• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah kebijakan menurut Barda Nawawi Arief, diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda).23 Menurut Sudarta, pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu:24

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

23 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana : Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakara, 2008, hlm. 22.

24 Sudarto, Kapita Selecta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 113-114. (Lihat juga, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 161).

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

3. Dalam arti yang paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseleruhan kebijakan, yang dilakukkan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik krimininal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.25Kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan untuk perlindungan masyarakat (social defence policy), di samping kebijakan untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy), dimana keduanya merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy).26

a. Upaya Penal

Dengan demikian, kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) harus mempertimbangkan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, yaitu berupa kesejahteraan sosial (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence).

Berikut ini akan dijelaskan mengenai kebijakan penal dan non-penal dalam upaya penanggulang kejahatan antara lain sebagai berikut :

Pada dasarnya penal policy lebih menekankan pada tindakan Represif (pemberantasan) setelah terjadinya suatu tindak pidana.penanggulangan kejahatan melalui upaya penal adalah penerapan hukum pidana, maka dasarnya adalah tidak

25 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1981,hlm. 38.

26 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 77.

lain adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang jenis-jenis pidana. Di samping itu, penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentua pidana di dalamnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 KUHP.27

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui 3 (tiga) tahapyaitu:28

1. Tahap Formulasi (kebijakanlegislatif) 2. Tahap Aplikasi (kebijakanyudikatif) 3. Tahap Eksekusi (kebijakaneksekutif)

Ad.1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif) yaitu tahap perencanaan atau perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap ini merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana, serta yang menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-tahap berikutnya yaitu tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Kesalahan pada tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi dalam kebijakan hukum pidana.

Ad.2. Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang- undangan pidana yang telah dilanggar.

Ad.3. Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

27M.Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 28.

28 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 22.

Dengan demikian, penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislatif), penjatuhan pidana (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Dengan kata lain, penal policy menyangkut masalah kebijakan penegakan hukum yang termasuk ke dalam bidang kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam 3 (tiga) kerangka yaitu struktur, substansi dan kultur. Hal tersebut penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak pada kebijakan yang bersifat fragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek), sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya, justru akan merugikan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, maka menurut Sudarto, dalam rangka Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan upaya penal, haruslah diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:29

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Maka hukum pidana harus bertugas dan bertujuan untuk menanggulangi kejahatan demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi oleh hukum

29Syafrudin. S. Hasibuan, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Kriminologi :Menyambut 70 tahun Profesor H.M. Daud, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hlm. 115.

pidana adalah perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian kepada masyarakat. Perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai perbuatan yang tidak dikehendaki, meskipun tidak semua perbuatan yang merugikan perlu dicegah dengan menggunakan hukumpidana.

3. Usaha untuk mencegah suatu perbuatan dengan menggunakan sarana hukum pidana dengan sanksi negatif berupa pidana, perlu disertai perhitungan biaya yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost-benefit principle).

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting) yang mana akan mengakibatkan efek dari peraturan itu akan menjadiberkurang.

b. Upaya Non Penal

Upaya non penal (non-penal policy) pada dasarnya menekankan pada tindakan preventif (pencegahan) sebelum terjadinya suatu tindak pidana.bentuk pencegahan non-penal adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat akan kejahatan, akibat-akibat dan konsekuensinya. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana, yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang dapat menimbulkan kejahatan.

Berdasarkan Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 tentang ThePreventif of

Crime and Treatment of Offenders30

1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf, ketiadaan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

yang berlangsung di Havana Kuba,

mengindentifikasikan berbagai aspek sosial yang diindikasikan sebagai faktor- faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, yaitu sebagai berikut:

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai harapan karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan dekriminalisasi menyebabkan kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;

6. Menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya;

8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dal lain-lain yang pemakaiannya

30Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hlm 57.

juga diperluas karena faktor-faktor yang disebutkan diatas;

9. Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak) atau sikap-sikap tidak toleran.

Kebijakan kriminal dengan menggunakan upaya non-penal dapat meliputi bidang yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial.Usaha non-penal ini misalnya dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan pendidikan, pembinaan mental melalui agama, serta melalui kegiatan patroli dan pengawasan lainnya oleh Polisi atau aparat keamanan lainnya.

Adapun wujud dari upaya penal (represif) dan upaya non-penal (preventif) yang dapat dilakukan oleh Polisi untuk menanggulangi kejahatan, khususnya perjudian, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai aparat negara yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Negara adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;

2. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

3. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

4. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

5. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

6. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

7. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

8. Memberikan pelayanan kepada masyarkat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkungan tugas kepolisian;serta

9. Melaksanakan tugas lainsesuai dengan peraturan perundang-undangan.

F. MetodePenelitian

Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan

sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah gabungan antara yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian melalui pendekatanyang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori konsep-konsep, asas-asas hukumyang berhubungan dengan judul skripsi yang berjudul “Peranan Kepolisian Dalam Mengungkap Tindak Pidana Penadahan Sepeda Motor”(Studi Kasus Polres Tobasa). Penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian yang digunakan untuk mengetahui bagaimana Upaya kepolisian di lapangan dalam menanggulangi tindak pidana penadahan di wilayah Kabupaten Tobasa.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer, dan data sekunder.Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber. Data sekunder diperoleh melalui studikepustakaan,meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, putusan pengadilan dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui:

a. Penelitian Kepustakaan (library research).

Merupakan suatu teknik mengidentifikasi isi dengan metode studi kepustakaan, metode ini digunakan dalam rangka memperoleh datasekunder, yaitu mengumpulkan data berupa buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, peraturan perundang-undangan yang sesuai, dan lain sebagainya dengan membaca dan mengkaji bahan tersebut.

b. Penelitian Lapangan (field research).

Terhadap data lapangan (primer) teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara.Wawancara merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sistematis dan ilmiah untuk memperoleh suatu keterangan di lapangan.

4. Analisis Data.

Metode yang digunakan penulis untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif.Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.31

Dokumen terkait