnatoris, yakni, Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Allah umat beriman adalah Allah yang menyelamatkan dengan tinggal dan berjuang dalam suka duka hidup (Suharyo, 2000:68). Oleh karenanya, umat Kristiani perlu terjun dalam kondisi carut marut masyarakat kita untuk memperjuangkan kesejahteraan umum. Spiritualitas Inkarnatoris, menurut Suharyo (2009:69) “bukan spiritualitas yang mengelak dari carut-marut dunia, tetapi spiritualitas yang memeluk keberdosaan dan cacat carut-marut itu.”

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa Allah yang diimani oleh umat Kristiani bukan Allah yang jauh, tetapi adalah Allah yang terlibat dalam setiap detail keselamatan hidup umat manusia (Madya Utama, 2019:19).

Para Uskup Indonesia mengajak umat dan masyarakat luas untuk semakin memahami gagasan dan makna Pancasila sebagai Dasar Negara dengan mengembangkan berbagai gerakan persaudaraan dan kemanusiaan lintas batas

dengan berbagai cara yang sesuai dalam konteks Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Edy Purwanto (2010) menyatakan terdorong oleh cinta akan bangsanya dan oleh rasa tanggungjawab akan tugas-tugas sebagai warga negara, orang Katolik harus merasa dirinya bertanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan bersama.

Istilah Katekese Kebangsaan ini kemudian dicetuskan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) karena melihat situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang memprihatinkan. KWI mengeluarkan Nota Pastoral KWI 2018, yang mengusung tema “Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan.” Lebih lanjut, Pertemuan Komisi Kateketik Regio Jawa yang dilaksanakan di Muntilan, pada 4-7 Februari 2019 menghasilkan keputusan tema-tema Katekese Kebangsaan yang mendesak dan prioritas perlu dilaksanakan sebagai langkah strategis dalam menyikapi kondisi persoalan bangsa saat ini. Adapun usulan beberapa tema Katekese Kebangsaan meliputi Pancasila dan iman Katolik, tanggung jawab orang Katolik di bidang politik, keberagaman, cinta tanah air, dan pentingnya memanfaatkan budaya lokal sebagai ruang perjumpaan.

Berdasarkan teman-tema hasil pertemuan Komisi Kateketik se-Regio Jawa tersebut, dimungkinkan untuk menggalakkan katekese dengan bentuk klasikal, penanaman nilai dalam keluarga, tindakan nyata (Bagus Laksana, 2019:3). Bagus Laksana (2019:5) menyebutkan katekese memiliki dimensi formatif baik personal maupun publik. Dimensi personal terarah pada unsur penyadaran dan pengayaan, sedangkan dimensi publik terarah pada keterlibatan

(actor) dan pembentukan jaringan (network) yang dimulai dari tingkat dasar, basis

atau lingkungan (Bagus Laksana, 2019:5). Kedua dimensi itu, mendorong Gereja untuk mengusahakan terintegrasinya iman dalam umat Katolik Indonesia.

Selanjutnya, usaha untuk mewujudkan iman dalam praksis sosial menekankan katekese yang memunculkan nilai-nilai Pancasila. Nilai Pancasila dimunculkan dalam konteks katekese dikarenakan Pancasila menjadi rumah bersama bagi masyarakat Indonesia. Melihat perkembangan jaman saat ini yang serba digital, tentu pelaksanaan Katekese Kebangsaan perlu diusahakan dalam cara baru misalnya dengan menggunakan media digital, seni dan budaya, ruang umum, dan cara milenial sehingga cocok untuk generasi muda (Bagus Laksana, 2019:6). Dengan demikian, pelaksanaan Katekese Kebangsaan menjadi relevan dengan mengikuti perkembangan era digital. Harapannya, pelaksanaan Katekese Kebangsaan yang demikian dapat mengatasi fenomena eklusivisme dan menguatkan komunitas-komunitas basis dalam memaknai nilai-nilai Pancasila menurut terang Injil.

Konsili Vatikan II dalam Dekrit tentang Kerasulan Awam menyebutkan bahwa kaum awam menerima tugas dan haknya untuk merasul berdasarkan persatuan dengan Kristus melalui kegiatan mereka dalam mempersembahkan korban rohani, dan memberikan kesaksian akan Kristus (AA 3). Secara tegas pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kaum awam termasuk generasi insan beriman Z, memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan serta memberikan kesaksian akan Kristus.

Peran kaum muda sangat penting dalam masyarakat zaman sekarang dan menuntut dari mereka kegiatan merasul yang sepadan (AA 12). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa orang muda dalam hal ini Generasi insan beriman Z termasuk didalamnya sangat berperan penting. Tugas kegiatan merasul oleh kaum muda dimungkinkan apabila dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan yang mereka miliki. Para awam diundang untuk menjalankan dan menjalin kerja sama langsung dengan kerasulan hirarki dan bertindak di bawah kepemimpinannya (AA 20). Melalui pernyataan tersebut penulis memiliki harapan bahwa orang muda dapat bekerja sama dengan susunan hirarki Gereja dalam menjalankan tugas kerasulannya dalam hidup menggereja termasuk dalam penggalakkan Katekese Kebangsaan.

Menurut penulis, Katekese Kebangsaan eksistensinya sesuai dengan pendidikan iman yang diutarakan oleh Daniel Schiphani. Schipani (1997:25) mengungkapkan bahwa pendidikan iman yang membawa transformasi sosial ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan menekankan tiga aspek yang menitikberatkan pada perubahan sosial. Adapun tiga aspek tersebut ialah

seeing, judging, dan acting. Seeing menekankan aspek melihat realitas konkret

yang dihadapi oleh masyarakat sekitar. Dengan melihat permasalahan yang ada tersebut diharapkan umat dapat memberikan penilaian melalui proses judging.

Judging merupakan penilaian terhadap realita yang ada melalui terang Sabda

Allah yang direfleksikan dalam nilai-nilai Injil, sehingga menemukan kehendak Allah. Melalui penilaian terhadap realita dan menemukan kehendak Allah tersebut, umat diajak untuk melakukan aksi nyata (acting). Acting ini merupakan tindakan

konkret sebagai sintesis antara realitas konkret dan Sabda Allah sehingga mampu menghasilkan perubahan sosial.

Selain itu penggalakan Katekese Kebangsaan eksistensinya juga dapat dilihat dari pengertian katekese sebagai pendidikan iman. Menurut Everett (1989:153) pendidikan iman (baca:katekese) mengusahakan untuk membawa perubahan terhadap struktur sosial yang lama menjadi baru melalui komunikasi dan transformasi iman. Pendidikan iman mengubah pribadi maupun kelompok pada kedewasaan iman. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan iman seharusnya dapat membawa orang pada perubahan hidup/transformasi hidup beriman yang baru. Artinya, pendidikan iman ataupun katekese diharapkan dapat membantu seseorang mengalami transformasi dalam hidupnya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang/kelompok lain. Berdasarkan pernyataan tersebut, penulis berpendapat bahwa Katekese Kebangsaan juga merupakan salah satu bentuk pendidikan iman yang mengajak seseorang untuk mengalami perubahan hidup yang baru dalam hal kebangsaan.

Menurut Everret (1989:153), tujuan dari pendidikan iman adalah mengusahakan perubahan secara baru dalam hidup seseorang. Pendidikan iman membawa kita keluar dari diri kita yang lama menuju diri kita yang baru (transformasi). Perubahan dan transformasi itu membawa orang keluar dari struktur sosial lama menuju ke yang baru. Perubahan yang terjadi bukan hanya sebatas komunikasi sosial, melainkan transformasi dalam iman. Transformasi sosial menjembatani respon agama dalam menanggapi persoalan di sekitar. Everret (1989:153) mengatakan bahwa gereja kontemporer umumnya mengambil

tiga bentuk dalam menanggapi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi di lingkungan sekitar yaitu melalui sikap yang reaktif, adaptif dan reformis. Hal itu dilakukan agar dapat memunculkan transformasi baru bagi umat dalam menanggapi persoalan-persoalan di lingkungan.

Berdasarkan penjelasan tentang katekese yang membawa transformasi sosial tersebut, penulis berusaha mendekatkan proses penggalakan Katekese Kebangsaan yang bertujuan untuk membawa transformasi sosial demi terwujudnya Kerajaan Allah. Proses Katekese Kebangsaan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan Katekese Umat pada umumnya. Hal itu berkaitan dengan reksa pastoral pada umumnya, yaitu mengelola pengalaman hidup beriman umat yang dapat meneguhkan dan memberi inspirasi satu sama lain. Pengalaman hidup beriman umat itu kemudian diharapkan dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman hidup yang diangkat bersama umat, diangkat dari pokok-pokok persoalan penting terkait kebangsaan dalam rangka membantu mereka untuk menumbuhkan kepedulian terhadap permasalahan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia serta terlibat dalam bidang sosial politik.

Dokumen terkait